Disusun Oleh:
R.M. Ridho Hidayatulloh, Sked
1102011010
Pembimbing:
dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM
Topik
: HIV
Penyusun
I. Identitas Pasien
Nama
: Tn. H
Usia
: 27 tahun
Pekerjaan
:Karyawan Swasta
Agama
: Islam
Alamat
No. CM
: 798XXX
Pembiayaan
: BPJS
Tanggal Dirawat
: 29 Desember 2015
Ruangan
II. Anamnesa
Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 3 Januari 2016 di Ruangan Anggrek RSUD
Cilegon.
Keluhan Utama :
Sakit perut 1 minggu SMRS, BAB mencret hitam 4 hari SMRS
Keluhan tambahan :
Bahu kanan sakit
Mual
Demam
Batuk
Sariawan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tn. H dateng dengan keluhan utama sakit perut 1 minggu SMRS, BAB mencret
berwarna hitam 4 hari SMRS. Pasien datang dengan keadaan sadar dibawa oleh
keluarga ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 29 Desember 2015, pasien juga
mengeluhkan bahu kanan sakit, mual, demam, batuk dan sariawan yang sulit sembuh.
Saat usia 18 tahun pasien mengaku pernah mengkonsumsi ganja dan membuat tattoo
ditangan kirinya.
Setelah dari IGD pasien dirawat di ruang Anggrek RSUD Cilegon
Anamnesis Sistem :
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-) menandakan
keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien.
Kulit
(-)
(-)
Bisul
Kuku
(-)
(-)
Rambut
Ikterus
Kepala
(-)
(-)
Trauma
Sinkop
(-)
(-)
Nyeri kepala
Nyeri sinus
Nyeri
Sklera Ikterik
Conjungtiva anemis
(-)
(-)
(-)
Sekret
Gangguan penglihatan
Penurunan penglihatan
(-)
(-)
(-)
Tinitus
Gangguan pendengaran
Kehilangan pendengaran
(-)
(-)
(-)
Gejala penyumbatan
Gangguan penciuman
Pilek
(+)
(-)
(+)
Lidah
Gangguan pengecapan
Stomatitis
(-)
Perubahan suara
(-)
Nyeri leher
Mata
(-)
(-)
(-)
Telinga
(-)
(-)
Nyeri
Sekret
Hidung
(-)
(-)
(-)
(-)
Trauma
Nyeri
Sekret
Epistaksis
Mulut
(-) Bibir
(-) Gusi
(+) Selaput
Tenggorokan
(-)
Nyeri tenggorok
Leher
(-)
Benjolan/ massa
Dada (Jantung/Paru)
(-)
(-)
(-)
Nyeri dada
Berdebar-debar
Ortopnoe
(-)
(-)
(+)
Sesak nafas
Batuk darah
Batuk
(-)
(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)
Perut membesar
Wasir
Mencret
Melena
Tinja berwarna dempul
Tinja berwarna terang
Benjolan
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Kencing nanah
Kolik
Oliguria
Anuria
Retensi urin
Kencing menetes
Kencing seperti air teh
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Sukar menggigit
Ataksia
Hipo/hiper-estesi
Pingsan / syncope
Kedutan (tick)
Pusing (Vertigo)
Gangguan bicara (disartri)
(-)
(-)
Deformitas
Sianosis
Rasa kembung
Mual
Muntah
Muntah darah
Sukar menelan
Nyeri perut
Disuria
Stranguri
Poliuria
Polakisuria
Hematuria
Batu ginjal
Ngompol
Anestesi
Parestesi
Otot lemah
Kejang
Afasia
Amnesis
Lain-lain
Ekstremitas
(-)
(-)
Bengkak
Nyeri tekan
VITAL SIGNS :
Kesadaran
Keadaan Umum
Tekanan Darah
Nadi
Respirasi
Suhu
: Compos mentis
: Tampak sakit sedang
: 110/80 mmHg
: 88 kali/menit
: 20 kali/menit
: 36,20C
BB/TB
:-
STATUS GENERALIS :
- Kulit:
subklavikula,
pre-aurikula,
post-aurikula,
oksipital,
Simetris
kiri
dan
kanan
perbandingan
Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan
Palpasi
Perkusi
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba di 2cm lateral ICS IV linea midklavikula sinistra, dan
tidak terdapat thrill
Perkusi
: Batas jantung kanan pada ICS V linea para sternalis dextra, batas jantung
kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, tidak terdapat murmur dan gallop
Abdomen
Inspeksi : Tampak simetris, tidak terlihat massa, tidak pelebaran vena, tampak ada
striae pada abdomen bawah.
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat.
