Anda di halaman 1dari 31

Makalah

DEMAM TIFOID PADA ANAK

Disusun Oleh :

Rafika Aprilia Firdana Sitepu


(211 210 082)

Pembimbing :
dr. B. Susanti Dewayani, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
RSUD DR. DJASAMEN SARAGIH
PEMATANGSIANTAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Kasih dan Karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Demam Tifoid Pada
Anak. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dr. B. Susanti Dewayani, Sp.A
selaku pembimbing penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
selama penyelesaian makalah ini.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Dr Djasamen Saragih.
Penulis menyadari bahwa makalah ini dibuat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Pematangsiantar, Januari 2016

Penulis,

Rafika Aprilia Firdana Sitepu

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2
A. Definisi ..................................................................................................... 2
B. Epidemiologi ............................................................................................ 2
C. Etiologi ..................................................................................................... 3
D. Patogenesis ............................................................................................... 3
E. Manifestasi klinik ..................................................................................... 6
F. Pemeriksaan penunjang ............................................................................ 8
G. Diagnosis .................................................................................................. 17
H. Diagnosis Banding .................................................................................... 17
I. Penatalaksanaan ........................................................................................ 18
J. Komplikasi ................................................................................................ 20
K. Pencegahan ............................................................................................... 22
L. Prognosis .................................................................................................. 24
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA 27

2
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar
limfe usus, dan Peyers patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah
demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis
adalah sama dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai baik
pada demam tifoid maupun demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai pada
penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Penyakit ini juga
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan
erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan
sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di
seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa.
Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami
anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid
banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

B. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat
bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk
beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering
maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu
pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp
63C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau

2
pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

C. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

D. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus

3
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3)
bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen
intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak
yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam
peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat
menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila
keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi,
penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan

4
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini
adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur
berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak
stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis.1,4

5
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

E. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi
bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau
tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak,
terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun
tifoid pada bayi.

6
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila
penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih
prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli
kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di
daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama
dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada
demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.

7
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1
5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah
mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala
klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut
(49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah
kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). 10 Hal
ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit
(15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual
(42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%). 9
Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi
relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan
kelainan neurologis fokal.6

F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau
perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila
disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis
didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift
to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT

8
seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan
mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6

2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi
yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi
aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

9
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen
Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya
dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil
tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif
tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O
aglutinin sekali periksa 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak
dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti
biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.

10
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling
sering di negara kita, demam > kasih antibiotika > nggak sembuh
dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B,
C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang
dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu
(false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel
yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan
dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan
tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX
ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan

11
spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,
dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:


Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi
dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat
terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :


Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap
IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan
deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase

12
pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG
spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen
dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari
metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam
tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar
93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif
sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002)
pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%,
spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur
positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan
bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan
bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang
cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen
dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus
sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6
bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.6

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

13
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan
serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen
O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup
menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas
timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus
dengan Brucellosis.6

e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.
typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen
S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized
sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5%
bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan
nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada
pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita

14
demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di
tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum
atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada
beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)
jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu;
dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak
kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga

15
(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-
hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah
satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur
darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.5,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang
sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan
waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler


Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik
untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian
sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain
oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan
dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

16
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam
spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6

G. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal
dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah
dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat
timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala
dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5

H. Diagnosis Banding

17
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis
dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,
shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis,
leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

I. Penatalaksanaan
1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus


diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan
kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan
sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang
peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan
sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai
otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi.
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas

18
melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu
tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan
teori yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7

2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat
diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100
mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup
50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam
turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester
ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus
malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai
21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps
atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari
diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika
golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia

19
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari
IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat
diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu
untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10
hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

J. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut
dengan tanda tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat

20
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen
abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.

21
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah
abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka
penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan
otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang maka biasanya
prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan
lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak
jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah
Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis
tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta
sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat
bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan
gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis

22
dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering
dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai
gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme
memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia
dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal,
seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam
waktu yang lama.

K. Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2
a. Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih
tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
b. Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian
luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan
es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan
tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
c. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah
buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah

23
dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang
tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air
untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas.
d. Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57C
beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi.
Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman,
hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin
terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid,
berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun,
kemudian gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan
dan setelah menggunakan toilet.
Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa
anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan
anda tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.
Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci
dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu,

24
beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan
cara terbaik untuk mengendalikan demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga
kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang
minum antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak
berumur diatas 2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.
Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa
0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek
samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan
nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar
lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang
pendek.
Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai
daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3
tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram
antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan
diperlukan pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan
pada keadaan hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2
tahun.

L. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan

25
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada
anak anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid.1

26
BAB III
PENUTUP

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi
yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran
cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari
terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa
terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue
yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan
Saraf Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur.
Dalam keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor
sampai koma.
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan
serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah
baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang
memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Dik
etahui.html.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No0
1_08_2012.pdf.

28

Anda mungkin juga menyukai