GASTROPATI DIABETIKUM
Oleh :
dr. Nyoman Angga Santosa, S.Ked
Pembimbing :
dr. Beny Surya Wijaya, M. Biomed, Sp.PD
Pendamping :
dr. Ni Made Murtini, MARS
dr. I Nyoman Darsana, M. Biomed, Sp.S
Lambung atau gaster merupakan bagian saluran pencernaan yang dapat melebar
dan mempunyai tiga fungsi utama yaitu: 1) Menyimpan makanan; pada orang dewasa,
lambung mempunyai kapasitas sekitar 1500 ml. 2) Mencampur makanan dengan asam
lambung untuk membentuk kimus yang setengah padat. 3) Mengatur kecepatan
pengiriman kimus ke duodenum sehingga pencernaan dan absorpsi yang efisien dapat
berlangsung.1
Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium kiri
sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian besar lambung terletak di
bawah iga-iga bagian bawah. Secara kasar lambung berbentuk seperti huruf J dan
mempunyai dua lubang (ostium cardiacum dan ostium pyloricum), dua curvatura
(curvatura mayor dan curvatura minor), dan dua permukaan (anterior dan posterior).
Lambung relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi diantara ujung-ujung tersebut
sangat mobile. Lambung cenderung terletak tinggi dan transversal pada orang yang
pendek dan gemuk (lambung steer-horn) dan memanjang secara vertikal pada orang
yang tinggi dan kurus (lambung berbentuk huruf J). Bentuk lambung dapat bervariasi
pada setiap orang tergantung pada volume isinya, posisi tubuh dan fase pernafasan.1
Lambung terbagi atas beberapa bagian yaitu Fundus, Corpus, dan Pylorus.
Fundus berbentuk kubah dan menonjol ke arah superior dari perbatasan esophagus-
gaster dan terletak di sebelah kiri ostium cardiacum, biasanya fundus terisi penuh oleh
gas. Corpus merupakan “badan” dari lambung, menempati porsi dari setinggi ostium
cardiacum sampai setinggi incisura angularis, suatu lekukan yang selalu ada pada
bagian bawah curvatura minor yang membagi lambung menjadi kanan dan kiri. Pylorus
adalah bagian yang paling berbentuk lambung, terdapat dua bagian yaitu antrum
pyloruicum dan canalis pyloricus. Antrum pyloricum memiliki dinding otot yang tebal
membentuk sphincter pyloricum, sedangkan canalis pyloricum merupakan rongga
penghubung lambung dan usus halus.1,2
Pada corpus gaster, terdapat curvatura minor yang membentuk pinggir kanan
dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai pylorus. Curvatura mayor jauh lebih
panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri ostium cardiacum, melalui
fundus dan kemudian mengitarinya menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus.
Omentum atau ligamentum, yaitu suatu lipatan peritoneum yang menghubungkan
lambung dan organ di abdomen lainnya, omentum minor terbentang dari curvatura
minor sampai hati. Omentum mayor atau omentum gastrolienalis terbentang dari
bagian atas curvatura mayor sampai limpa, dan terbentang dari bagian bawah curvatura
mayor sampai colon transversum.1
Terdapat 2 lubang (ostium) pada lambung yaitu Ostium cardiacum dan Ostium
pyloricum. Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen
masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter disini, namun
diduga bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung
ke oesophagus. Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricum yang panjangnya
sekitar 2,5 cm terdapat otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal dan secara
anatomis dan fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Otot sphincter pyloricum
mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung (kimus) ke duodenum.1,3
Pada bagian anterior, atas lambung dibatasi oleh dinding anterior abdomen,
arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma dan lobus kiri hepar. Sedangkan pada
sisi posterior, lambung dibatasi oleh bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar
suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri, arteri lienalis, pankreas, mesocolon transversum
dan colon transversum.1
Pembuluh Arteri2
A.gastrica sinistra, berasal dari A.coelica. Ia berjalan ke atas dan kiri untuk mencapai
oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura minor lambung. Ia
memperdarahi sepertiga bawah oesophagus dan bagian kanan atas lambung.
