Anda di halaman 1dari 10

Brenda Elmina Japar: (UNTAR)

1. Pertanyaan : Bagaimana mekanisme kerja toxin difteri? (UNISSULA)


Jawaban:
Toxin difteri memiliki 2 macam ikatan peptide, fragment A dan B yang diikat oleh ikatan
disulfida.

Fragment B berfungsi sebagai subunit pengenal yang membantu penetrasi toxin ke dalam
sel host dengan berikatan dengan EGF-like domain dari heparin binding EGF-like growth
factor pada permukaan sel.--> memberikan signal agar toxin masuk melalui endosome
via receptor-mediated endocytosis di dalam endosome, toxin terbelah menjadi
fragment A dan B keasaman endosome membuat fragment B membuat suatu celah di
membrane endosome fragment A keluar ke sitoplasma.

C. diptheriae bukan merupakan organisme yang invasive, menginfeksi pada lapisan


superfisial dan mukosa sal. Napas dan lesi kulit yang dapat menginduksi rekasi inflamasi
pada jaringan lokal. Virulensi dari C. diptheriae berasal dari kerja exotoxin yang
menghambat protein pada sel berinti .

Toxin C.diptheriae memiliki 2 segment:

B berikatan dg reseptor spesifik pada permukaan sel host

A segment aktif

Setelah terjadi kebocoran proteolitic segmen A masuk ke dalam sel  inaktivasi


transfer RNA (tRNA) pada sel eukariotik  hambatan interaksi RNA dan tRNA
terhambatnya pembentukan rantai asam amino

Kerja toxin yaitu pada sel di seluruh bagian tubuh, tapi paling sering di jantung
(miokarditis), saraf(demielinisasi), ginjal (nekrosis tubular).

2. Pertanyaan: Apa kegawatdaruratan infeksi difteri yang paling sering menyebabkan


kematian? (UNISSULA)
Jawaban:
Kegawatdaruratan Infeksi difteri
Infeksi difteri pada aluran napas dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang dapat
menyebabkan kematian bila tidak di tangani segera

Selain itu, infeksi pada sel –sel jantung dapat menyebabkan kerusakan otot jantung
(miokarditis) yang dapat menyebabkan aritmia atau gangguan irama jantung

Gishelly Marcella H (UNTAR)

1. Pertanyaan: Apa efek ke janin pada ibu hamil dengan difteri? (Trisakti)
Jawaban: Difteri pada saluran pernafasan dan vulvovaginal dapat terjadi pada ibu hamil
trimester berapapun. Difteri yang terjadi pada kehamilan dapat menyebabkan prematuritas
hingga kematian janin. Pada wanita post partum dengan difteri saluran nafas dapat
menyebabkan penyebaran C. diphtheria pada neonatus-nya. Dan belum ada banyak data
mengenai penggunaan antitoksin difteri ini pada ibu hamil. Sehingga penggunaannya jika
hanya sangat dibutuhkan saja dan harus dengan pengawasan dokter. Untuk mencegah
difteri pada ibu hamil, semua ibu hamil harus menerima vaksinasi Tdap yang dapat
dilakukan antara minggu ke 27 dan 36 kehamilan.

2. Pertanyaan: Apakah Difteri dapat berulang? (UNISSULA)


Jawaban: Difteri dapat terjadi berulang kali karena titer antibodi yang dibentuk oleh
individu yang terkena difteri dapat turun, begitu halnya pada individu yang diberi vaksin
sehingga vaksinasi harus diberikan berulang.

Fidel Hermanto (UNTAR)

1. Pertanyaan: Penyebab Difteri? (Trisakti)


Jawaban: Corynebacterium diphtheria, bakteri aerobik gram positif. Bakteri tersebut
merupakan basilus gram positif, tidak berkapsul, dan non-motil yang mengeluarkan
eksotoksin yang menimbulkan gangguan sistem penafasan atas.

2. Pertanyaan: Jadwal imunisasi anak? (Trisakti)


Jawaban: Jadwal imunisasi anak : DTPw: 2,3,4 bulan atau DTPa: 2,4,6 bulan
Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap
Booster : 18 bulan, 5 tahun
Booster Td/Tdap : 10-12 tahun
Booster Td : setiap 10 tahun
Sumber: jadwal imunisasi IDAI 2017

Louis Tengdyantono (UNTAR)

1. Pertanyaan: Apa manajemen emergensi pada pasien difteri? (UNISSULA)


Jawaban: Pemberian kortikosteroid untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis
yang sangat membahayakan, dengan memberikan prednison 2mg/kgBB/hari selama 3-4
minggu.

Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi.

Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin
¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.

