Fragment B berfungsi sebagai subunit pengenal yang membantu penetrasi toxin ke dalam
sel host dengan berikatan dengan EGF-like domain dari heparin binding EGF-like growth
factor pada permukaan sel.--> memberikan signal agar toxin masuk melalui endosome
via receptor-mediated endocytosis di dalam endosome, toxin terbelah menjadi
fragment A dan B keasaman endosome membuat fragment B membuat suatu celah di
membrane endosome fragment A keluar ke sitoplasma.
A segment aktif
Kerja toxin yaitu pada sel di seluruh bagian tubuh, tapi paling sering di jantung
(miokarditis), saraf(demielinisasi), ginjal (nekrosis tubular).
Selain itu, infeksi pada sel –sel jantung dapat menyebabkan kerusakan otot jantung
(miokarditis) yang dapat menyebabkan aritmia atau gangguan irama jantung
1. Pertanyaan: Apa efek ke janin pada ibu hamil dengan difteri? (Trisakti)
Jawaban: Difteri pada saluran pernafasan dan vulvovaginal dapat terjadi pada ibu hamil
trimester berapapun. Difteri yang terjadi pada kehamilan dapat menyebabkan prematuritas
hingga kematian janin. Pada wanita post partum dengan difteri saluran nafas dapat
menyebabkan penyebaran C. diphtheria pada neonatus-nya. Dan belum ada banyak data
mengenai penggunaan antitoksin difteri ini pada ibu hamil. Sehingga penggunaannya jika
hanya sangat dibutuhkan saja dan harus dengan pengawasan dokter. Untuk mencegah
difteri pada ibu hamil, semua ibu hamil harus menerima vaksinasi Tdap yang dapat
dilakukan antara minggu ke 27 dan 36 kehamilan.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi.
Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin
¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Nasal difteria : Common cold, bila secret yg dihasilkan serosanguinous atau purulent
harus dibedakan dari benda asing, sinusitis, adenoiditis, congenital syphilis
Tonsilar atau dan pharyngeal diphtheria : Praryngitis oleh streptococcus (rasa sakit
hebat,temperature tunggi, membrane yg tidak lengket pada lesi), infeksi monocleosis
(disertai lympadenopathy dan splenomegali)
Jawaban: Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (kisaran,1-10 hari). Penyakit ini dapat melibatkan
hampir semua selaput lendir. Untuk Tujuan klinis, lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri
ke dalam sejumlah manifestasi, tergantung pada situs anatomi penyakit.
Anterior Nasal Difteri : tidak dapat dibedakan dari flu biasa dan biasanya ditandai dengan
cairan hidung mucopurulen (mengandung lendir dan nanah) yang bisa menjadi darah.
Membran berwarna putih biasanya terbentuk pada septum hidung. Penyakit biasanya
cukup ringan karena adanya penyerapan toksin di lokasi ini, dan bisa diakhiri dengan
cepat dengan terapi antibiotik.
Pharyngeal dan Tonsillar Difteria: tempat yang paling umum dari infeksi difteri adalah
faring dan tonsil. Infeksi di situs ini biasanya terkait dengan penyerapan toksik sistemik
yang substansial. Awitan faringitis itu berbahaya. Gejala awal termasuk malaise, sakit
tenggorokan, anoreksia, dan demam ringan (<101 ° F). Dalam 2-3 hari, terbentuk selaput
putih kebiru-biruan dan memanjang, bervariasi dalam ukuran dari menutupi patch kecil
tonsil hingga menutupi sebagian besar palattum mole. Kadang disertai eritema mukosa
yang mengelilingi membran. Pseudomembrane sangat melekat pada jaringan, dan Upaya
paksa untuk menghilangkannya menyebabkan pendarahan. Luas formasi
pseudomembrane dapat menyebabkan obstruksi pada pernafasan. Sementara beberapa
pasien mungkin sembuh pada saat ini tanpa Pengobatannya, yang lain bisa terkena
penyakit berat. Demam adalah Biasanya tidak tinggi. Pasien dengan penyakit berat dapat
berkembang ditandai edema daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan
limfadenopati, memberikan karakteristik "bullneck". Jika racun cukup diserap, maka
Pasien bisa mengalami kelesuan yang parah, denyut nadi ccepat, pingsan, dan koma, dan
bahkan mungkin meninggal dalam waktu 6 sampai 10 hari.
Laryngeal Difteria : Difteria laring dapat berupa perpanjangan dari bentuk faring atau
hanya bisa melibatkan situs ini. Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk
menggonggong. Membran dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas, koma, dan
kematian.
Cutaneous (Skin) Diphtheria : Di Amerika Serikat, difteri kulit paling banyak sering dikaitkan
dengan tunawisma. Infeksi kulit adalah cukup umum di daerah tropis dan mungkin bertanggung
jawab untuk tingkat tinggi kekebalan alami yang ditemukan di dalamnya populasi. Infeksi kulit
dapat dimanifestasikan oleh scaling ruam atau borok dengan tepi dan membran yang jelas,
namun ada lesi kulit kronis yang mungkin ada di dalamnya C. diphtheriae bersama dengan
organisme lainnya. Umumnya, organisme yang diisolasi dari kasus di Amerika Serikat adalah
tidak beracun. Tingkat keparahan penyakit kulit dengan strain toksigenik tampaknya kurang dari
pada tempat yang lain
Nurlaila (Trisakti)
1) Td (Tetanus dan difteri): Vaksin yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai
booster setiap 10 tahun sekali atau setelah terkena paparan tetanus dalam beberapa
situasi.
