Anda di halaman 1dari 27

CSS REFERAT

Hipertensi Dalam Kehamilan

Disusun oleh:
Raissa Gabriella – 1215190
Alodia Ardianti Kurnia – 1415008
Innocence Nandia Amanda – 1415125
Moch. Fathonil Aziz – 1415129
Yoshua Arif Putra – 1415139

Pembimbing:
Dr. dr. Roni Rowawi, Sp.OG (K)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
SMF OBSTETRI-GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2018

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................4

2.1 Klasifikasi Hipertensi Pada Kehamilan............................................................................4

2.2. Epidemiologi.....................................................................................................................5

2.3. Faktor Risiko................................................................................................................................6

2.4. Diagnosis hipertensi dalam kehamilan......................................................................................7

2.5. Patogenesis..........................................................................................................................10

2.6. Patofisiologis.......................................................................................................................13

2.7. Penatalaksanaan..................................................................................................................16

2.8. Pencegahan..........................................................................................................................23

2.9. Komplikasi..........................................................................................................................24

BAB III KESIMPULAN...............................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................27

2
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan hipertensi pada kehamilan adalah penyebab kedua kematian tersering pada ibu
hamil, diantara perdarahan dan infeksi. Hipertensi pada kehamilan terjadi pada 5-8% ibu hamil.
(1)
Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab kematian pada 9,1% ibu hamil di Afrika

Hipertensi menyebabkan mortalitas pada ibu hamil. Mortalitas biasa diakibatkan karena
hipertensi ensefalopati atau kejadian serebrovaskular yang merupakan akibat sekunder dari
superimposed hipertensi berat yang diinduksi kehamilan, gagal ginjal, gagal jantung kiri, atau
sindrom hemolitik. (2)

Jika preeklamsi tidak terdeteksi, dapat berlanjut menjadi sindrom hemolitik, kerusakan
hepatoselular, dan sindrom HELLP serta eklamsi. Sindrom HELLP tercatat pada 5-10% pasien
dengan preeklamsi. Sebagai tambahan terhadap gejala dan tanda preeklamsi, kebanyakan pasien
mengeluh nyeri perut kuadran kanan atas, mual dan muntah. Komplikasi paling serius pada
hipertensi yang diinduksi oleh kehamilan adalah eklamsi. Risiko kematian pada ibu dengan
eklamsi adalah 8-36% disebabkan oleh kerusakan sistem syaraf pusat akibat kejang dan
perdarahan intraserebral (3)

Hipertensi dalam kehamilan memiliki dampak peningkatan angka mortalitas maternal,


fetus, dan neonatal Pemahaman yang baik serta deteksi dini sangat penting untuk menurunkan
mortalitas dan morbiditas pada ibu dan fetal.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Hipertensi Pada Kehamilan
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2013) tampak pada gambar 2.1. Ada 5 tipe hipertensi pada kehamilan (4) :

(1) Hipertensi gestasional


Timbulnya hipertensi pada kehamilan > 20 minggu yang tidak disertai proteinuria. Bila
hipertensi menghilang setelah 12 minggu persalinan, maka dapat juga disebut hipertensi
transien.

(2) Preeklampsia.
Hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu
disertai adanya gangguan organ.

(3) Eklampsia
Kejang pada wanita dengan preeklamsi yang bukan dikarenakan penyebab lain

(4) Preeklampsia atas dasar hipertensi kronis.


Hipertensi kronis yang disertai dengan proteinuria

(5) Hipertensi kronis.


Hipertensi yang didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu
umur kehamilan atau keduanya.

4
Gambar 2.1. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan

2.2. Epidemiologi
Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian selain
perdarahan dan infeksi. Di Afrika dan Asia, gangguan hipertensi menyumbang 9% kematian ibu,
sedangkan di Amerika didapatkan 25% gangguan hipterensi pada kehamilan. Hipertensi pada
kehamilan bertanggung jawab atas sekitar 25.000 kematian ibu hamil di Afrika, 22.000 kematian
ibu di Asia, 3.800 kematian ibu hamil di Amerika Latin, dan 150 kematian ibu hamil di negara
maju.(5)

Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara


berkembang adalah 1,8% - 18%. 5,6 Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah
128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak
terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden
infeksi yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.

Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat


kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia berdampak
pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan akibat
disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan komplikasi
lainnya. Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan prematur atau mengalami
pertumbuhan janin terhambat, serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan

5
mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering
kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah atau
mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metabolik pada saat
dewasa. (6)

Sindrom HELLP terjadi pada 0,1% -0,6% dari semua kehamilan dan pada 4% -12%
pasien dengan preeklamsia. Sindrom HELLP biasanya terjadi antara minggu ke 27 kehamilan
dan kelahiran, atau segera setelah melahirkan pada 15% -30% kasus. Insiden sindrom HELLP
secara signifikan lebih tinggi pada kulit putih dan wanita keturunan Eropa. HELLP telah terbukti
terjadi pada kelompok usia ibu yang lebih tua, dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya,
preeklamsia paling sering terjadi pada pasien yang lebih muda (usia rata-rata, 19 tahun).(7)

2.3. Faktor Risiko


Berikut ini merupakan faktor risiko hipertensi pada kehamilan:

(1) Umur > 40 tahun


(2) Nulipara/ primigravida
(3) Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
(4) Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
(5) Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
(6) Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan (genetik)
(7) Kehamilan multiple (hiperpaswntosis)
(8) IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
(9) Hipertensi kronik
(10) Penyakit Ginjal kronik
(11) Sindrom antifosfolipid (APS)
(12) Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
(13) Obesitas sebelum hamil
(14) Indeks masa tubuh > 35
(15) Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
(16) Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara kuantitatif 300
c,,,mg/24 jam)

6
2.4. Diagnosis hipertensi dalam kehamilan
Hipertensi didiagnosis ketika tekanan darah istirahat mencapai 140/90 mmHg atau lebih,
fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak
mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis
didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan
darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal
terjadinya preeklamsi. Penurunan tekanan darah normal fisiologis saat trimester ke II
menyebabkan wanita hamil memiliki tekanan darah yang normal sebelum usia kehamilan 20
minggu.

Berikut ini adalah kriteria-kriteria yang rutin digunakan untuk menegakkan diagnosis
mengenai hipertensi dalam kehamilan :

(1) Hipertensi gestasional :

a. Tekanan darah  140/90 mmHg pertama kalinya selama kehamilan


b. Tidak ada proteinuria
c. Tekanan darah kembali normal < 12 minggu postpartum
d. Diagnosis akhir hanya dibuat postpartum
e. Dapat mempunyai tanda atau gejala preeklampsi, seperti nyeri ulu hati atau
trombositopenia. (8)
(2) Preeklamsi :

Derajat dari preeklampsia ditentukan dengan frekuensi dan intensitas abnormalitas


seperti yang dijabarkan pada Tabel 2.2. Perbedaan antara preeklampsia ringan dan berat dapat
sulit ditentukan karena yang sebelumnya preeklampsia ringan dapat berubah secara cepat
menjadi preeklampsia berat(4)

7
Gambar 2.2 Derajat Preeklampsia

Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran, kriteria preklamsia minimal adalah


sebagai berikut (6)

a. Tekanan darah  140/90 mmHg setelah 20 minggu kehamilan


b. Proteinuria  300 mg/ 24 jam atau  1+ dipstik
Atau, jika tidak didapatkan proteinuria didapatkan
a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
d. Edema Paru
e. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
f. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta :
g. Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV)
Sedangkan kriteria preklamsia berat adalah sebagai berikut:

8
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada
dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / microliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or reversed
end diastolic velocity (ARDV) (6)

(3) Eklamsi

Konvulsi yang tidak berhubungan dengan sebab lain pada wanita dengan preeklamsi.
Eklamsi kadang terjadi tiba-tiba tanpa peringatan pada wanita dengan preeklamsi ringan.
(4) Preeklamsi atas dasar pada hipertensi kronis

a. Proteinuria  300 mg/24 jam pada wanita hipertensi tetapi tidak ditemukan proteinuria
pada usia kehamilan di bawah 20 minggu
b. Peningkatan tekanan darah atau proteinuria yang tiba-tiba atau hitung trombosit <
100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia kehamilan 20
minggu.
(5) Hipertensi kronis

Tekanan darah  140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosa sebelum


kehamilan usia 20 minggu dan tidak berhubungan dengan penyakit trofoblastik kehamilan
ATAU hipertensi yang pertama kali didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu dan
menetap sampai 12 minggu postpartum.

9
2.5. Patogenesis
Penyebab hipertensi dalam kehamilan masih belum diketahui dengan jelas. Tedapat
banyak teori yang menjelaskan mengenai penyebab hipertensi dalam kehamilan, di antaranya
adalah:

(1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta


(2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
(3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
(4) Teori adaptasi kardiovaskular
(5) Teori genetik
(6) Teori defisiensi gizi
(7) Teori inflamasi

2.5.1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta


Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Hal ini menyebabkan lapisan otot arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan menyebabkan
hipoksia dan iskemia plasenta. Hal ini berdampak pada perubahan-perubahan yang dapat
menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan selanjutnya.

