Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

GASTROPATI DIABETIKUM

Oleh :
dr. Nyoman Angga Santosa, S.Ked

Pembimbing :
dr. Beny Surya Wijaya, M. Biomed, Sp.PD
Pendamping :
dr. Ni Made Murtini, MARS
dr. I Nyoman Darsana, M. Biomed, Sp.S

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP DOKTER


INDONESIA (PIDI)
RS BHAYANGKARA POLDA BALI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes mellitus atau penyakit kencing manis merupakan penyakit sistemik


yang dapat mengakibatkan disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi saluran
cerna merupakan salah satu masalah yang sering ditemui pada penderita diabetes
mellitus menahun, dimana hal ini dikatakankan berkaitan dengan terjadinya disfungsi
neurogenik dari saluran cerna tersebut.
Penderita diabetes mellitus sering mengeluhkan gejala gangguan pada saluran
cerna atas tanpa sebab yang jelas. Keluhan seperti ini bila dilakukan suatu uji tertentu
dapat menunjukkan adanya keterlambatan pengosongan lambung, keadaan seperti ini
dinamai gastropati diabetikum atau gastroparesis diabetika. Gastropati diabetikum
merupakan suatu komplikasi dari diabetes mellitus yang kini semakin dikenal.3
Gastropati diabetikum merupakan suatu kelainan motilitas lambung yang
terjadi pada penderita diabetes yang dapat dimanisfestasikan dengan berbagai gejala
serta dijumpainya kelainan pada uji pengosongan lambung. Istilah “gastroparesis
diabeticorum” pertama sekali digunakan oleh Kassender terhadap keadaan retensi
lambung yang dijumpai pada penderita diabetes mellitus yang asimptomatik.
Gastropati diabetikum dapat terjadi pada penderita Insulin-dependent Diabetes
Melitus (DM tipe 1) maupun Non Insulin-dependent Diabetes Melitus (DM tipe 2).
Diperkirakan keterlambatan waktu pengosongan lambung dijumpai pada sekitar 50%
penderita DM tipe 1 maupun DM tipe 2.3,7
Selain dapat menimbulkan keluhan yang terkadang sampai berlarut-larut dan
sulit diatasi sepenuhnya, gastropati diabetikum juga dapat menjadi penyulit dalam
mengendalikan kadar gula darah. Namun dengan ditemukannya berbagai macam obat
gastrokinetik sehingga penatalaksanaan gastropati menjadi lebih efektif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI LAMBUNG

Lambung atau gaster merupakan bagian saluran pencernaan yang dapat melebar
dan mempunyai tiga fungsi utama yaitu: 1) Menyimpan makanan; pada orang dewasa,
lambung mempunyai kapasitas sekitar 1500 ml. 2) Mencampur makanan dengan asam
lambung untuk membentuk kimus yang setengah padat. 3) Mengatur kecepatan
pengiriman kimus ke duodenum sehingga pencernaan dan absorpsi yang efisien dapat
berlangsung.1

Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium kiri
sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian besar lambung terletak di
bawah iga-iga bagian bawah. Secara kasar lambung berbentuk seperti huruf J dan
mempunyai dua lubang (ostium cardiacum dan ostium pyloricum), dua curvatura
(curvatura mayor dan curvatura minor), dan dua permukaan (anterior dan posterior).
Lambung relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi diantara ujung-ujung tersebut
sangat mobile. Lambung cenderung terletak tinggi dan transversal pada orang yang
pendek dan gemuk (lambung steer-horn) dan memanjang secara vertikal pada orang
yang tinggi dan kurus (lambung berbentuk huruf J). Bentuk lambung dapat bervariasi
pada setiap orang tergantung pada volume isinya, posisi tubuh dan fase pernafasan.1

Lambung terbagi atas beberapa bagian yaitu Fundus, Corpus, dan Pylorus.
Fundus berbentuk kubah dan menonjol ke arah superior dari perbatasan esophagus-
gaster dan terletak di sebelah kiri ostium cardiacum, biasanya fundus terisi penuh oleh
gas. Corpus merupakan “badan” dari lambung, menempati porsi dari setinggi ostium
cardiacum sampai setinggi incisura angularis, suatu lekukan yang selalu ada pada
bagian bawah curvatura minor yang membagi lambung menjadi kanan dan kiri. Pylorus
adalah bagian yang paling berbentuk lambung, terdapat dua bagian yaitu antrum
pyloruicum dan canalis pyloricus. Antrum pyloricum memiliki dinding otot yang tebal
membentuk sphincter pyloricum, sedangkan canalis pyloricum merupakan rongga
penghubung lambung dan usus halus.1,2

Gambar 1. Bagian-bagian lambung2

Pada corpus gaster, terdapat curvatura minor yang membentuk pinggir kanan
dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai pylorus. Curvatura mayor jauh lebih
panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri ostium cardiacum, melalui
fundus dan kemudian mengitarinya menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus.
Omentum atau ligamentum, yaitu suatu lipatan peritoneum yang menghubungkan
lambung dan organ di abdomen lainnya, omentum minor terbentang dari curvatura
minor sampai hati. Omentum mayor atau omentum gastrolienalis terbentang dari
bagian atas curvatura mayor sampai limpa, dan terbentang dari bagian bawah curvatura
mayor sampai colon transversum.1

Terdapat 2 lubang (ostium) pada lambung yaitu Ostium cardiacum dan Ostium
pyloricum. Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter disini, namun
diduga bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung
ke oesophagus. Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricum yang panjangnya
sekitar 2,5 cm terdapat otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal dan secara
anatomis dan fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Otot sphincter pyloricum
mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung (kimus) ke duodenum.1,3

Pada bagian anterior, atas lambung dibatasi oleh dinding anterior abdomen,
arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma dan lobus kiri hepar. Sedangkan pada
sisi posterior, lambung dibatasi oleh bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar
suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri, arteri lienalis, pankreas, mesocolon transversum
dan colon transversum.1

2.1.1 Vaskularisasi Lambung

Pembuluh Arteri2

A.gastrica sinistra, berasal dari A.coelica. Ia berjalan ke atas dan kiri untuk mencapai
oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura minor lambung. Ia
memperdarahi sepertiga bawah oesophagus dan bagian kanan atas lambung.

A.gastrica dextra, berasal A.hepatica pada pinggir atas pylorus dan berjalan ke kiri
sepanjang curvatura minor. Ia memperdarahi bagian kanan bawah lambung.2

A.gastrica brevis, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan ke depan dalam
ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi fundus.

A.gastroepiploica sinistra, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan ke
depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi lambung sepanjang
bagian atas curvatura major.

A.gastroepiploida dextra, berasal dari A.gastroduodenalis yang merupakan cabang


dari A.hepatica. Ia berjalan ke kiri dan memperdarahi lambung sepanjang bagian
bawah curvatura major.
Pembuluh Vena

Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. Vena gastrica sinistra dan
dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta hepatica. V.gastrica brevis dan
V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra
bermuara dalam V.mesenterica superior.2

Gambar 2. Vaskularisasi Lambung2

2.1.2 Persarafan Lambung

Lambung dan usus diinervasi oleh enteric nervus system (ENS) yang
terdistribusi diantara dinding otot polos seperti nervus otonom, baik parasimpatis
(terbanyak nervus vagus) maupun simpatis.1

Inervasi intrinsik

Traktus gastrointestinal dapat melakukan fungsi motorik tanpa adanya


pengaruh atau input dari sistem saraf pusat, tetapi melalui ENS. ENS terdistribusi
sepanjang usus berupa plexus myenterikus yang terletak antara lapisan sirkuler dan
longitudinal otot, dan plexus submucosa yang terletak antara lapisan sirkuler otot
dengan lapisan muskularis mukosa. Plexus myenterikus lebih dominan terdapat di
lambung dan plexus submukosa dominan di usus halus dan usus besar.1,2 Neuron yang
termasuk dalam ENS diantaranya adalah neuron primer aferen intrinsik, interneuron,
neuron motorik eksitator atau inhibitor, vasomotor, dan secretomotor. Neuron primer
aferen intrinsik sensitif terhadap stimulus kimiawi dan perubahan mekanik seperti
distensi. Interneuron menghubungkan neuron primer aferen intrinsik dengan motor
neuron eksitator maupun inhibitor. Neuron eksitator akan menggunakan asetilkolin,
takiin, dan substansi P untuk neurotransmisi, dimana transmisinya dapat dihambat oleh
polipeptida vasoaktif intestinal dan nitrit oxide.1,2