Palpasi
: Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan di daerah epigastrium, nyeri lepas
(-), tidak teraba massa pada perut kanan, hepatomegali (-) splenomegali
(-), Ballotement (-), undulasi (-)
: Suara timpani di semua lapang abdomen, terdapat nyeri ketuk, shifting
Perkusi
dullness (-)
- Genitalia
- Ekstremitas
28 Des 2015
30 Des 2015
6 Jan 2016
NORMAL
7
Hematologi
GDS
67
<200 mg/dL
Hemoglobin
11,5
14 18 gr/dl
Hematokrit
34,2
40 48 %
Leukosit
8.9400
Trombosit
213.000
O RH POSITIF
SGPT
<41 U/l
SGOT
12
<37 U/l
Ureum
16
17-43 mg/dl
Creatinin
0.9
0,7 -1,1
Natrium
133,4
Kalium
3,33
Klorida
103,3
95 107 mmol/l
Negative
Negative
Reactive
Non Reactive
Fungsi Hati
Fungsi ginjal
Elektrolit
Mikrobiologi
BTA Hari ke 1
Imuno Serologi
HIV
55
Urine Lengkap
Warna
Kuning
Kekeruhan
Jernih
Berat Jenis
PH
Protein
Negative
Glucosa urine
Negative
Negative
Keton
Negative
Negative
0.1 - 1
Urobilinogen
Negative
Negative
Nitrit
Negative
Negative
Darah
Negative
Negative
Sedimen Kristal
Positive
0-1
Negative
Positive
<1
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Negative
Sedimen Leukosit
Sedimen Silinder
Bakteri
Jamur
0-2
Negative
Negative
Negative
15
Negative
Negative
Negative
Bilirubine Urine
Sedimen Urine
Sedimen Epitel
Sedimen Eritrosit
1.010
8
Aorta : Dinding licin, tidak ditemukan pembesaran kelenjar gerah bening paraaotra.
Vesica Urina : Besar, bentuk baik, dinding regular tak menebal, tak Nampak batu, sludge
maupun massa.
Prostat : Besar, bentuk baik, echotexture parenkhim halus dan homogen.
Gaster : Dinding tidak menebal, ireguler, tak nampak massa.
Kesan : Gastritis kronis
Rontgen Thorax : Bronchitis.
Rontgen Abdomen 3 posisi: Tak tampak kelainan pada foto abdomen 3 posisi saat ini.
V. Diagnosis
Diagnosis Kerja : B.20
Pneumonia
Candidiasis oral
GEA
Melena
VI. Anjuran Pemeriksaan
-
USG Abdomen
IGD
IVFD RL 20 tpm
ANGGREK
IVFD RL 20 tpm
Sucralat 3x1 C
Paracetamol 3x500mg
Kotrimoxazol 1x1
10
ARV
VIII. Prognosis
-
Quo ad vitam
: dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
IX. Follow Up
TANGGAL
29/12/15
IVFD RL 20 TPM
- Inj. As. Traneksamat 3x500 mg
- Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
- Inj. Omeprazole 2x1 amp
- Inj. Vit. K 2x1 amp
- Inj. Ondansentron 3x4mg
- P.o Sucralfat 3x1 C
- P.o Paracetamol 3x 500mg
Menerima pasien baru dari IGD
30/12/15
IVFD RL 20 TPM
Inj. As. Traneksamat 3x500 mg
Inj. Ceftriaxon 1x2 gr
Inj. Omeprazole 2x1 amp
Inj. Vit. K 2x1 amp
Inj. Ondansentron 3x4mg
12
31/12/2015
01/01/2016
13
14
03/01/2016
15
04/01/2016
05/01/2016
06/01/2016
17
Pulmo : SN Vesikular, ronki-/-, wheezing -/Abdomen : asites (-), BU (+) meningkat ,supel, NTE (+).
Ektremitas : akral hangat (+/+), udem (-/-).
07/01/2016
18
19
ANALISA KASUS
1. Apakah penegakan diagnosis pada pasien ini sudah benar?
Ya. Pasien ini datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan sakit perut 1 minggu
SMRS, BAB mencret hitam 4 hari SMRS, demam, batuk dan sariawan yang sudah lama
dan sulit sembuh. Pada pemeriksaan serologi diadapatkan HIV Reactive dan CD4 = 55
Pada pasien ini dilakukan terapi untuk mengobati keluhan pasien sembari mempersiapkan
terapi ARV dan konseling mengenai penyakit yang diderita pasien. Pemberian Kotrimoksasol
diberikan pada semua pasien dengan stadium klinis 2, 3 dan 4 atau jumlah CD4 < 200
sel/mm3. Berikan dua minggu sebelum mulai terapi ARV untuk memastikan tidak ada efek
samping yang tumpang tindih antara Kotrimoksasol dan obat ARV
21
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A HIV/AIDS
1
Definisi
HIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan
tubuh
manusia
dan
kemudian
menimbulkan
AIDS
(Acquired
23
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik
akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Zein, 2006).
