Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering muncul
selama kehamilan dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3% kehamilan.
Kejadian hipertensi pada kehamilan sekitar 5-15%, dan merupakan satu di antara 3
penyebab mortalitas dan morbiditas ibu bersalin di samping infeksi dan perdarahan.
Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang. Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu
lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagalginjal), jantung
(penyakit jantung koroner), dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini
dan mendapat pengobatan yang memadai.14
Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan
salah satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan
infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu
hamil. Pada tahun 2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi
gestasional telah diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu,
Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian
yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997
adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan
kehamilan.

Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade,


hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi
masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu
hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini
umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada

1
primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti
kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab
lainnya.

Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan


berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat.
Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio
plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR).
Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan
hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat,
kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya


perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria .
Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah
sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah
adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick.(1)
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam
atau kualitatif ≥ 3+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia
kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia.(1)

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil
nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-
18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi 25%.
Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34
minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat
preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu hamil
primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia
dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil
dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan
diabetes.(2)
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:(3)

3
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita
hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang
ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan
penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita
dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia
dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian
lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka
kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam
kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

4
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus
mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan
ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia
jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body
Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass
Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari
105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena
eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya
ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan
menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin
lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai
jumlah janin lebih dari satu.

2.3 ETIOLOGI

Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari
penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang
dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat
prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa.
Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi
preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan
keadaan penderita setelah janin mati dalam kandungan, dan penyebab timbulnya
gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-

5
teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya,
oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Namun belum ada yang memberikan
jawaban yang memuaskan. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab
preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Teori ini pun belum dapat
menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.(2,4)
Adapun teori-teori tersebut adalah:
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.
Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume
plasma.(3,4)
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap
Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral
dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.(3,4)
3. Peran Faktor Genetik
Preeklampsia/eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal.
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian
Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

6
4. Iskemik dari uterus.
Sperof menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik
uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang
meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan
kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi
penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan
penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang
mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang
mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi
ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan
peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah.(3)
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan
plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan merupakan
faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan
plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi
darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus menjadi rangsangan
produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular
daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat
vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh
darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi
penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan
pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.(3)

5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.


Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel

7
yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita
hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada
trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan
kemajuan kehamilan.(2)
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress
hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan
hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut
disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif
sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan
permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan proteinuria.
Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan
molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan
intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble
VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan
serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi
lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai
peranan pada preeklampsia.(2)
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,
sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi dapat
diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2
atau fibrin monomer.(5)

8
2.4 PATOFISIOLOGI

Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang
menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan
vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit
saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup
tinggi. Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat
meningkatnya thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis
angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan
akhirnya terjadi hipertensi.(2)
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga
mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume
plasma hingga mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume
plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah.
Akibatnya perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun
(hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan
metabolik dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan
utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering
terjadi pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation),
gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.(2)
3. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun
cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada
kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam

9
tubuh dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi
menyeluruh pada sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada
hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya
hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan
hipertensi akan berada dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan
anatomis memberikan bukti presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh
sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang menyebabkan trombosis di
banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ.
Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem, yang
kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada
kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan
akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh
darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan
terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan
gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan,
angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan
lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan pada sistem
pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah
termasuk platelet dan fibrinogen.(2,6)
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan
pada fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini
dibedakan atas efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya
berlangsung secara simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan
pada analisis terhadap perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi,
endokrin dan metabolisme, serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan
pada janin terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.(6)

10
2.5 KLASIFIKASI PREEKLAMSI

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan


Preeklampsia Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau
lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu
kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+
atau 2+ pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklamsi berat
Definisi: preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gram/24
jam. Dibagi menjadi:
- Preeklamsia berat dengan impending eklampsia
- Preeklamsia berat tanpa impending eklampsia
Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
a. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg
atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani perawatan di RS dan
tirah baring
b. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4 dipstik
c. Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
d. Kenaikan kreatinin serum
e. Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma,
dan pandangan kabur
f. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen karena
teregangnya kapsula Glisson
g. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis

11
h. Hemolisis mikroangiopatik
i. Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT
j. Pertumbuhan janin terhambat
k. Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit
dengan cepat
l. Sindroma Hellp.
Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-
gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif.
Gejala subyektif antara lain, nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri
epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain hiperrefleksiia, eksitasi
motorik dan sianosis.

