Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. KATARAK
2.1.1. DEFINISI
Katarak adalah kekeruhan pada lensa atau hilang transparansinya
dimana dalam keadaan normal jernih. Lensa yang transparan atau bening,
dipertahankan oleh keseragaman serat, distribusi dan komposisi protein
kristalin dalam lensa. Sifat transparansi lensa ini dapat menurun oleh
karena lensa mengalami perubahan ikatan struktur protein dan
inti/nukleus lensa, sehingga terjadi peningkatan kekeruhan inti lensa.
(Khurana Ak, 2007)

2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi katarak di Indonesia dalam Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 adalah sebesar 1.8%, tertinggi di Provinsi
Sulawesi Utara (3.7%) dan terendah di DKI Jakarta (0.9%). Sedangkan
prevalensi katarak di Sumatera Utara sebesar 1.4%. (KEMENKES 2013)
Menurut World Health Organization (WHO) katarak merupakan
penyebab utama kebutaan dan gangguan tajam penglihatan di dunia.
Tahun 2002 WHO memperkirakan sekitar 17 juta (47.8%) (Oliver j,Cassidy
L, 2005)
The Beaver Dam Eye Study, melaporkan 38.8% pada laki-laki, dan
45.9% pada wanita dengan usia lebih dari 74 tahun. Menurut Baltimore
eye survey katarak pada ras kaukasian. (American Academy of
Ophthalmology 11 2011-2012).
Sebanyak 95% penduduk yang berusia 65 tahun telah mengalami
berbagai tingkat kekeruhan pada lensa. Sejumlah kecil berhubungan
dengan penyakit mata atau penyakit sistemik spesifik. Dapat juga terjadi
sebagai akibat pajanan kumulatif tehadap pengaruh lingkungan dan
pengaruh lainnya seperti merokok, radiasi UV, dan peningkatan kadar
gula darah. Pasien dengan DM 4.9 kali lebih tinggi resiko terjdi katarak.

Universitas Sumatera Utara


Penelitian menunjukkan bahwa 31.4% pasien katarak menderita diabetes.
(Arimbi 2012) (Tana, Rifati, & Kristanto, 2009)
UK prospective Diabetes Study Group menyatakan bahwa katarak
diderita oleh sekitar 15% individu yang menderita DM tipe 2 dan sering
ditemukan pada saat diagnosis ditegakkan. (Rizkawati, 2012)

2.1.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA


Lensa adalah suatu struktur bikonveks, vaskular, tidak berwarna,
hampir transparan sempurna. Lensa tidak mempunyainasupan darah
ataupun inervasi syaraf dan bergantung sepenuhnya pada akuos humor
untuk metabolisme. Lensa terletak dibelakang iris dan di depan korpus
vitreus. Posisinya oleh zonula zinii, terdiri dari serabut-serabut kuat yang
melekat ke korpus siliaris. (American Academy Of Ophthalmology 11
2011-2012; Khurana Ak, 2007)
Diameter lensa adalah 9-10 mm, dan tebalnya bervariasi sesuai
dengan umur, mulai dari 3.5 mm pada saat lahir dan 5 mm pada saat
dewasa. Lensa dapat membiaskan cahaya karena memiliki indeks
refraksi, normalnya 1.4 disentral, dan 1.36 perifer. Dalam keadaan non
akomodatif, kekuatannya 15-20D. (American Academy Of Ophthalmology
11 2011-2012; Khurana Ak, 2007)
Struktur lensa terdiri dari kapsul yang tipis, transparan, dikelilingi,
oleh membran hyalinyang lebih tebal pada permukaan anterior dibanding
posterior. Lensa disokong oleh serabut zonular berasal dari lamina
nonpigmen epitelium pars plana pars plikata dari pada corpus siliaris.
Zonular ini termasuk kedalam lensa diregio equator. Nukleus pada bagian
sentralnya terdiri dari serabut-serabut lensa yang muda. Komposisi lensa
terdiri dari 65% air, 35% protein, dan sedikit mineral. Kandungan kalium
lebih tinggi dilensa dari pada jaringan lainnya. Asam askorbat dan
glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. (American
Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012; Khurana Ak, 2007)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1. Anatomi Lensa. (American Academy Of Ophthalmology 11
2011-2012)

