Anda di halaman 1dari 83

MODUL 1

TOPIK : PENYAKIT KULIT DENGAN PENYEBAB INFEKSI


DAN INFESTASI

SASARAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui differensial diagnosis penyakit kulit dengan gejala bercak
putih. (Morbus Hansen, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis alba, vitiligo,dll. (PBL)
2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan menegakkan
diagnosa Morbus Hansen. (PBL)
3. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan penyakit kulit dengan gejala bercak putih
seperti Morbus Hansen, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis alba, vitiligo, dll. (PBL).
4. Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakan
diagnosa dan penatalaksanaan skin viral infection (Veruca vulgaris,varicella,Herpes
zooster,Moluscum contagiosum). (Kuliah)
5. Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakan
diagnosa dan penatalaksanaan penyakit dermatomikosis (Kuliah)
6. Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakan
diagnosa dan penatalaksanaan penyakit-penyakit kulit karena infeksi bakteri. (Kuliah)
7. Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakan
diagnosa dan penatalaksanaan penyakit skabies, cutaneus larva migrans, pedikulosis capitis
dan pubis. (Kuliah)
8. Mahasiswa terampil melakukan pemeriksaan laboratorium deteksi BTA Lepra serta
penentuan BI-Indeks bakteri dan MI-Indeks morfologi (Praktikum)

REFERENSI
a. Fitzpatrick JE, JL Aeling. 2001. Dermatology Secrets in Color 2nd Ed. Hanley & Belfus Inc :
Philadelphia.
b. Lookingbill DP, Marks JG. 2000. Principles of Dermatology 3rd Ed. Saunders : Philadelphia.
c. Pendit BU. 1998. Dermatologi Praktis Terjemah dari Practical Dermatology by Beth Goldstein
& Adam O Goldstein. Hipokrates: Jakarta.
d. Wolff K, Johnson, R.A. Suurmond D. 2005. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology 5th ed, Hal 18-54. McGrow-Hill Medical Publishing Division
e. Hasting RC. 1994. Leprosy 2nd Ed. Churchill Livingstone. Edinburgh-New York
f. Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP et al. 2003. Kusta Ed 2. FKUI. Jakarta.

KEGIATAN PEMBELAJARAN
1.Problem-based Learning (PBL)

SKENARIO : TAMU ALIAS SI BERCAK YANG TAK DIUNDANG,.....


DATANGNYA TIDAK BILANG-BILANG, PERGINYA HARUS DIUSIR BERBULAN-BULAN

Nensi seorang karyawati toko buku terkejut waktu ditegur temannya yang mengatakan ada bercak
putih daerah betis kanan bagian belakang sebesar koin 50 rupiah. Dia tidak menyadari bercak itu
karena tidak ada keluhan baik gatal,perih atau lain-lainnya. Kejadian ini diketahuinya + 1 tahun lalu
dan telah mengobatinya dengan macam-macam salep bahkan berobat ke mantri tetangganya tetapi
bercak itu tidak ada perubahan bahkan makin bertambah besar. Waktu berobat ke Puskesmas,
dokter pemeriksa mengetes dengan menusuk jarum pada bercak tersebut, anehnya dia tidak
merasakan apa-apa. Dokter Puskesmas mengatakan dia harus berobat selama 6 bulan untuk
menyembuhkan penyakitnya itu.

Step 1
Terminologi Sulit: -

Step 2
Masalah yang mungkin timbul
1. Apakah penyakit Nensi berbahaya?
2. Apakah termasuk penyakit keturunan atau penyakit menular?
3. Mengapa penyakitnya tidak sembuh setelah diobati dengan bermacam-macam
salep?
4. Mengapa bercak itu tidak terasa waktu ditusuk jarum?
5. Apakah penyakit ini bisa sembuh?
6. Penyakit apa sajakah dengan bercak putih seperti ini?
Step 3
Teori dan konsep yang harus dikuasai mahasiswa
Morbus Hansen (MH)

Definisi
Penyakit kusta atau lepra adalah penyakit kronis yg disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae yang pertama kali menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut,
saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, tulang, otot dan testis kecuali susunan
saraf pusat.

Etiologi Morbus Hansen


Mycobacterium leprae (M. Leprae) atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta
yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pd tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam, berbentuk batang denan ukuran 1- 8 µ, lebar 0,2 – 0,5 µ, biasanya berkelompok, hidup
dalam sel terutama jaringan yg bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.

Masa tunas.
Masa belah diri kusta memerlukan waktu yang lama dibanding kuman lain, yakni 12 – 21 hari.
Oleh karena itu masa tunas menjadi lama yakni rata-rata 2 – 5 tahun. Ditemukan penderita dengan
masa kontak paling cepat 2 minggu dan paling lama 40 tahun.

Epidemiologi MH
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan karena cara penularan yang belum diketahui
pasti. Anggapan klasik penularan yakni melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat dan
secara inhalasi sebab M. leprae dapat beberapa hari dalam droplet. Penularan penyakit lepra paling
mungkin terjadi bila anak-anak kecil mengalami kontak dalam waktu yang lama dengan orang yang
banyak melepas basil. Sekret hidung merupakan bahan paling infeksius untuk kontak keluarga. Bila
seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar ( 95 % ) akan sembuh sendiri, 5% akan menjadi
indeterminate. Dari 5 % inderterminate ini, 70 % akan sembuh sedang sisanya bermanifestasi klinis
menjadi determinate.
Saat ini di dunia terdapat 10 – 20 juta orang terinfeksi lepra. Lebih sering di negara-negara tropis,
sekitar 1 – 2 % dari populasi. Iklim tidak terlalu menentukn dalm penyebaran penyakit. Penyebaran
individu yang terinfeksi sangat tidak homogen untuk banyak Negara. Penyakit lepromatosis dominan
pada beberapa Negara seperti Meksiko dan penyakit tuberkuloid di Negara lainnya seperti India. Di
Amerika Serikat 90 % kasus dalam duapuluh tahun terakhir terjadi pd imigran dari Negara endemik
lepra. Di Indonesia prevalensi rate lepra tidak merata tiap tahunnya. Tahun 2001 tertinggi di Papua
sedang pada tahun berikutnya yang tertinggi di Maluku Utara. Prevalensi rate terendah di Yogya.

Patogenesis
Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, beberapa
penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung
pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu
regenerasi yang lama serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superficial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila M. leprae
masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas seluler dengan demikian makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dengan bebas dapat bermultiplikasi yang kemudian
dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi system imunitas seluler tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah
menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans.
Bila infeksi ini tidak segera diatasi, akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya yang menimbulkan gambaran klinis yang
bervariasi.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, disamping itu juga berfungsi
sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gangguan
imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktifasi dengan akibat lanjut
aktifitas regenerasi saraf berkurang sehingga terjadi kerusakan saraf yang progresif.
Klasifikasi
Tujuan klasifikasi :
1. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi
2. Untuk perencanaan operasional, misalnnya menemukan pasien yang menular yang
mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan
3. Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat

Jenis klasifikasi yang umum.


A. Klasifikasi Internasional ( Madrid ), 1953
- Indeterminate ( I )
- Tuberkuloid ( T )
- Borderline-dimorphous ( B )
- Lepromatosa ( L )
B. Klasifikasi untuk kepentingan riset ( Ridley – Jopling ), 1962
- Tuberkuloid ( TT )
- Borderline tuberkuloid ( BT )
- Mid-borderline ( BB )
- Boderline lepromatous ( BL )
- Lepromatosa ( LL )

C. Klasifikasi untuk program Kusta ( WHO, 1981 dan Modifikasi WHO, 1988)
- Pausibasiler ( PB )
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian BT dengan BTA negatif menurut kriteria Ridley –
Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

- Multibasiler ( MB )
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut criteria Ridley – Jopling atau B
dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

Gambaran klinis
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan seluler
pasien tersebut. Gambaran klinis ini dapat dibedakan sesuai klasifikasi yang dipakai seperti tabel
yang terlihat di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO
No PB MB
1 Lesi kulit (makula yang datar, papul yang - 1-5 lesi - > 5 lesi
meninggi, infiltrat, plak eritem, nodus). - hipopigmentasi /
eritema
- distribusi tidak - distribusi lebih
simetris simetris
2 Kerusakan saraf (menyebabkan - hilangnya sensasi - hilangnya sensasi
hilangnya sensasi / kelemahan otot yang yang jelas kurang jelas
dipersarafi oleh saraf yang terkena) - hanya satu cabang - banyak cabang saraf
saraf