10
Gambar 2.3 Perbandingan Kondisi Arteri Spiralis dan Invasi Trofoblas pada Kehamilan
Normal dan Preeklampsia

2.5.2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel


2.5.2.1. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan (radikal bebas)
Plasenta yang mengalami hipoksia dan iskemia akan menghasilkan oksidan (radikal
bebas), yaitu salah satunya dan yang terpenting adalah radikal hidroksil. Radikal hidroksil
bersifat sangat toksik, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal
hidrokisl akan merusak membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak selanjutnya akan merusak membran sel, nukleus, dan protein
sel endotel.

2.5.2.2. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Peroksida lemak yang sangat toksik akan akan beredar di seluruh tubuh melalui aliran
darah dan akan merusak membran sel endotel. Hal ini dikarenakan letak membran sel endotel
langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh.

2.5.2.3. Disfungsi sel endotel


Kerusakan membran sel endotel menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi endotel,
bahkan juga terjadi kerusakan menyeluruh pada struktur sel endotel. Hal ini kemudian akan
menyebabkan:

11
(1) Gangguan metabolisme prostaglandin yang akan menyebabkan terjadinya
penurunan produksi prostasiklin (PGE2)
(2) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit tersebut akan memproduksi tromboksan (TXA2) yang
merupakan suatu vasokonstriktor kuat
(3) Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis)
(4) Peningkatan permeabilitas kapilar
(5) Peningkatan produksi bahan vasopressor, yaitu endotelin
(6) Peningkatan faktor koagulasi

Gambar 2.4 Penyempitan Lumen Pembuluh Darah Akibat Punumpukan Protein Plasma
dan Sel Busa

2.5.3. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin


Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan terjadi penurunan ekspresi HLA-G (human
leukocyte antigen protein G) yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga ibu
tidak menolak hasil konsepsi dan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan trofoblas
ibu. Invasi trofoblas merupakan hal yang sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan
gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang
produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis

2.5.4. Teori Adaptasi Kardiovaskular


Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter (daya ketidakpekaan)
terhadap bahan vasokonstriktor dan peningkatan kepekaan terhadap bahan vasopressor.

12
2.5.5. Teori Genetik
Terdapat faktor keturunan dan familial dengan metode gen tunggal. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan genotipe
janin.

2.5.6. Teori Defisiensi Gizi


Kekurangan konsumsi makanan yang asam lemak tidak jenuh, seperti minyak ikan
diduga meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Hal ini karena asam lemak
tidak jenuh dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan
mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Defisiensi kalsium pada diet juga diduga menjadi
risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.

2.5.7. Teori Stimulus Inflamasi


Pada preeklampsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga menyebabkan
peningkatan debris apoptosis dan nekrotik trofoblas. Semakin banyak sel trofoblas plasenta,
misalnya pada plasenta besar atau kehamilan ganda juga akan semakin menyebabkan
peningkatan reaksi stres oksidatif yang mengakibatkan peningkatan jumlah sisa debris trofoblas.
Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar.
Respon inflamasi ini akan mengakibatkan aktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag/granulosit.
Hal ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala preeklampsia pada ibu.

2.6. Patofisiologis
2.6.1. Volume Plasma
Pada preeklampsia terjadi penurunan volume plasma antara 30-40% dibanding hamil
normal akibat sebab yang belum jelas. Hipovolemia ini diimbangi dengan vasokonstriksi
sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi. Volume plasma yang menurun berdampak luas
pada organ-organ penting

2.6.2. Hipertensi
Pada preeklampsia peningkatan reaktivitas vaskular dimulai pada umur kehamilan 20
minggu, namun biasanya baru dideteksi pada trimester II. Hipertensi ini bersifat labil dan
mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah menjadi normal beberapa hari

13
pascapersalinan, kecuali pada kasus berat. Hipertensi timbul akibat vasospasme menyeluruh
dengan ukuran tekanan ≥140/90 mmHg selang 6 jam.