2
Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987.
Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat
infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus
HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998).
Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat penggunaaan
narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika ini sebagian besar
adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret
2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban, 2007).
Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus AIDS dan
6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai
3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan
penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).
3
Etiologi
Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus lentivirus diketemukan oleh Luc
Montagnier, seorang ilmuwan Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus
dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu dinamakan
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV).
Gallo (National Institute of Health, USA 1984) menemukan Virus HTLV-III (Human T
Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut
dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan hasil pertemuan International
Committee on Taxonomy of Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV. Pada tahun
1986 di Afrika ditemukan virus lain yang dapat pula menyebabkan AIDS, disebut HIV-2, dan
berbeda dengan HIV-1 secara genetic maupun antigenic. HIV-2 dianggap kurang pathogen
dibandingkan dengan HIV-1. Untuk memudahkan, kedua virus itu disebut sebagai HIV saja.
4
Cara Penularan
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung
HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007c).
24
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan
darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan
pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)
a
Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua
cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama
laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak
seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko
tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang
terinfeksi HIV.
b
Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.
Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada
pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan
prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja)
bagi petugas kesehatan.
Menurut WHO, terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan
antara lain:
a
Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan
dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
Patogenesis
HIV adalah retrovirus yang menggunakan RNA sebagai genom. Untuk masuk ke
dalam sel, virus ini berikatan dengan receptor (CD4) yang ada di permukaan sel. Artinya,
virus ini hanya akan menginfeksi sel yang memiliki receptor CD4 pada permukaannya.
Karena biasanya yang diserang adalah sel T lymphosit (sel yang berperan dalam sistem imun
tubuh), maka sel yang diinfeksi oleh HIV adalah sel T yang mengekspresikan CD4 di
permukaannya (CD4+ T cell).
Setelah berikatan dengan receptor, virus berfusi dengan sel (fusion) dan kemudian
melepaskan genomnya ke dalam sel. Di dalam sel, RNA mengalami proses reverse
transcription, yaitu proses perubahan RNA menjadi DNA. Proses ini dilakukan oleh enzim
reverse transcriptase.
Proses sampai step ini hampir sama dengan beberapa virus RNA lainnya. Yang
menjadi ciri khas dari retrovirus ini adalah DNA yang terbentuk kemudian bergabung dengan
DNA genom dari sel yang diinfeksinya. Proses ini dinamakan integrasi (integration). Proses
ini dilakukan oleh enzim integrase yang dimiliki oleh virus itu sendiri. DNA virus yang
terintegrasi ke dalam genom sel dinamakan provirus.
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi
sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi
secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi
diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus
seumur hidup (a life long infection).
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai
vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya,
vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan
akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri.
26
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah
fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon
imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian
Immunodeficiency Virus ( SIV ). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada
mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional.
Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel
individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat di deteksi dengan
hibridisasi in situ dalam 7- 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah
infeksi . Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan
dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan
limfoid kemudian menurun secara cepat dan di hubungkan sementara dengan pembentukan
respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel
limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosi CD8+
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan
steady-state beberapa bulan setelah infeksi . Kondisi ini bertahan relatif stabil selam
beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat
replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah
heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalm beberapa minggu setelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level
steady state. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat
melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus.
Patofisiologis
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan kerusakan
sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
27
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, di mulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun,
dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-pogresor).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan
gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dll.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahu tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi
yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut
penyakit HIV. Manifetasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan
mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid,
yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ.Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat ini disertai
Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya
tubuh masih bias mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 9 sel setiap
hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada
odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus
dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika
suntik , makin mudah terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus
HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga
dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif (Fauzi, 2005).
28
Manifestasi Klinik
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan
gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a
Gejala minor:
a
Dermatitis generalisata
Kandidias orofaringeal
Limfadenopati generalisata
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008), gejala
klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase:
a
Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada
orang lain.
Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
Ada beberapa Tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala
AIDS:
30
Tahapan HIV-AIDS
a
Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah
terbentuk antibody terhadap HIV
Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan
tubuhnya (rata-rata 8 tahun (di negara berkembang lebih pendek)
31
Tahap 4: AIDS
Hitung CD4
Kondisi klinis
non A, non C
Indikator kondisi
AIDS
A1
B1
C1
A2
B2
C2
A3
B3
C3
Peripheralneuropathy
Kategori C: kondisi yang terdaftar pada kasus AIDS surveillance.