Tabel 2. Perbedaan tipe PB sesuai kriteria Ridley – Jopling

Karakterisik Tuberkuloid Borderline tuberculoid Indeterminate


(TT) (BT)
Lesi
Tipe Makula atau makula Makula dibatasi infiltrat makula
dibatasi infiltrat
Jumlah Satu atau beberapa Satu dengan lesi satelit Satu atau beberapa
Distribusi Terlokalisasi dan asimetris Asimetris Bervariasi
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak berkilat
Sensibilitas hilang Hilang Agak terganggu
BTA
Pada lesi kulit negatif Negatif, atau +1 Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (+3) Positif (+2) Meragukan (+1)

Tabel 3. Perbedaan tipe MB sesuai kriteria Ridley – Jopling

Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline


(LL) lepromatosa (BB)
(BL)
Lesi
Tipe Makula, infiltrat difus, Makula, plak, papul
Plak, lesi bentuk
papul, nodus kubah, lesi punched-
out
Jumlah Banyak, distribusi Banyak, tapi kulit Beberapa kulit sehat
luas, praktis tidak ada sehat masih ada (+)
kulit sehat
Distribusi simetris Cenderung simetris asimetris
Permukaan Halus dan berkilap Halus, berkilap Sedikit berkilap,
beberapa lesi kering
Sensibilitas Tidak terganggu Sedikit berkurang Berkurang
BTA
Pada lesi kulit Banyak (globi) Banyak Agak banyak
Pada hembusan banyak (globi) Biasanya tidak ada Tidak ada
hidung
Tes lepromin negatif Negatif Biasanya negatif,
dapat juga kurg lebih

Selain tipe kusta di atas terdapat jenis kusta lain yakni :

Kusta neural
Kusta jenis ini ditandai oleh hilangnya fungsi sensoris ( anastesi ) pada daerah sepanjang
distribusi sensoris batang saraf yang menebal ( dapat disertai paralisis motoris maupun tidak ), tanpa
ditemukan bercak pada kulit. Kusta tipe ini sulit diklasifikasikan ke dalam klasifikasi standar.
Diagnosis kusta neural tidak dapat secara pasti ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis.
Namun demikian diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan penebalan saraf pada tempat predileksi
. Biopsi saraf merupakan langkah ideal untuk menegakkan diagnosis tapi tidak praktis dan memiliki
keterbatasan. Modalitas lain yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis kusta
neural adalah Fine Needle Aspiration Cytology ( FNAC ). Tehnik ini lebih sederhana dan dapat
mengambil contoh bahan untuk diagnostik tanpa mengganggu kontinuitas saraf.

Kusta histoid
Jenis kusta ini ditandai dengan adanya nodus-nodus yang keras dan berbatas tegas dengan kulit
disekitarnya. Bentuk ini dapat timbul akibat resistensi dapson sekunder.

Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa prosedur diagnostik pada penyakit kusta.
1. Pemeriksaan BTA (Reitz serum)
2. Pemeriksaan histopatologik.
Pada pemeriksaan ini biasanya dilakukan untuk memastikan gambaran klinik atau penetuan
klasifikasi kusta.
3. Pemeriksaan serologik.
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. leprae.
Beberapa jenis pemeriksaan serologik yang banyak dipakai a.l :
- Uji MLPA ( Mycobacterium leprae particle agglutination )
- Uji ELISA ( Enzyme linked immuno-sorbent assay )
- ML dipstick
4. Pemeriksaan PCR ( Polimerase chain reaction )

Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal ( tanda utama ) yaitu :
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosis, mendatar ( makula ) atau meninggi ( plak ). Mati
rasa pd bercak bisa berupa anestesi atau hipestesi terhadap rasa nyeri, rasa raba dan rasa
suhu.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapt juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena yaitu :
= gangguan fungsi sensoris : mati rasa
= gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
= gangguan fungsi otonom ;: kulit kering, edem, retak atau kebotakan
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif.
Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal.

Diferensial Diagnosis
Penyakit kusta dikenal sebagai The great imitator of skin diseases karena banyak penyakit yang
mirip dengan kelainan kulit pada kusta.
Beberapa penyakit yang perlu di diagnosis banding dengan kusta a.l :
1. Dermatofitosis
2. Pitiariasis versikolor
3. Pitiriasis rosea
4. Pitiriasis alba
5. Dermatitis seboroik
6. Psoriasis
7. Neurofibromatosis
8. Granuloma anulare
9. Xantomatosis
10. Skleroderma
11. Leukemia kutis
12. Tuberkulosis kutis verukosa
13. Birth mark

Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya
cacat. Untuk itu strategi utama adalh deteksi dini dan pengobatan penderita dengan program MDT
(Multi drugs treatment ). Pengobatan dengan rejimen kombinasi ini dikenal sebagai rejimen MDT-
WHO yang terdiri dari kombinasi obat Rifampisin, dapson dan klofazimin.
a. Rifampisin.
Merupakan obat paling ampuh saat ini untuk kusta dan bersifat bakterisidal kuat dengan
dosis tunggal 600 mg / bulan.
b. Dapson ( DDS, 4,4 diamino difenil sulfon)
Bersifat bakteriostatik dengan dosis tunggal 50 – 100 mg / hr untuk dewasa atau 2 mg
/kgbb/hr untuk anak-anak.
c. Klofazimin ( Lamprene – CIBA GEIGY : B – 663 )
Mempunyai efek bakterioststik dengan dosis 50 mg/hr atau 100 mg 3x seminggu, sedang
untuk anak-anak 1 mg/kgbb/hr
d. Etionamid dan Protionamid
Keduanya merupakan obat anti tbc dan hanya sedikit dipakai untuk pengobatan kusta

Obat-obatan lain yang juga dipakai pada pengobatan kusta a.l :


- Ofloksasin
Merupakan obat turunan fluorokinolon yang paling efektif terhadap M. leprae dibanding
siprofloksasin atau pefloksasin dengan dosis 400 mg/hr
- Minosiklin
Merupakan turunan tetrasiklin yang satu-satunya aktif terhadap M. leprae dengan dosis
100 mg / hr
- Klaritromisin
Dibanding dengan obat makrolid lain, aktivitas bakterisidal obat ini setara dengan
ofloksasin dan minosiklin pada mencit dengan dosis 500 mg/ hr

Skema rejimen MDT-WHO


a. Rejimen PB dengan lesi kulit 2 – 5 buah terdiri atas Rifampisin 600 mg sebulan sekali
dibawah pengawasan ditambah dengan dapson 100 mg/hr selama 6 bulan.
b. Rejimen MB dengan lesi kulit 2 – 5 buah terdiri atas Rifampisin 600 mg sebulan sekali
dibawah pengawasan, dapson 100 mg/hr swakelola, ditambah klofazimin 300 mg
sebulan sekali dibawah pengawasan dan 50 mg/hr swakelola selama 1 tahun
c. Rejimen PB dengan lesi tunggal terdiri dari Rifampisin 600 mg + Ofliksasin 400 mg +
Minosiklin 100 mg ( ROM ) dosis tunggal.

Komplikasi
Lepra mungkin merupakan penyakit tersering penyebab kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari atau ekstremitas bagian distal.
Kelumpuhan tangan dan kaki akibat kerusakan saraf perifer banyak ditemukan termasuk
kelumpuhan saraf mata yang dapat menimbulkan kebutaan. Kasus klinis yang berat menyerupai
bentuk vaskulitis nekrotikans menyebabkan tingginya angka mortalitas. Amiloidosis sekunder
merupakan penyulit pada penyakit lepromatosis berat terutama pada Eritema nodosum Leprosum
kronik.

Ptiriasis Versikolor

Sinonim :
 Tinea Versikolor
 Dermatomikosis Furfurasea
 Kromofitosis
 Tinea Flava
 Liver Spot’s
 Panu

Penyebab :
 Pityrosporum orbicularis ;
merupakan saprofit pada kaki normal
 Disebut juga malassezia furfur.