2. Pertanyaan: Jelaskan mengenai klasifikasi difteri berdasarkan tingkat keparahannya?


(Trisakti)
Jawaban:
A. Infeksi ringan : bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
B. Infeksi sedang : bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang
rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
C. Infeksi berat : bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis
(radang ginjal).

Renata Eka Nindya Anggadewi (Trisakti)

1. Pertanyaan: Cara penularan difteri ? (UNTAR)


Jawaban: Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun carrier. Penularan difteri melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
(2-5 hari) atau kontak dengan carrier, melalui pernafasan atau droplet infection.

Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute:


1. Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap air
yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri tersebut.
2. Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi
seperti gelas yang belum dicuci.
3. Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-barang
rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau
mainan.Selain itu, dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh
luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum
diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu – bahkan jika
mereka tidak menunjukkan gejala apapun

2. Pertanyaan : Diagnosa banding difteri? (UNISSULA)


Jawaban:

 Nasal difteria : Common cold, bila secret yg dihasilkan serosanguinous atau purulent
harus dibedakan dari benda asing, sinusitis, adenoiditis, congenital syphilis

 Tonsilar atau dan pharyngeal diphtheria : Praryngitis oleh streptococcus (rasa sakit
hebat,temperature tunggi, membrane yg tidak lengket pada lesi), infeksi monocleosis
(disertai lympadenopathy dan splenomegali)

 Laryngeal diphtheria : Spasmodik dan non spasmodic croup, acute epiglottis,laringo-


tracheo bronchitis. aspirasi benda asing, pharyngeal dan retripharyngeal abscess,
laryngeal papilloma

Bertvi Mayda Putri A (Trisakti)

1. Pertanyaan: Bagaimana gejala penyakit difteri? (UNTAR)

Jawaban: Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (kisaran,1-10 hari). Penyakit ini dapat melibatkan
hampir semua selaput lendir. Untuk Tujuan klinis, lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri
ke dalam sejumlah manifestasi, tergantung pada situs anatomi penyakit.

 Anterior Nasal Difteri : tidak dapat dibedakan dari flu biasa dan biasanya ditandai dengan
cairan hidung mucopurulen (mengandung lendir dan nanah) yang bisa menjadi darah.
Membran berwarna putih biasanya terbentuk pada septum hidung. Penyakit biasanya
cukup ringan karena adanya penyerapan toksin di lokasi ini, dan bisa diakhiri dengan
cepat dengan terapi antibiotik.
 Pharyngeal dan Tonsillar Difteria: tempat yang paling umum dari infeksi difteri adalah
faring dan tonsil. Infeksi di situs ini biasanya terkait dengan penyerapan toksik sistemik
yang substansial. Awitan faringitis itu berbahaya. Gejala awal termasuk malaise, sakit
tenggorokan, anoreksia, dan demam ringan (<101 ° F). Dalam 2-3 hari, terbentuk selaput
putih kebiru-biruan dan memanjang, bervariasi dalam ukuran dari menutupi patch kecil
tonsil hingga menutupi sebagian besar palattum mole. Kadang disertai eritema mukosa
yang mengelilingi membran. Pseudomembrane sangat melekat pada jaringan, dan Upaya
paksa untuk menghilangkannya menyebabkan pendarahan. Luas formasi
pseudomembrane dapat menyebabkan obstruksi pada pernafasan. Sementara beberapa
pasien mungkin sembuh pada saat ini tanpa Pengobatannya, yang lain bisa terkena
penyakit berat. Demam adalah Biasanya tidak tinggi. Pasien dengan penyakit berat dapat
berkembang ditandai edema daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan
limfadenopati, memberikan karakteristik "bullneck". Jika racun cukup diserap, maka
Pasien bisa mengalami kelesuan yang parah, denyut nadi ccepat, pingsan, dan koma, dan
bahkan mungkin meninggal dalam waktu 6 sampai 10 hari.
 Laryngeal Difteria : Difteria laring dapat berupa perpanjangan dari bentuk faring atau
hanya bisa melibatkan situs ini. Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk
menggonggong. Membran dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas, koma, dan
kematian.

Cutaneous (Skin) Diphtheria : Di Amerika Serikat, difteri kulit paling banyak sering dikaitkan
dengan tunawisma. Infeksi kulit adalah cukup umum di daerah tropis dan mungkin bertanggung
jawab untuk tingkat tinggi kekebalan alami yang ditemukan di dalamnya populasi. Infeksi kulit
dapat dimanifestasikan oleh scaling ruam atau borok dengan tepi dan membran yang jelas,
namun ada lesi kulit kronis yang mungkin ada di dalamnya C. diphtheriae bersama dengan
organisme lainnya. Umumnya, organisme yang diisolasi dari kasus di Amerika Serikat adalah
tidak beracun. Tingkat keparahan penyakit kulit dengan strain toksigenik tampaknya kurang dari
pada tempat yang lain
Nurlaila (Trisakti)

1.Pertanyaan: Vaksin difteri untuk dewasa: (UNISSULA)

1) Td (Tetanus dan difteri): Vaksin yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai
booster setiap 10 tahun sekali atau setelah terkena paparan tetanus dalam beberapa
situasi.
2) Tdap (Tetanus, difteri dan pertusis): Tdap harus diberikan sebagai penguat satu kali
menggantikan Td.