Secara fisiologi lensa mempunyai sifat tertentu yakni, kenyal atau


lentur karena memegang peranan penting dalam akomodasi untuk
menjadi cembung, jernih atau transparan karena diperlukan sebagai
media refraksi penglihatan. (American Academy Of Ophthalmology 11
2011-2012; Khurana Ak, 2007)
Seiring dengan bertambahnya usia pada lensa ada dua hal yang
terjadi. Pertama, penurunan fungsi dari mekanisme pompa transportasi
aktif lensa yang mengakibatkan rasio Na+ dan K+ terbalik. Hal ini
menyebabkan hidrasi dari serat lensa. Kedua, peningkatan reaksi oksidatif
akibat bertambahnya umur menyebabkan penurunan kadar asam amino
sehingga sintesis protein didalam lensa juga akan menurun. Kedua hal ini
akan menyebabkan kekeruhan dari serat lensa kortikal akibat denaturasi
protein. (Khurana Ak, 2007)

2.1.4. ETIOLOGI dan FAKTOR RESIKO


Penyebab utama katarak adalah proses penuaan. Faktor-faktor
yang dapat memicu timbulnya penyakit katarak, diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Penyakit sistemik seperti peradangan dan metabolik, misalnya
diabetes melitus, dislpidemia.
b. Kekurangan vitamin A, B1, B2 dan C.

Universitas Sumatera Utara


c. Riwayat keluarga dengan katarak
d. Penyakit infeksi atau cedera mata terdahulu
e. Pembedahan mata
f. Pemakaian obat-obatan tertentu (kortikosteroid) dalam jangka
panjang
g. Faktor lingkungan, seperti trauma, penyinaran, dan sinar ultraviolet.
h. Efek dari merokok dan alkohol
(Gin Djing, 2006 dan Ilyas, 2006)

2.1.5. TIPE KATARAK


Berdasarkan anatomi katarak dibagi menjadi :
1. Katarak kortikalis
Pada awal pembentukan katarak kortikalis, terjadi perubahan
komposisi ion pada korteks lensa sehingga menyebabkan perubahan
hidrasi. Perubahan hidrasi ini akan menghasilkan celah dengan pola
radiasi di sekitar daerah ekuator dan lama kelamaan akan timbul
kekeruhan di kortek lensa. Pengaruhnya pada fungsi penglihatan
tergantung pada kedekatan opasitas dengan aksis visual. Gejala awalnya
biasanya adalah penderita merasa silau saat mencoba memfokuskan
pandangan pada suatu sumber cahaya di malam hari. Selain itu diplopia
monokular juga dapat dikeluhkan penderita. (American Academy Of
Ophthalmology 2011-2012)
Pemeriksaan menggunakan biomikroskop slitlamp akan
mendapatkan gambaran vakuola dan seperti celah air disebabkan
degenerasi serabut lensa, serta pemisahan lamela korteks anterior atau
posterior oleh air. Gambaran Cortical-spokes seperti baji terlihat di perifer
lensa dengan ujungnya mengarah ke sentral, kekeruhan ini tampak gelap
apabila dilihat menggunakan retroiluminasi. (American Academy Of
Ophthalmology 2011-2012)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2. Katarak Kortikal (Dikutip dari jurnal Cataract:Clinical
Types Vol 1 Chapter 73)

2. Katarak nuklearis
Jenis katarak ini biasanya berkembang lambat dan terjadi bilateral,
meskipun bisa asimetris. Gejala yang paling menonjol dari katarak jenis ini
adalah kabur melihat jauh daripada melihat dekat. Katarak jenis ini sedikit
berwarna kekuningan dan menyebabkan kekeruhan di sentral. (Vaughan,
2008; American Academy of Ophthalmology, 2013)

Gambar 3. Katarak nuklearis (Dikutip dari jurnal Cataract:Clinical


Types Vol 1 Chapter 73)

3. Katarak subkapsularis posterior


Katarak tipe ini terletak pada lapisan korteks posterior dan
biasanya selalu aksial. Pada tahap awal biasanya katarak subkapsularis
posterior ini masih terlihat halus pada pemeriksaan slit lamp di lapisan
korteks posterior., tetapi pada tahap lebih lanjut terlihat kekeruhan
granular dan seperti plak pada korteks subkapsular posterior. Gejala yang
timbul dapat berupa silau, diplopia monokular dan lebih kabur melihat
dekat dibandingkan melihat jauh. (American Academy Of Ophthalmology
2011-2012)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 4. Katarak Subkapsularis Posterior (Dikutip dari jurnal
Cataract:Clinical Types Vol 1 Chapter 73)