Epidemiologi :

Merupakan penyakit universal terutama pada daerah tropis


Patogenesis :

P. orbicularis
Flora normal
(bulat)
P. ovale (oval)

Eksogen
Endogen - suhu lembab
( imun )
- suhu kering

Patogen

Gambaran Klinis :
- Bercak berwarna macam-macam, biasanya putih pada kaki & berwarna coklat atau kemerahan
pada orang yang berkulit putih
- terutama pada bagian tubuh yang tertutup pakaian
- keluhan bisa asimptomatik sampai gatal ringan terutama kalau ber keringat sampai pada usia
remaja
- Ada 2 bentuk :
1. bentuk numuler (bisa sampai plakat)  berupa bercak hipopigmentasi dengan skuama halus di
atasnya
2. bentuk folikuler/gutata  berupa bercak putih mengkilap pada folikel rambut

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :


- gambaran klinis
- pemeriksaan pembantu diagnosis
 dengan lampu wood memberikan gambaran flouresensi kuning keemasan
 dengan pemeriksaan langsung kerokan kulit dengan 20 % pada tempat spora berkelompok
dengan hifa-hifa pendek (disebut the spaghetti & meat ball appearance)

DD :
 Morbus Hansen
 Ptiriasis alba
 Vitiligo
 hipopigmentasi post inflamasi
Pengobatan :
- Menyeluruh, tekun, dan konsisten
- Shampo selenium sulfida atau ketokonazole
- Derivat azol

Prognosis : Baik

Step 4
Kerangka Pemikiran
Keluhan:
- Bercak putih mati rasa

Anamnesis
Riwayat kontak

Pemeriksaan fisis:
- Perubahan warna kulit yang
anastesi
- Pembesaran saraf pada predileksi

Pemeriksaan penunjang
- BTA
- Histopatologi
- Serologi)

Diagnosis
Diagnosis banding

Penatalaksanaan
- MH (MDT – WHO)

Step 5
Learning Outcame.
1. Mahasiswa mampu mengetahui differensial diagnosis penyakit kulit dengan gejala bercak
putih (Morbus Hansen, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis alba, vitiligo).
2. Mahasiswa mengetahui patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakan diagnosa
dan penatalaksanan Morbus Hansen.
3. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan penyakit kulit dengan gejala bercak
putih seperti, Ptiriasis alba, vitiligo,Ptiriasis versikolor.

2. KULIAH
1.Penyakit kulit karena infeksi virus ( veruka vulgaris, varicella, herpes zooster moluscum
contagiosum).
Sasaran Pembelajaran

Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakan


diagnosa dan penatalaksanaan penyakit veruka vulgaris, varicella, herpes zooster, moluscum
contagiosum.

1. Penyakit kulit karena infeksi bakteri

Sasaran pembelajaran

Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakan


diagnosa dan penatalaksanaan penyakit-penyakit kulit karena infeksi bakteri.

2. Dermatomikosis

Sasaran pembelajaran Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan


fisik, penegakkan diagnosa dan penatalaksanaan penyakit-penyakit dermatomikosis
3. Penyakit skabies, cutaneus larva migrans, pedikulosis capitis dan pubis.
Sasaran pembelajaran
Mahasiswa mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik, penegakkan
diagnosa dan penatalaksanaan penyakit skabies, cutaneus larva migrans, pedikulosis capitis
dan pubis.

3. PRAKTIKUM
1. Pemeriksaan Lab BTA MH (skin smear) dan BI dan MI BTA MH (Lab PK)
Sasaran pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan terampil melakukan pemeriksaan Lab BTA MH/
skin smear.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pemeriksaan Lab BTA MH MI dan BI

4. KETERAMPILAN MEDIK (3 x 50 menit):


Materi Belajar :
 Keterampilan Komunikasi : Komunikasi pada pasien Lanjut Usia
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Telinga
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan visus, buta warna & gerakan
Mata
 Keterampilan Prosedural : pemasangan kateter

Sumber belajar : Modul Keterampilan Medik


MODUL 2
TOPIK : PENYAKIT KULIT DENGAN KAUSA IMUNOLOGI
DAN KAUSA LAINNYA

SASARAN PEMBELAJARAN :

Pada akhir modul 2 mahasiswa diharapkan mampu :


1. Membuat Differensial Diagnosis penyakit dengan keluhan gatal, kulit bersisik dan
kemerahan (dermatitis lainnya, psoriasis, mikosis) (PBL)
2. Menentukan diagnosis penyakit dermatitis kontak (PBL)
3. Menjelaskan gejala klinis, patofisiologi dan penatalaksanaan dermatitis kontak, dermatitis
lainnya (PBL)
4. Menjelaskan etiologi, epidemiologi, patofisiologi gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan fisik
dan labotarorium, Differensial Diagnosis dan penatalaksanaan akne vulgaris,
milliaria.pigmentary disorder. (kuliah)
5. Menjelaskan etiologi, epidemiologi, patofisiologi gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan fisik
dan labotarorium, Differensial Diagnosis dan penatalaksanaan psoriasis vulgaris, drug
eruption, urtikaria, (kuliah)
6. Menjelaskan etiologi, epidemiologi, patofisiologi gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan fisik
dan labotarorium, Differensial Diagnosis dan penatalaksanaan bulosa autoimun,Lupus
Eritematosus diskoid (kuliah)
7. Menjelaskan tentang Undang-undang praktek kedokteran (Kuliah).
8. Melakukan persiapan dan pemeriksaan identifikasi skabies, pedikulosis pubis dan kapitis
(praktikum)

REFERENSI

1. Cohen DE, Jacob S. Allergic contact dermatitis. In: Wolf K, Goldsmith GA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel D,editors, Fitspatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed. Mc-
Graw Hill publisher, New York. P. 135-45
2. Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant contact dermatitis. In: Wolf K, Goldsmith GA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel D,editors, Fitspatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th
ed. Mc-Graw Hill publisher, New York. P.395-400
3. Wolff K, Johnson, RA.,Suurmond D, 2005, Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, 5th ed, Mc-Graw Hill publisher, New York. p. 18-54
4. Lookingbill DP, Marks JG, 2000, Principles of Dermatology, 3rd ed, Saunders, Philadelphia.
Hal 131-163,
5. Pendit BU, 1998, Dermatologi Praktis terjemah dari Practical Dermatology by Beth Goldstein
& Adam O Goldstein, Hal 163-190, Hipokrates, Jakarta
6. Fitzpatric JE., Aeling JL., 2001, Dermatology Secrets in Color, 2nd Ed, Hal 43-68, Hanley &
Belfus Inc, Philadelphia

KEGIATAN PEMBELAJARAN
1.PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TUTORIAL
SKENARIO : Wajah gatal dan bersisik

Kristin (25 th) mengeluh gatal di wajah dan bersisik. Gatal ini timbul sejak 1 minggu lalu.
Awalnya merah, di alis mata, lipatan hidung. Namun makin menghebat 3 hari ini. Sampai timbul pula
di telinga kanan kiri. Keluhan ini sering timbul sejak 1 tahun terakhir. Saat ini ia sedang
mempersiapkan pernikahannya

STEP 1
TERMINOLOGI SULIT:
 papula: efloresensi berupa peninggian kulit, berukuran kurang dari 0,5 cm yang berasal dari
infiltrat padat

 plak: beberapa papul yang menyatu ( peninggian kulit yang lebih dari 0,5 cm

 eritem: warna kulit yang merah akibat dilatasi pembuluh kapiler di kulit

 erosi: kehilangan lapisan epidermis dtandai dengan keluarnya exudat serosa


 ekskoriasi: kehilangan lapisan kulit sampai dermis pars papilare yang ditandai bintik-bintik
merah

 skuama: stratum korneum yang terlepas. Skuama biasa halus (pitiriasiform), kasar
(psoriasiform), besar seperti sisik (iktiosiform)

STEP 2
MASALAH YANG MUNGKIN TIMBUL
1. Apa diagnosis penyakit pada wajah Kristin?
2. Apa penyebab kelainan kulit Kristin?
3. Apakah penyakit Kristin ini penyakit keturunan?
4. Apakah Kristin bisa disembuhkan?
5. Bagaimana cara pengobatan penyakit Kristin?