2.6 DIAGNOSIS

a. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-
muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang
meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending
eklampsia). Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan
proteinuria bertambah meningkat.(7)
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg
dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90 mmHg pada
preeklampsia ringan dan ≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu
kita juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan
kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai tanda-tanda
pendarahan otak.(7)

12
c. Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau
secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif ≥ +3.(7)
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat
akibat hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan
produksi benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya
meningkat diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat
pada preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.(2)

2.7 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya


preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.(8)

1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan
aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada
ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga
bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan
volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan

13
kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi
glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan
ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi
vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah
rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim.(2,8)
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti
fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang
mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila
komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi cairan
yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak diberikan
obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal. Apabila
preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka dalam
hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.(2,8)

Rawat inap
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit ialah
a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2
minggu.
b) Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik.
Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya
untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress

14
test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung dan lain
lain.(8)

Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya


Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan
pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila
perlu memperpendek kala II.(8)

2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativ yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah
diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(2)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta
baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(8)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti
diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu
dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan
darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(8)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia
ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu

15
pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya
ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan
hemodinamika sudah stabil.(8)

Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting
pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia
dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan
oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang
sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik
koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input
cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah
cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda
edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat
berupa:
a. 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam
b. infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer
laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(8)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(8)

16
Pemberian obat antikejang(8)
a. MgSO4
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897
penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar
kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang
pada preeklampsia atau eklampsia.

Cara pemberian MgSO4


- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im
tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4


- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4


- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

17
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24
jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium
sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium
diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50
mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

b. Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretik yang dipakai ialah furosemid.
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.

c. Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut
off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan
cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi
ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110

18
mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP <
125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang
harus dihindari secara mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan
nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5
menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.

d. Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat
menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada
sindrom HELLP

19
Sikap terhadap kehamilannya
Berdasarkan William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.

a. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan
bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.

b. Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk

20
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion

Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan
eklampsia.

Komplikasi yang terjadi pada ibu :

1. Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi


2. Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala.
3. Nekrosis hati, akibat vasospasmus arteriol umum.
4. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis,elevated liver enzymes dan low platelet.
5. Kelainan ginjal
6. DIC.

Komplikasi yang terjadi pada janin :


1. Prematuritas

21
2. Dismaturitas
3. Kematian janin intra uterine

22
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS

Nama : Ny. D
Umur : 27 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Tara Karajalemba
Tanggal Masuk RS : 26 November 2019

3.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)


A. KELUHAN UTAMA
Kejang
B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien Ny.L G4P3A0 umur 27 tahun rujukan dari RS Samaritan dengan
diagnosa Eklampsia. Awalnya pasien mengeluhkan sakit kepala berat sejak 1 hari
yang lalu dan memberat tadi pagi. Sakit kepala dirasakan seperti seperti tegang.
Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur, nyeri ulu hati, mual (+) dan muntah
coklat 1x. Pasien kejang 2x pada saat di RS Samaritan. Nyeri perut tembus belakang
(+), pelepasan darah (-), cairan (-), lendir (-), BAK dan BAB biasa.
HPHT 3 maret 2019
C. RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU
Riwayat hipertensi sebelum kehamilan disangkal, DM dan hepatitis disangkal
pasien mengeluh tekanan darah selalu naik pada saat hamil.
D. RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA
Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, DM, dan Asma.

23
E. RIWAYAT PENGOBATAN
Pengobatan selama di RS Samaritan
1. Diazepam 1 amp/ iv
2. Diazepam 1 amp/drips + RL
3. Nifedipin sublingual
G. RIWAYAT PERSALINAN
No Tempat Tahun Kehamilan Jenis Penyulit Anak
Persalinan- Persalin
JK BBL Keadaan
Penolong an

1. RS Undata- 2013 Aterm Normal - Lk 2,3 Hidup


Bidan kg
2. RS 2016 Aterm Normal - Pr 2,6 Hidup
Bhayangkara - kg
Bidan
3. RS Samaritan- 2017 Aterm Normal - Pr 2,9 Hidup
Bidan kg
4. Sekarang 2019 Aterm SC Eklamp
si

H. RIWAYAT ANTENATALCARE
Pemeriksaan selama kehamilan (ANC) sebanyak 3 kali dilakukan di
puskesmas.
I. RIWAYAT MENSTRUASI
Pertama kali haid saat berusia 14 tahun, teratur, durasi haid 5 hari, siklus 28
hari, dismenorhea (+)
J. RIWAYAT ALERGI
Tidak memiliki alergi terhadap suhu, makanan, minuman, obat, dll.