2.1.6. KLASIFIKASI
Katarak berdasarkan derajat kekeruhan lensa menurut Buratto :
Derajat 1 : Nukleus lunak. Pada katarak derajat 1 biasanya visus masih
lebih baik dari 6/12. Tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan.
Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan usia penderita juga
biasanya kurang dari 50 tahun.
Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan. Pada katarak jenis ini
tampak nukleus mulais sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya
antara 6/12-6/30. Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan katarak
jenis ini paling sering memberikan gambaran seperti katarak
subkapsularis posterior,
Derajat 3 : Nukleus dengan kekeruhan medium. Katarak ini yang palin
sering ditemukan dimana nukleus tampak berwarna kuning disertai
dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya
antara 3/60-6/30 dan bergantung juga dari usia pasien, semakin tua usia
pasien maka semakin keras nukleusnya.
Derajat 4 : Nukleus keras. Pada katarak ini warna nukleus sudah
berwarna kuning kecoklatan, dimana usia penderita biasanya lebih dari 65
tahun. Visus biasanya antara 3/60-1/60. Dimana refleks fundus maupun
keadaan fundus sudah sulit dinilai.
Derajat 5 : Nukleus sangat keras. Pada katarak jenis ini nukleus sudah
berwarna kecoklatan bahkan agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60
atau lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini

Universitas Sumatera Utara


sangat keras dan disebut juga brunescent cataract atau black cataract.
(Soekandi I, Hutauruk JA 2004)
Katarak berdasarkan morfologi menurut Lens Opacity Classification
System (LOCS) III :
- Nuklear
- Kortikal
- Posterior Sub Capsular (PSC)
(Sabanayagam et al, 2011)
Lens Opacity Classification System (LOCS) III adalah sistem
perbandingan fotografi yang distandarisasi untuk menilai kondisi katarak.
LOCS III digunakan untuk menilai tipe dan derajat katarak pada
pemeriksaan slitlamp. ( Davidson JA, 2003)
Klasifikasi ini mengevaluasi empat kondisi : nuclear opalescence
(NO), nuclear color (NC), cortical cataract (C), posterior subcapsular
cataract (P). NO adalah cahaya yang tersebar dari regio nuklear dan NC
adalah intensitas dari warna kekuningan nukleus lensa. Derajat setiap
kondisi diperoleh dengan menempatkan foto lensa pasien pada skala dari
1-6, berdasarkan enam foto standar. C dan P dinilai dalam skala dari 1-5,
masing-masing berdasarkan lima foto standar. Penilaian akhir LOCS III
berisi 4 nilai, satu untuk setiap NO, NC, C dan P. ( Davidson JA, 2003)

Gambar 5. Foto standar LOCS III pada standar color photograpic


berukuran 8.5 x 11 inci yang digunakan pada pemeriksaan slitlamp.
(Davidson JA, 2003)

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan hasil klasifikasi LOCS III, dokter dapat memilih
prosedur operasi yang sesuai untuk pasien sehingga resiko komplikasi
lebih kecil dan dapat mempersiapkan operasi dengan lebih baik.
Pencatatan klasifikasi LOCS III dalam catatan medis pasien dapat
memberikan dokumentasi klinis yang lebih baik, menurunkan pengaruh
subjektif dari observer yang berbeda, dan memungkinkan pembuatan
rencana preoperatif yang sesuai untuk pasien. (Davidson JA, 2003),
(Bencic, et al, 2005)

2.1.7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesa, dan pemeriksaan. G ejala
yang biasa dikeluhkan penderita katarak antara lain :
1. Silau
2. Diplopia
3. Halo
4. Distorsi
5. Penurunan tajam penglihatan
6. Myopic shift
Pada pemeriksaan mata dilakukan dengan pemeriksaan slit-lamp
dapat menjelaskan morfologi katarak dan menilai secara keseluruhan dari
segmen anterior mata serta membantu menentukan penyebab dan
prognosis. Pada Pemeriksaan segmen posterior B scan ultrasonography
dapat membantu mengevaluasi segmen posterior, walaupun gambaran
retina,atau kelainan optic nerve, tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan
sampai pemeriksaan optic nerve head, retina dan fovea dilakukan secara
langsung.( American Academy Ophtalmology, 6, 2010-2011, Vaugahn,
2008)