STEP 3
TEORI & KONSEP YANG HARUS DIKUASAI MAHASISWA

DERMATITIS
Dermatitis berarti inflamasi pada kulit tetapi ahli dermatologi menggunakan istilah ini untuk
merujuk pada penyakit kulit inflamasi kelompok khusus. Secara klinik dermatitis ditandai dengan
adanya pruritus, lesi eritematosa dengan atau tanpa batas yang jelas. Lesi tersebut dapat akut
(vesikula), subakut ( kulit bersisik dan krusta) dan kronik (acanthotic dengan penebalan kulit). Lesi
primer meliputi makula, papula, vesicular, plak. Lesi sekunder meliputi oozing, krusta, kulit bersisik,
fisura, dan likenifikasi. Penampakan histologi primer adalah spongiosis ( udem interselur epidermal)
dengan infiltrasi limfosit dan atau eosinofil pada epidermis dan dermis.
Penyakit yang diklasifikasikan sebagai dermatitis:
 Dermatitis kontak ( alergi dan iritan)

 Dermatitis seboroik

 Dermatitis atopik

 Pompholyx (dyshidrosis)
 Dermatitis nummular

 Dermatitis stasis

 Lichen simplek kronikus

DERMATITIS KONTAK (DK)

Dermatitis kontak (DK) adalah reaksi inflamasi kulit yang timbul akibat bahan-bahan yang
berasal dari luar yang menempel padanya.

Ada 2 macam DK yaitu:

1. DK iritan (DKI)

Diakibatkan substansi yang secara langsung bersifat toksik pada kulit

Contoh iritan: asam, basa, bahan pelarut/ gasoline,detergent,

2. DK alergika (DKA)

Dicetuskan oleh reaksi imunologi ( Type IV) yang menyebabkan inflamasi.

Contoh bahan –bahan yang dapat menimbulkan DKA: logam, tumbuhan, obat, kosmetik
dan bahan karet.

DERMATITIS KONTAK IRITAN (DKI)


Insidensi:
 Terjadi pada semua umur, ras, golongan, jenis kelamin, terutama berhubungan dengan
pekerjaan
 DKI merupakan 80% kelainan kulit akibat kerja

Etiologi
Ada 2 jenis bahan iritan yaitu:
1. Iritan kuat
Iritan kuat menyebabkan DKI akut.
Contoh:asam kuat, basa kuat, getah tanaman, buah tertentu.
2. Iritan lemah
Irritan lemah memerlukan waktu lama dan kontak berulang-ulang dapat menimbulkan
dermatitis kronik.

Contoh: sabun, detergent, larutan antiseptic, cairan pembersih dll

Patogenesis:
 DKI Akut: merupakan efek sitotoksik langsung pada keratinosit
 DKI Kronik: pajanan berulang pada zat iritan.solvent/surfactan menimbulkan kerusakkan
membran sel secara perlahan yang kemudian menimbulkan kerusakan barrier kulit dimana
terjadi denaturasi protenin dan toksisitas selular.

Gejala DKI akut


 Kelainan kulit bervariasi, berupa eritem sampai terjadi bula dan epidermolisis

 Keluhan: nyeri, pedih dan panas

Gejala DKI kronik


 Lesi kulit tidak jelas, kering, kulit menebal/likenifikasi, skuama dan ada fisura kadang ada
krusta
 Kulit mengalami pengerasan

Dermatitis Kontak Alergika (DKA)


DKA diderita individu yang telah tersensitisasi dengan bahan tertentu, kelainan timbul melalui reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (reaksi imun tipe IV)

Prevalensi: 20% dari seluruh DK

Etiologi:

Bahan kimia yang terkandung dalam alat-alat yang dikenakan penderita (pakaian, kosmetika, sepatu,
aksesoris, obat topikal) atau berhubungan dengan pekerjaan atau hobi (semen, detergent, pestisida,
bahan pelarut, bahan cat dan tanaman), atau bahan yang berada di lingkungan sekitarnya (debu,
bulu binatang, polutan). Reaksi hipersentifitas tersebut dipengaruhi temperature, kelembapan,
gesekan dan oklusi.

Patogenesis:
1. Fase sensitisasi (fase induksi): bahan kimia allergen merupakan suatu hapten (antigen yang
tidak sempurna). Setelah bergabung dengan protein pada permukaan sel Langerhans baru
bersifat antigen sempurna. Dengan reseptor c3 dan HLA-DR sel langerhans bersifat seperti
makrofag yang mempresentasikan antigen. Pada proses sensitifikasi ini bahan kimia harus
menempel dikulit 12-24 jam, agar bahan kimia terikat secara efektif dengan membran sel
Langerhans dan sudah mencapai kelenjar getah bening setempat. Di para korteks kelenjar
getah bening, kompleks hapten protein menstimuli limfosit T yang belum terdifferensiasi
memjadi limfosit T efektor. Pada waktu sel T terdeferensiasi beberapa kelompok membentuk
sel memori yang dapat hidup lama.
2. Fase Elisitasi: sel T efektor beredar menuju kulit. Bila ada antigen sama yang menempel maka
akan dikenali oleh sel T efektor yang kemudian mengaktifkan limfosit untuk membelah dan
melepaskan limfokin. Limfokin ini menimbulkan peradangan kulit.

3. Imunoregulasi: Bila bahan kimia tidak cukup waktu menempel dikulit tetapi menembus kulit
dan beredar ke alat lain seperti limfa, maka tidak akan menstimuli terbentuknya sel T efektor
dan sel memori. Di tempat ini akan merangsan sel T suppressor yang menyebabkan penderita
menjadi tolerans. Pada satu orang dapat terjadi kedua proses sekaligus terhantung cara masuk
hapten.

Gambaran Klinis
 Eritema, papula, vesikula, dan eksudasi
 Pada individu peka: dapt etrjadi urtikaria
 DKA kronis: kulit kering, menebal dan dapat timbul fisur, skuama, likenifikasi dan papula,

Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada:
1. Anamnesis, untuk mengetahui bahan yang kontak dengan kulit dan yang menyebabkan DK.
Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang pekerjaan atau hobi penderita
2. Pemeriksaan fisik:
Selain mengenal lesi kulit yang telah disebutkan, juga penting melihat lokasi dari lesi kulit,
karena dari lokasi tersebut dapat diperkirakan tentang kemungkinan faktor penyebab.
3. Uji tempel: untuk menentukan jenis allergen.
Dasar uji temple adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV. Tujuannya untuk menentukan dan
memastikan penyebab DK. Dilaksanakan dengan cara menempelkan bahan yang dicurigai
pada konsentrasi yang tidak menimbulkan iritasi, pada kulit utuh. Dilaksanakan dengan
bahan standar.

Pengobatan
1. Kausal: menentukan dan menghilangkan dan menghindari bahan penyebab
2. Simtomatik: disesuaikan dengan stadium penyakit. Kalau berat dapat diberi kortikosteroid
sistemik

Prognosis
Baik, jika bahan kontak penyebab dapat dihindari. Bila bahan penyebab tidak diketahui atau sulit
dihindari dengan sempurna DK cenderung menetap.

Dermatitis Atopik (DA)

Dermatitis atopik adalah gangguan kulit kronik residif sangat gatal dengan penyebab tidak
diketahui yang biasanya dimulai dari bayi dan ditandai dengan lesi eksematous, xerosis (kulit kering)
dan likenifikasi pada daerah-daerah klasik. Pada kebanyakan pasien, dermatitis atopik berkaitan
dengan penyakit atopik yang lain mis asma, rhinitis alergi, urtikaria, reaksi alergi akut makanan,.
Pasien atopi mempunyai ciri adanya eosinofil pada darah dan jaringan, peningkatan respon IgE,
Peningkatan transepidermal water loses, sensitivitas yang hebat terhradap stimuli pruritus (misal
sweater dari bahan woll) dan disfungsi system imun.