24
K. RIWAYAT OPERASI
Belum pernah operasi
L. RIWAYAT KB
Pasien mengaku menggunakan suntik KB

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


A. KEADAAN UMUM : Lemah
B. KESADARAN : Somnolen
C. TANDA VITAL :
Tekanan Darah : 180/130 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 370C Axilla
D. STATUS GENERALISATA
Kepala :
Bentuk : Normochepal
Mata : Eksoftalmus (-/-), penglihatan kabur (+/+)
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (-/-)
Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Paru paru :

- Inspeksi : Simetris bilateral (+/+)


- Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezzing (-/-)

25
Jantung :

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


- Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavivula sinistra
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : bunyi jantung 1 & 2 murni regular, gallop (-), murmur (-)
Ekstremitas
- Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), Tremor (-/-)
- Inferior : akral hangat (+/+), edema (+/+), Tremor (-/-)

E. STATUS OBSTETRI
Abdomen :
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi :
o Leopold I : 3 Japst
o Leopold II : pu-ka
o Leopold III : Pres-Kep
o Leopold IV : Belum masuk PAP
BJF : 168 x/menit
Pemeriksaan dalam vagina : Tidak dilakukan

3.4 HASIL LABORATORIUM (26/11/2019)

HASIL NILAI SATUAN


RUJUKAN
Hemoglobin 14.6 12-14 G%
Hematokrit 44.8 40-45 %
Leukosit 18.57 4000-11000 mm3
Trombosit 119.000 150 rb- 400 rb mm3

26
Protein Urin +++ - -
HbsAg Non- Reaktif Non-Reaktif
Anti-HIV Non- Reaktif Non-Reaktif
SGOT 220 0-35 U/L
SGPT 124 0-45 U/L
UREA 24 15-43 Mg/dl
CREATININ 1.18 0,50-0,90 Mg/dl
GDS 135 60-124 Mg/dl
Na 139 135-145 nmol/L
Ka 3,5 3,5 – 5,5 nmol/L
Cl 103 96 -106 nmol/L

3.5. RESUME

Pasien Ny.D G4P3A0 umur 27 tahun rujukan dari RS Samaritan dengan


diagnosa Eklampsia. Awalnya pasien mengeluhkan sakit kepala berat sejak 1 hari
yang lalu dan memberat tadi pagi. Sakit kepala dirasakan seperti seperti tegang.
Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur, nyeri ulu hati, mual (+) dan muntah
coklat 1x. Pasien kejang 2x pada saat di RS Samaritan. Nyeri perut tembus belakang
(+).
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD : 180/130 mmHg, Nadi : 96x/menit,
Pernafasan : 22 x/menit, Suhu : 37 oC. Pada ekstremitas inferior didapatkan pitting
edema (+/+). Pada pemeriksaan leopold didapatkan L1 : 3 Japst, L2 : pu-ka, L3 :
Pres-kep, L4 : Belum masuk PAP. Tafsiran janin : 2480 gram, BJF : 168x/menit.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil bermakna leukositosis 18,57 x103
mm3 dan proteinuria +3, peningkatan SGOT 220 U/L dan SGPT 124 U/L.

27
3.6. DIAGNOSIS

G4P3A0 gravid 36 – 37 minggu + Eklampsia

3.7 PENATALAKSANAAN

1. IVFD RL 20 tpm
2. Inj. MgSO4 40% 4 gr/iv
3. Drips MgSO4 40% 1 gr/jam ( 6 gr/500cc) 28 tpm
4. Inj. Dexametason 2 amp/12 jam/iv
5. Paracetamol drips 500 mg/8 jam
6. Nifedipin 3 x 10 mg
7. Metildopa 3 x 500 mg
8. Rencana sctp cito

A. LAPORAN OPERASI

1. Prosedur operasi rutin


2. Dalam stadium narkose dilakukan incisi pfanenstial
3. Incisi diperdalam lapis demi lapis sampai peritoneum parietale
4. Setelah peritoneum parietale dibuka, tampak uterus gravidus sesuai umur
kehamilan
5. Peritoneum visceral, plicavesica urinaria disisihkan kekaudal secukupnya
6. SBR di incisial semilunar, dilanjutkan dibuka secara tumpul. Tangan kiri
operator menelusuri kepala bayi, didapatkan floating head
7. Memasang cup vacuum pada kepala bayi untuk melahirkan kepala.
8. Setelah kepala lahir lepaskan cup vacuum, lalu melahirkan badan lalu
bokong bayi , berturut- turut
9. Pukul 08.55 bayi lahir parabdominal. Jenis kelamin perempuan berat
badan 2050 gr, panjang badan 45 cm, apgar score 3/5
10. Pukul 09.00 plasenta lahir lengkap.