Candidiasis of bronchi, trachea, atau paru
Candidiasis, esophageal
Cervical cancer, invasive
Coccidioidomycosis, disseminated atau extrapulmonary
Cryptococcosis, extrapulmonary
Cryptosporidiosis, chronic intestinal( > 1 bulan durasi)
Cytomegalovirus disease (selain hati, lien, maupun limfonodi)
Cytomegalovirus retinitis (dengan gangguan visus)
Encephalopathy, HIV-related
Herpes simplex: chronic ulcer (>1 bulan durasi); atau bronchitis, pneumonia, atau
esophagitis
Histoplasmosis, disseminated atau extrapulmonary
Isosporiasis, chronic intestinal( > 1 bulan durasi)
Kaposis sarcoma
Lymphoma, Burkitts
Lymphoma, primary, pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, disseminated atau extrapulmonary
Mycobacterium tuberculosis, (baik di dalam paru maupun extrapulmonary)
Mycobacterium, spesies lain maupun spesies yang tidak diketahui, disseminated atau
extrapulmonary
Pneumocystis carinii pneumonia
Pneumonia, recurrent
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Salmonella septicemia, recurrent
Toxoplasmosis of brain
Wasting syndrome oleh karena HIV
Diagnosis
Tes darah
Tes untuk mengetahui antibodi HIV pertama tersedia pada 1985. Baru setelah tes
dapat diperoleh, muncul berbagai pertanyaan tentang bagaimana cara memakai tes tersebut.
Umumnya, orang dapat dibagi dalam dua kubu: mereka yang setuju dengan tes secara
sukarela dan mereka yang mengusulkan tes wajib.
Gagasan wajib melakukan tes ditolak oleh sebagian besar negara akibat biaya dan
masalah logistik yang terkait. Tiga negara yang mewajibkan tes adalah Kuba (75 persen
warga dites), Bulgaria (45 persen dites) dan bekas Uni Soviet (30 persen). Karena HIV tidak
ditularkan melalui hubungan biasa sehari-hari (yaitu, bukan virus yang diangkut udara) tetapi
melalui perilaku tertentu, tes wajib untuk seluruh penduduk dilihat sangat mahal, secara
ilmiah tidak dapat dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil.
33
Di negara lain, kelompok tertentu dijadikan sasaran, sering kali tanpa persetujuan dari
yang bersangkutan. Kelompok ini mencakup narapidana, pekerja seks, pengguna narkoba
dalam tempat pemulihan, dan wanita hamil.
Penolakan terhadap tes HIV berarti program harus mengembangkan strategi untuk
membujuk orang yang berisiko terinfeksi HIV untuk melakukan tes HIV karena akan
bermanfaat untuk mereka.
Orang yang mengusulkan tes sukarela secara luas menganggap bahwa jika seseorang
mengetahui apakah ia terinfeksi HIV atau tidak akan menjadi unsur penting dalam
mendorong terjadinya perubahan. Berarti, orang dengan HIV akan menerapkan penggunaan
narkoba atau hubungan seks yang lebih aman untuk melindungi pasangannya, dan orang yang
memakai narkoba bersamanya. Untuk mereka yang HIV-negatif, akan mendorong perubahan
perilaku agar meyakinkan bahwa mereka tidak tertular HIV di masa yang akan datang.
Sebaliknya, ada yang menganggap bahwa setiap orang yang menggunakan narkoba
dengan jarum suntik dan melakukan seks yang tidak aman harus mengubah perilakunya,
terlepas apakah mereka HIV-positif atau tidak. Karena pesannya sama, tes tidak dibutuhkan
dan dapat meningkatkan perlakuan tidak adil, stigmatisasi dan pengucilan. Daripada
melakukan tes secara massal, mereka mengusulkan program pendidikan massal sebagai
gantinya. Banyak negara di Asia melakukan gabungan antara tes wajib, tes sukarela dan
surveilans sentinel.
8
Pencegahan
Gunakan selalu jarum suntik yang steril dan baru setiap kali akan melakukan
penyuntikan atau proses lain yang mengakibatkan terjadinya luka
Selalu menerapkan kewaspadaan mengenai seks aman (artinya : hubungan seks yang
tidak memungkinkan tercampurnya cairan kelamin, karena hal ini memungkinkan
penularan HIV)
Bila ibu hamil dalam keadaan HIV positif sebaiknya diberitahu tentang semua resiko
dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan bayinya,
sehingga keputusan untuk menyusui bayi dengan ASI sendiri bisa dipertimbangkan.
Setia (Melakukan prinsip monogami yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling
setia kepada pasangannya)
Semua alat yang menembus kulit dan darah (jarum suntik, jarum tato, atau pisau
cukur) harus disterilisasi dengan benar
Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan
orang lain
Pengobatan
Berbagai pengobatan telah diterapkan untuk penyembuhan AIDS. Yang banyak
dipraktikkan sampai saat ini adalah pengobatan dengan obat kimia (chemotherapy). Obatobat ini biasanya adalah inhibitor enzim yang diperlukan untuk replikasi virus, seperti
inhibitor reverse transcriptase dan protease.