Patogenesis
Patogenesis DA ini berhubungan dengan gejala-gejala penting dari DA, yaitu gatal yang hebat,
adanya variasi dari perubahan-perubahan morfologi lesi kulit, peningkatan kepekaan infeksi virus
dan kuman. Terdapat interaksi yang kompleks antara barrier kulit, genetik, lingkungan, farmakologi
dan faktor imunologi.
 Perubahan imunologi yang paling sering terjadi pada pasien DA meliputi peningkatan IgE
serum, penurunan imunitas seluler, penurunan kemotaksis sel mononuklear, peningkatan
aktivasi sel limfosit T, dan hiperstimuli sel langerhans.
 Peningkatan IgE mengakibatkan penurunan sel T suppressor sehingga tidak ada
penghambatan terhadap produksi IgE.
 Reaksi hypersensitivitas tipe 1 terjadi akibat pelepasan substansi vasoaktif dari sel
mast dan basofil akibat reaksi antara antigen spesifik dgn Iantibodi (gE). Sel mast
dan basofil mempunyai reseptor permukaan yang berikatan dengan bagian Fe IgE.
Ketika membran yang berdekatan yang berikatan dengan IgE bertemu dengan
antigen spesifik (antigen dari makanan, inhalant dan faktor-faktor lain) maka terjadi
pelepasan mediator kimiawi yang meliputi histamine, serotonin, leukotriene,
prostaglandin. Mediator kimiawi seperti histamine dan prostaglandin dapat
menyebabkan blokade beta adrenergik pada DA dan asma. Kecenderungan terjadinya
likenifikasi pada DA berkaitan dengan respon abnormal dari proliferasi sel epidermis,
dan hal ini berkaitan dengan penurunan respon beta adrenergic.
 Peranan IgE masih belum terlalu jelas tetapi sel langerhans epidermis memiliki
reseptor IgE afinitas tinggi. TH1 dan TH2 keduanya berperan dalam inflamasi pada
DA. Infiltrasi sel T pada DA berkaitan dengan peningkatan ekspresi IL-4 dan IL-13,
sedangkan inflamasi kronik pada DA dengan peningkatan (L-5, granulocyte-
macrophage-colony-stimulating faktor (GM-CSF), IL-12 dan Interferon . Sehingga
inlamasi kulit pada DA menunjukkan pola bifasik aktivasi sel T,
 Penurunan imunitas seluler ditunjukkan dengan peningkatan kepekaan terhadap
infeksi virus dan bakteri. Sekitar 80% penderita DA mengalami penurunan imunitas
seluler dengan akibat mudah terserang infeksi virus herpes simplek, vaksinea,
dermatovitositas, kerentanan terhadap allergen kontak spesifik menurun. Gangguan
imunitas ini dapat seirama atau juga tidak dengan keparahan penyakit.
 Abnormalitas vaskular disebabkan karena adanya gangguan pada sistem saraf
otonom kulit. Asam nikotinat dan agen kolinergik. Yang diinjeksikan pada kulit pasien
DA menimbulkan reaksi pucat (terjadi dermogravisme putih)
 Xerosis (kulit kering) yang merupakan tanda pada kebanyakan pasien dermatitis
atopik. Xerosis melibatkan produksi lipid yang tidak efektif (terutama ceramide)
sehingga kulit penderita DA kering dan kekurangan lemak yang berasal dari kelenjar
lemak. Pada orang normal pemberian beta adrenergic lokal dengan propanolol
meningkatkan produksi keringat. Pada orang DA hal ini tidak dijumpai.
 Pruritus
Etiologi Pruritus belum jelas
Ada 2 jenis pruritus:
 Gatal yang timbul karena rangsangan imunologik dengan melepaskan mediator
dan rngsangan non imunologik dengan melepaskan enzim proteolitik.
 Gatal karena faktor intrinsic, dimana ambang kulit terhadap gatal meningkat
Terjadinya eksaserbasi pruritus disebabkan oleh alergen, kelembapan udara yang
berkurang, banyak keringat, dan bahan iritan (wol, sabun, detergent)
Gejala Klinis
Keluhan yang penting adalah rasa gatal. Penyakit ini berjalan kronis diikuti residif. Dapat terjadi pada
semua umur.
Ada 3 macam bentuk lesi:
1. Bentuk prurigo: kumpulan papula dengan pembentukan vesikula pada puncak papula
2. Eksematosa: makula eritematosa dengan vesikula dan pustule diatasnya

3. Likenifikasi: pembelahan dan penebalan kulit terutama didaerah lipatan.

Distribusi dan macam Kelainan pada kulit:


 Lipatan kulit: eksematosa, likenifikasi,

 Muka (pada anak): eksematosa dan prurigo

 Tubuh: prurigo

 Leher: prurigo dan lesi eksematos

Berdasarkan waktu timbulnya penyakit (umur) dibagi beberapa fase


1. Fase bayi: umur 2 bulan-2 tahun
o lesi paling awal sering terjadi pada daerah lipatan ( missal pada fosa kubiti dan fosa
poplitea) dimana lesi berupa eritema dengan eksudat. Setelah beberapa minggu ,
lesi terlokasi di pipi dan dahi dan ekstensor tungkai bawah, tetapi dapat juga terjadi
pada beberapa lokasi tubuh, sering menipis pada area diaper. Lesi berupa eritema,
makula dan plak bersisik (eksematous)
o Kulit kepala sering terlihat bersisik (pada kulit kepala sulit didiagnosis banding
dengan dermatitis seboroik)
o Likenisasi jarang terjadi

Gambar 2. 1. Dermatitis atopik pada bayi

2. Fase anak-anak: umur 4-10 tahun


o Xerosis (kulit kering) sering menyeluruh. Kulit berlapis-lapis mudah pecah dan kasar
o Likenisasi adalah ciri khas dermatitis atopik masa kanak-kanak. Hal ini berkaitan
dengan gosokan yang berulang-ulang pada kulit dan terlihat lebih banyak pada
lipatan dan penonjolan tulang
o Lesi bersisik dan exudatif (basah) pada lipatan fleksura, khususnya antecubital dan
fosa poplitea.
o Ekskoriasi dan krusta dapat timbul
o Muka pucat, erythem dan bersisik pada sekeliling mata. Dennie-Morgan Fold
(peningkatan lipatan dibawah mata) sering terlihat.

Gambar 2.2. Dermatitis atopik pada anak

3. Fase dewasa: umur 13-30 tahun


o eritema. Muka kadang menjadi kering dan nampak bersisik.
o Xerosis menyolok
o timbul likenisasi
o Predileksi pada leher, fosa poplitea dan fosa kubiti. Cincin makula coklat melingkari
leher adalah khas tetapi tidak selalu ada
o Kadang-kadang kulit penderita disertai dengan hiperkeratosis folikularis

Diagnosis dermatitis atopik


Kriteria diagnosis Hanifin: Pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengembangkan kriteria diagnosis
untuk DA. Ada kriteria utama dan beberapa kriteria minor. Beberapa artikel mempertanyakan
validitas dari kriteria minor dan kriteria ini dimodifikasi dengan beberapa alasan. Dan kriteria tahun
2001 adalah sebagai berikut
 Ciri-ciri esensial: ciri ini harus ada dan jika komplet cukup untuk mendiagnosis:
 Pruritus
 Perubahan eksematous
o Perubahan yang spesifik menurut umur: Pada bayi meliputi daerah muka, leher
dan daerah ekstensor; pada anak-anak pada daerah fleksor ; sedangkan pada
dewasa pada daerah ketiak dan paha
o Kronik dan residif

 Gejala penting ( terdapat pada kebenyakan kasus: Gejala ini sering terlihat pada kebanyakan
kasus dan mendukung diagnosis
 Muncul pada umur awal
 Atopi (reaktivitas IgE)
 Xerosis (kulit kering)
 Gejala yang berkaitan (clinical association): Perubahan-perubahan ini membantu dalan
menegakkan diagnosis DA tetapi tidak terlalu spesifik untuk medeteksi DA untuk penelitian
dan studi epidemiologi
 Keratosis pilaris/ichthyosis/palmar hyperlinearity
 Atypical vascular responses
 Perifollicular changes
 Ocular/periorbital changes
 Perioral/periauricular lesions

Diagnosis Banding
 Dermatitis seboroik

 Dermatitis kontak (alergica dan iritan)

 Dermatitis numularis

 Lichen Simplex Chronicus

 Psoriosis

 Scabies

 TineaCorporis.
Dermatitis atopik kadang tidak dapat dibedakan dengan dermatitis sebab lain. Pada bayi
paling sulit untuk membedakannya dengan dermatitis seboroik. Keduanya menunjukkan
dengan adanya kerak bersisik pada kulit puncak kepala dimana pada DA kering dan berkrusta
sedangkan pada dermatitis seboroik kekuningan dan berminyak. Tempat lain yang terkena pada
dermatitis seboroik adalah area intertriginous yang ditandai dengan kemerahan dan kerak
berminyak yang dapat dilihat di atas alis dan disisi-sisi hidung. Pada DA kulit terlihat kering dan
gatal yang hebat di mana hal ini tidak biasa pada dermatitis seboroik. Kondisi keduanya ini dapat
untuk membedakan dengan psoriasi

Dermatitis sebab lain khususnya dermatitis kontak karena nikel pada bayi kadang sulit untuk
membedakannya dengan DA. Area central dari dermatitis karena nikel (kancing nikel atau
risluiting nikel) sangat membantu untuk menentukan diagnose meskipun erupsi dermatitis
dapat terjadi. Tidak ada xerosis dan lesi daerah muka. DA biasanya muncul lebih awal daripada
dermatitis kontak.