2) Tdap (Tetanus, difteri dan pertusis): Tdap harus diberikan sebagai penguat satu kali
menggantikan Td.
Dapat diberikan untuk remaja usia 11sampai 18 tahun (sebaiknya pada usia 11-12 tahun) dan
orang dewasa 19 tahun atau lebih tua harus menerima dosis tunggal Tdap. Tdap juga harus
diberikan kepada anak-anak berusia 7 sampai 10 tahun yang tidak sepenuhnya diimunisasi
terhadap pertusis.
Tdap sangat penting bagi mereka yang berhubungan dekat dengan bayi. Wanita hamil harus
menerima dosis Tdap selama setiap kehamilan, sebaiknya pada usia 27 sampai 36 minggu untuk
memaksimalkan jumlah antibodi yang ditransferkan ke janin supaya memberi perlindungan pada
janin setelah bayi dilahirkan selama beberapa bulan lahir. Vaksin tersebut dapat diberikan
dengan aman setiap saat selama kehamilan. Ibu baru yang belum pernah mendapat Tdap harus
mendapat dosis sesegera mungkin setelah melahirkan. Tdap bisa diberikan kapan pun vaksin Td
(tetanus-difteri) terakhir diterima.
Terdapat 2 sediaan vaksin Tdap: 1) Boostrix diberikan untuk remaja usai 10 tahun ke atas
dan direkomendasikan untuk usia 65 tahun ke atas. 2) Sediaan Adacel diberikan untuk usia 11
sampai 64 tahun
Jawaban:
Kultur bakteri (media tellurite atau Loeffler) dari swab hidung, pseudomembran, ulkus,
kripta tonsil, dan faring
Elek test (tes toksin)
PCR
Darah rutin leukositosis
Urinalisis proteinuria
Serum troponin I miokarditis
Serum antibodi terhadap toksin difteri (0,1-0,01 IU)
Jawaban : Tatalaksana
Antitoksin
Berikan 40 000 unit ADS IM atau IV sesegera mungkin, karena jika terlambat akan
meningkatkan mortalitas.
Antibiotik
Pada pasien tersangka difteri harus diberi penisilin prokain dengan dosis 50 000 unit/kgBB
secara IM setiap hari selama 7 hari.
Karena terdapat risiko alergi terhadap serum kuda dalam ADS maka perlu dilakukan tes kulit
untuk mendeteksi reaksi hipersensitivitas dan harus tersedia pengobatan terhadap reaksi
anafilaksis.
Oksigen
Tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah merupakan indikasi
dilakukan trakeostomi (atau intubasi) daripada pemberian oksigen. Penggunaan nasal prongs
atau kateter hidung atau kateter nasofaring dapat membuat anak tidak nyaman dan mencetuskan
obstruksi saluran respiratorik.
Walaupun demikian, oksigen harus diberikan, jika mulai terjadi obstruksi saluran respiratorik
dan perlu dipertimbangkan tindakan trakeostomi.
Trakeostomi/Intubasi
Trakeostomi hanya boleh dilakukan oleh ahli yang berpengalaman, jika terjadi tanda obstruksi
jalan napas disertai gelisah, harus dilakukan trakeostomi sesegera mungkin. Orotrakeal intubasi
oratrakeal merupakan alternatif lain, tetapi bisa menyebabkan terlepasnya membran, sehingga
akan gagal untuk mengurangi obstruksi.
Perawatan penunjang
Jika anak demam (≥ 39º C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri parasetamol.
Bujuk anak untuk makan dan minum. Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa nasogastrik.
Hindari pemeriksaan yang tidak perlu dan gangguan lain pada anak.
b. Segera ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat apabila ada anak mengeluh nyeri
tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor), khususnya anak berumur
< 15 tahun.
c. Anak harus segera dirawat di rumah sakit apabila dicurigai menderita difteria agar
segera mendapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan apakah
anak benar menderita difteria.
d. Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus segera
diperiksa oleh dokter apakah mereka juga menderita atau karier (pembawa kuman) difteri
dan mendapat pengobatan (eritromisin 50mg/kg berat badan selama 5 hari).
e. Anggota keluarga yang telah dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan
interval masing-masing 4 minggu.
Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang
belum diberikan, tidak perlu diulang),
Apabila telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu ditambah imunisasi DPT
ulangan 1x.
f. Masyarakat harus mengetahui dan memahami bahwa setelah imunisasi DPT, kadang-
kadang timbul demam, bengkak dan nyeri ditempat suntikan DPT, yang merupakan
reaksi normal dan akan hilang dalam beberapa hari. Bila anak mengalami demam atau
bengkak di tempat suntikan, boleh minum obat penurun panas parasetamol sehari 4 x
sesuai umur, sering minum jus buah atau susu, serta pakailah baju tipis atau segera
berobat ke petugas kesehatan terdekat.
- Rawat penderita diruangan isolasi dengan perawat yang telah diimunisasi terhadap difteri
Jika ada penderita difteri dalam satu rumah, maka yang harus dilakukan terhadap keluarga untuk
mencegah terjadinya penularan adalah :