Zidovudin-lebih dikenal dengan AZT-adalah obat AIDS yang pertama kali digunakan.
Obat yang merupakan inhibitor enzim reverse transciptase ini mulai digunakan sejak tahun
1987. Setelah itu dikembangkan inhibitor protease seperti indinavir, ritonavir, dan nelfinavir.
Sampai saat ini Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah mengizinkan
penggunaan sekitar 20 jenis obat-obatan.
Pada umumnya, pemakaian obat-obat ini adalah dengan kombinasi satu sama lainnya
karena pemakaian obat tunggal tidak menyembuhkan dan bisa memicu munculnya virus yang
resisten terhadap obat tersebut. Pemakaian obat kombinasi menjadi standar pengobatan AIDS
saat ini, yang disebut highly active antiretroviral threrapy (HAART). Walaupun demikian,
cara ini juga masih belum efektif.
Zidovudin (ZDV) : Merupakan analog nukleosida, dan bekerja pada enzim reverse
transcriptase. CDC telah menyarankan pemakaian obat ini untuk infeksi HIV.
Dosis: 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam @ 100 mg,
35
Didanosin (DDI) : Belum ada rekomendasi pemberian DDI sebagai terapi pertama,
melainkan dipakai bila penderita tidak toleran terhadap ZDV, atau sebagai pengganti
ZDV dimana ZDV sudah amat lama dipakai, atau bila pengobatan dengan ZDV
tidak mendapatkan hasil. Dosis: 2x100 mg, setiap 12 jam (BB<60 Kg) atau 2x125
mg, setiap 12 jam (BB>60 Kg)
dengan mengintroduksikan gen anti-HIV ke dalam sel yang terinfeksi HIV. Gen ini bisa
berupa antisense dari dari salah satu enzim yang diperlukan untuk replikasi virus tersebut
atau ribozyme yang berupa antisense RNA dengan kemampuan untuk menguraikan RNA
target. Antisense yang diintroduksikan dengan vektor akan menjalani proses transkripsi
menjadi RNA bersamaan dengan messenger RNA virus (mRNA). Setelah itu, RNA antisense
ini akan berinteraksi dengan mRNA dari enzim tersebut dan mengganggu translasi mRNA
sehingga tidak menjadi protein. Karena enzim yang diperlukan untuk replikasi tidak berhasil
diproduksi, otomatis HIV tidak akan berkembang biak di dalam sel. Sama halnya dengan
antisense, ribozyme juga menghalangi produksi suatu protein tapi dengan cara menguraikan
mRNA-nya
36
Pendekatan yang dilakukan dengan fokus RNA ini juga bagus dilihat dari segi
imunologi karena tidak mengakibatkan respons imun yang tidak diinginkan. Hal ini berbeda
dengan pendekatan melalui protein yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam
tubuh.
Untuk keperluan terapi gen seperti ini, dibutuhkan sistem pengiriman gen yang efisien
yang akan membawa gen hanya kepada sel yang telah dan akan diinfeksi oleh HIV. Selain itu,
sistem harus bisa mengekspresikan gen yang dimasukkan (gen asing) dan tidak
mengakibatkan efek yang berasal dari virus itu sendiri. Untuk memenuhi syarat ini, HIV itu
sendiri penjadi pilihan utama.
HIV sebagai vector
Pemikiran untuk memanfaatkan virus HIV sebagai vektor dalam proses transfer gen
asing ini diwujudkan pertama kali pada tahun 1991 oleh Poznansky dan kawan-kawan dari
Dana-Farber Cancer Institute Amerika. Setelah itu penelitian tentang penggunaan HIV
sebagai vektor untuk terapi gen berkembang pesat.
Wenzhe Ho dari The Children Hospital of Philadelphia bekerja sama dengan Julianna
Lisziewicz dari National Cancer Institute berhasil menghambat replikasi HIV di dalam sel
dengan menggunakan anti-tat, yaitu antisense tat protein (enzim yang esensial untuk replikasi
HIV). Sementara itu, beberapa grup juga berhasil menghambat perkembangbiakan HIV
dengan menggunakan ribozyme.
Hal yang penting lagi dalam sistem ini adalah tingkat ekspresi gen yang stabil. Dari
hasil percobaan dengan tikus, sampai saat ini telah berhasil dibuat vektor yang bisa
mengekspresikan gen asing dengan stabil dalam jangka waktu yang lama pada organ, seperti
otak, retina, hati, dan otot. Walaupun belum sampai pada aplikasi secara klinis, aplikasi
vektor HIV untuk terapi gen bisa diharapkan.
Hal ini lebih didukung lagi dengan penemuan small interfering RNA (siRNA) yang
berfungsi menghambat ekspresi gen secara spesifik. Prinsipnya sama dengan antisense dan
ribozyme, tapi siRNA lebih spesifik dan hanya diperlukan sekitar 20 bp (base pair) sehingga
lebih mudah digunakan.