Manifestasi Skabies pada bayi dan anak-anak adalah erupsi pruritus. Beberapa anggota
keluarga mengalami gatal dan daerah utamanya adalah area hangat dan basahe. Erupsinya
terdiri dari berbagai bentuk dermatitis, nodul, urtikaria dan 6-10 terowongan (burrows). Pustula
pada tangan dan kaki terdapat pada bayi. Erupsi daerah muka jarang dan tidak ada xerosis .

Anak-anak dengan gatal yang berat dan dermatitis yang menyeluruh perlu di periksa untuk
mengetahui adanya imunodefisiensi. Kegagalan tumbuh kembang

Tinea korporis biasanya muncul sebagai lesi tunggal tetapi pengobatan dengan
kortikosteroid dapat melebarkan lesi. Keterlibatan wajah, adanya xerosis, gejala yang
dipengaruhi umur dan mulai muncul pada usia muda (pada DA) membantu untuk membedakan
kedua kondisi ini.

Pengobatan
Belum ada terapi yang bersifat kuratif
A. Umum:

1. Dermatitis pada bayi dan anak: Hindari faktor-faktor yang yang mempengaruhi
timbulnya DA seperti perubahan suhu mendadak, mandi yang terlalu sering, garukan
yang berlebuhan, pakaian yang ketat, bahan dari woll, medicated baby oil. Lesi kulit
hendaknya tidak disabun, tapi dibersihkan dengan minyak zaitun. Kemungkinan adanya
alergi makanan misalnya telur, susu dan gandum
2. DA pada orang dewasa faktor pencetus yang penting adalah stress, emosi, suhu yang
dingin dan sabun. Agar kulit tetap lembab dapat dipergunakan krim atau lotion
hidrofilik.

B. Pengobatan Topikal

Pada stadium akut, tergantung dari jenis lesi kulitnya, dapat digunakan kompres lotio burowi
atau pk atau kortikosteroid topikal. Sedangkan obat topikal yang lain: liquor carbonas
detergent dalam salep hidrofilik 5-10%. Urea dapat diberikan pada kulit yang kering

C. Sistemik

 Kortikosteroid topikal (untuk bayi yang ringan)

 Antihistamin

 kortikosteroid jangka pendek pada lesi yang luas dan akut

 antibiotic bila ada infeksi sekunder

DERMATITIS SEBOROIK (DS)

DS adalah dermatosis kronik yang ditandai dengan adanya kemerahan dan kerak yang terjadi pada
bagian dimana kelenjar-kelenjar sebasea paling aktif seperti pada muka dan kulit kepala, area
presternal, dan lipatan tubuh. Ketombe adalah DS ringan pada kulit kepala tanpa adanya inflamasi.
Kelainan ini disebabkan oleh reaksi inflamasi Pityrosporum ovale (Malassezia furfur)

DS menyeluruh, kegagalan tumbuh kembang dan diare pada bayi mengarah ke penyakit Leiner’s
dengan berbagai kelainan imunodefisiensi.

Insidensi:

2-5% dari populasi dan lebih banyak pada pria. Terdapat 2 puncak usia yaitu bayi: (pada bulan-
bulan pertama) dan antara usia 20-50 tahun

Faktor Predisposisi & Eksarbasi


 Pada pasien imunokompeten sering terdapat status diathesis herediter yang disebut status
seboroik yang ditandai seboroik( kerak/sisik superficial pada kulit kepala dan alis dan makula
polisiklik bersisik) dan blefaritis marginal. Dapat dikaitkan dengan psoriasis sebagai kondisi
prepsoriasis dimana selanjutnya akan berkembang menjadi psoriasis
 Insidensi DS ini meningkat pada pasien Parkinson dan paralisis fasial, beberapa obat
neuroleptik kemungkinan sebagai faktornya tetapi buktinya belum kuat.

 Stress emosi dianggab sebagai penyebab eksaserbasi

 Individu yang terinfeksi HIV insidensi DS meningkat dan DS yang hebat dapat sebagai
petunjuk adanya infeksi HIV

 Suhu rendah dan kelembapan rendah memperberat penyakit

 Udara panas dan banyak berkeringat menembah iritasi penderita

Patogenesis
 Malassezia furfur dikatakan berperan dalam pathogenesis dan responnya terhadap
ketokonazole dan selenium sulfide topikal mengindikasikan bahwa yeast ini dapat menjadi
pathogen; juga frekuensi SD pada pasien imunosupressed (HIV, transplantasi jantung)

 Lesi seperti SD terlihat pada defisiensi nutrisi seperti defisiensi Zn, defisiensi niacin dan
pyridoksin.

Gambaran Klinis

 Lesi kulit berwarna merah muda batas kurang jelas tertutup kerak/sisik berminyak
kekuningan yang menempel agak erat
 Distribusi lesi cenderung bilateral simetris atau beberapa tempat saja.

 Tipe lesi berdasar lokasinya:

 Daerah berambut: kulit kepala, alis, bulu mata (blefaritis), jenggot (follicular orifices),
cradle cap

 Wajah: area kemerahan (butterfly), pada dahi ( corona seborrhoica), lipatan


nasolabial, alis, glabella.
 Telinga: dibelakang auricular dan di meatus

 Badan: umumnya makula kuning kecoklatan diatas sternum

 Lipatan badan: ketiak, lipat paha, anogenital, lipat mammae, umbilicus timbul sebagai
lesi yang difus, eksudatif, batas tegas, kemerahan; kadang ada fisura

 Genital: sering dengan krusta kuning dan mirip lesi psoriasis

Diagnosis & Diagnosis Banding


Pada kasus-kasus yang klasik diagnosis DS mudah dibuat. Dapat juga terjadi kesulitan karena DS
belum ada kriteria pasti untuk menegakkan diagnosis,

Diagnosis Banding:
 Dermatitis atopic
 Psoriasis

 Tinea capitis

 Histiocytosis

 Lupus eritemaatous

 Rosacea

Pada bayi untuk membedakan antara DA dan DS sulit sehingga kadang klinisi menyebutnya sebagai
infantile eczema. Jika lesi hanya pada area berambut dan ketiak, ini mendukung diagnosis DS;
sedangkan lesi pada lipatan fleksor ini mendukung DA.

Psoriasis menjadi diagnosis DS karena lesi bersisik, lesinya yang melibatkan kuku, lutut dan siku
mendukung diagnosis psoriasis.

Tinea capitis dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding DS terutama jika agen antiseboroik
yang biasa gagal dan ketika rambut pasien rontok.

Histiocytosis yaitu neoplasma sel langerhans dapat Nampak seperti erupsi DS. Adanya petechie dan
kegagalan terapi standar menimbulkan dugaan adanya kanker ini dan ditegakkan dengan biopsi
kulit.
Lupus eritemaatous tidak di jumpai adanya kerak berminyak kekuningan dan umumnya tidak
mengenai alis seperti halnya DS, jika ragu-ragu riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan biopsi kulit akan memastikannya,

Rosasea terdapat papula dan pustule inflamasi yang tidak terdapat pada DS.

Penatalaksanaan
 Obat sistemik: antihistamin, kortikosteroid bila akut dan berat, antibiotika bila ada infeksi
sekunder
 Obat topikal:
 Liquor carbonas detergent 2-5%

 Asam salisilat 3-5% dalam minyak zaitun

 Ketokonazol 2%

 Shampoo:

 Selenium sulfid 2%

 Zink Piritioon 1-2%

 Ketokonazol 2%

 Kortikosteroid topikal:

 Pada kasus yang tidak memberi respon terhadap pengobatan: terapi dengan UVB atau
ketokonazol oral 240mg/hari selama 3 minggu.