Dapat diberikan untuk remaja usia 11sampai 18 tahun (sebaiknya pada usia 11-12 tahun) dan
orang dewasa 19 tahun atau lebih tua harus menerima dosis tunggal Tdap. Tdap juga harus
diberikan kepada anak-anak berusia 7 sampai 10 tahun yang tidak sepenuhnya diimunisasi
terhadap pertusis.

Tdap sangat penting bagi mereka yang berhubungan dekat dengan bayi. Wanita hamil harus
menerima dosis Tdap selama setiap kehamilan, sebaiknya pada usia 27 sampai 36 minggu untuk
memaksimalkan jumlah antibodi yang ditransferkan ke janin supaya memberi perlindungan pada
janin setelah bayi dilahirkan selama beberapa bulan lahir. Vaksin tersebut dapat diberikan
dengan aman setiap saat selama kehamilan. Ibu baru yang belum pernah mendapat Tdap harus
mendapat dosis sesegera mungkin setelah melahirkan. Tdap bisa diberikan kapan pun vaksin Td
(tetanus-difteri) terakhir diterima.

Terdapat 2 sediaan vaksin Tdap: 1) Boostrix diberikan untuk remaja usai 10 tahun ke atas
dan direkomendasikan untuk usia 65 tahun ke atas. 2) Sediaan Adacel diberikan untuk usia 11
sampai 64 tahun

Windhi Dayanara (UNISSULA)

1. Pertanyaan: Pemeriksaan laboratorium Difteri? (UNTAR)

Jawaban:
 Kultur bakteri (media tellurite atau Loeffler) dari swab hidung, pseudomembran, ulkus,
kripta tonsil, dan faring
 Elek test (tes toksin)
 PCR
 Darah rutin  leukositosis
 Urinalisis  proteinuria
 Serum troponin I  miokarditis
 Serum antibodi terhadap toksin difteri (0,1-0,01 IU)

2. Pertanyaan :Bagaimana manajemen penyakit difteri? (UNTAR)

Jawaban : Tatalaksana

Antitoksin

Berikan 40 000 unit ADS IM atau IV sesegera mungkin, karena jika terlambat akan
meningkatkan mortalitas.

Antibiotik

Pada pasien tersangka difteri harus diberi penisilin prokain dengan dosis 50 000 unit/kgBB
secara IM setiap hari selama 7 hari.

Karena terdapat risiko alergi terhadap serum kuda dalam ADS maka perlu dilakukan tes kulit
untuk mendeteksi reaksi hipersensitivitas dan harus tersedia pengobatan terhadap reaksi
anafilaksis.

Oksigen

Hindari memberikan oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran respiratorik.

Tanda tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat dan gelisah merupakan indikasi
dilakukan trakeostomi (atau intubasi) daripada pemberian oksigen. Penggunaan nasal prongs
atau kateter hidung atau kateter nasofaring dapat membuat anak tidak nyaman dan mencetuskan
obstruksi saluran respiratorik.
Walaupun demikian, oksigen harus diberikan, jika mulai terjadi obstruksi saluran respiratorik
dan perlu dipertimbangkan tindakan trakeostomi.

Trakeostomi/Intubasi

Trakeostomi hanya boleh dilakukan oleh ahli yang berpengalaman, jika terjadi tanda obstruksi
jalan napas disertai gelisah, harus dilakukan trakeostomi sesegera mungkin. Orotrakeal intubasi
oratrakeal merupakan alternatif lain, tetapi bisa menyebabkan terlepasnya membran, sehingga
akan gagal untuk mengurangi obstruksi.

Perawatan penunjang

Jika anak demam (≥ 39º C) yang tampaknya menyebabkan distres, beri parasetamol.

Bujuk anak untuk makan dan minum. Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa nasogastrik.

Hindari pemeriksaan yang tidak perlu dan gangguan lain pada anak.