37
Baru-baru ini David Baltimore dari University of California Los Angeles (UCLA)
berhasil menekan infeksi HIV terhadap human T cell dengan menggunakan siRNA terhadap
protein CCR5 yang merupakan co-receptor HIV. Dalam penelitian ini, HIV digunakan
sebagai sistem pengiriman gen.
Penatalaksanaan stadium lanjut
Pada stadium lanjut, tingkat imunitas penderita sudah sangat menurun dan banyak
komplikasi dapat terjadi, umunya berupa infeksi oportunistik yang mengancam jiwa
penderita.
Zidovudin (ZDV)
Pada stadium lanjut ZDV juga cukup banyak memberikan manfaat. Pada keadaan
penyakit yang berat dosis ZDV diperlukan lebih tinggi, agar dapat menembus ke susunan
syaraf pusat (SSP). Dosis dan pemberian belum ada kesepakatan, tetapi sebagai dosis awal
pada penderita dengan berat badan 70 Kg, diberikan ZDV 1000 mg, dalam 4-5 kali
pemberian.
Pengobatan infeksi oportunistik
Infeksi HIV merupakan infeksi kronis yang kompleks sehingga memerlukan
perawatan multidisipliner, para spesialis, konselor dan kelompok-kelompok pendukung
lainnya. Umumnya pada stadium yang lebih lanjut lanjut, bila sekali muncul infeksi maka
jarang bersifat tunggal tetapi beberapa macam infeksi bersamaan. Keadaan ini memerlukan
pengobatan yang rumit. Bila sudah timbul keadaan yang demikian maka sebaiknya
penanganan penderita dilakukan oleh sebuah tim.
Perawatan fase terminal
Sampai saat ini dapat dinyatakan bahwa AIDS adalah penyakit fatal, belum dapat
disembuhkan. Oleh karena itu penderita yang kita rawat akhirnya akan sampai pada fase
terminal sebelum datangnya kematian.
38
Pada fase terminal, dimana penyakit sudah tak teratasi, pengobatan yang diberikan
hanyalah bersifat simptomatik dengan tujuan agar penderita merasa cukup enak, bebas dari
rasa mual, sesak, mengatasi infeksi yang ada dan mengurangi rasa cemas.
Trimethoprim+sulfamethoksasol+dapson
Toxoplasma gondii
Candidiasis
Cryptococcus Neoformans
Histoplasmosis
Coccidioidomycosis
Mycobacterium tuberculosis
Pyrimetamin+sulfadiazine
Flukonazol atau Amphotericine B IV
Amphotericine B IV
Amphotericine B
Amphotericine B
Triple drug sekurangnya 9 bulan. Bila
dengan double drug (tanpa isoniazid atau
rifampisin) pengobatan harus diberikan
minimal 18 bulan.
Herpes virus
Cytomegalo virus
Cryptoccocc sporidiosis
Aksiklovir
Ganciclovir, Foscarnet
Somastitatin analogues
39
Isosporiasis
Multifocl leukoenselopati
Trimethoprim+Sulfamethoksazol
Aksiklovir, Sitarabin
progresif
Kanker oportunistik:
Kaposi
Limfoma Non Hodgkin
B Gastroenteritis
1
Definisi
Epidemiologi
Insiden diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap
tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare.
Meskipun penelitian epidemiologis mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi
komunitas di Bangladesh menunjukan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare
persisten masih belum menurun secara bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di
Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1% dengan angka kejadian tertinggi
pada anak-anak berusia 6-11 bulan (Walker, 2002).
3
Etiologi
Diare kronik dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun sering tidak ditemukan
penyebab spesifiknya. Diare kronik pada masa bayi dapat disebabkan oleh sindrom
malabsorpsi pasca gastroenteritis, intoleransi susu sapi/protein kedelai, defisiensi disakaridase
sekunder, atau fibrosis kistik. Pada masa kanak-kanak, etiologi diare kronik antara lain diare
kronik non spesifik, defisiensi disakaridase sekunder, giardiasis, sindrom malabsorpsi
gastroenteritis, penyakit celiac (gluten-sensitive enteropathy), atau fibrosis kistik. Pada masa
adolesen, etiologi diare kronik antara lain irritable bowel syndrome, inflammatory bowel
disease, giardiasis, ataupun intoleransi laktosa.
Klasifikasi penyebab diare kronik (Sujono Hadi, 2002):
1
c
2
3
2
Patogenesis
41
42
Diare Infeksius
Defisiensi imun
Infeksi diare yang berulang
Malnutrisi mikronutrien
(mis. Zinc dan vit A)
Diare berkepanjangan
Gambar 1. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Sumber: Bhutta
Gambar 1 menunjukan perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan
bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrien, dan ketidaktepatan
terapi terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged
diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki
konsekuensi enteropati dan malabsorbsi nutrisi lebih lanjut.