2.6.3 Fungsi Ginjal


(1) Oliguria, bahkan anuria akibat penurunan aliran darah ke ginjal karena hypovolemia
(2) Proteinuria akibat kebocoran karena peningkatan permeabilitas membran basalis sebagai
akibat dari kerusakan sel glomerulus
(3) Glomerular Capillary Endotheliosis akibat pembengkakan sel endotel glomerular disertai
deposit fibril.
(4) Gagal ginjal akut akibat nekrosis tubulus ginjal dan jaringan intrinsik ginjal akibat
vasospasme pembuluh darah
(5) Peningkatan asam urat serum akibat hipovolemia dan iskemia jaringan. Hal ini terjadi
karena penurunan sekresi asam urat akibat penurunan filtrasi glomerulus sebagai hasil
dari penurunan aliran darah ginjal
(6) Peningkatan kreatinin akibat hipovolemia dan iskemia jaringan. Hal ini terjadi karena
penurunan sekresi kreatinin akibat penurunan filtrasi glomerulus sebagai hasil dari
penurunan aliran darah ginjal

2.6.4. Elektrolit
Preeklampsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan gangguan
keseimbangan asam basa. Pada saat terjadi kejang eklampsia kadar bikarbonat menurun akibat
timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida.

2.6.5. Tekanan Osmotik Koloid Plasma


Pada preeklampsia terjadi penurunan tekanan osmotik koloid plasma akibat kebocoran protein
plasma dan peningkatan permeabilitas vaskular.

2.6.6. Koagulasi dan Fibrinolisis


Pada preeklampsia terjadi ganggua koagulasi, seperti trombositopenia, peningkatan
FDP,penurunan thrombin III, dan peningkatan fibronektin.

2.6.7. Viskositas Darah


Pada preeklampsia viskositas darah meningkat akibat peningkatan resistensi perifer dan
penurunan aliran darah ke organ.

14
2.6.8. Hematokrit
Pada preeklampsia hematokrit meningkat akibat hypovolemia.

2.6.9. Edema
Edema terjadi karena hipoalbuminemia atau kerusakan endotel kapilar.

2.6.10. Hematologik
Perubahan yang terjadi akibat dari hipovolemia karena vasospasme, hipoalbuminemia,
sebagai hasil dari kerusakan endotel.

2.6.11 Hepar
Hepar dapat mengalami perdarahan pada sel periportal lobus perifer yang kemudian
terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan dapat meluas hingga di
bawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematom. Kondisi ini menimbulkan rasa nyeri di
daerah epigastrium dan dapat menyebabkan rupture hepar.

2.6.12. Neurologik
(1) Nyeri kepala akibat edema vasogenik karena hiperperfusi otak
(2) Gangguan visus akibat spasme arteri retina dan edema retina yang dapat berupa
pandangan kabur, skotomata, amaurosis, dan ablasio retinae
(3) Hiperrefleksi
(4) Kejang eklamptik akibat edema serebri, vasospasme serebri, dan iskemia serebri
(5) Perdarahan intracranial

2.6.13. Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload akibat
hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.

2.6.14. Paru-paru
Edema paru dapat terjadi sebagai akibat dari payah jantung kiri, kerusakan sel endotel,
dan penurunan diuresis.

15
2.6.15. Janin
IUGR (Intrauterine growth restriction) dan oligohidramnion akibat penurunan perfusi
uteroplasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel endotel. Hal ini secara tidak
langsung dapat menyebabkan kenaikan tingkat morbiditas da mortalitas janin.

2.7. Penatalaksanaan
2.7.1. Preeklamsi Tanpa Gejala Berat
 Rawat jalan, pasien dianjurkan cukup istirahat, pantau tekanan darah dan proteinuria
setiap hari
 Dapat dipertimbangkan pemberian antioksidan dan kalsium
 Kontrol setiap minggu.
 Bila tekanan darah terkontrol pada umur kehamilan 37 minggu dilakukan terminasi
kehamilan.
 Rawat inap ( rawat di Rumah sakit )
o Indikasi
rawat
inap:
- Hipertensi
dan
proteinuri
a menetap
selama >
2 minggu

16
- Adanya gejala atau tanda satu atau lebih preeklamsia berat
- Pemeriksaan kesejahteraan janin : USG dan Doppler.
- Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan
bagian mata, jantung, dll
 Perawatan obstetrik
o Preterm (< 37 minggu) : jika tekanan darah mencapai normotensif, persalinan
ditunggu sampai aterm
o Aterm (> 37 minggu) : persalinan ditunggu sampai onset persalinan atau
dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal
persalinan.