Universitas Sumatera Utara


2.1.8. PENATALAKSANAAN
Katarak dapat dilakukan tindakan pembedahan :
1. Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)
Merupakan tekhnik bedah yang digunakan sebelum adanya
bedah katarak ekstrakapsular. Seluruh lensa bersama dengan
pembungkus atau kapsulnya dikeluarkan. Diperlukan sayatan yang
cukup luas dan jahitan yang banyak (14-15mm). Prosedur tersebut
relatif beresiko tinggi disebabkan oleh insisi yang lebar dan tekanan
pada badan vitreus. Metode ini sekarang sudah ditinggalkan.
Kerugian tindakan ini antara lain, angka kejadian Cystoid macular
edemA dan retinal detachment setelah operasi lebih tinggi, insisi
yang sangat lebar dan astigmatisma yang tinggi. Resiko kehilangan
vitreus selama operasi sangat besar.
2. Ekstra Capsular Cataract Extraction (ECCE)
Merupakan tekhnik operasi katarak dengan melakukan
pengangkatan nukleus lensa dan korteks melalui pembukaan
kapsul anterior yang lebar 9-10mm, dan meninggalkan kapsul
posterior.
3. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Pada tekhnik ini insisi dilakukan di sklera sekitar 5.5mm
7.0mm. Keuntungan insisi pada sklera kedap air sehingga
membuat katup dan isi bola mata tidak prolaps keluar. Dan karena
insisi yang dibuat ukurannya lebih kecil dan lebih posterior,
kurvatura kornea hanya sedikit berubah.
4. Phacoemulsification
Merupakan salah satu tekhnik ekstraksi katarak
ekstrakapsuler yang berbeda dengan ekstraksi katarak
ekstrakapsular standar (dengan ekspresi dan pengangkatan
nukleus yang lebar). Sedangkan fakoemulsifikasi menggunakan
insisi kecil, fragmentasi nukleus secara ultrasonik dan aspirasi
korteks lensa dengan menggunakan alat fakoemulsifikasi. Secara
teori operasi katarak dengan fakoemulsifikasi mengalami

Universitas Sumatera Utara


perkembangan yang cepat dan telah mencapai taraf bedah refraktif
oleh karena mempunyai beberapa kelebihan yaitu rehabilitasi visus
yang cepat, komplikasi setelah operasi yang ringan, astigmatisma
akibat operasi yang minimal dan penyembuhan luka yang cepat.
(American Academy Of Ophthalmology 11 2011-2012)(Soekardi I,
Hutauruk JA 2004)(Timothy L.Jackson, Moorfields 2008)

2.2. DIABETES MELITUS (DM)


2.2.1.Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kelainan kerja insulin atau kedua-duanya. (PERKENI, 2005)

2.2.2. Epidemiologi
Internasional Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa
prevalensi DM didunia adalah 1,9%. Tahun 2012 angka kejadian DM tipe
2 adalah 95% dari populasi dunia adalah 371 juta jiwa dimana proporsi
kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita DM.
(Fatimah, RN 2015)
WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Dengan
demikian diperkirakan adanya peningkatan jumlah penderita DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. (PERKENI, 2005)
. Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007
oleh departemen kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi DM didaerah
urban Indonesia sebesar 5,7%. (PERKENI, 2005)

Universitas Sumatera Utara


2.2.3. Patogenesis Diabetes melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh
adanya kekurangan insulin secara relatif maupun absolut.
Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan yaitu :
a. rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar.
b. Desensitasi atau penuruinan reseptor glukosa pada
kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin dijaringan
perifer.
(Fatimah, RN 2015)

2.2.4. Klasifikasi
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 , diabetes
mellitus terbagi 3 yaitu DM tipe 1, DM tipe 2 dan DM Gestasional. Namun
menurut American Diabetes Association (ADA) dalam Standarts of
Medical Care in Diabetes, 2012, Diabetes melitus terbagi 4 yaitu :
1. DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Terjadi pada 5-10% dari angka kejadian diabetes disebabkan oleh

defisiensi insulin absolut karena destruksi sel pada pankreas dan

idiopatik.

2. DM tipe 2 atau NIIDM (Noninsulin Dependent Diabetes Mellitus)

Terjadi 90% pada tipe DM, oleh karena bervariasi, mulai yang

dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang

dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

3. DM tipe lain :
- Defek genetik sel- pancreas
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit-penyakit dari eksokrin pankreas
- Endokrinopati

Universitas Sumatera Utara


- Akibat obat-obatan atau zat kimia
- Infeksi (rubella kongenital, cytomegalovirus, coxsackie)
- Diabetes imunologis yang jarang (stiff-person syndrome, anti-
insulin reseptor antibodi)
- Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan diabetes (Downs
syndrome, Klinefelters syndrome, Turners syndrome, Wolframs
syndrome, Huntingtons chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome,
myotonic dystrophy, porphyria, Prader-Willi syndrome).
4. DM Gestasional (DM pada kehamilan)
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan
karbohidrat yang merupakan intoleransi glukosa. (ADA,2010)