A.gastrica dextra, berasal A.hepatica pada pinggir atas pylorus dan berjalan ke kiri
sepanjang curvatura minor. Ia memperdarahi bagian kanan bawah lambung.2
A.gastrica brevis, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan ke depan dalam
ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi fundus.
A.gastroepiploica sinistra, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan ke
depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi lambung sepanjang
bagian atas curvatura major.
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. Vena gastrica sinistra dan
dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta hepatica. V.gastrica brevis dan
V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra
bermuara dalam V.mesenterica superior.2
Lambung dan usus diinervasi oleh enteric nervus system (ENS) yang
terdistribusi diantara dinding otot polos seperti nervus otonom, baik parasimpatis
(terbanyak nervus vagus) maupun simpatis.1
Inervasi intrinsik
Inervasi extrinsik
Tanpa pengaruh hormonal maupun neural, sebagian besar daerah pada traktus
gastrointestinal akan menimbukan aktivitas dan mekanisme elektrik. Aktivitas elektrik
verasal dari sekumpulan sel yang disebut dengan sel interstisal Cajal (Interstitial cells
of Cajal atau ICCs) yang terletak di lapisan submukosa, intramuskular, dan
intermuskular dari traktus gastrointestinal.3,4 Sel-sel ini akan menimbulkan mekanisme
elektrik berupa gelombang lambat atau slow waves dan kemudian mengkoordinir input
dari sistem saraf otonom untuk memacu sel otot polos.4 ICCs terletak diantara lapisan
otot (ICC intramuscular atau ICC-IM) dan sirkular dari plexus myenterikus (ICC-MP)
yang berperan penting untuk memaksimalkan frekuensi dari fase kontraksi.4 ICC-IM
merupakan kumpulan ICCs diantara sel otot polos sirkular (ICC-CM) dan longitudinal
(ICC-LM) dari lambung yang bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi
langsung dengan akhir nervus enterik.4 ICC-SEP terletak antara pada septa jaringan
ikat, yang akan mentransmisikan depolarisasi antar serabut otot. Pada usus manusia,
ICCs sebagian besar terletak dalam lapisan sirkuler yang membentuk plexus
muskularis profunda (ICC Deep Muscular Plexus atau ICC-DMP). ICC-DMP pada
usus mempunyai peranan yang sama dengan ICC-IM yang terdapat di lambung.4
Sekresi dari hormon Gastrin, Secretin, dan CCK sebagai respon terhadap nutrisi
yang diserap usus mempunyai peranan penting dalam regulasi pengosongan lambung,
efek inhibitor pada pengosongan lambung dimainkan oleh octreotide, sebuah inhibitor
dari sekresi hormon peptida.4
Gastrin
Gastrin merupakan hormon peptida yang dilepaskan dari sel G pada antrum
pylorus lambung. Gastrin mempunyai efek yang kuat untuk menyebabkan sekresi asam
lambung dengan bereaksi pada Enterochromaffin-like cells (ECL) pada reseptor CCK-
B untuk mensekresi histamin. Histamin yang dilepaskan kemudian bertindak secara
parakrin pada sel parietal lambung dan menginduksi penyisipan pompa K+/H+ ATPase
yang merangsang pengeluaran ion H+ sebagai pembentuk asam lambung.4,5 Hormon
gastrin juga mempunyai efek perangsangan fungsi motorik lambung dengan
meningkatkan aktivitas pompa pylorus, sehingga gastrin dikatakan dapat
meningkatkan mekanisme pengorsongan lambung.5
Secretin
Secretin adalah hormon peptida yang disekresi dari sel S pada mukosa
duodenum sebagai respons terhadap HCL yang dilepaskan dari lambung melalui
antrum pylorus.5 Hormon ini memiliki efek sistemik dan memiliki sebagian fungsi
pengaturan motilitas gastrointestinal. Secretin berfungsi menstimulasi sel asinar
pankreas untuk mensekresi bikarbonat yang dilepaskan ke dalam lumen duodenum,
bikarbonat berfungsi menetralkan asam lambung. Selain itu, secretin juga menghambat