2.7.2. Preeklamsi dengan Gejala Berat


2.7.2.1. Medikamentosa
(1) Infus larutan ringer laktat
(2) Pemberian obat MgSO4 melalui intravena secara kontinyu (infus dengan infusion pump)
a. Dosis awal:
4 gram MgSO4 (10cc MgSO4 40%) dilarutan kedalam 100 cc ringer laktat
diberikan selama 15-20 menit.
b. Dosis pemeliharaan:
10 gram dalam 500 cc cairan RL, diberikan degan kecepatan 1-2 gram/jam (20-30
tetes per menit)
o Syarat pemberian MgSO4:
 Harus tersedia antidotum MgSO4, yaitu kalsium glukonas 10% (1
gram dalam 10 cc) diberikan i.v dalam waktu 3-5 menit.
 Refleks patella (+) kuat
 Frekuensi pernapasan ≥ 16
 Produksi urin ≥ 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0,5 cc/Kg bb/jam)
o Dihentikan bila:
 Ada tanda intoksikasi
 Setelah 24 jam pascasalin

17
 Dalam 6 jam pascasalin sudah terjadi perbaikan tekanan darah
(normotensive)
(3) Antihipertensi
Antihipertensif diberikan pada tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg, diastolic ≥ 110
mmHg. Dapat diberikan:
o Nifedipine: 10 mg per oral dan dapt diulangi setiap 30 menit (maksimal
120 mg/24 jam) sampai tejadi penurunan MABP 20%. Selanjutnya diberi
dosis rumtan 3x10 mg (tidak boleh sublingual)
o Nikardipine diberikan bila tekanan darah ≥ 180/110 mmHg/ Hipertensi
emergensi dengan dosis 1 mpul 10 mg dalam larutan 50 cc per jam atau 2
ampul 10 mg dalam larutan 100 cc tetes permenit mikro drip. Pelarut RL
dan bikarbonat natrikus tidak dapat digunakan.

2.7.2.2. Konservatif
(1) Indikasi
Kehamilan preterm (<34 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eklamsi
dengan keadaan janin baik.
(2) Pengobatan Medisinal
Sama dengan pengelolaan medisinal secara aktif hanya dosis MgSO4 diberikan secara
i.m (MgSO4 40% 8 g i.m). Atau bila i.v, diberikan dosis pemeliharaan langsung.
Pemberian dihentikan apabila sudah mencapai tanda-tanda preeklamsi ringan
selambat-lambatnya 24 jam.
(3) Pengelolaan Obstetrik
Selama perawatan konservatif, tindakan observasi dan evaluasi sama seperti perawatan
aktif, termasuk pemeriksaan tes tanpa kontraksi dan USG untuk memantau
kesejahteraan janin. Bila setelah 2 kali 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini
dianggap sebagai kegagalan pengobatan medisinal.

2.7.2.3. Pengelolaan Aktif


Pengelolaan aktif diindikasikan bila didapatkan satu/lebih keadaan di bawah ini:
(1) Ibu:
 kehamilan > 37 minggu

18
 adanya gejala impending eklamsi
(2) Janin:
 adanya tanda-tanda gawat janin
 adanya tanda-tanda IUGR
(3) Laboratorik:
 adanya HELLP Syndrome

2.7.2.4. Pengelolaan Obstetrik


(1) Belum inpartu :
o Induksi persalinan : dapat dilakukan amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat
skor Bishop > 6
o Seksio sesarea, bila syarat tetes oksitosin tidak dipenuhi atau adanya kontra
indikasi tetes oksitosin, 8 jam sejak dimulainya tetes oksitosin belum masuk fase
aktif. Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio
sesarea.
(2) Sudah inpartu :
o Fase laten: Amniotomi + tetes oksitosin dengan syarat skor Bishop > 6.
o Fase aktif: dilakukan Amniotomi, bila his tidak adekuat, diberikan tetes oksitosin.
Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap, pertimbangkan
seksio sesarea. Amniotomi dan tetes oksitosin dilakukan sekurang-kurangnya 15
menit setelah pemberian pengobatan medisinal.
o Kala II :
Pada persalinan pervaginam, maka kala II diselesaikan dengan partus buatan.

2.7.3. Eklamsi
2.7.3.1. Medikamentosa
2.7.3.1.1. Kejang
 Dirawat di kamar isolasi yang cukup terang.
 Masukkan sudip lidah ke dalam mulut pasien.
 Kepala direndahkan: daerah orofaring dihisap.
 Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup longgar guna menghindari fraktur.