28
11. Bloody angle di klem, dijahit, control perdarahan (negatif)
12. SBR dijahit secara jeluju, satu lapis
13. Dilakukan reperitonealisasi visceral dan parietale
14. Dinding abdomen dijahit kembali
15. Kulit dijahit secara intrakutan
16. Operasi selesai
17. Perdarahan selama operasi ± 250 cc.

3.8 . DIAGNOSIS PASCAOPERATIF

P4A0 Partus pre term post sc a/i Eklampsia

3.9. FOLLOW UP

A. Perawatan pascaoperasi (ICU) Hari-0 Kamis, 17-10-19

Subject :
Nyeri bagian abdomen (+), kejang (-)

Object :
KU : Sakit sedang
Kesadaran : Lethargi
TD :152/67 mmHg Nadi : 89x/menit
RR :20x/menit Suhu : 36.50C
Ppv : Kurang
TFU : 3 Jrbpst

29
HASIL LABORATORIUM (17/10/2019) POST OP

HASIL NILAI SATUAN


RUJUKAN
Hemoglobin 10,2 12-14 G%
Hematokrit 30,4 40-45 %
Leukosit 33,78 x 103 4000-11000 mm3
Trombosit 79.000 150 rb- 400 rb mm3

RBC 3,57 x 106 3,8 – 5,2 x 106 Mm3

Assessment :
P4A0 Partus pre term post sc H-0 a/i Eklampsia

Planing :
1. IVFD RL 28 tpm
2. Inj. MgSO4 1 gr/jam selama 6 jam
3. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
4. Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
5. Ondacentron 1 amp/ 8 jam/iv
6. Bila Kejang Diazepam IV
7. Nifedipin 3 x 10 mg
8. Balance cairan

B. Perawatan hari pertama, Jumat 18/10/2019

Subject :

Kejang (-), Penglihatan Kabur (+) , Pusing (+), Nyeri Perut post operasi (+), Mual (-
), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), BAK (+), BAB (-)

30
Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD :116/89 mmHg Nadi : 72x/menit
RR :20x/menit Suhu : 36.50C
Produksi Urin : 500 cc/24 jam
TFU : 3 jrbps
Kontraksi : (+)
Assesment :

P4A0 Partus pre term post sc H-1 a/i Eklampsia

Planing :
1. IVFD RL 28 tpm
2. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
3. Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
4. Inj. Omeprazole 40 mg/ 12 jam / iv
5. Nifedipin 3 x 10 mg
6. Pindah Matahari

C. Perawatan hari kedua, Sabtu 19/10/2019

Subject :
Kejang (-), Penglihatan Kabur (+) , Pusing (+), Nyeri Perut post operasi (+), Mual (-),
Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), Rasa kebas tangan kanan (+), ASI (+/+)

Object :
KU : Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
TD :140/60 mmHg Nadi : 89x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 36,60C

31
TFU : 3 Jrbpst
Lokia Rubra : (+/+)

HASIL LABORATORIUM
HASIL NILAI SATUAN
RUJUKAN
Protein Urin + - -

Assesment :
P4A0 Partus pre term post sc H-2 a/i Eklampsia

Planing :
1. IVFD RL 18 tpm
2. Nifedipin 3 x 10 mg
3. Metildopa 3 x 250 mg
4. Cefadroxyl 2 x 500 mg
5. SF 1x1
6. Asam mefenamat 3 x 500 mg
7. Cek Produksi Urin
8. GV Besok

D. Perawatan hari ketiga, Minggu 20/10/2019

Subject :
Pusing (+), Nyeri ulu hati (+), Pandangan Kabur (+).

Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 160/120 mmHg Nadi : 84x/menit

32
RR : 18x/menit Suhu : 36,50C
TFU : 3 Jrbpst
Assesment :
P4A0 Partus pre term post sc H-3 a/i Eklampsia
Planing :
1. Ganti Verban dan rawat luka
2. Aff kateter
3. Cefadroxyl 2 x 500 mg
4. Asam mefenamat 3 x 500 mg
5. SF 1 x 1 Tab
6. Nifedipin tab 3 x 10 mg
7. Metildopa tab 3 x 250 mg
8. Obs. KU, TTV

E. Perawatan hari keempat, Senin 21/10/2019

Subject :
Sakit kepala (-), Sakit ulu hati (-), pandangan kabur (+), BAK (+), BAB (-)

Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 130/90 mmHg Nadi : 76x/menit
RR : 18x/menit Suhu : 36,50C
TFU : 3 jari dibawah umbilicus
PPV : (+)
Assesment :
P4A0 Partus pre term post sc H-4 a/i Eklampsia
Planing :
1. Cefadroxyl 2 x 500 mg tab

33
2. SF 2x1 Tab
3. Asam Mefenamat 3 x 500 mg tab
4. Nifedipin 3 x 10 mg tab
5. Metildopa 3 x 500 mg

F. Perawatan hari kelima, Selasa 22/10/2019

Subject :
Pandangan kabur (+), BAK (+), BAB (-)

Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/60 mmHg Nadi : 84x/menit
RR : 18x/menit Suhu : 36,50C
TFU : 3 jari dibawah umbilicus
Assesment :
P4A0 Partus pre term post sc H-5 a/i Eklampsia
Planing :
1. Konsul Mata
2. Metildopa 3 x 500 mg

34
BAB IV
PEMBAHASAN

Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran


darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria
adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick.(1)

Pasien Ny.L G4P3A0 umur 24 tahun rujukan dari RS Samaritan dengan


diagnosa Eklampsia. Awalnya pasien mengeluhkan sakit kepala berat sejak 1 hari
yang lalu dan memberat tadi pagi. Sakit kepala dirasakan seperti seperti tegang.
Pasien juga mengeluhkan penglihatan kabur, nyeri ulu hati (+), mual (+) dan muntah
coklat 1x. Pasien kejang 2x pada saat di RS Samaritan. Nyeri perut tembus belakang
(+). HPHT 30 januari 2019.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD : 180/130 mmHg, Nadi : 96x/menit,
Pernafasan : 22 x/menit, Suhu : 37 oC. Pada ekstremitas inferior didapatkan pitting
edema (+/+). Pada pemeriksaan leopold didapatkan L1 : 3 Japst, L2 : pu-ka, L3 :
Pres-kep, L4 : Belum masuk PAP. Tafsiran janin : 2480 gram, BJF : 168x/menit.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil bermakna leukositosis 18,57 x103
mm3 dan proteinuria +3, peningkatan SGOT 220 U/L dan SGPT 124 U/L.
Berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, Ny L
didiagnosis dengan G4P3A0 gravid 36 – 37 minggu + Eklampsia + HELLP
Syndrome
Menurut teori yang ada gejala yang diderita pasien ini disebabkan oleh
eklampsia yang merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai
dengan kejang dan koma. Sama halya dengan preeklampsia, eklampsia dapat timbul
pada ante, intra, dan postpartum, Eklampsia postpartum umumnya hanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan. Pada pasien ini memperlihatkan
gejala sakit kepala, mual dan muntah hal ini terjadi akibat peningkatan tekanan

35
intrakranial yang merupakan kompensasi tubuh yang disebabkan karena hiperperfusi
otak sehingga menimbulkan vasogenik edema, sama seperti yang dialami pada pasien
ini. Penglihatan kabur yang dialami pada pasien ini disebabkan karena spasme arteri
retina dan edema retina yang menyebabkan terjadinya gangguan visus. Nyeri
epigastrium pada pasien ini juga didapatkan karena subscapular hematoma dimana
terjadi perdarahan pada sel perioral lobus perifer yang meluas hingga dibawah
kapsula hepar sehingga akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar.
Hal inilah yang mendasari terjadinya keluhan pada pasien ini yang mengarahkan pada
tanda – tanda yang khas pada preeklampsia yang dapat dianggap sebagai tanda
prodoma akan terjadinya kejang.(1)

Menurut teori preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah


sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥
5 g/ 24 jam atau kualitatif ≥ 3+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami
preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia. Peningkatan tekanan
darah pada pasien ini disebabkan karena vasospasme pembulu darah jantung yang
mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap curah jantung, penurunan volume
plasma yang mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan darah. Proteinurine yang
didapatkan pada pasien ini disebabkan karena kerusakan pada sel glomerulus yang
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga kebocoran dan
mengakibatkan proteinuria. Pada kasus ini juga didapatkan tanda dystress janin yang
disebabkan karena terjadi gangguan oksigenasi dan atau nutrisi yang bersifat akut
yang disebabkan karena perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun
(hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun.(1,2)