sekresi gastrin oleh sel G pada lambung dan memiliki fungsi langsung menunda proses
pengosongan lambung.4,5
Cholecystokinin (CCK)
CCK disekeresikan oleh sel L pada duodenum dan jejunum bagian atas, serta
ditemukan di otak. Terdapat beberapa bentuk CCK diantaranya adalah CCK-8, CCK-
22, CCK-33, dan CCK-58 dimana CCK-33 merupakan bentuk yang dominan pada
pada plasma dan usus. Waktu paruh dari CCK selama 1-2 menit. Protein dan lemak
merangsang kuat skresi dari CCK, sedangkan karbohidrat hanya memberikan sedikit
rangsangan.5
Lemak pada usus halus mempunyai aksi dalam memperlambat pengosongan
lambung pada manusia yang diregulasi secara dominan oleh CCK melalui reseptor
CCK-1, dan dihambat dengan antagomnis CCK-1, loxiglumide. CCK memperlambat
pengosongan lambung dengan merelaksasi bagian proksimal lambung, meningkakan
tekanan basal dan fasik pilorus, serta menghambat pergerakan antrum yang dimediasi
oleh jalur refleks vasovagal. Berkebalikan dengan efeknya pada lambung, CCK
eksogen akan meningkatkan aktivitas motorik dari usus halus dan memperpendek
waktu transit pada usus.5
Terdapat tiga fase dalam proses pengosongan lambung yaitu fase propulsi, fase
pengosongan, dan fase retropulsi. Pada fase propulsi, gelombang peristaltik dimulai
dari lambung proksimal dan menuju ke arah pylorus. Gelombang peristaltik ini berasal
dari dinding lambung yang terdiri atas sel-sel interstisial Cajal. Sel-sel ini akan
menimbulkan mekanisme elektrik berupa gelombang lambat atau slow waves dan
kemudian mengkoordinir input dari sistem saraf otonom untuk memacu sel otot polos.
Mekanisme eletrik ini selalu ada namun tidak menimbulkan kontraksi, karena kontraksi
hanya akan terjadi apabila terdapat pelepasan neurotransmitter eksitatorik seperti
asetilkolin (ACH).6 Pelepasan ACH akan mengakibatkan gerakan lambung melalui
refleks sefalik (melalui DMV) dan refleks gastrointestinal (melalui neuron
paravertebralis), dimana pelepasan ACH tersebut dipicu oleh mekanoreseptor saat
mengunyah makanan serta mekanoreseptor dan/atau kemoreseptor di lambung saat
makanan masuk.6 Gelombang peristaltik yang terjadi pada fase propulsi ini lemah,
namun ketika gelombang mencapai antrum proksimal gelombang akan diperkuat oleh
ICC sehingga meningkatkan kontriksi sirkular.5,6
2.3.1 Definisi
2.3.2 Epidemiologi
2.3.4 Diagnosis
Gejala Klinis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
Meskipun agak jarang, obstruksi saluran cerna bagian tengah dan bawah
dapat menyerupai gastroparesis, bila tanda klinis mengarah ke kemungkinan tersebut
perlu dilakukan pemeriksaan seperti foto polos abdomen, barium follow through
ataupun CT scan. Harus pula diingat kemungkinan adanya ulkus peptikum maupun
perforasi, appendicitis, pankreatitis, penyakit susunan syaraf pusat, sindroma
paraneoplastik, efek samping obat, dan psikogenik.13
2.3.6 Komplikasi
Prokinetik
Metoclopramide
Domperidone
Cisapride
Tindakan Operatif
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Mual muntah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar keluarga ke IGD Bhayangkara Polda Bali tanggal 6
Februari 2019 dengan keluhan mual dan muntah sejak 10 hari sebelum masuk Rumah
Sakit. Muntah dikatakan mengeluarkan makanan yang dikonsumsi sebelumnya, encer,
berwarna kekuningan, terasa pahit, tidak disertai darah dan dikatakan cukup banyak.
Muntah yang cukup banyak membuat pasien merasa lemas, pusing, dan nafsu makan
menurun. Keluhan mual dikatakan sempat membaik dengan pemberian obat lambung
namun muncul kembali meski pasien tidak terlambat makan. Pasien mengatakan awal
keluhan terasa mual serta perih di ulu hati yang kemudian dirasakan naik ke arah dada,
setelah itu timbul muntah yang cukup banyak hingga membuat badannya lemas.