Arif Wicaksana (UNISSULA)

1. Pertanyaan : Bagaimana edukasi difteri untuk masyarakat awam? (UNTAR)


Jawaban:

a. Kenali gejala awal difteri.

b. Segera ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat apabila ada anak mengeluh nyeri
tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor), khususnya anak berumur
< 15 tahun.

c. Anak harus segera dirawat di rumah sakit apabila dicurigai menderita difteria agar
segera mendapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan apakah
anak benar menderita difteria.

d. Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus segera
diperiksa oleh dokter apakah mereka juga menderita atau karier (pembawa kuman) difteri
dan mendapat pengobatan (eritromisin 50mg/kg berat badan selama 5 hari).

e. Anggota keluarga yang telah dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT.
 Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan
interval masing-masing 4 minggu.
 Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang
belum diberikan, tidak perlu diulang),
 Apabila telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu ditambah imunisasi DPT
ulangan 1x.

f. Masyarakat harus mengetahui dan memahami bahwa setelah imunisasi DPT, kadang-
kadang timbul demam, bengkak dan nyeri ditempat suntikan DPT, yang merupakan
reaksi normal dan akan hilang dalam beberapa hari. Bila anak mengalami demam atau
bengkak di tempat suntikan, boleh minum obat penurun panas parasetamol sehari 4 x
sesuai umur, sering minum jus buah atau susu, serta pakailah baju tipis atau segera
berobat ke petugas kesehatan terdekat.

2. Pertanyaan : Bagaimana penegakan diagnosis difteri(Trisakti)


Jawaban: Diagnosis tonsilitis bakteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu
dan didapatkan kuman Corynabacterium diphteriae

Hanna Himatul Ulya (UNISSULA)

1. Pertanyaan: Pencegahan penularan difteri? (Trisakti)

- Rawat penderita diruangan isolasi dengan perawat yang telah diimunisasi terhadap difteri

Jika ada penderita difteri dalam satu rumah, maka yang harus dilakukan terhadap keluarga untuk
mencegah terjadinya penularan adalah :

- Lakukan imunisasi pada anak serumah sesuai riwayat imunisasi


- Berikan eritromisin pada kontak serumah sebagai tindakan pencegahan
- Lakukan biakan usap tenggorok pada keluarga serumah

Anastasia Lahizha G (UNISSULA)

1. Pertanyaan: Bagaimana patofisiologi dari difteri? (UNTAR)


Jawaban:
Penyakit disebabkan oleh toxin diphtheria yang merupakan faktor virulensi dari C.
diphtheriae. Toxin ini dikode oleh gen tox yang dibawa oleh suatu bakteriofaga
lisogenik yaitu Beta-faga. Hanya galur C. diphtheriae yang memiliki gen tox ini lah
yang dapat menimbulkan penyakit. Galur lain yang tidak memiliki gen ini tidak bersifat
patogenik, akan tetapi galur ini dapat berubah menjadi patogenik bila ditransduksi oleh
bakteriofaga lisogenik beta-faga. Spesies bakteri coryneform lain yang dapat
menghasilkan toxin ini adalah Corynebacterium ulcerans yang juga dapat menimbulkan
manifestasi klinis difteri.
Toxin diphtheria memiliki 2 subunit dan 3 regio. Subunit A memiliki regio katalitik,
sedangkan subunit B memiliki regio pengikat reseptor (receptor-binding region), dan
regio translokasi (translocation region). Reseptor untuk toxin ini adalah heparin-binding
epidermal growth factor yang terdapat pada permukaan banyak sel eukariotik, termasuk
sel jantung dan sel saraf. Hal ini yang mendasari terjadinya komplikasi kardiologis dan
neurologis dari difteri. Begitu toxin difteri berlekatan dengan sel host melalui ikatan
antara heparin-binding epidermal growth factor dan receptor binding region subunit B,
regio translokasi disisipkan ke dalam membrane endosome yang kemudian
memungkinkan pergerakan region katalitik subunit A ke dalam sitosol. Kemudian
subunit A bekerja dengan cara menghentikan sintesis protein sel host. Subunit A
memiliki aktivitas enzimatik yang mampu memecah Nikotinamida dari Nicotinamide
Adenine Dinucleotide (NAD) dan kemudian mentransfer sisa ADP-ribosa dari hasil
pemecahan tadi menuju Elongation Factor-2 (EF-2). EF-2 yang ter-ADP ribosilasi ini
kemudian menjadi inaktif. EF-2 merupakan faktor yang penting dalam translasi protein,
sehingga sintesis protein seluler menjadi terganggu. Proses ini kemudian menyebabkan
nekrosis sel disertai dengan inflamasi dan eksudat fibrin yang memberikan
gambaran pseudomembrane. Bentukan pseudomembrane ini dapat menghambat jalan
napas, sehingga kematian akibat difteri timbul karena sumbatan jalan napas.

Anda mungkin juga menyukai