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah faktor intralumen dan faktor
mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk
gangguan pankreas, hepar, dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang
mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses
yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada
fungsi transport protein. (Walker, 2002).
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh
Ghishan, dengan membagi menjadi 5 mekanisme: sekretoris, osmotik, mutasi protein
transport membran apikal, pengurangan luas permukaan anatomi, dan perubahan motilitas
usus.
a
Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat
mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca 2+. Mediator tersebut juga mencegah
terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel villi usus. Hal ini berakibat cairan tidak
43
dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara massif ke lumen usus. Diare dengan
mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (> 200 ml/24 jam),
konsistensi tinja yang sangat cair, konsentrasi ion Na + dan Cl- >70 mEq, dan tidak berespon
terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholera
dimana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah
disebutkan sebelumnya.
b Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses
pencernaan dan/atau penyerapan nutrient dalam usus halus sehingga zat tersebut akan
langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen
usus sehinga menarik cairan ke dalam lumen usus. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah
diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi
maupun non-infeksi yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan latosa
terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini
kemungkinan akan dimanifestasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat.
Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH <5, bereaksi positif terhadap
substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.
c
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion
Cl-/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan absorpsi
Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak tersekresi. Kemudian mengganggu proses absorpsi Na+.
Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme
osmotik. Kadar klorida serum rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi.
d Pengurangan Luas Permukaan Anatomi Usus
Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti
necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn, dan lain-lain,
diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan
short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan
elektrolit yang massif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.
e
sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf
otonom, misalnya saraf adrenergik yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori
dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjadinya
diare.
Patogenesis terjadinya proses diare kronik sangat kompleks dan multipel. Patogenesis
utama pada diare kronik adalah kerusakan mukosa usus, yang menyebabkan gangguan digesti
dan transportasi nutrien melalui mukosa.
Defisiensi Imun
Laktase
Protease
Malnutrisi
Hepar
dekonjugasi &
dehidroksilasi asam
empedu
ATP-ase
Atrofi mukosa
lambung & villi usus
Gastrin, HCl, pepsin,
sekretin
Maldigesti/
malabsorpsi
nutrien
Sekresi &
motilitas
Tekanan osmotik
koloid
Diare Kronik
Pankreas
Pankreozimin &
polipeptida pankreas
Absorpsi
protein asing
Alergi
sensitisasi
45
Diagnosis
Anamnesa
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antra lain
berapa lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat
pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian
obat dan adanya penyakit sistemik. Anamnesis pada diare kronik sangat penting bukan
saja untuk mengetahui lamanya diare tetapi juga untuk mengungkap etiologi diare kronik,
derajat beratnya malabsorpsi, menemukan penyakit yang mendasari terjadinya diare
kronik, menentukan derajat malnutrisi, dan failure to thrive. Status nutrisi penderita
harusdiidentifikasi melalui anamnesis makanan dalam tiga hari terakhir. Hal-hal yang
perlu ditanyakan antara lain onset dan durasi diare; gambaran feses dan faktor-faktor yang
memperberat/memperingan; kualitas feses (warna, bau, konsistensi,volume, adanya
darah/lendir/makanan yang tidak dicerna); adanya demam atau gejala-gejala lain yang
berhubungan; riwayat gastroenteritis, konstipasi, riwayat pneumonia sebelum onset diare
kronik; riwayat perjalanan atau paparan infeksi; riwayat pengobatan; atau riwayat
keluarga. Penderita juga dianamnesis tentang jumlah dan jenis cairan yang diminum
setiap hari. Diare non spesifik kronik perlu dicurigai pada penderita yang banyak minum
cairan berkarbonat atau jus buah-buahan >150 mL/kg/24 jam dan tidak disertai gangguan
pertumbuhan dan parameter tinggi badan.
b
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada
penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak. Pada pemeriksaan
fisik perlu dievaluasi status hidrasi penderita, berat badan, tinggi badan, indikator
pertumbuhan; kulit apakah disertai edema, ikterus, pucat, rash kemerahan, jari tabuh;
paru-paru apakah disertai mengi atau crackles; abdomen apakah nyeri, adanya massa
(feses, abses, tumor, organomegali); dan rektum apakah disertai tanda-tanda penyakit
perianal, prolaps rekti, hirschprung ,atau konstipasi.
c
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah
46
Pemeriksaan Tinja
Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes
fecal elatase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5
atau adanya substansi yang mereduksi pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan
kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan
sebelumnya. Kultur tinja diperlukan unutk menyingkirkan kemungkinan infeksi
protozoa, seperti giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian
diare persisten.