POMPHOLYX

Pompholix atau dyshidrosisexcema adalah erupsi vasikuler yang bersifat akut, rekuren atau kronis
akibat reaksi non spesifik dari kulit tapak tangan dan kaki.

Etiologi

Belum diketahui pasti. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan : emosi, infeksi oleh jamur
dan kaki, alergi obat, alergi makanan dan faktor iklim.

Gejala Klinis
 Sebelum terjadi pompholox terdapat iritasi

 Serangan akut: timbul gerombolan vesikula jernih tanpa eritem

 Serangan sembuh spontan 2-3 mg dengan terjad deskuamasi

 Terjadi simetris bilateral tetapi dapat juga unilateral

 Pompholix superficial: skuama anular asimtomatis dengan bagian sentral bersih, sering
nampak

DD: dermatofitosis, dermatitis kontak.

DERMATITIS NUMMULARIS (DN)

Istilah ini pertama kali digunakan oleh Devergie (1857) menggambarkan bentuk lesi dermatisis yang
khas berupa uang logam, berukuran sama, atau kadang-kadang melebar dengan bagian tengah tetap
aktif. Dermatitis nummularis bersifat kronik dan residif.

Etiologi

Penyebab pasti belum diketahui, Faktor-faktor yang diduga dapt mempengaruhi terjadinya
dermatitis numularis, yaitu: alergi makanan, infeksi bakteri, stress psikis, cuaca/iklim, iritasi

Gejala Klinis
 Efloresensi berukuran nummular bulat, terdiri dari vesikula, erosi, eriem, dan eksudasi.

 Kadang disertai ekskoriasi akibat garukan an bila kering terjadi ktusta kehitaman

 Sisa penyembuhan memberikan warna hiperpigmentasi dengan skuama.

 Lokasi: bagian ekstensor ekstremitas, punggung, bokong, dapat pula menyebar ke muka dan
badan

 Timbulnya dapat akut, kronis dan bersifat residif ditempat yang sama.

DD: Tinea corporis, Psoriasis, Dermatitis kontak.


DERMATITIS STASIS

Penyebabnya adalah akibat gangguan aliran darah vena ditungkai. Gangguan dapat berupa
bendungan diluar pembuluh darah misalnya oleh tumor di abdomen sumbatan thrombus ditungkai
bawah atau kerusakan katub vena setelah trombophlebitis

Insidensi : biasanya terjadi pada orang dewasa atau orang tua.

Perjalanan Penyakit Dan Gejala Klinis


Akibat bendungan maka tekanan vena makin meningkat sehingga memanjang dan melebar. Terlihat
berkelok-kelok seperti cacing (varices). Cairan intravascular masuk ke jaringan dan terjadi oedem.
Hal ini meberi keluhan berupa rasa berat bila berdiri dan rasa kesemutan. Demikian juga akan
terjadi ekstravasasieritrosist dan timbul purpura. Bercak-bercak yang semula merah akan menjadi
hitam karena teruarai menjadi hemosiderin. Akibat garukan penderita timbul kelainan kulit yang
berupa erosi, skuama. Keadaan kulit pada ungkai bawah yang demikian ini sangat peka sehingga
timbul dermatitis kontak akibat sensitisasi obat-obat topikal yang dipergunakan.
Gambaran dermatitis kontak in imengaburkan penyakit dasarnya. Pada yang telah berlangsung lama,
odem akan diganti oleh jaringan ikat sehingga kulit teraba kaku, dan warna kulit menjadi lebih hitam.

Komplikasi

Kadang-kadang timbul ulkus dan disebut ulkus varikosum atau ulkus venosum. Perjalan penyakit ini
sama dengan dermatitis statika. Timbulnya ulkus dapat dimulai karena nekrosis dikulit akibat iskemi
atau karena infeksi akibat garukan penderita sermatitis statika. Ulkus letaknya diatas malleus
internus bentuk bulat atau lonjong, dangkal, sekitarnya hiperpigmentasi, biasanya tidak sakit. Pada
perabaan kulit disekitar ulkus agak kaku. Dasar ulkus berupa jaringa granulasi. Dapat juga timbul
selulitis bila terjadi infeksi sekunder

Diagnosis

 Lokasi ditungkai bawah, dililai dari maleus internus dapat meluas sampai ke bawah lutut
 Kelainan kulit: hiperpigmentasi, skuama, erosi, papul, kadang eksudasi

 Batas tidak jelas

 Oedem terutamna dipergelangan kaki, pada kasus lama oedem tidak terlihat lagi karena
diganti jaringan ikat sehingga kulit teraba kaku

DD: dermatitis kontak


Penatalaksanaan

 Dermatitis akut: kompres dengan lar PK 1/10000 atau lar. Perak nitrat 0,23%-0,5%

 Obat topikal yang dapat dipakai: ictyol 2% dalam salf Zink oksid

 Bila eksudatif: kortikostreoid sistemik dalam jangka pendek yaitu 7-10 hati

 Bila terjadi infeksi:sekunder: antibiotik sistemik

LIKEN SIMPLEK KRONIKUS (NEURODERMATITIS)

Neurodermatitis biasanya Nampak sebagai plakat yang terfiksir, mengalami likenifikasi, jumlah
tunggal

Predisposisi
 Sering dijumpai pada penderita DA
 Akibat infeksi sekunder DKI

 Stres emosi memegang peranan penting menimbulkan likenifikasi dan memperhebat penyakit
yang terjadi

Gejala Klinis

 Gatal, terjadi peroksismal dalam derajat hebat


 Stadium awal kulit tampak kemerahan dan sedikit oedem, kemudian jika kronis timbul sisik
dan penebalan dan kadang-kadang perubahan pigmentasi

 Predileksi: tengkuk, tungkai bawah, siku, kulit kepala berambut, paha bagian atas, vulva pubis,
skrotum dan lengan bagian ekstensor

DD: Liken planus, psoriasis, DK yang mengalami likenifikasi, Tinea rubrum kronik

Penatalaksanaan:
 Bila ada gangguan psikologis: konsultasi ke bag psikiatri
 Obat golongan sedative untuk mengatasi gatal paroksimal

 Topikal: kortikosteroid yang poten dengan oklusi jangka pendek

 Bila ada infeksi sekunder: antibiotika


STEP 4

KERANGKA PEMIKIRAN

Keluhan
Gatal dan merah
setelah kontak

Anamnesis:
RPD: gatal di tempat kontak
Riw. Sakit yang sama

Pemeriksaan Fisik:
- Lokalisasi sesuai kontak
- Eritem-hiperpigmentasi
- Erosi-skuama

Px Penunjang
Patch Test

Diagnosis Diagnosis Banding:


Dermatitis Kontak Dermatitis lainnya,
alergi/iritan dermatimikosis, psoriasis

Penatalaksanaan
STEP 5

Sasaran Pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu membuat DD penyakit dengan keluhan gatal, likenifikasi dan
hiperpigmentasi disertai skuama (dermatitis kontak, dermatitis lainnya, psoriasis, mikosis)
2. Mahasiswa mampu menentukan diagnosis penyakit dermatitis kontak
3. Mahasiswa mampu menjelaskan gejala klinis, patofisiologi dan penatalaksanaan dermatitis
kontak
4. Mahasiswa mampu menjelaskan gejala klinis, patofisiologi dan penatalaksanaan dermatitis
lainnya

2. KULIAH :

1. Kuliah Bioetika dan Medicolegal: Undang-undang Praktek Kedokteran


Sasaran Pembelajaran:

 mahasiswa mampu menjelaskan tentang undang-undang praktek kedokteran

2. Ilmu Penyakit Kulit : penatalaksanaan akne vulgaris, milliaria.pigmentary disorder.


Sasaran Pembelajaran:
 mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala penatalaksanaan akne vulgaris,
milliaria.pigmentary disorder.
 mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi psoriasis vulgaris, drug eruption, urtikaria,
angiodema

 mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan psoriasis vulgaris, drug eruption,


urtikaria, angiodema

3. Ilmu Penyakit Kulit: psoriasis vulgaris, drug eruption, urtikaria.

Sasaran Pembelajaran:
 mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala, patofisiologi dan penatalaksanaan
psoriasis vulgaris, drug eruption, urtikaria.