19
Pasien yang mengalami kejang-kejang secara berturutan (status konvulsivus), diberikan
pengobatan sebagai berikut:
 Suntikan Benzodiazepin 1 ampul (10 mg) IV perlahan-lahan.
 Bila pasien masih tetap kejang, diberikan suntikan ulangan Benzodiazepin IV setiap 1/2 jam
sampai 3 kali berturut--turut.
 Selain Benzodiazepin, diberikan juga Phenitoin (untuk mencegah kejang ulangan) dengan
dosis 3 x 300 mg (3 kapsul) hari pertama, 3 x 200 mg (2 kapsul) pada hari kedua dan 3 x 100
mg (1 kapsul) pada hari ketiga dan seterusnya.
 Apabila setelah pemberian Benzodiazepin IV 3 kali berturut-turut, pasien masih tetap
kejang, maka diberikan tetes valium (Diazepam 50 mg/5 ampul di dalam 250 cc NaCl 0,9%)
dengan kecepatan 20-25 tetes/menit selama 2 hari.
2.7.3.1.2. Edema Otak
Atas konsultasi dengan bagian Saraf untuk perawatan pasien koma akibat edema otak:
 Diberikan infus cairan Manitol 20% dengan cara: 200 cc (diguyur), 6 jam kemudian
diberikan 150 cc (diguyur), 6 jam kemudian 150 cc lagi (diguyur)
 Total pemberian 500 cc dalam sehari. Pemberian dilakukan selama 5 hari.
 Dapat juga diberikan cairan Gliserol 10% dengan kecepatan 30 tetes/menit selama 5 hari.
 Dapat juga diberikan Dexamethason IV 4 x 2 ampul (8 mg) sehari, yang kemudian di
tappering off
 Monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan memakai"Glasgow-Pittsburgh-Coma
Scale".
2.7.3.1.3. Diuretikum
Diuretikum diberikan jika terdapat
 Edema paru
 Payah jantung kongestif
 Edema anasarka
2.7.3.1.4. Antihipertensi
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan diastolik > 110
mmHg . Obat-obat antihipertensi yang diberikan :

20
o Nifedipin 10 mg, dan dapat diulangi setiap 30 menit (maksimal 120 mg/24 jam) sampai
terjadi penurunan tekanan darah. Labetalol 10 mg IV. Apabila belum terjadi penurunan
tekanan darah, maka dapat diulangi pemberian 20 mg setelah 10 menit, 40 mg pada 10
menit berikutnya, diulangi 40 mg setelah 10 menit kemudian, dan sampai 80 mg pada 10
menit berikutnya.
o Bila tidak tersedia, maka dapat diberikan Klonidin 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc
larutan garam faal atau air untuk suntikan. Disuntikan mula-mula 5cc IV. perlahan-lahan
selama 5 menit. Lima menit kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan
maka diberikan lagi sisanya 5 cc IV selama 5 menit. Kemudian diikuti dengan pemberian
secara tetes sebanyak 7 ampul dalam 500 cc Dextrose 5% atau Martos 10. Jumlah tetesan
dititrasi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan, yaitu penurunan Mean
Arterial Pressure (MAP) sebanyak 20% dari awal. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan
setiap 10 menit sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan, kemudian setiap jam
sampai tekanan darah stabil.
2.7.3.1.5. Kardiotonika:
Indikasi pemberian kardiotonika ialah, bila ada tanda-tanda payah jantung. Jenis
kardiotonika yang diberikan : Cedilanid-D
2.7.3.1.6. Penatalaksanaan Obstetrik
Semua kehamilan dengan eklamsi dan impending eklamsi harus diakhiri tanpa memandang
umur kehamilan dan keadaan janin. Terminasi kehamilan impending eklamsi adalah dengan
seksio sesarea. Persalinan pervaginam di pertimbangkan pada keadaan-keadaan sbb:
 Pasien inpartu, kala II.
 Pasien yang sangat gawat (terminal state), yaitu dengan kriteria Eden yang berat.
 HELLP syndrome
 Komplikasi serebral (CVA, Stroke, dll)
 Kontra indikasi operasi (ASA IV)
2.7.4. Hipertensi Kronis
2.7.4.1. Medikamentosa
Indikasi pemberian antihipertensi adalah :

a. Risiko rendah hipertensi :

21
- Ibu sehat dengan desakan diastolik menetap ≥ 100 mmHg
- Dengan disfungsi organ dan desakan diastolik ≥ 90 mmHg
b. Obat antihipertensi :
- Pilihan pertama : Methyldopa : 0,5 – 3,0 g/hari, dibagi dalam 2-3 dosis.
- Pilihan kedua : Nifedipine : 30 – 120 g/hari, dalam slow-release tablet
(Nifedipine harus diberikan per oral)

2.7.4.2. Pengelolaan Obstetri


a. Sikap terhadap kehamilannya pada hipertensi kronik ringan : konservatif yaitu
dilahirkan sedapat mungkin pervaginam pada kehamilan aterm
b. Sikap terhadap kehamilan pada hipertensi kronik berat : Aktif, yaitu segera kehamilan
diakhiri (diterminasi)
c. Anestesi : regional anestesi.

2.7.5. Sindrom HELLP


2.7.5.1. Medikamentosa
a. Mengikuti terapi medikamentosa : preeklamsi – eklamsi
b. Pemeriksaan laboratorium untuk trombosit dan LDH tiap 12 jam
c. Bila trombosit < 50.000/ml atau adanya tanda koagulopati konsumtif, maka harus
diperiksa
- Waktu protrombine
- Waktu tromboplastine partial
- Fibrinogen
d. Pemberian “Dexamethasone rescue”
 Antepartum : diberikan “double strength dexamethasone” (double dose) Jika
didapatkan :
- Trombosit < 100.000/cc atau
- Trombosit 100.000 – 150.000/cc dan denganEklamsi Hipertensi berat.
Nyeri epigastrium “Gejala Fulminant”, maka diberikan dexametasone 10
mg IV tiap 12 jam

Dapat dipertimbangkan pemberian :

22
a. Tranfusi trombosit :Bila trombosit < 50.000/cc
b. Antioksidan

2.7.5.2. Sikap terhadap pengelolaan obstetrik


Sikap terhadap kehamilan pada sindroma HELLP ialah aktif, yaitu kehamilan diakhiri
(terminasi) tanpa memandang umur kehamilan. Persalinan dapat dilakukan pervaginam atau
perabdominam,

2.8. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

2.8.1. Suplemen Kalsium


Bagi ibu hamil yang memiliki diet rendah kalsium, konsumsi suplemen minimal 1gram
tiap harinya dierkomendasikan untuk mengurangi risiko preklamsia. Kurangnya kalsium pada
ibu merupakan salah satu faktor risiko terjadinya preklamsia. Kurangnya kalsium akan
merangsang hormone parathyroid dan renin. Hormon tersebut akan meningkatkan kadar kalsium
intraseluler, terutama pada otot polos sehingga terjadi vasokonstriksi. (9)
2.8.2. Aspirin Dosis Rendah
Aspirin dosis rendah (75 mg/ hari) direkomendasikan untuk ibu hamil. Pada preklamsia,
terjadi ketidak seimbangan antara thromboksan A2 dan prostasiklin (vasodilator) sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah. Aspirin menghambat pembentukan thromboksan A2 yang
merupakan aktivator platelet dan vasokonstriktor.

2.8.3. Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup termasuk didalamnya pembatasan konsumsi garam, olahraga, dan
istirahat yang cukup. Namun, modifikasi gaya hidup belum terbukti menurunkan risiko
preklamsia. Istirahat.

2.8.4. Antioksidan
Antioksidan memiliki mekanisme mengontrol peroksidasi lipid yang berperan dalam
kerusakan endotel. Preklamsia merupakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan oksidan.
Contoh antioksidan adalah vitamin C dan E.

23
2.9. Komplikasi
2.9.1. Komplikasi jangka pendek
2.9.1.1. Komplikasi pada Ibu
Pada ibu dapat terjadi perberatan dari hipertensi yaitu dengan adanya keterlibatan atau
gangguan dari syaraf pusat, contohnya pada eklamsia yang disertai dengan kejang, stroke
iskemik, serta perdarahan. Dapat juga terjadi kerusakan hati dari peningkatan enzim
transaminase (sindrom HELLP) dan gagal hepar. Gagal ginjal dapat terjadi sehingga adanya
penurunan filtrasi glomerular dan proteinuria sementara sampai tubular nekrosis akut. Serta
adanya peningkatan frekuensi section cesaria, partus pretermus, dan abruptio plasenta

2.9.2.2. Komplikasi pada janin


Efek pada fetal lebih sedikit , tetapi preklamsia dapat menyebabkan restriksi
pertumbuhan fetal, perawatan intensif neonates, dan meningkatkan risiko kematian
perinatal.