Prinsip dasar dalam pengelolaan eklampsia antara lain terapi suportif untuk
stabilisasi penderita, selalu diingat masalah airway, breathing, circulation,

36
monitoring kesadaran dan dalamnya koma dengan “Glasgow-Pittsburg Coma Scale”.
Kontrol kejang dengan pemberian magnesium sulfat intravena dipilih karena kerjanya
di perifer tidak menimbulkan depresi pusat pernapasan diberikan sampai 24 jam
paska persalinan atau 24 jam bebas kejang. Dilakukan pemberian obat antihipertensi
secara intermitten, sebagai obat pilihan adalah nifedipin. Pada pasien eklampsia juga
dilakukan koreksi hipoksemia dan asidosis, hindari penggunaan diuretic kecuali jika
ada edema paru, gagal jantung kongestif dan edema anasarka, batasi pemberian cairan
intravena kecuali pada kasus kehilangan cairan berat seperti muntah ataupun diare
yang berlebihan, hindari penggunaan cairan hiperosmotik, dan segera dilakukan
terminasi kehamilan.Tujuan utama pengobatan medikamentosa eklampsia ialah
mencegah dan menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya
hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat
melahirkan janin pada saat dengan cara yang tepat.1,9
Terapi yang diberikan pada pasien ini MgSO4 40% : pertama 4 gram dalam 100cc
NaCl 0,9% habis dalam 30 menit kemudian dilanjutkan 6 gram dalam 500cc RL
28tpm, inj. Nifedipin 3 x 10 mg dan dilakukan sctp cito
Terapi ini sesuai dengan teori karena pemberian magnesium sulfat sebagai
antikejang lebih efektif Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar
asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan
tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang
pada preeklampsia atau eklampsia.(1)
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit

37
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im
tiap 4-6 jam
Nivedipin merupakan obat antihipertensi golongan dihidropiridin yang
merupakan vaskuloseletif yang berkerja cepat menurunkan tekanan darah.
Pemasangan kateter dan pemantauan produksi urin pada pasien ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kondisi ginjal pasien ini.(9)

Menurut teori Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap
meskipun cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer.
Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh
dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada
sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu
sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi
vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik.
Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif bahwa
preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang
menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat
nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem,
yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada
kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan akibat
dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi
imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya
kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan
antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain)
dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel
juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran
endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.(2,6)

38
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek
terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan.
Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada
sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah
regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi
uteroplasenta.(6)

Terminasi kehamilan merupakan satu satunya terapi definitif untuk eklampsia.


Terminasi kehamilan dilakukan bila telah dilakukan stabilisasi (pemulihan)
hemodinamika dan metabolisme ibu yaitu 4-8 jam setelah satu atau lebih keadaan
setelah pemeberian obat anti kejang terakhir, setelah kejang terakhir, setelah
pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir dan penderita mulai sadar (responsif dan
orientasi), cara terminasi kehamilan disesuaikan dengan keadaan ibu saat masuk.
Seksio sesaria dapat dipertimbangkan bila anak hidup atau bila ada indikasi.(9)

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-


4, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2016: 531`-59
2. Cunningham FG, et al, editor. Williams Obstetry. 23rd Edition, section VII :
obstetrical complication, chapter 34 : Hypertensive Disorders in Pregnancy.
2010. Mc-Graw Hill : USA.
3. Gibbs, Ronald S.et al. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition
chapter : 16 - Hypertensive Disorders of Pregnancy. 2008. Lippincott Williams
& Wilkins : USA
4. Fortner, Kimberly B., et al. Johns Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics, The, 3rd Edition section II – Obstetrics, chapter 14 - Hypertensive
Disorders of Pregnancy. 2007. Lippincott Williams & Wilkins : USA
5. Doddy, A. K., et al. 2008. Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan
Ginekologi RSU Mataram. RSU Mataram : Mataram
6. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta. Disfungsi
Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005
7. Wagner, L., (2015), Diagnosis And Management Of Preeclampsia, Available:
http://www.aafp.org/afp/20041215/2317.html. (Accesed: 2018, january 20)
8. Mardjono. Mahar. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2011. Hal
56-8
9. Alpiansyah Angga,Rodiani. Wanita Usia 20 Tahun, Primigravida Hamil 37
Minggu dengan Eklampsia Antepartum. J Medula Unila. 2017 (7):1

40
41

Anda mungkin juga menyukai