Keluhan ini dikatakan sudah berulang beberapa kali.
Pasien juga mengeluhkan perutnya mudah kembung. Keluhan perut kembung
dikatakan sejak 7 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Perutnya dikatakan mudah terasa
kembung setelah makan meskipun dalam porsi makan yang sedikit dan terkadang
terasa tegang saat perutnya mulai kembung. Tidak ada faktor yang memperberat
maupun memperingan keluhan perut kembung tersebut. Pasien mengaku jarang kentut
maupun bersendawa jika perutnya kembung. Nafsu makan pasien dikatakan menurun
sehingga pasien lebih banyak mengonsumsi cemilan saja sejak sehari sebelum masuk
Rumah Sakit.
Keluhan lainnya yang dikeluhkan adalah lemas. Lemas dikatakan di seluruh
tubuh, pasien mengaku sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit pasien mengalami
menstruasi yg cukup banyak sehingga pasien merasa mudah lelah dan kurang
bertenaga. Selam menstruasi dikatakan pasien tidak mengalami demam maupun
keluhan lainnya. Menstruasi dikatakan sudah berhenti sejak hari pertama pasien masuk
Rumah Sakit.
Pasien mengaku sering kesemutan pada kedua kakinya. Keluhan kesemutan
dikatakan sudah sejak lama dan hilang timbul. Dikatakan keluhan kesemutan bisa
terjadi tiba-tiba dan tidak ada faktor yang memperingan maupun memperberat keluhan.
Pasien mengaku sering kencing, terkadang pasien terjaga pada malam hari karena harus
ke kamar kecil untuk berkemih sebanyak sekitar 3 kali.
Status Generalis :
Kepala : Normocephali, deformitas tidak ada
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor
THT :
- Telinga : Daun telinga N/N, sekret tidak ada, pendengaran normal
- Hidung : Sekret tidak ada
- Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher : JVP + 0 cmH2O, Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
- Cor : S1 S2 normal, regular, murmur (-)
- Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), bising usus (+) normal, nyeri tekan (+)
epigastrium, perkusi timpani
Ekstremitas : Hangat + + , edema - -
+ + - -
Irama sinus, aksis normal, PR interval 0,16 detik, QRS kompleks 0,08 detik, ST-T
segmen normal.
8 Februari 2019
S : Keluhan muntah (-), Mual (+) berkurang, makan minum normal
O: TD : 130/80 mmHg RR : 20 kali/menit
Nadi : 78 kali/menit Tax : 36,3 0C
GDP : 241 mg/dL
Abdomen : distensi (-), BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+) berkurang
A : DM tipe II dengan gastropati diabetikum + anemia ringan + HT terkontrol
P: - Domperidone 2 x 10mg per oral
- Lansoprazole 2 x 30mg per oral
- Sulfas Ferosus 2 x 1 tablet
- Metformin 3 x 500mg per oral
- Glimepiride 1 x 4mg per oral
- Lisinopril 1 x 10mg per oral
- Mecobalamin 2 x 500mcg per oral
BAB IV
PPEMBAHASAN
Berdasarkan data antropometri, pasien pada kasus berada dalam batas normal
(IMT 24,03 kg/m2) dengan hasil pemeriksaan fisik secara general ditemukan dalam
batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap
menunjukkan hasil normal, hanya saja pada kadar Haemoglobin pasien didapatkan
hasil 9,8 gr/dL yang berarti pasien menderita anemia ringan. Hal ini mungkin berkaitan
dengan kondisi pasien sebelum masuk rumah sakit yang sempat mengalami menstruasi
yang cukup banyak, namun secara klinis pasien tampak baik tanpa keluhan dan gejala
yang berkaitan dengan anemia. Pada pemeriksaan kimia darah juga didapatkan hasil
yang normal pada fungsi hati maupun fungsi ginjal pasien. Pemeriksaan
elektrokardiogram juga menunjukkan hasil normal. Kadar gula darah sewatu pasien
saat masuk rumah sakit yaitu 365 mg/dL. Secara teori dikatakan bahwa idealnya pada