Pemeriksaan feses merupakan langkah penting dalam investigasi diare kronik.
Bagian feses yang paling penting untuk diperiksa adalah cairan yang terkandung
dalam feses. Spesimen feses harus disimpan dalam kulkas sebelum dilakukan
pemeriksaan. Untuk pemeriksaan kultur feses dianjurkan menggunakan specimen
feses segar. Adanya darah dalam pemeriksaan makroskopis feses menandakan
inflamasi kolon. Warna feses sangat penting dianalisis kecuali disertai darah.
Occult testing bermanfaat untuk mengetahui adanya perdarahan mikroskopik.
Pada pemeriksaan mikroskopik juga perlu diperiksa adanya leukosit, telur/parasite
seperti Giardia, amuba, atau kriptosporidia
Terapi
Rehidrasi enteral/parenterala.
a
Tanpa malnutrisi
Dengan malnutrisi
Cairan yang diberikan adalah resomal, bila perlu dengan sonde. Infus hanya
diberikan dalam keadaan dehidrasi berat/syok dan muntah yang tidak terkendali. Cairan
infus yang digunakan untuk penderita diare kronik dengan malnutrisi adalah DG 10%
(banyak mengandung kalium). Pantau ketat untuk mencegah kelebihan cairan dengan
perhatian khusus pada tanda-tanda edema dan produksi urin.
2
Terapi nutrisi
Tujuan terapi nutrisi pada penderita diare kronik adalah agar pertumbuhan dan
perkembangan tetap berlangsung optimal. Nutrisi sedapat mungkin diberikan per oral
karena lebih murah, efek samping minimal, dan rehabilitasi mukosa jauh lebih cepat dan
sempurna bila diberikan nutrisi intraluminal. Nutrisi yang diberikan harus lengkap,
berkualitas tinggi, dan mudah dicerna mengingat adanya maldigesti/malabsorpsi yang
kemungkinan dialami penderita. Makanan yang diberikan sedikit-sedikit tapi sering.
.
3
Medikamentosa.
a
Antibiotika
Obat antidiare
1 Adsorben
Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholesteramine). Obat ini
untuk pengobatan diare atas dasar kemampuanya untuk mengikat dan menginaktifasi
toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai
kemampuan melindungi mukosa usus.
2 Antimotilitas
Contoh loperamidhydrocloride, diphenoxylate dengan atropine, tincture opiii,
paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang
dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat
menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang
infeksi dengan memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek
sedative pada dosis normal. Tidak satupun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada
bayi dan anak dengan diare.
3 Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak
dngan diare akut sebanya 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.
5
Diare kronis merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada
penderita HIV. Studi Zaire menunjukan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih
tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang
meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten
adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien
HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006)
mengemukakan bahwa skrining yang dilkukan di India menunukan 4,1% anak dengan
diare persisten berstatus HIV seropositif.
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare belum diketahui secara
jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status
imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD 4, IgA sekretorik, dan
peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.
49
Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri, dan parasit dapat menyebabkan diare
persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak
dijumpai pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica
(17,1%). Insidensi infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD 4 yang
rendah. Schmidt (1997) mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak
penyebab diare perssiten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan
pengurangan luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada
pasien-pasien HIV tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase
lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis. Grohmann et al (1993)
menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan Adenovirus adalah
enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.
b
menstimulasi sekresi usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat
menyebabkan gangguan pada absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada
pancreatic cholera, terbentuk neoplasma sel endokrin pada pankreas yang
menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu terjadinya sekresi berlebihan di
usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid yang mensekresi serotonin,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang kesemuanya menstimulus proses
sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin yang
menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut
mengalami diare. Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping
kemoterapi. Kemoterapi menyebabkan peradangan membran mukosa traktus
gastrointestinal (mukositis). Agen-agen kemoterapi yangs erring berkaitan dengan
diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan. 5-Fluorouracil menginduksi diare melalui
peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi, sehingga meningkatkan sekresi cairan
ke lumen usus.
50
Daftar Pustaka
1. Wiryani Ngp, Wibawa Dn. Pendekatan Diagnostik Dan Terapi Diare Kronis. 2007.
Jurnal Penyakit Dalam Volume 8 Nomor 1. Denpasar.
2. Abdullah Murdani, Firmansyah M. Adi. Clinical Approach and Management of
Chronic Diarrhea. 2013. Acta Medica Indonesiana - The Indonesian Journal of
Internal Medicine. Jakarta
3. Thomas P D, Forbes A, Green J, Howdle P et al. Guidelines for the investigation of
chronic diarrhoea, 2nd edition. 2003.
4. Simadibarata M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Pendekatan Diagnosis
Diare Kronis. Jakarta: PUsat Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2010. P. 534-7.
51