2.2.5. Komplikasi DM
Komplikasi pada penyakit diabetes melitus dapat terjadi akut dan
kronik. Komplikasi akut meliputi hipoglikemi, ketoasidosis, dan
hiperosmolar-non ketotik. Komplikasi kronik dibagi menjadi makrovaskular
dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular adalah komplikasi yang
mengenai pembuluh darah arteri besar sehingga menyebabkan
artherosklerosis. Timbulnya artherosklerosis antara lain dapat diawali oleh
penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan gangren. Komplikasi
mikrovaskular adalah komplikasi pada pembuluh darah kecil. Komplikasi
mikrovaskular pada mata antara lain retinopati diabetik, glaukoma,
katarak, dan sindroma mata kering. Komplikasi mikrovaskular pada mata
dapat terjadi 5 tahun setelah menderita diabetes melitus tanpa
pengobatan yang teratur. (Joshi, Caputo, Wietekamp, Karchnier, 1999)

2.2.6 Kriteria diagnostik DM


Berdasarkan American Diabetic Association, diabetes melitus
ditegakkan berdasarkan :
1. Keluhan klasik DM yaitu poliuria, polidipsia, polifagia, pruritus dan
penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya
2. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl

Universitas Sumatera Utara


3. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl dengan adanya
keluhan klasik
4. Tes toleransi glukosa oral (TTGO)
5. Pemeriksaan HbA1c (6.5%) (American Diabetes Association,2011)

2.2.7 HbA1c
Hemoglobin terglikasi (HbA1c) disebut juga glycohemoglobin atau
disingkat A1c, merupakan salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh
manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik. Kadar HbA1c
yang terukur mencerminkan kadar glukosa rata-rata pada waktu 3 bulan
yang lalu sesuai dengan umur dalam darah merah manusia yaitu 100-120
hari. (Nathan et al,2008).
HbA1c dapat diperiksa dengan tekhnik kromatografik oleh Huisman
dan Meyering pada tahun 1958 dan pertama kali dikategorikan sebagai
glikoprotein oleh Bookchindan Gallop tahun 1968. Pada tahun 1969
Samuel Rahbar menemukan HbA1c meningkat pada pasien dengan DM.
Anthony Ceramy, Ronald Koenig et al pada tahun 1976 mengajukan
penggunaan HbA1c sebagai monitoring derajat kontrol metabolisme
glukosa pada pasien DM. HbA1c yang tinggi merupakan indikasi dari
adanya hiperglikemi kronik. (John et al,2007,Fakhrualdeen; 2004, Chris;
2013)
Kadar HbA1c normal pada bukan pasien diabetes antara 4%
sampai dengan 6%. Beberapa studi menunjukkan bahwa diabetes yang
tidak terkontrol akan mengakibatkan timbulnya komplikasi, untuk itu pada
pasien diabetes kadar HbA1c ditargetkan kurang dari 7%. Semakin tinggi
kadar HbA1c maka semakin tinggi pula resiko timbulnya komplikasi,
demikian pula sebaliknya. Pasien diabetes direkomendasikan untuk
melakukan pemeriksaan HbA1c setiap tiga bulan untuk menentukan
apakah kadar gula darah telah mencapai target yang diinginkan.
(American Diabetes Association,2010)

Universitas Sumatera Utara


2.3 Katarak pada Diabetes Melitus

Katarak adalah salah satu komplikasi yang paling awal diabetes


melitus . Klein et al melaporkan bahwa pasien dengan diabetes mellitus
adalah 2-5 kali lebih mungkin untuk terjadinya katarak dibandingkan
dengan penderita tanpa DM, resiko ini mungkin mencapai 15-25 kali pada
penderita diabetes kurang dari 40 tahun. Bahkan terganggunya kadar gula
darah puasa telah dianggap sebagai faktor resiko untuk terjadinya katarak
kortikal. Dalam sebuah penelitian dari Iran , Janghorbani dan Amini yang
mengevaluasi 3888 pasien DM tipe 2 yang bebas dari katarak di awal
kunjungan, dan melaporkan tingkat pembentukan katarak 33,1 per 1.000
orang setelah melakukan pengamatan pemeriksaan lanjutan selama 3,6
tahun .(Javadi AM,Ghanavati ZS,2008)