2.9.2. Komplikasi jangka panjang


2.9.2.1. Rekurensi
Risiko rekurensi pada preklamsia begantung pada derajat keparahan dan onset dari
preklamsia tersebut. Pada wanita dengan preklamsia derajat berat dan onset awal pada
kehamilan pertamanya memiliki rekurensi risiko sebesar 25–65%. Ibu dengan preklamsia
memiliki risiko rekurensi 5–7%.(10)

2.9.2.2. Kelainan Kardiovaskular


Ibu dengan preklamsia memiliki risiko menderita hipertensi, penyakit jantung
iskemik, stroke, dan thromboembolisme. Faktor yang berkaitan adalah preklamsia pada
awal kehamilan, preklamsia rekuren, preklamsia berat, hipertensi gestasional, dan
preklamsia pada multipara.

2.9.2.3. Gangguan Ginjal


Ibu dengan riwayat preklamsia dua kali atau lebih memiliki risiko menderita gangguan
ginjal kronis, hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chelsey bahwa hasil

24
biopsi ginjal pada 15-20% ibu yang menderita preklamsia berulang memberikan gambaran gagal
ginjal kronis.
2.9.2.4. Gangguan Neurologis
Wanita yang pernah mengalami kejang akibat eklamsia dapat mengalami gangguan fingsi
kognitif. Kejang berulang menyebabkan gangguan pemusatan perhatian dibandingkan dengan
ibu dengan tensi yang normal.

25
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi pada kehamilan merupakan salah satu masalah dalam kehamilan, merupakan
penyebab kematian kedua setelah perdarahan. Hipertensi diderita oleh 5-8% kehamilan. Terdapat
beberapa jenis hipertensi dalam kehamilan yaitu, hipertensi gestasional, preklamsia atas dasar
hipertensi kronis, eklamsia, hipertensi kronik. Terdapat beberapa faktor risiko, diantaranya umur
kehamilan, nulipara, multipara dengan jarak kehamilan yang jauh, multipara dengan pasangan
yang baru, genetik, dan obesitas.

Pentalaksanaan hipertensi pada pada umumnya adalah pemberian beberapa golongan


obat antihipertensi seperti nifedipin (calcium channel blocker), metildopa (beta bloker), dan
nikardipin (beta bloker). Untuk keadaan preklamsia dapat diberikan antikejang berupa MgSO4
secara intravena dengan syarat adanya antidotum berupa kalsium glukonas 10%, refleks
fisiologis, pernafasan lebih dari 16 kali per menit, dan produksi urin lebih dari sama dengan 30
cc/ jam. Hipertensi kehamilan dapat menyebabkan komplikasi terhadap ibu dan bayi. Pada ibu,
hipertensi dapat berkembang menjadi eklamsia sampai sindrom HELLP, serta dapat menetap
menjadi hipertensi kronik. Hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan restriksi
perkembangan janin.

26
DAFTAR PUSTAKA
1. Muti M, Tshimanga M, Notion GT, Bangure D. 2015. Prevalence of pregnancy induced
hypertension and pregnancy outcomes among women seeking maternity services in Harare,
Zimbabwe. BMC Cardiovasc Disord.

2. Carson M. 2015. Hypertension and Pregnancy: Overview, Chronic Hypertension, Differential


Diagnosis . http://emedicine.medscape.com/article/261435-overview#a21. July2 nd, 2018.

3. Ross GM. 2015. Eclampsia: Overview, Etiologic and Risk Factors for Preeclampsia/Eclampsia,
Multiorgan System Effects. https://emedicine.medscape.com/article/253960-overview July2 nd,
2018.

4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Pregnancy Hypertension In: William’s Obstetrics. Ed 25.
The Mc Graw-Hill Companies. New York, 2018

5. Hutcheon JA, Fellow P. 2011. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology
Epidemiology of pre-eclampsia and the other hypertensive disorders of pregnancy. Best Pract Res
Clin Obstet Gynaecol. 25(4):391–403.

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengukuran Kesehatan Jasmani.

7. Khan, Huma. 2018. HELLP Syndrome: Practice Essentials, Pathophysiology, Etiology.


https://emedicine.medscape.com/article/1394126-overview

8. Kementerian kesehatan RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas Kesehatan Dasar Dan
Rujukan. E-book. 2013;22–34.

9. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI). 2016. Usulan PNPK Preeklampsia
(Online), (http://pogi.or.id/publish/download/pnpkdan-ppk)

10. Mustafa R, Ahmed S, Gupta A, Venuto RC. 2012. A comprehensive review of hypertension in
pregnancy. J Pregnancy.

27

Anda mungkin juga menyukai