Inervasi extrinsik

Traktus gastrointestinal diinervasi oleh sistem saraf otonom yaitu parasimpatis


dan simpatis. Inervasi parasimpatis berasal dari nucleus motoris dorsalis Nervus X
(Dorsal Motor nucleus of Vagus nerve / DMV) di medulla spinalis. Sedangkan inervasi
simpatis berasal dari ganglia paravertebralis.1,2 Pergerakkan lambung terutama
dikontrol oleh nervus vagus, yang merupakan gabungan dari nervus sensorik dan
motorik, Axon sensoris nervus vagus akan menerima input aferen dari reseptor
gastrointestinal kemudian memproyeksikannya ke nucleus traktus solitarius di medulla
oblongata.3

Gambar 3. Sistem Saraf Otonom2


Setelah menerima impuls sensoris dari Nervus Vagus, neuron dari Nucleus Traktus
Solitarius (NTS) akan mengaktifkan vagal motor neuron pada nucleus ambiguus (NA)
dan nucleus dorsomedial (DMN) untuk mengatur kontraksi dari otot lambung dan
duodenum yang dikenal dengan vagovagal refleks.1

2.2. FISIOLOGI LAMBUNG

2.2.1 Peranan Sel Interstisial Cajal

Tanpa pengaruh hormonal maupun neural, sebagian besar daerah pada traktus
gastrointestinal akan menimbukan aktivitas dan mekanisme elektrik. Aktivitas elektrik
verasal dari sekumpulan sel yang disebut dengan sel interstisal Cajal (Interstitial cells
of Cajal atau ICCs) yang terletak di lapisan submukosa, intramuskular, dan
intermuskular dari traktus gastrointestinal.3,4 Sel-sel ini akan menimbulkan mekanisme
elektrik berupa gelombang lambat atau slow waves dan kemudian mengkoordinir input
dari sistem saraf otonom untuk memacu sel otot polos.4 ICCs terletak diantara lapisan
otot (ICC intramuscular atau ICC-IM) dan sirkular dari plexus myenterikus (ICC-MP)
yang berperan penting untuk memaksimalkan frekuensi dari fase kontraksi.4 ICC-IM
merupakan kumpulan ICCs diantara sel otot polos sirkular (ICC-CM) dan longitudinal
(ICC-LM) dari lambung yang bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi
langsung dengan akhir nervus enterik.4 ICC-SEP terletak antara pada septa jaringan
ikat, yang akan mentransmisikan depolarisasi antar serabut otot. Pada usus manusia,
ICCs sebagian besar terletak dalam lapisan sirkuler yang membentuk plexus
muskularis profunda (ICC Deep Muscular Plexus atau ICC-DMP). ICC-DMP pada
usus mempunyai peranan yang sama dengan ICC-IM yang terdapat di lambung.4

2.2.2 Regulasi Hormonal pada Pergerakan Gastrointestinal

Sekresi dari hormon Gastrin, Secretin, dan CCK sebagai respon terhadap nutrisi
yang diserap usus mempunyai peranan penting dalam regulasi pengosongan lambung,
efek inhibitor pada pengosongan lambung dimainkan oleh octreotide, sebuah inhibitor
dari sekresi hormon peptida.4
Gastrin

Gastrin merupakan hormon peptida yang dilepaskan dari sel G pada antrum
pylorus lambung. Gastrin mempunyai efek yang kuat untuk menyebabkan sekresi asam
lambung dengan bereaksi pada Enterochromaffin-like cells (ECL) pada reseptor CCK-
B untuk mensekresi histamin. Histamin yang dilepaskan kemudian bertindak secara
parakrin pada sel parietal lambung dan menginduksi penyisipan pompa K+/H+ ATPase
yang merangsang pengeluaran ion H+ sebagai pembentuk asam lambung.4,5 Hormon
gastrin juga mempunyai efek perangsangan fungsi motorik lambung dengan
meningkatkan aktivitas pompa pylorus, sehingga gastrin dikatakan dapat
meningkatkan mekanisme pengorsongan lambung.5

Secretin

Secretin adalah hormon peptida yang disekresi dari sel S pada mukosa
duodenum sebagai respons terhadap HCL yang dilepaskan dari lambung melalui
antrum pylorus.5 Hormon ini memiliki efek sistemik dan memiliki sebagian fungsi
pengaturan motilitas gastrointestinal. Secretin berfungsi menstimulasi sel asinar
pankreas untuk mensekresi bikarbonat yang dilepaskan ke dalam lumen duodenum,
bikarbonat berfungsi menetralkan asam lambung. Selain itu, secretin juga menghambat
sekresi gastrin oleh sel G pada lambung dan memiliki fungsi langsung menunda proses
pengosongan lambung.4,5

Cholecystokinin (CCK)

CCK disekeresikan oleh sel L pada duodenum dan jejunum bagian atas, serta
ditemukan di otak. Terdapat beberapa bentuk CCK diantaranya adalah CCK-8, CCK-
22, CCK-33, dan CCK-58 dimana CCK-33 merupakan bentuk yang dominan pada
pada plasma dan usus. Waktu paruh dari CCK selama 1-2 menit. Protein dan lemak
merangsang kuat skresi dari CCK, sedangkan karbohidrat hanya memberikan sedikit
rangsangan.5
Lemak pada usus halus mempunyai aksi dalam memperlambat pengosongan
lambung pada manusia yang diregulasi secara dominan oleh CCK melalui reseptor
CCK-1, dan dihambat dengan antagomnis CCK-1, loxiglumide. CCK memperlambat
pengosongan lambung dengan merelaksasi bagian proksimal lambung, meningkakan
tekanan basal dan fasik pilorus, serta menghambat pergerakan antrum yang dimediasi
oleh jalur refleks vasovagal. Berkebalikan dengan efeknya pada lambung, CCK
eksogen akan meningkatkan aktivitas motorik dari usus halus dan memperpendek
waktu transit pada usus.5

Gambar 4. Peran Hormonal Pada Sekresi dan Motilitas Lambung

2.2.2 Fisiologi Pengosongan Lambung

Berdasarkan fungsinya, lambung dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian


proksimal dan distal. Bagian proximal merupakan tempat penyimpanan makanan yang
telah dimakan sebelumnya. Bagian ini terdiri dari fundus dan sepertiga proximal
corpus. Pola aktivitas motorik dari lambung lambat dan dilanjutkan dengan munculnya
tonus kontraksi, pergerakan ini akan mempengaruhi tekanan dalam lambung dan
menentukan gradien tekanan antara lambung dan duodenum. Tekanan ini penting
untuk mengosongkan cairan dalam lambung.3,4 Tonus pada bagian proximal lambung
menurun ketika makanan masuk dari esofagus ke lambung, hal ini akan menyebabkan
peningkatan volume lambung, yang dikenal dengan relaksasi reseptif.4 Hal ini diikuti
dengan relaksasi yang lebih lama yang disebut dengan akomodasi relatif yang akan
menyebabkan lambung dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan tanpa ada zat
yang menimbulkan tekanan pada lambung.4

Pola pergerakan dari lambung sangatlah spesifik. Awalnya akan terjadi


kontraksi menyeluruh pada fundus dan cardiac, akibat munculnya pacemaker oleh sel
interstisial cajal (ICCs), sedangkan bagian bawah lambung dan antrum akan
menghambat aktifitas motorik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pengosongan lambung diantaranya adalah usia, jenis kelamin, densitas dan osmolaritas
kalori, misalnya 300 ml garam yang diberikan secara bolus akan mengosongkan
lambung 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan bolus 150 ml garam. Pada umunya
pengosongan cairan akan berlangsung cepat yang memakan waktu 50% dari waktu
pengosongan (8-18 menit). Cairan yang kaya akan kalori akan dikosongkan lebih
lambat daripada makanan yang rendah kalori. Peningkatan osmolaritas akan
menurunkan respon kontraksi pada usus halus. Selain itu karakteristik dari nutrisi itu
sendiri akan mempengaruhi pengosongan isi lambung, Karbohidrat dan sebagian besar
asam amino akan diserap usus melalui osmoreseptor mukosa usus halus yang berperan
aktif dalam inhibisi feedback jalur neral. L-triptofan, prekusor dari 5-HT yang berasal
dari asam amino lain efektif dalam menunda pengosongan lambung. Efek dari
trigliserida pada motilitas lambung tergantung pada panjangnya rantai asam lemak
yang berbeda dalam mensekresi CCK. Namun demikian, pada suatu penelitian,
perubahan makanan yang drastis dan cepat tidak menunjukkan perubahan pada
pergerakan gastrointestinal.4,5 Keasaman lambung juga berperan penting. Golongan
obat penghambat pompa proton akan mengurangi hubungan antara ph intragastrik dan
jenis mytomisin-C (MMC) yang akan menginduksi penundaan pengosongan lambung.
Selain itu, suhu makanan yang dicerna juga mempengaruhi pergerakan lambung, di
mana makanan dingin akan mempelambat pengosongan.4,5
Mekanisme pengosongan lambung normal merupakan hasil koordinasi dari
tonus fundus, kontraksi fasik dari antrum dan proses inhibisi dari kontraksi pylorus dan
duodenum dimana hal ini memerlukan interaksi yang kompleks antara otot polos
lambung, inervasi saraf enterik dan otonom, serta sel-sel spesifik yang berperan sebagai
pacemaker yang disebut sel interstisial Cajal (ICC).6 Pengosongan lambung
bergantung pada dua hal yaitu kontraksi dari tonus fundus dan gelombang peristaltik
(kontraksi fasik) yang membuat suatu pergerakan menuju bagian distal dari corpus dan
ke antrum.5,6 Baik kontraksi tonus fundus dan gelombang peristaltik, keduanya
distimulasi oleh neuron kolinergik enterik yang dimodulasi oleh tonus nervus vagus.6

Terdapat tiga fase dalam proses pengosongan lambung yaitu fase propulsi, fase
pengosongan, dan fase retropulsi. Pada fase propulsi, gelombang peristaltik dimulai
dari lambung proksimal dan menuju ke arah pylorus. Gelombang peristaltik ini berasal
dari dinding lambung yang terdiri atas sel-sel interstisial Cajal. Sel-sel ini akan
menimbulkan mekanisme elektrik berupa gelombang lambat atau slow waves dan
kemudian mengkoordinir input dari sistem saraf otonom untuk memacu sel otot polos.
Mekanisme eletrik ini selalu ada namun tidak menimbulkan kontraksi, karena kontraksi
hanya akan terjadi apabila terdapat pelepasan neurotransmitter eksitatorik seperti
asetilkolin (ACH).6 Pelepasan ACH akan mengakibatkan gerakan lambung melalui
refleks sefalik (melalui DMV) dan refleks gastrointestinal (melalui neuron
paravertebralis), dimana pelepasan ACH tersebut dipicu oleh mekanoreseptor saat
mengunyah makanan serta mekanoreseptor dan/atau kemoreseptor di lambung saat
makanan masuk.6 Gelombang peristaltik yang terjadi pada fase propulsi ini lemah,
namun ketika gelombang mencapai antrum proksimal gelombang akan diperkuat oleh
ICC sehingga meningkatkan kontriksi sirkular.5,6

Fase pengosongan lambung, terjadi kontraksi pada antrum medial kemudian


akan membuka canalis pyloricum dan kontraksi antrum terminal dan duodenum
dihambat. sehingga memungkinkan kimus berukuran lebih kecil c memasuki
duodenum dengan gerakan peristaltik. Mekanisme pengosongan dari antrum ini ibarat
suatu saringan, dimana kimus dengan partikel yang lebih kecil dan berbentuk lebih cair
akan lebih mudah untuk lewat dan terpompa memasuki duodenum dibandingkan kimus
yang lebih padat.5 Lumen dari antrum saat terjadi pengosongan ini tidak tertutup karena
tidak sepenuhnya otot polos berkontraksi, sehingga sebagian kimus yang tidak
terdorong masuk ke duodenum akan kembali secara retrograde ke arah antrum
proksimal yang telah terelaksasi. Kimus tersebut kemudian tercampur kembali dengan
asam lambung hingga partikelnya menjadi lebih kecil dan dapat terdorong saat gerakan
peristaltik terjadi kembali. Mekanisme ini tumpang tindih secara simultan dengan saat
kimus terdorong masuk ke duodenum.5,6

Secara simultan, kelanjutan dari gelombang peristaltik akan melewati ujung


lambung sehingga antrum proksimal dan medial akan kembali pada fase relaksasi,
kontraksi antrum terminal dan duodenum tidak lagi dihambat. Karena hal itu, kimus
akan terdorong kembali dan terakumulasi di antrum proksimal yang terelaksasi.
Kontraksi dari antrum terminal akan menutup canalis pyloricum dan menghentikan
aliran transpylorik.. Mekanisme ini terjadi pada fase retropulsi. 5,6

Gambar 5. Proses Pengosongan Lambung6


Interaksi kompleks dari kontraksi otot-otot polos pada lambung ini biasa
disebut Interdigestive Migrating Motor Complex (IMMC), yang dikontrol secara
neuro-hormonal, sehingga bila terjadi suatu masalah pada saraf enterik, terutama pada
ICC, makan proses pengosongan lambung yang normal dapat mengalami gangguan.6

2.3 GASTROPATI DIABETIKUM

2.3.1 Definisi

Belum ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis diabetika.


Pada beberapa penjabaran istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi
gastropati diabetikum. Namun pada beberapa studi menggunakan istilah gastropati
diabetikum sebagai sindroma klinis dari gangguan saluran cerna bagian atas akibat
gangguan motilitas pada pasien diabetes melitus dan didapatkan adanya keterlambatan
pengosogan lambung.3

American Gastroenterological Association (AGA) membuat kesepakatan


bahwa diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala yang sesuai,
keterlambatan pengosongan lambung, serta tidak adanya lesi obstruktif pada lambung
maupun usus halus. Dengan demikian, gastroparesis diabetika atau gastropati
diabetikum dapat didefinisikan sebagai suatu gastroparesis yang terjadi pada pasien
dengan diabetes mellitus dengan kriteria gastroparesis sesuai dengan yang dijelaskan
AGA. Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna bagian atas
seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala dengan gangguan fungsi
motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi yang multifaktorial. Keluhan rasa
penuh dan kembung sering sebagai prediksi adanya keterlambatan pengosongan gaster,
tetapi banyak pasien dengan gastroparesis yang relative asimtomatik. Gastroparesis
asimtomatik sering timbul pada pasien dengan diabetes melitus.3,6

2.3.2 Epidemiologi

Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab kedua


tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%), sedang penyakit tersering
lainnya adalah paska operasi lambung (19%). Laporan mengenai prevalensi gangguan
motilitas lambung pada penderita diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, hal
ini disebabkan beberapa faktor antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidiki
(IDDM atau NIDDM, diabetes yang lama dan berat, dengan atau tanpa gejala
gastroparesis), kriteria yang digunakan untuk diagnosa gastroparesis (berdasarkan
gejala-gejala saja, berdasarkan adanya kelainan motorik ataupun elektrik lambung, atau
berdasarkan keterlambatan pengosongan lambung), dan metode yang digunakan untuk
menilai, mengosongkan lambung (pemeriksaan barium, radiopaque marker, USG,
ataupun scintography).3,7

Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita


diabetes mellitus mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan
dikatakan juga prevalensi keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan sama
pada penderita IDDM maupun NIDDM. Hasil penelitian terhadap penderita IDDM
menunjukkan adanya keterlambatan waktu pengosongan lambung solid non digestible
pada 62% penderita, keterlambatan waktu pengosongan lambung liquid pada 25%
penderita, dan tidak ada yang mengalami keterlambatan pengosongan lambung solid
digistibel.7

Pada IDDM, uji scintigraphy terhadap 70 penderita menunjukkan 27,5%


mengalami keterlambatan pengosongan liquid dan 58,6% mengalami keterlambatan
pengosongan solid. Pada NIDDM yang baru terdiagnosa, ditemukan adanya
keterlambatan pengosongan lambung semisolid pada 36,6% dari 30 penderita.3,7

2.3.3 Patofisiologi Gastropati Diabetikum

Penyebab penundaan pengosongan lambung pada gastropati secara pasti belum


diketahui, dipercaya terjadi berbagai mekanisme yang menyebabkan disfungsi motorik
lambung. Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik dari fundus,
antrum, serta tahanan dari hasil kontraksi pylorus dan duodenum. Proses ini merupakan
interaksi yang kompleks dari otot polos, sistem saraf otonom, sel enterik, dan sel-sel
pacemaker khusus yang disebut dengan sel intersetisial Cajal (ICC).3 Neurotransmiter
dan neuroendokrin juga berperan dalam motilitas lambung. Nitrit okside (NO)
merupakan senyawa yang penting dalam menghambat efek noradrenergik, bersifat
nonkolinergik, dan merupakan neurotransmiter di usus yang ikut berperan dalam
mempengaruhi motilitas lambung. NO berperan dalam tonus otot sfingter esofagus
bagian bawah dan pylorus, mengatur refleks fundus gaster, serta mengatur refleks
peristaltik usus. Pada kondisi hiperglikemia, neuron-neuron dari nervus vagus yang
mempersarafi lambung dapat mengalami disfungsi akibat adanya demyelinisasi karena
stress oksidatif dari akumulasi glukosa darah.3,6 Disfungsi neuron NO pada pleksus
myenterikum akan menyebabkan terjadinya gangguan gastrointestinal, termasuk
gastroparesis. Aktivitas myoelektrikal pertama kali dicetuskan oleh ICC yang terdapat
pada dinding otot antrum serta corpus gaster selama kurang lebih 3 kali per menit,
stress oksidatif berlebih dapat menganggu fase ini sehingga dapat menyebabkan
gastroparesis.8 Faktor lain yang juga mempengaruhi pengosongan lambung adalah
neuropati otonom, neuropati enterik, fluktuasi gula darah yang terjadi tiba-tiba, serta
faktor psikosomatis. Faktor stress psikis dapat pula memicu gastroparesis akibat
pelepasan corticotropine-releasing hormone (CRH), dimana CRH dikatakan memicu
fase retropulsi pada mekanisme pengosongan lambung.7,8 Selain itu pengosongan
lanbung biasanya terjadi lebih lambat pada keadaan hiperglikemia dan menjadi lebih
cepat selama hipoglikemia. Kelailan kadar elektrolit (hipokalsemia, hipomagnesemia)
dan hormon gastrointestinal (motilin, gastrin) juga berpengaruh terhadap terjadinya
gastroparesis.8
Gambar 6. Patogenesis gastroparesis diabetikum

2.3.4 Diagnosis

Gejala Klinis

Diagnosis gastroparesis ditegakkan dengan adanya penundaan pengosongan


lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan melalui pemeriksaan
endoskopi atau pencitraan radiologi. Gejala yang muncul pada gastroparesis adalah
muntah, mual, cepat kenyang, kembung, tidak nyaman dan nyeri pada perut, serta
sering bersendawa. Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi pada dispepsia
pengosongan lambung terjadi lebih cepat. Oleh karena itu diperlukan pengukuran
terhadap kecepatan pengosongan lambung untuk membedakan keduanya.9 Muntah
yang terjadi pada gastroparesis harus dibedakan dengan regurgitasi pada GERD,
dimana pada gastroparesis biasanya vomitus akan terjadi 30 menit setelah makanan
masuk ke dalam lambung (postprandial regurgitasi).3,9

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik penderita gastropati diabetikum tidak didapatkan tanda-


tanda yang spesifik, dapat menyerupai pasien yang mengalami dispepsia pada
umumnya. Terkadang dapat ditemukan adanya nafas busuk yang menandakan kadar
hidrogen pada napas, tetapi tidak spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik
terhadap tanda-tanda malnutrisi dan penurunan berat badan.6,9

Pemeriksaan Penunjang

Tes pengosongan lambung pada pasien diabetes mellitus yang menunjukkan


gejala gangguan gastrointestinal bagian atas diperlukan untuk menegakkan diagnosis
gastropati. Hal ini bertujuan untuk membedakan dengan dengan dispepsia. Pengukuran
tekanan dan profil listrik dari fungsi lambung merupakan pilihan pada sebagian besar
pasien yang telah menderita diabetes.9

Gastropati diabetikum didiagnosis melalui adanya gejala saluran cerna atas


yang mendukung perlambatan pengosongan lambung pada pasien diabetes, tanpa
adanya obstruksi mekanik yang dapat menyebabkan gejala saluran cerna atas, dan
terdapat tanda-tanda perlambatan pengosongan lambung. Obstruksi usus halus dan
lambung yang disebabkan oleh massa intraabdomen harus diekslusi menggunakan
radiografi abdomen, computed tomography (CT), atau magnetic resonance imaging
(MRI). Endoskopi dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya striktur, massa, atau ulkus
peptikum.6,9

Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan infeksi, metabolik, dan


penyebab imunologis menyebabkan gejala saluran cerna atas yaitu pemeriksaan darah
lengkap, pemantauan metabolik komprehensif meliputi elektrolit dan tes fungsi hati,
urinalisis, tingkat sedimentasi eritrosit, dan pemeriksaan biokimia dan imunologis
untuk thyroid stimulating hormone. Setelah menyingkirkan etiologi lain yang mungkin
dan obstruksi dengan endoskopi dan pencitraan abdomen, gastroparesis diabetik
didiagnosis dengan menunjukkan adanya perlambatan pengosongan lambung.3,7,9
Gambar 7. Aktivitas Myoelektris Lambung

Elektrogastrografi merupakan metode non invasif untuk mengukur aktivitas


myoelektris gaster dengan menempatkan elktrode pada permukaan epigastrium. Pada
pasien normal, elektrogastrografi mengidentifikasi ritme elektrivitas fisiologis dari
lambung pada 3 siklus per menit. Pada beberapa pasien, dapat timbul disaritmia,
takigastria (3.6 sampai 9.9 siklus per menit) dan bradygastria (1 sampai 2.4 siklus per
menit). Meskipun keluhan dyspepsia berkorelasi lebih baik dengan elektrogastrografi
dibandingkan dengan skintigrafi, tetapi elektrogastrografi tidak dapat mengukur
aktivitas kontraktilitas lambung.10,11

Gambar 8. Perbandingan hasil pemeriksaan Scintigraphy10

Pengosongan lambung dari makanan fase padat oleh scintigraphy diperkirakan


merupakan teknik terbaik yang diterima untuk mendiagnosis perlambatan
pengosongan lambung karena scintigraphy dapat mengukur jumlah pengosongan
makanan berkalori fisiologis yang dapat menilai fungsi motorik lambung. Teknik
melibatkan pencampuran penanda radioisotop pada makanan standar dan mengikuti
jejaknya di dalam lambung menggunakan kamera gamma. Untuk sebuah pemeriksaan
yang dikatakan standar baku emas, perlu diperhatikan bahwa tidak terdapat standarisasi
teknik scintigraphy, dibuktikan dengan adanya perbedaan zat yang digunakan antara
pusat yang satu dengan pusat yang lain, dan bahwa korelasi antara gejala dengan
gastroparesis diabetik dan tingkat pengosongan lambung tidak jelas.10,12

Pengukuran ultrasonografi dari perubahan pada regio antral lambung setelah


konsumsi makanan cair sangat berhubungan dengan tingkat pengosongan lambung.
Pencitraan ultrasound dari pengosongan makanan cair di lambung hanya untuk
penelitian dan tidak digunakan di klinik.11

2.3.5 Diagnosis Banding

Pada kebanyakan kasus, diagnosis gastropati dibuat berdasarkan adanya


keluhan mual dan muntah yang berlarut-larut pada penderita diabetes mellitus
menahun, namun perlu diingat bahwa mual dan muntah sering dialami penderita
diabetes dan bukan seluruhnya disebabkan oleh gastroparesis. Mual dan muntah
lazim juga terjadi pada ketoasidosis akut yang umumnya akan mereda setelah koreksi
kelainan metabolik tersebut.3,13

Meskipun agak jarang, obstruksi saluran cerna bagian tengah dan bawah
dapat menyerupai gastroparesis, bila tanda klinis mengarah ke kemungkinan tersebut
perlu dilakukan pemeriksaan seperti foto polos abdomen, barium follow through
ataupun CT scan. Harus pula diingat kemungkinan adanya ulkus peptikum maupun
perforasi, appendicitis, pankreatitis, penyakit susunan syaraf pusat, sindroma
paraneoplastik, efek samping obat, dan psikogenik.13
2.3.6 Komplikasi

Meskipun prognosis pada umumnya baik, komplikasi gastropati diabetikum


dapat sangat serius sehingga sebisa mungkin harus dicegah. Akibat muntah-muntah
atau regurgitasi yang berulang terus kemungkinan dapat terjadi esofagitis yang berat
dan luas yang menyebabkan perdarahan saluran cerna atas yang akut maupun kronis,
dapat pula terjadi robekan esophagus Mallory weiss, pneumonia aspirasi, malnutrisi
maupun gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.6 Akibat terganggunya
pengosongan lambung solid non digestible dapat terjadi pembentukan bezoar di
lambung. Gastropati diabetikum juga dapat menyebabkan terganggunya absorbsi
obat oral sehingga menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah, hal ini menjadi
masalah yang penting bagi penderita diabetes yang mengonsumsi obat diabetes oral.6,13

2.3.7 Penatalaksanaan Gastropati Diabetikum

Tujuan penatalaksanaan gastropati diabetikum adalah memperbaiki kualitas


hidup, mencegah komplikasi dan kendali kadar gula darah yang baik. Sampai saat ini
tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang simptomatik, pada yang
asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes yang baik belum diperlukan pengobatan,
tetapi lebih ditujukan bagaimana membantu mencapai kendali gula darah yang lebih
baik dan memperbaiki nutrisi.3,6

Penatalaksanaan gastropati dapat berupa terapi non-farmakologis,


farmakologis, atau operatif.8 Secara non-farmakologis dapat dilakukan pengaturan
pada diet. Tujuan manajemen diet adalah mengembalikan dan mempertahankan status
nutrisi dan secara bersamaan mengurangi keluhan. Pada pasien diabetes, intervensi diet
ditujukan pada untuk mengontrol status glikemik pasien. Pada gejala sedang sampai
berat, kemungkinan dibutuhkan asupan nutrisi tambahan. Komponen utama dalam diet
yang perlu dievaluasi adalah ukuran partikel, ukuran makanan, dan kandungan
makanan dan lemak dalam makanan.14 Alkohol dan minuman berkarbonasi dilarang.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan saran untuk diet gastroparesis adalah jadwal
makan yang sering, ukuran kecil, makanan rendah serat dan rendah lemak dengan
peningkatan intake nutrisi dalam bentuk cairan.6,8

Terapi farmakologis dapat berupa obat-obatan prokinetik, antiemetik dan


antispasmodik disamping pengobatan diabetes mellitus.3,6 Diusahakan untuk
mempertahankan kadar gula darh di bawah 180 mg/dL untuk mencegah inhibisi dari
kontrol myoelektris dan gerakan lambung. Mempertahankan kontrol status glikemik
penting karena hiperglikemia akan menginhibisi aksi obat prokinetik.

Prokinetik

Penggunaan obat-obat prokinetik digunakan untuk meningkatkan kecepatan


pengosongan lambung, merupakan pendekatan paling efektif dalam pengobatan
penderita gastroparesis yang simptomatik. Sebelum terapi prokinetik dimulai idealnya
waktu pengosongan lambung diukur, namun karena tidak praktis dapat diberikan terapi
pengobatan hingga 4 minggu, bila symptom tidak berkurang ataupun muncul kembali
setelah terapi dihentikan maka waktu pengosongan lambung harus diukur.3

Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik lambung,


namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan, dalam mengobati
gastroparesis diabetika adalah metoclopramide, domperidone, cisapride dan
erythromycin. Waktu pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga
kadar plasma puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan waktu makan yaitu
setidaknya 30 menit pre-prandial, selain itu juga perlu diberikan dosis malam hari
untuk mengurangi pembentukan bezoar.3,6

Metoclopramide

Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide merupakan antagonis


reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT4, memiliki khasiat prokinetik lambung dan
anti emetik dan dapat melewati sawar darah otak. Aktivitas prokinetiknya diperkirakan
berasal dari antagonisme reseptor dopamine lambung peningkatan pelepasan
acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi prokinetiknya antara lain
meningkatkan tekanan sfingter esophagus bawah, menghambat relaksasi fundus,
meningkatkan kontraktilitas antrum dan merelaksasi sfingter pylorus. Aktivitas
antiemetiknya adalah berdasarkan antagonisme reseptor dopamine sentral pada
chemoreceptor trigger zone dan vomiting center.6,14 Metoclopramide dapat menurangi
symptom statis lambung dan memperbaiki pengosongan lambung solid maupun liquid,
namun antara perbaikan symptom dengan pengosongan lambung tidak berkorelasi.
Pada pemakaian yang berkepanjangan efek prokinetiknya akan menghilang meskipun
perbaikan simptomatiknya terus berlangsung. Metoclopramide dianggap merupakan
obat yang paling efektif dalam hal memperbaiki symptom.14

Metoclopramide diberikan per oral dengan dosis 5 – 20 mg sebelum makan dan


pada waktu tidur. Dapat pula diberikan melalui intravena, intramuskuler, subkutan,
intrarektal maupun intraperitoneal. Efek samping metoclopramide setidak-tidaknya
mengenai 20% penderita, sifatnya tergantung dosis, dan yang tersering adalah
gangguan neurologik dan endokrinologik. Gangguan endokrinologik antara lain
hiperprolaktinemia yang menyebabkan gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan
amenorrhea, selain itu dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan
penurunan kadar luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH) dan
growth hormone.6,15

Domperidone

Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu antagonis reseptor


dopamine D2 yang tidak melewati sawar darah otak. Aksi prokinetik lambungnya
adalah melalui penghambatan reseptor dopamine pada lambung dan duodenum,
sedangkan efek antiemetiknya hanya terjadi pada chemoreceptor trigger zone.
Domperidone efektif dalam mengendalikan symptom dan memperbaiki pengosongan
lambung pada gastopati diabetikum. Pemberian secara akut pada pendderita diabetes
akan meningkatkan kecepatan pengosongan solid maupun liquid, sesudah pengobatan
4 minggu peningkatan pengosongan liquid tetap terjadi namun pengosongan solid
tidak, sedangkan symptom klinis membaik pada pengobatan akut maupun kronis.3,6,14

Domperidone dapat diberikan melalui oral, intravena, intramuskuler ataupun


intrarektal. Dosis awal oral adalah 10 mg sebelum makan dan malam sebelum tidur,
dapat ditingkatkan menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada gastroparesis yang berat
dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari. Insidens efek samping domperidone
bervariasi dari 2-7%, umumnya adalah mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal,
diare, kegelisahan dan gangguan endokrin yang berkaitan dengan
hiperproklaktinemia.3,15

Cisapride

Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak memiliki sifat


antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan pelepasan acetylcholine pada plexus
myentericus intestinalis dan juga bersifat antagonis terhadap reseptor 5-HT3 dan
agonis 5-HT4. Cisapride tidak mempunyai efek antiemetik langsung, namun dapat
meningkatkan amplitudo kontraksi di seluruh bagian saluran cerna sehingga
menguntungkan bagi penderita. Obat ini meningkatkan kontraksi antrum dan
duodenum dan juga meningkatkan koordinasi antroduodenal. Pada penderita
gastropati diabetikum, cisapride dapat memperbaiki pengosongan lambung liquid,
solid maupun non digestible solid, dan efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut
maupun kronis. Dibanding metoclopramide, cisapride lebih poten dan dianggap
sebagai obat pilihan utama untuk gastroparesis pada saat ini.3,7 Cisapride diberikan
melalui oral dengan dosis 5-20 mg, sebelum makan dan/atau pada waktu tidur. Efek
samping cisapride jauh lebih sedikit dibanding metoclopramide, umumnya adalah
kram perut, diare dan sakit kepala, biasanya bersifat sementara dan dapat diatasi
dengan pengurangan dosis.3,6
Erythromycin

Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki efek menyerupai


motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja sebagai agonis motilin dengan cara
berkaitan dengan reseptor motilin pada antrum dan duodenum bagaian atas, dan
aktivitas ini tidak berkaitan dengan efek antimikrobialnya. Studi inviro menunjukkan
bahwa selain merangsang kontraksi antrum dan duodenum, erythromycin juga
menginhibisi otot pylorus.15 Pada manusia erythromycin dapat meningkatkan kontraksi
antrum, memperbaiki kontraksi antroduodenal, mengurangi waktu aktivitas
pengosongan lambung IMMC fase 2 dan merangsang serta memperpanjang aktivitas
IMMC fase 3.15 Pada suatu studi menyimpulkan bahwa erythromycin cukup efektif
terhadap gastroparesis diabetika karena memperbaiki transit esophagus dan
pengosongan lambung.7,15

Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat prokinetik pada penderita


gastroparesis menunjukkan bahwa erythromycin lebih unggul dibanding cisapride,
metoclopramide maupun domperidone dalam hal mempercepat pengosongan lambung.
Erythromycin tersedia untuk penggunaan oral dalam bentuk stearat dan etylsuccinate.
Dosis erythromycin oral adalah 3 kali 50-100 mg diberikan 30 – 60 menit sebelum
makan. Untuk penggunaan intravena dalam bentuk lactobionate diberikan sebagai
infus selama 30 menit dengan dosis 3mg/kgBB, diencerkan dalam larutan garam
fisiologis.6

Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek samping mual,


muntah, kejang abdomen dan diare, sedangkan pemberian yang berlama-lama sebagai
prokinetik akan meningkatkan resiko timbulnya strain bakteri resisten. Saat ini
dikembangkan derivat erythromycin, ER 523, suatu agonis reseptor motilin yang 18
kali lebih kuat dari erythromycin namun tidak memiliki aksi antibiotik, dan
terbukti efektif memperpendek waktu pengosongan lambung liquid maupun solid
pada penderita IDDM dengan gastroparesis yang berat.14,15
Antiemetik

Ondansentron, suatu antagonis reseptor 5-HT3 dapat digunakan untuk


mengontrol keluhan, tetapi tidak menunjukkan perbaikan dalam pengosongan
lambung. Mirtazipine adalah antidepresan yang aktif pada resep 5-HT3 dan dilaporkan
bermanfaat untuk gastroparesis refrakter dibandingkan terapi lain. Antidepresan
trisiklik juga bermanfaat dalam sindrom muntah kronik. Ada beberapa gabungan terapi
yang sedang dalam evaluasi penggunaannya untuk gastroparesis. Sebagai contoh,
prokinetik azithromycin dan mitemcinal dapat menstimulasi reseptor motilin. Ghrelin,
suatu hormone peptide yang diproduksi oleh sel entero-endokrin dalam lambung yang
menstimulasi nafsu makan dan meningkatkan gerak lambung.3,6

Terapi Endoskopi dengan injeksi botulinum

Pylorospasme berperan dalam berkembangnya Gastroparesis. Toksin


botulinum merupakan inhibitor yang poten untuk transmisi neuromuskuler dan terbukti
berefek dalam manajemen gastroparesis. Pada studi yang melibatkan 8 pasien, nilai
skoring keluhan menurun dari 27 menjadi 12, empat pasien meningkatkan dosis insulin
5 unit/hari dan 6 pasien mengalami peningkatan berat badan. Dalam penelitian yang
berbeda, pengosongan gaster dapat diperbaiki dengan injeksi botulinum, tetapi keluhan
tidak berbeda dengan pada grup yang diberi placebo dengan botulinum.15

Tindakan Operatif

Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy dan pyloroplasty


terhadap gastroparesis diabetika umumnya mengecewakan sehingga hampir tidak
digunakan, kalaupun digunakan hanya pada kasus yang sangat berat yang tidak
respons terhadap terapi medikamentosa lainnya.15
BAB 3
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama Inisial : HN
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 50 tahun
Suku Bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Denpasar
Status : Menikah
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Pemeriksaan : 7 Februari 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Mual muntah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar keluarga ke IGD Bhayangkara Polda Bali tanggal 6
Februari 2019 dengan keluhan mual dan muntah sejak 10 hari sebelum masuk Rumah
Sakit. Muntah dikatakan mengeluarkan makanan yang dikonsumsi sebelumnya, encer,
berwarna kekuningan, terasa pahit, tidak disertai darah dan dikatakan cukup banyak.
Muntah yang cukup banyak membuat pasien merasa lemas, pusing, dan nafsu makan
menurun. Keluhan mual dikatakan sempat membaik dengan pemberian obat lambung
namun muncul kembali meski pasien tidak terlambat makan. Pasien mengatakan awal
keluhan terasa mual serta perih di ulu hati yang kemudian dirasakan naik ke arah dada,
setelah itu timbul muntah yang cukup banyak hingga membuat badannya lemas.
Keluhan ini dikatakan sudah berulang beberapa kali.
Pasien juga mengeluhkan perutnya mudah kembung. Keluhan perut kembung
dikatakan sejak 7 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Perutnya dikatakan mudah terasa
kembung setelah makan meskipun dalam porsi makan yang sedikit dan terkadang
terasa tegang saat perutnya mulai kembung. Tidak ada faktor yang memperberat
maupun memperingan keluhan perut kembung tersebut. Pasien mengaku jarang kentut
maupun bersendawa jika perutnya kembung. Nafsu makan pasien dikatakan menurun
sehingga pasien lebih banyak mengonsumsi cemilan saja sejak sehari sebelum masuk
Rumah Sakit.
Keluhan lainnya yang dikeluhkan adalah lemas. Lemas dikatakan di seluruh
tubuh, pasien mengaku sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit pasien mengalami
menstruasi yg cukup banyak sehingga pasien merasa mudah lelah dan kurang
bertenaga. Selam menstruasi dikatakan pasien tidak mengalami demam maupun
keluhan lainnya. Menstruasi dikatakan sudah berhenti sejak hari pertama pasien masuk
Rumah Sakit.
Pasien mengaku sering kesemutan pada kedua kakinya. Keluhan kesemutan
dikatakan sudah sejak lama dan hilang timbul. Dikatakan keluhan kesemutan bisa
terjadi tiba-tiba dan tidak ada faktor yang memperingan maupun memperberat keluhan.
Pasien mengaku sering kencing, terkadang pasien terjaga pada malam hari karena harus
ke kamar kecil untuk berkemih sebanyak sekitar 3 kali.

Riwayat Penyakit Terdahulu :


Pasien memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dan hipertensi sejak lebih
dari 8 tahun. Dikatakan bahwa pasien mengonsumsi 2 jenis obat untuk diabetes
mellitus yang diderita yaitu metformin 3 x 500mg dan glimepiride 1 x 4mg. Rata-rata
gula darah sewaktu (GDP) pasien saat kontrol dikatakan sekitar 240 mg/dL. Sedangkan
untuk hipertensi, pasien mengonsumsi obat lisinopril 1 x 10mg. Untuk keluhan mual
yang dialami pasien sekarang, pasien sempat mengonsumsi obat lansoprazole 2 x 30mg
yang didapat saat kontrol di poliklinik penyakit dalam RS Bhayangkara Polda Bali
sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit diabetes
mellitus seperti pasien. Namun dikatakan ibu pasien memiliki riwayat penyakit
hipertensi.
Riwayat Pribadi/Sosial :
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pedagang di warung. Selain itu pasien juga
mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menjaga cucu. Pasien selalu menjaga pola
makan dan tetap rutin mengonsumsi obat-obatan untuk penyakit hipertensi serta
diabetes mellitus yang diderita.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present :
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Frekuensi nafas : 18 kali/menit
Temperatur aksila : 36,5 0C
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 158 cm
BMI : 24,03 kg/m2

Status Generalis :
Kepala : Normocephali, deformitas tidak ada
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor
THT :
- Telinga : Daun telinga N/N, sekret tidak ada, pendengaran normal
- Hidung : Sekret tidak ada
- Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher : JVP + 0 cmH2O, Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
- Cor : S1 S2 normal, regular, murmur (-)
- Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), bising usus (+) normal, nyeri tekan (+)
epigastrium, perkusi timpani
Ekstremitas : Hangat + + , edema - -
+ + - -

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah lengkap (06/02/2019)
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
WBC 6,9 5 – 13
HGB 9,8 12 – 16 Rendah
HCT 32,9 35 – 45
Rendah
PLT 310 150 – 400
MCV 69,9 75 – 91 Rendah
MCHC 30,5 31 – 37 Rendah
GDS 365 < 140 Tinggi

Kimia Darah (06/02/2019)


Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
SGOT/AST 17 < 38
SGPT/ALT 21 < 41
BUN 25 15 – 40
SC 0,9 0,5 – 1,5
EKG (06/02/2019)

Irama sinus, aksis normal, PR interval 0,16 detik, QRS kompleks 0,08 detik, ST-T
segmen normal.

2.5 Diagnosis Kerja


- Diabetes Melitus tipe II
o Susp. gastropati Diabetikum + polineuropati perifer
- Anemia hipokromik mikrositer ringan
- Hipertensi terkontrol
2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksanan di IGD (06/02/2019) :
- IVFD NS 20 tetes/menit
- Injeksi ondansetron 4mg intravena
- Lansoprazole 2 x 30mg
- Metformin 3 x 500mg
- Glimepiride 1 x 4mg
- Lisinopril 1 x 10mg
- Domperidone 2 x 10mg
- Mecobalamin 2 x 500mcg per oral
Tatalaksana follow up di ruangan :
7 Februari 2019
S : Keluhan mual muntah (+) berkurang, makan sedikit sedikit
O : TD : 130/80 mmHg RR : 18 kali/menit
Nadi : 82 kali/menit Tax : 36,2 0C
GDP : 253 mg/dL
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium
A : DM tipe II dengan gastropati diabetikum + anemia ringan + HT terkontrol
P: - IVFD NS 20 tetes/menit - Metformin 3 x 500mg per oral
- Injeksi omeprazole 40mg intravena - Glimepiride 1 x 4mg per oral
- Ondansetron 2 x 8mg per oral - Lisinopril 1 x 10mg per oral
- Lansoprazole 2 x 30mg per oral - Cek GDP 24 jam
- Domperidone 2 x 10mg per oral - Mecobalamin 2 x 500mcg
- Sulfas Ferosus 2 x 1 tablet

8 Februari 2019
S : Keluhan muntah (-), Mual (+) berkurang, makan minum normal
O: TD : 130/80 mmHg RR : 20 kali/menit
Nadi : 78 kali/menit Tax : 36,3 0C
GDP : 241 mg/dL
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) berkurang
A : DM tipe II dengan gastropati diabetikum + anemia ringan + HT terkontrol
P: - Domperidone 2 x 10mg per oral
- Lansoprazole 2 x 30mg per oral
- Sulfas Ferosus 2 x 1 tablet
- Metformin 3 x 500mg per oral
- Glimepiride 1 x 4mg per oral
- Lisinopril 1 x 10mg per oral
- Mecobalamin 2 x 500mcg per oral
BAB IV

PPEMBAHASAN

Gastropati diabetikum merupakan sindroma klinis yang dialami penderita


diabetes melitus berupa gangguan saluran cerna bagian atas yang berkaitan dengan
gangguan motilitas dan didapatkan adanya keterlambatan pengosogan lambung.
American Gastroenterological Association (AGA) menambahkan bahwa diagnosis
gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala yang sesuai serta tidak
ditemukannya lesi obstruktif pada lambung maupun usus halus melalui pemeriksaan
penunjang.3

Pada kasus yang dipaparkan, pasien perempuan, 50 tahun datang dengan


keluhan mual muntah yang berulang sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengeluhkan keluhan tersebut sudah sejak lama dan sempat membaik dengan
sendirinya, dikatakan juga perutnya mudah terasa kembung. Keluhan mual muntah
pada pasien dikatakan sering berulang, sempat membaik dengan obat penurun asam
lambung namun muncul kembali, awal keluhan dikatakan terasa mual serta perih di ulu
hati yang kemudian dirasakan naik ke arah dada, setelah itu timbul muntah Pasien
mengaku memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus sejak sekitar 10 tahun yang lalu,
dengan rata-rata gula darah puasa yaitu 240 mg/dL, tidak ada riwayat pemakaian obat
kortikosteroid yang rutin sebelumnya. Hal ini serupa dengan gejala pada gastropati
diabetikum yaitu muntah, mual, cepat kenyang, kembung, rasa tidak nyaman di perut,
serta sering bersendawa. Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi pada dispepsia
pengosongan lambung terjadi lebih cepat dibandingkan gastropati, sehingga pada
gastropati keluhan dapat muncul kembali meski dengan obat penurun asam lambung.

Suatu studi mengatakan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab kedua


tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%), sedangkan sebab lainnya
adalah paska operasi lambung (19%). Dari hasil berbagai laporan kasus juga
disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes mellitus mengalami
keterlambatan waktu pengosongan lambung.3,7 Berdasarkan keterangan tersebut, dapat
dicurigai bahwa pasien pada dengan riwayat diabetes mellitus yang dipaparkan dalam
kasus mengalami suatu gastroparesis atau gastropati diabetikum. Selain hal itu, perlu
dipertimbangkan juga efek samping obat metformin yang dikonsumsi pasien
mengingat efek samping mual yang dapat ditimbulkan, apakah diperlukan kombinasi
obat dengan dosis berbeda maupun penggantian jenis obat.

Berdasarkan data antropometri, pasien pada kasus berada dalam batas normal
(IMT 24,03 kg/m2) dengan hasil pemeriksaan fisik secara general ditemukan dalam
batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap
menunjukkan hasil normal, hanya saja pada kadar Haemoglobin pasien didapatkan
hasil 9,8 gr/dL yang berarti pasien menderita anemia ringan. Hal ini mungkin berkaitan
dengan kondisi pasien sebelum masuk rumah sakit yang sempat mengalami menstruasi
yang cukup banyak, namun secara klinis pasien tampak baik tanpa keluhan dan gejala
yang berkaitan dengan anemia. Pada pemeriksaan kimia darah juga didapatkan hasil
yang normal pada fungsi hati maupun fungsi ginjal pasien. Pemeriksaan
elektrokardiogram juga menunjukkan hasil normal. Kadar gula darah sewatu pasien
saat masuk rumah sakit yaitu 365 mg/dL. Secara teori dikatakan bahwa idealnya pada
pasien dengan gastropati diabetikum dilakukan pemeriksaan laboratorium dibutuhkan
untuk menyingkirkan infeksi, gangguan metabolik lain, dan penyebab imunologis
menyebabkan gejala saluran cerna atas.3,7 Dalam patofisiologi gastropati dikatakan
bahwa kondisi lonjakan kadar gula darah akan memicu stress oksidatif pada neuron-
neuron dari nervus vagus yang mempersarafi lambung dapat mengalami disfungsi
akibat adanya demyelinisasi karena dari akumulasi glukosa darah.3,6 Kondisi
hiperglikemia yang telah berlangsung menahun menyebabkan terbantuknya ROS
(reactive oxygen species) atau suatu oksidan dalam darah, dimana hal tersebut
merupakan salah satu penyebab komplikasi diabetes mellitus yaitu makro dan
mikroangiopati.6 Angiopati kemudian dapat berdampak luas, bisa mengenai pembuluh
darah pada saraf maka dapat terjadi neuropati.6,14
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan
diagnosis pasien dengan kecurigaaan utama Gastropati Diabetikum. Karena
keterbatasan fasilitas, tidak dikerjakan suatu tes penunjang pada pasien untuk
membuktikan adanya keterlambatan pengosogan lambung. Namun secara klinis
didapatkan keluhan sesuai teori gastropati DM yaitu mual dan muntah, cepat kenyang,
perut terasa kembung, rasa tidak nyaman pada perut.9 Dikatakan keluhan sering muncul
kembali meskipun sudah konsumsi obat penurun asam lambung dimana hal tersebut
membedakan pasien dari gejala dispepsia biasa.
Penanganan yang diberikan pada pasien pada saat masuk rumah sakit adalah
infus Normal Saline 20 tetes/menit, injeksi ondansetron 4mg intravena, lansoprazole 2
x 30mg, metformin 3 x 500mg, lisinopril 1 x 10mg. Infus diberikan sebagai terapi
konservatif untuk menangani dehidrasi dan sebagai jalur masuk obat intravena agar
penanganan lebih cepat. Pemilihan obat juga sudah sesuai teori yakni obat antimimetik
ondansetron. Jalur pemberian ondansetron disesuaikan dengan kondisi klinis pasien
saat masuk rumah sakit. Disamping itu, terapi untuk diabetes mellitus dan hipertensi
pada pasien tetap dilanjutkan. Tatalaksana di ruangan juga sudah sesuai dengan teori,
yakni pengaturan diet dan menambahkan obat prokinetik berupa domperidone. Diet
pasien dibuat sedemikian rupa dengan jadwal makan yang sering, ukuran kecil,
makanan rendah serat dan rendah lemak dengan intake nutrisi dalam bentuk lunak.6,8
Secara teori dikatakan terapi farmakologis pada gastropati DM dapat berupa obat-
obatan prokinetik, antiemetik dan antispasmodik disamping pengobatan diabetes
mellitu.3,6 Obat-obatan prokinetik dikatakan adalah pendekatan terapeutik paling
efektif untuk gastropati DM, pilihan obat prokinetik dapat berupa metoclopramide,
domperidone, cisapride atau erythromycin.3,6 Pemilihan obat disesuaikan dengan
ketersediaan serta efek samping yang mungkin terjadi. Meski domperidone dikatakan
memiki efek prokinetik lebih rendah dibandingkan cisapride san metoclopramide, efek
samping domperidone sangat jarang terjadi yaitu sekitar 2-7% dari kasus, umumnya
adalah mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal, atau diare.3,15 Dosis terapi
antimimetik dan prokinetik pada pasien juga sesuai dengan teori. Disamping itu, pasien
juga diberikan suplementasi zat besi untuk menangani kondisi anemia ringan yang
diderita pasien. Kiranya diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk mencara
sumber perdarahan yang mengakibatkan anemia pada pasien, kemungkinan sudah
terjadi suatu perdarahan yang telah lama berlangsung sebelumnya namun belum
dikerjakan pemeriksaan penunjang tambahan.
Prognosis pasien saat ini adalah baik dari aspek mortalitas (ad vitam), baik
dari aspek fungsi (ad functionam), dan meragukan namun cenderung buruk dari aspek
kekambuhan (ad sanationam). Diagnosis gastropati diabetikum pada pasien tidak
menimbulkan risiko kematian pada pasien, namun karena pasien memiliki riwayat
diabetes mellitus yang sudah berlangsung sejak lama, pasien sudah tidak berusia muda,
maka kekambuhan dapat saja terjadi terutama bila diet dan kontrol gula darah tidak
dipantau dengan baik. Pasien diabetes mellitus menahun dengan keluhan mual muntah
yang disertai anemia kiranya perlu ditindaklanjuti lebih jauh untuk mencari tahu ada
tidaknya perdarahan organ dalam untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
BAB V
SIMPULAN
Gastropati diabetikum adalah salah satu komplikasi dari penyakit diabetes
mellitus yang telah lama diderita pasien. Gastropati diabetikum merupakan sindroma
klinis pada pasien diabetes mellitus yang terjadi di saluran cerna atas akibat adanya
disfungsi neurogenik, sehingga terjadi gangguan motilitas pada organ pencernaan
tersebut. Jika dilakukan suatu uji tertentu didapatkan adanya keterlambatan
pengosogan pada lambung pada penderita gastropati. Diagnosis gastropati ditegakkan
dengan adanya gejala klinis dan ditemukan tanda-tanda penundaan pengosongan
lambung tanpa diemukannya suatu gangguan obstruksi atau defek anatomis yang telah
ditelusuri melalui pemeriksaan endoskopi maupun pencitraan radiologi.
Tujuan penatalaksanaan gastropati diabetikum yaitu memperbaiki kualitas
hidup pasien, mencegah komplikasi, serta membantu kendali diabetes yang lebih baik.
Sampai saat ini tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang
simptomatik, daripada kasus asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes yang baik
belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan untuk membantu mencapai
kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi, pengobatan terhadap kasus
asimptomatik dapat diberikan. Meski memiliki prognosis yang baik, gastropati
diabetikum memiliki resiko kekambuhan cukup tinggi terutama pada penderita
diabetes mellitus dengan kontrol gula darah yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anne M, Agur P, Moore R, Keith L, et al. Essential Clinical Anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins 2007; 3: 147-150.
2. Omar F, David M. Anatomy at a Glance. Blackwell Science Ltd, Blackwell
Publishing company 2002. p31-9.
3. Camilleri M, Parkman H, Shafi MA, Abell TL, Gerson L, et al. Clinical Guideline:
Management of Gastroparesis. Am J Gastroenterol 2013; 108:18–37.
4. Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S, et al. Ganong’s Review of Medical
Physiology. 23th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p344-50.
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006. p278-286.
6. Krishnasamy S, Abell TL. Diabetic Gastroparesis: Principles and Current Trends
in Management. Diabetes Ther 2018; 9: 1–42.
7. Cammillery M. Diabetic Gastroparesis. N Engl J Med, 2007; 8: 356-358.
8. Attila T, Koch TR. Pathophysiology and Management of Diabetic Gastropathy.
In Nutrition and Diabetes: Pathophysiology and Management. London: Taylor &
Francis group; 2005. p428-438.
9. Park IM, Camilleri M, et al. Gastroparesis: Clinical Update. Am J of
Gastroenterology, 2006; 101: p1129-39.
10. Parkman HP, Hasler WL, Barnett JL, Eaker E. Electrogastrography: a Document
Prepared by the Gastric Section of The American Motility Society Clinical GI
Testing Task Force. Neurogastroenterol Motil, 2003; 15: 89-102.
11. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to System. 7th ed. Toronto; 2010.
p126-132.
12. Richard M, Marc G, Levine M, et al. Textbook of Gastrointestinal Radiology. 3rd
ed. Philadelphia; 2007. p41-44.
13. Varon AR, Zuleta J. The Understanding of Gastroparesis : Physiology of Gastric
Emptying. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.
14. Keld R, Kinsey L, Athwal V, Lal S. Review: Pathogenesis, Investigation, and
Dietary and Medical Management of Gastroparesis. J Hum Nutr Diet, 2011; 24:
421-430.
15. Ajumobi AB, Griffin RA, et al. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis:
Evaluation and Management. Hospital Physician 2008; 4:27-35.

Anda mungkin juga menyukai