2.4 Mekanisme Katarak pada Diabetes Melitus

Katarak pada pasien diabetes atau sering dikenal sebagai katarak


diabetika adalah penyebab utama penurunan visus pada pasien dengan
diabetes mellitus. Proses pembentukan katarak, yang dikenal sebagai
kataraktogenesis pada pasien diabetes lebih cepat daripada non-DM.
Patofisiologi katarak diabetika terkait dengan akumulasi sorbitol dalam
lensa dan denaturasi protein lensa. (Pollreisz & Erfurth, 2009).
Teori lain mengatakan bahwa ada tiga mekanisme dari katarak
disebabkan oleh hiperglikemia, yaitu :
1) Mekanisme autooksidasi glukosa, atau senyawa oksigen reaktif,
yang mengandung oksigen radikal bebas pada penderita diabetes
akan menginduksi peroksidasi lipid yang mengakibatkan modifikasi
makromolekul seluler seperti lipid, DNA dan protein dalam berbagai
jaringan termasuk lensa mata. Modifikasi makromolekul seluler di
berbagai jaringan telah menyebabkan sindroma kompleks pada
penderita dengan diabetes termasuk katarak. (Setiawan & Suhartono,
2005).

Universitas Sumatera Utara


2) Glikasi dari nonenzimatik protein, pada kondisi hiperglikemi,
protein ekstra maupupun intra selular mengalami proses glikasi non
enzimatik. Pada proses ini terjadi pengikatan gugus amino materi
kristalin oleh molekul gula yang berlangsung tanpa bantuan enzim.
Reaksi glikasi nonenzimatik protein kristalinakan menimbulkan cross-
link antar dan intra molekul protein sehingga terjadi penambahan berat
molekul protein menyebabkan agregasi protein dan merusak
kejernihan lensa, proses yang menghasilkan superoksida radikal (O2-)
Dan akhirnya dalam bentuk glikasi / AGE juga memicu pembentukan
radikal bebas (Prancis, Stein, & Dawczynski, 2003).
3) Jalur metabolisme Kegiatan poliol yang lebih mempercepat
pembentukan oksigen reaktif senyawa radikal bebas yang
mengandung oksigen. Kekeruhan pada lensa dapat terjadi karena
hidrasi (cairan pengisian) lensa, atau sebagai akibat dari denaturasi
protein lensa. Pada diabetes mellitus, akumulasi sorbitol dalam lensa
yang akan meningkatkan tekanan osmotik dan menyebabkan
penumpukan cairan di lensa. Sementara denaturasi protein terjadi
karena stres oksidatif oleh Reactive Oxygen Species (ROS), yang
mengoksidasi protein lensa (kristal) (Pollreisz & Erfurth, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.5 KERANGKA TEORI

DM Tipe 2

Hiperglikemi Kadar Glukosa


kronis Jalur eritrosit

Glukosa + hemoglobin
terglikasi
Auto Glikasi Metabolisme Poliol :
oksidasi non
glukosa enzimatik Sorbitol >> di lensa

Hidrasi lensa akibat % HbA1c


akumulasi sorbitol

Kekeruhan lensa

- Katarak nuklear
- Katarak kortikal
- Katarak subkapsularis posterior
- Katarak campuran
?

Gambar 6. Kerangka Teori

2.6 HIPOTESIS
Adanya hubungan kadar HbA1c dengan morfologi katarak pada
penderita DM tipe 2

Universitas Sumatera Utara


2.7 KERANGKA KONSEP

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 7. Kerangka Konsep

2.8 DEFINISI OPERASIONAL

Kategori Tolak Ukur Pemeriksaan Satuan


DM tipe 2 Hiperglikemia oleh HbA1c - %
karena resistensi Gula Darah - L
insulin, kerja insulin puasa (GDP)
atau keduanya
(ADA,2011)
Lamanya DM Rentang waktu sejak Anamnesa tahun
didiagnosis DM
Jenis Jenis Kelamin Rekam medis Laki-laki
Kelamin penderita DM tipe 2 Perempuan
Usia Usia penderita DM tipe Kartu Tanda tahun
2 Penduduk (KTP)
Katarak Kekeruhan lensa Tropikamid 1% 4 kategori :
menurut kriteria LOCS tetes mata - nuklear
III (Lens Opacity Slit Lamp (NC)
Classification System) Camera - kortikal
(Davidson JA,2003) Oftalmoskopi (CC)
direk - Katarak
subkapsular
posterior
(PSC)
- Campuran:

Tabel 1. Definisi Operasional

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai