TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. KATARAK
2.1.1. DEFINISI
Katarak adalah kekeruhan pada lensa atau hilang transparansinya
dimana dalam keadaan normal jernih. Lensa yang transparan atau bening,
dipertahankan oleh keseragaman serat, distribusi dan komposisi protein
kristalin dalam lensa. Sifat transparansi lensa ini dapat menurun oleh
karena lensa mengalami perubahan ikatan struktur protein dan
inti/nukleus lensa, sehingga terjadi peningkatan kekeruhan inti lensa.
(Khurana Ak, 2007)
2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi katarak di Indonesia dalam Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 adalah sebesar 1.8%, tertinggi di Provinsi
Sulawesi Utara (3.7%) dan terendah di DKI Jakarta (0.9%). Sedangkan
prevalensi katarak di Sumatera Utara sebesar 1.4%. (KEMENKES 2013)
Menurut World Health Organization (WHO) katarak merupakan
penyebab utama kebutaan dan gangguan tajam penglihatan di dunia.
Tahun 2002 WHO memperkirakan sekitar 17 juta (47.8%) (Oliver j,Cassidy
L, 2005)
The Beaver Dam Eye Study, melaporkan 38.8% pada laki-laki, dan
45.9% pada wanita dengan usia lebih dari 74 tahun. Menurut Baltimore
eye survey katarak pada ras kaukasian. (American Academy of
Ophthalmology 11 2011-2012).
Sebanyak 95% penduduk yang berusia 65 tahun telah mengalami
berbagai tingkat kekeruhan pada lensa. Sejumlah kecil berhubungan
dengan penyakit mata atau penyakit sistemik spesifik. Dapat juga terjadi
sebagai akibat pajanan kumulatif tehadap pengaruh lingkungan dan
pengaruh lainnya seperti merokok, radiasi UV, dan peningkatan kadar
gula darah. Pasien dengan DM 4.9 kali lebih tinggi resiko terjdi katarak.
2. Katarak nuklearis
Jenis katarak ini biasanya berkembang lambat dan terjadi bilateral,
meskipun bisa asimetris. Gejala yang paling menonjol dari katarak jenis ini
adalah kabur melihat jauh daripada melihat dekat. Katarak jenis ini sedikit
berwarna kekuningan dan menyebabkan kekeruhan di sentral. (Vaughan,
2008; American Academy of Ophthalmology, 2013)
2.1.6. KLASIFIKASI
Katarak berdasarkan derajat kekeruhan lensa menurut Buratto :
Derajat 1 : Nukleus lunak. Pada katarak derajat 1 biasanya visus masih
lebih baik dari 6/12. Tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan.
Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan usia penderita juga
biasanya kurang dari 50 tahun.
Derajat 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan. Pada katarak jenis ini
tampak nukleus mulais sedikit berwarna kekuningan, visus biasanya
antara 6/12-6/30. Refleks fundus juga masih mudah diperoleh dan katarak
jenis ini paling sering memberikan gambaran seperti katarak
subkapsularis posterior,
Derajat 3 : Nukleus dengan kekeruhan medium. Katarak ini yang palin
sering ditemukan dimana nukleus tampak berwarna kuning disertai
dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya
antara 3/60-6/30 dan bergantung juga dari usia pasien, semakin tua usia
pasien maka semakin keras nukleusnya.
Derajat 4 : Nukleus keras. Pada katarak ini warna nukleus sudah
berwarna kuning kecoklatan, dimana usia penderita biasanya lebih dari 65
tahun. Visus biasanya antara 3/60-1/60. Dimana refleks fundus maupun
keadaan fundus sudah sulit dinilai.
Derajat 5 : Nukleus sangat keras. Pada katarak jenis ini nukleus sudah
berwarna kecoklatan bahkan agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60
atau lebih jelek dan usia penderita sudah diatas 65 tahun. Katarak ini
2.1.7. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesa, dan pemeriksaan. G ejala
yang biasa dikeluhkan penderita katarak antara lain :
1. Silau
2. Diplopia
3. Halo
4. Distorsi
5. Penurunan tajam penglihatan
6. Myopic shift
Pada pemeriksaan mata dilakukan dengan pemeriksaan slit-lamp
dapat menjelaskan morfologi katarak dan menilai secara keseluruhan dari
segmen anterior mata serta membantu menentukan penyebab dan
prognosis. Pada Pemeriksaan segmen posterior B scan ultrasonography
dapat membantu mengevaluasi segmen posterior, walaupun gambaran
retina,atau kelainan optic nerve, tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan
sampai pemeriksaan optic nerve head, retina dan fovea dilakukan secara
langsung.( American Academy Ophtalmology, 6, 2010-2011, Vaugahn,
2008)
2.2.2. Epidemiologi
Internasional Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa
prevalensi DM didunia adalah 1,9%. Tahun 2012 angka kejadian DM tipe
2 adalah 95% dari populasi dunia adalah 371 juta jiwa dimana proporsi
kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita DM.
(Fatimah, RN 2015)
WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Dengan
demikian diperkirakan adanya peningkatan jumlah penderita DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. (PERKENI, 2005)
. Laporan hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007
oleh departemen kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi DM didaerah
urban Indonesia sebesar 5,7%. (PERKENI, 2005)
2.2.4. Klasifikasi
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 , diabetes
mellitus terbagi 3 yaitu DM tipe 1, DM tipe 2 dan DM Gestasional. Namun
menurut American Diabetes Association (ADA) dalam Standarts of
Medical Care in Diabetes, 2012, Diabetes melitus terbagi 4 yaitu :
1. DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Terjadi pada 5-10% dari angka kejadian diabetes disebabkan oleh
idiopatik.
Terjadi 90% pada tipe DM, oleh karena bervariasi, mulai yang
3. DM tipe lain :
- Defek genetik sel- pancreas
- Defek genetik kerja insulin
- Penyakit-penyakit dari eksokrin pankreas
- Endokrinopati
2.2.5. Komplikasi DM
Komplikasi pada penyakit diabetes melitus dapat terjadi akut dan
kronik. Komplikasi akut meliputi hipoglikemi, ketoasidosis, dan
hiperosmolar-non ketotik. Komplikasi kronik dibagi menjadi makrovaskular
dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular adalah komplikasi yang
mengenai pembuluh darah arteri besar sehingga menyebabkan
artherosklerosis. Timbulnya artherosklerosis antara lain dapat diawali oleh
penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan gangren. Komplikasi
mikrovaskular adalah komplikasi pada pembuluh darah kecil. Komplikasi
mikrovaskular pada mata antara lain retinopati diabetik, glaukoma,
katarak, dan sindroma mata kering. Komplikasi mikrovaskular pada mata
dapat terjadi 5 tahun setelah menderita diabetes melitus tanpa
pengobatan yang teratur. (Joshi, Caputo, Wietekamp, Karchnier, 1999)
2.2.7 HbA1c
Hemoglobin terglikasi (HbA1c) disebut juga glycohemoglobin atau
disingkat A1c, merupakan salah satu fraksi hemoglobin di dalam tubuh
manusia yang berikatan dengan glukosa secara enzimatik. Kadar HbA1c
yang terukur mencerminkan kadar glukosa rata-rata pada waktu 3 bulan
yang lalu sesuai dengan umur dalam darah merah manusia yaitu 100-120
hari. (Nathan et al,2008).
HbA1c dapat diperiksa dengan tekhnik kromatografik oleh Huisman
dan Meyering pada tahun 1958 dan pertama kali dikategorikan sebagai
glikoprotein oleh Bookchindan Gallop tahun 1968. Pada tahun 1969
Samuel Rahbar menemukan HbA1c meningkat pada pasien dengan DM.
Anthony Ceramy, Ronald Koenig et al pada tahun 1976 mengajukan
penggunaan HbA1c sebagai monitoring derajat kontrol metabolisme
glukosa pada pasien DM. HbA1c yang tinggi merupakan indikasi dari
adanya hiperglikemi kronik. (John et al,2007,Fakhrualdeen; 2004, Chris;
2013)
Kadar HbA1c normal pada bukan pasien diabetes antara 4%
sampai dengan 6%. Beberapa studi menunjukkan bahwa diabetes yang
tidak terkontrol akan mengakibatkan timbulnya komplikasi, untuk itu pada
pasien diabetes kadar HbA1c ditargetkan kurang dari 7%. Semakin tinggi
kadar HbA1c maka semakin tinggi pula resiko timbulnya komplikasi,
demikian pula sebaliknya. Pasien diabetes direkomendasikan untuk
melakukan pemeriksaan HbA1c setiap tiga bulan untuk menentukan
apakah kadar gula darah telah mencapai target yang diinginkan.
(American Diabetes Association,2010)
DM Tipe 2
Glukosa + hemoglobin
terglikasi
Auto Glikasi Metabolisme Poliol :
oksidasi non
glukosa enzimatik Sorbitol >> di lensa
Kekeruhan lensa
- Katarak nuklear
- Katarak kortikal
- Katarak subkapsularis posterior
- Katarak campuran
?
2.6 HIPOTESIS
Adanya hubungan kadar HbA1c dengan morfologi katarak pada
penderita DM tipe 2