pasien dengan gastropati diabetikum dilakukan pemeriksaan laboratorium dibutuhkan
untuk menyingkirkan infeksi, gangguan metabolik lain, dan penyebab imunologis
menyebabkan gejala saluran cerna atas.3,7 Dalam patofisiologi gastropati dikatakan
bahwa kondisi lonjakan kadar gula darah akan memicu stress oksidatif pada neuron-
neuron dari nervus vagus yang mempersarafi lambung dapat mengalami disfungsi
akibat adanya demyelinisasi karena dari akumulasi glukosa darah.3,6 Kondisi
hiperglikemia yang telah berlangsung menahun menyebabkan terbantuknya ROS
(reactive oxygen species) atau suatu oksidan dalam darah, dimana hal tersebut
merupakan salah satu penyebab komplikasi diabetes mellitus yaitu makro dan
mikroangiopati.6 Angiopati kemudian dapat berdampak luas, bisa mengenai pembuluh
darah pada saraf maka dapat terjadi neuropati.6,14
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan
diagnosis pasien dengan kecurigaaan utama Gastropati Diabetikum. Karena
keterbatasan fasilitas, tidak dikerjakan suatu tes penunjang pada pasien untuk
membuktikan adanya keterlambatan pengosogan lambung. Namun secara klinis
didapatkan keluhan sesuai teori gastropati DM yaitu mual dan muntah, cepat kenyang,
perut terasa kembung, rasa tidak nyaman pada perut.9 Dikatakan keluhan sering muncul
kembali meskipun sudah konsumsi obat penurun asam lambung dimana hal tersebut
membedakan pasien dari gejala dispepsia biasa.
Penanganan yang diberikan pada pasien pada saat masuk rumah sakit adalah
infus Normal Saline 20 tetes/menit, injeksi ondansetron 4mg intravena, lansoprazole 2
x 30mg, metformin 3 x 500mg, lisinopril 1 x 10mg. Infus diberikan sebagai terapi
konservatif untuk menangani dehidrasi dan sebagai jalur masuk obat intravena agar
penanganan lebih cepat. Pemilihan obat juga sudah sesuai teori yakni obat antimimetik
ondansetron. Jalur pemberian ondansetron disesuaikan dengan kondisi klinis pasien
saat masuk rumah sakit. Disamping itu, terapi untuk diabetes mellitus dan hipertensi
pada pasien tetap dilanjutkan. Tatalaksana di ruangan juga sudah sesuai dengan teori,
yakni pengaturan diet dan menambahkan obat prokinetik berupa domperidone. Diet
pasien dibuat sedemikian rupa dengan jadwal makan yang sering, ukuran kecil,
makanan rendah serat dan rendah lemak dengan intake nutrisi dalam bentuk lunak.6,8
Secara teori dikatakan terapi farmakologis pada gastropati DM dapat berupa obat-
obatan prokinetik, antiemetik dan antispasmodik disamping pengobatan diabetes
mellitu.3,6 Obat-obatan prokinetik dikatakan adalah pendekatan terapeutik paling
efektif untuk gastropati DM, pilihan obat prokinetik dapat berupa metoclopramide,
domperidone, cisapride atau erythromycin.3,6 Pemilihan obat disesuaikan dengan
ketersediaan serta efek samping yang mungkin terjadi. Meski domperidone dikatakan
memiki efek prokinetik lebih rendah dibandingkan cisapride san metoclopramide, efek
samping domperidone sangat jarang terjadi yaitu sekitar 2-7% dari kasus, umumnya
adalah mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal, atau diare.3,15 Dosis terapi
antimimetik dan prokinetik pada pasien juga sesuai dengan teori. Disamping itu, pasien
juga diberikan suplementasi zat besi untuk menangani kondisi anemia ringan yang
diderita pasien. Kiranya diperlukan pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk mencara
sumber perdarahan yang mengakibatkan anemia pada pasien, kemungkinan sudah
terjadi suatu perdarahan yang telah lama berlangsung sebelumnya namun belum
dikerjakan pemeriksaan penunjang tambahan.
Prognosis pasien saat ini adalah baik dari aspek mortalitas (ad vitam), baik
dari aspek fungsi (ad functionam), dan meragukan namun cenderung buruk dari aspek
kekambuhan (ad sanationam). Diagnosis gastropati diabetikum pada pasien tidak
menimbulkan risiko kematian pada pasien, namun karena pasien memiliki riwayat
diabetes mellitus yang sudah berlangsung sejak lama, pasien sudah tidak berusia muda,
maka kekambuhan dapat saja terjadi terutama bila diet dan kontrol gula darah tidak
dipantau dengan baik. Pasien diabetes mellitus menahun dengan keluhan mual muntah
yang disertai anemia kiranya perlu ditindaklanjuti lebih jauh untuk mencari tahu ada
tidaknya perdarahan organ dalam untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
BAB V
SIMPULAN
Gastropati diabetikum adalah salah satu komplikasi dari penyakit diabetes
mellitus yang telah lama diderita pasien. Gastropati diabetikum merupakan sindroma
klinis pada pasien diabetes mellitus yang terjadi di saluran cerna atas akibat adanya
disfungsi neurogenik, sehingga terjadi gangguan motilitas pada organ pencernaan
tersebut. Jika dilakukan suatu uji tertentu didapatkan adanya keterlambatan
pengosogan pada lambung pada penderita gastropati. Diagnosis gastropati ditegakkan
dengan adanya gejala klinis dan ditemukan tanda-tanda penundaan pengosongan
lambung tanpa diemukannya suatu gangguan obstruksi atau defek anatomis yang telah
ditelusuri melalui pemeriksaan endoskopi maupun pencitraan radiologi.
Tujuan penatalaksanaan gastropati diabetikum yaitu memperbaiki kualitas
hidup pasien, mencegah komplikasi, serta membantu kendali diabetes yang lebih baik.
Sampai saat ini tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang
simptomatik, daripada kasus asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes yang baik
belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan untuk membantu mencapai
kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi, pengobatan terhadap kasus
asimptomatik dapat diberikan. Meski memiliki prognosis yang baik, gastropati
diabetikum memiliki resiko kekambuhan cukup tinggi terutama pada penderita
diabetes mellitus dengan kontrol gula darah yang buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anne M, Agur P, Moore R, Keith L, et al. Essential Clinical Anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins 2007; 3: 147-150.
2. Omar F, David M. Anatomy at a Glance. Blackwell Science Ltd, Blackwell
Publishing company 2002. p31-9.
3. Camilleri M, Parkman H, Shafi MA, Abell TL, Gerson L, et al. Clinical Guideline:
Management of Gastroparesis. Am J Gastroenterol 2013; 108:18–37.
4. Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S, et al. Ganong’s Review of Medical
Physiology. 23th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p344-50.
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006. p278-286.
6. Krishnasamy S, Abell TL. Diabetic Gastroparesis: Principles and Current Trends
in Management. Diabetes Ther 2018; 9: 1–42.
7. Cammillery M. Diabetic Gastroparesis. N Engl J Med, 2007; 8: 356-358.
8. Attila T, Koch TR. Pathophysiology and Management of Diabetic Gastropathy.
In Nutrition and Diabetes: Pathophysiology and Management. London: Taylor &
Francis group; 2005. p428-438.
9. Park IM, Camilleri M, et al. Gastroparesis: Clinical Update. Am J of
Gastroenterology, 2006; 101: p1129-39.
10. Parkman HP, Hasler WL, Barnett JL, Eaker E. Electrogastrography: a Document
Prepared by the Gastric Section of The American Motility Society Clinical GI
Testing Task Force. Neurogastroenterol Motil, 2003; 15: 89-102.
11. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to System. 7th ed. Toronto; 2010.
p126-132.
12. Richard M, Marc G, Levine M, et al. Textbook of Gastrointestinal Radiology. 3rd
ed. Philadelphia; 2007. p41-44.
13. Varon AR, Zuleta J. The Understanding of Gastroparesis : Physiology of Gastric
Emptying. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.
14. Keld R, Kinsey L, Athwal V, Lal S. Review: Pathogenesis, Investigation, and
Dietary and Medical Management of Gastroparesis. J Hum Nutr Diet, 2011; 24:
421-430.
15. Ajumobi AB, Griffin RA, et al. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis:
Evaluation and Management. Hospital Physician 2008; 4:27-35.