4. Ilmu Penyakit Kulit: bulosa autoimun,Lupus Eritematosus diskoid


Sasaran Pembelajaran:
 mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala, patofisiologi dan penatalaksanaan
bulosa autoimun,Lupus Eritematosus diskoid.
3. PRAKTIKUM
Praktikum parasitologi: identifikasi scabies, pediculosis capitis dan pubis
Sasaran Pembelajaran:
o mahasiswa mampu mengidentifikasi scabies, pediculosis capitis dan pubis

4. KETERAMPILAN MEDIK (3 x 50 menit):


Materi Belajar :
 Keterampilan Komunikasi : Komunikasi pada pasien Lanjut Usia
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Telinga
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan visus, buta warna & gerakan
Mata
 Keterampilan Prosedural : pemasangan kateter

Sumber belajar : Modul Keterampilan Medik


MODUL 3

TOPIK : Penyakit sistemik dengan kausa


reaksi allergi dan immunologi

Sasaran Pembelajaran :
Pada akhir modul 3 mahasiswa diharapkan mampu :
1. Mendiagnosis dan membuat defferensial diagnosis dari reaksi hipersensitifitas (anaphylaxis,
urticaria, angioedem, dermatitis kontak) (tutorial PBL)
2. Menjelaskan patofisiologi terjadi reaksi allergi (tutorial PBL)
3. Menjelaskan tanda dan gejala reaksi alergi (tutorial PBL)
4. Menjelaskan penatalaksanaan reaksi hipersensitifitas (tutorial PBL)
5. Menjelaskan mekanisme terjadinya autoimmun (kuliah)
6. Menjelaskan tanda dan gejala, patofisiologi dan penatalaksanaan penyakit – penyakit
autoimun (kuliah).
7. Menjelaskan tanda dan gejala, patofisiologi dan penatalaksanaan penyakit – penyakit
musculoskeletal ( rheumatoid arthritis , osteo arthritis,Gout artritis ) (kuliah)
8. Melakukan persiapan dan pemeriksaan test respons Ig E (allergy skin testing in vivo dan in
vitro) (praktikum)
REFERENSI
1. Austin KF. Allergies, Anaphylaxis and systemic mastocytosis in Braunwald E., Kasper D., Fauci
AS., Hauser SL. (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Mc Graw Hill New
York. 2008 : 1947-56.
2. Berger TG. Erythemas in Mc Phee SJ., Papadakis MA., Tierney LM (ed). Current Medical
Diagnosis and Treatment 47th ed. Mc Graw Hill New York 2008 : 116-7.
3. Chosidow OM., Stern RS., Wintoro BU. Cutaneus Drug Reaction in Braunwald E., Kasper D.,
Fauci AS., Hauser SL. (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Mc Graw Hill
New York 2008 : 318-24.
4. Kishiyama JL., Adelman DC. Allergic and Immunologic disorders in Mc Phee SJ., Papadakis
MA., Tierney LM (ed). Current Medical Diagnosis and Treatment 47th ed. Mc Graw Hill New
York 2008 : 687-94
5. Lipsky PE., Diamud B. Autoimmunity and autoimmune diseases in Braunwald E., Kasper D.,
Fauci AS., Hauser SL. (ed). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Mc Graw Hill
New York. 2008 : 1956-60
6. www//http : Current Allergy & Clinical Immunology,

KEGIATAN PEMBELAJARAN
1. Problem Based Learning (PBL) TUTORIAL

SKENARIO : Waduh... Kok Pingsan ??...

Bu Budi sudah satu minggu ini mengeluhkan nyeri dan bengkak ruas ibu jari kaki kiri. Pak Budi
kemudian membawanya berobat ke praktek dokter. Hasil pemeriksaan didapatkan tekanan darah
120/80 mmHg, nadi 98 x/menit dan suhu 36,8ºC. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik , dokter
menyimpulkan Bu Budi mengalami serangan gout arthritis. Dokter memutuskan untuk memberikan
suntikan anti nyeri ketoprofen untuk mengurangi keluhannya. Sebelumnya Bu Budi memang pernah
beberapa kali mendapat ketoprofen oral bila kakinya bengkak. Sesaat setelah penyuntikan pasien
merasa mual, pusing, kedua kaki terasa dingin, dada sesak, leher terasa tersumbat dan akhirnya
pingsan. Kemudian segera dilakukan tindakan penyelamatan berupa ABCD (airway, breathing,
circulation dan drug) dalam waktu cepat, sampai akhirnya pasien sadar. Setelah kondisi stabil,
pasien dirujuk ke rumah sakit untuk observasi lebih lanjut. Berdasarkan keterangan dari Pak Budi,
anak mereka pernah mengalami hal yang mirip dengan yang dialami Bu Budi , tetapi seingat Pak Budi
penyebabnya adalah sejenis suntikan penicillin. Sedangkan Pak Budi sendiri sering mengalami gatal-
gatal bila makan ikan laut.

STEP 1
Terminologi sulit
1. Anaphylaxis : suatu bentuk sistemik yang ekstrem dari reaksi hipersensitifitas tipe I, yang
diperantarai oleh IgE.
2. Gout arthritis : suatu penyakit yang muncul sebagai respon dari deposisi kristal monosodium
urat pada sendi.
STEP 2
Masalah yang Mungkin Timbul
1. Mengapa suntikan ketoprofen dapat menimbulkan gejala mual, pusing, kedua kaki terasa
dingin, dada sesak, leher terasa tersumbat dan akhirnya pingsan ?
2. Mengapa keluhan pingsan tidak terjadi pada pemberian ketoprofen sebelumnya & justru
baru terjadi setelah pemberian yang kesekian kali ?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan bila hal seperti diatas terjadi ?
4. Bagaimanakah mencegah terjadinya hal seperti diatas ?
5. Apakah kejadian yang dialami Bu Budi, anak mereka dan keluhan gatal yang dialami Pak Budi
memiliki patofisiologi yang sama ?

STEP 3
TEORI & KONSEP YANG HARUS DIKUASAI MAHASISWA

1. REAKSI ALERGI
Definisi Reaksi Alergi
Reaksi hipersensitifitas merupakan respon imunitas tubuh terhadap substansi non
patogen. Menurut Coombs dan Gell, reaksi hipersensitifitas diklasifikasikan dalam 4 tipe. Reaksi
alergi diidentikkan dengan reaksi hipersensitifitas tipe I (reaksi hipersensitifitas tipe cepat yang
diperantarai oleh IgE).

Patofisiologi Reaksi Alergi


Sistem imunitas tubuh kita dibangun oleh komponen selular darah yaitu netrofil, basofil,
eosinofil, sel mast, makrofag, sel dendritik, sel Natural Killer (NK cell) dan limfosit. Sistem
imunitas ini terbagi menjadi sistem imun non spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non
spesifik bertugas untuk mendeteksi setiap substansi yang masuk ke dalam tubuh, membedakan
antara substansi patogen dan non patogen melalui “sinyal bahaya” (danger signal) yang
dikeluarkan oleh substansi tersebut, dan mempresentasikan setiap substansi patogen pada sel
limfosit. Sel dendritik adalah sel yang sangat berperan untuk tugas tersebut. Pengenalan
substansi patogen pada limfosit akan membangkitkan mekanisme pertahanan diri spesifik berupa
eliminasi patogen dan reaksi inflamasi yang menyertainya. Substansi non patogen tidak
mengekspresikan “sinyal bahaya” dan karenanya tidak dipresentasikan oleh sel dendritik kepada
sel limfosit. Akibatnya tidak timbul mekanisme pertahanan diri yang spesifik. Bila substansi non
patogen ikut dikenali dan dipresentasikan oleh sel dendritik pada sel limfosit maka akan timbul
respon imun spesifik yang dikenal sebagai hipersensitifitas.
Terdapat 4 tipe reaksi hipersensitifitas yang dibedakan berdasarkan jenis sel atau
substansi yang berperan, jenis antigen yang memicu reaksi dan mekanisme efektor yang muncul
(gambar 1). Namun harus dipahami bahwa satu jenis antigen dapat memicu reaksi
hipersensitifitas melalui lebih dari 1 tipe reaksi. Contohnya penicillin dapat memicu reaksi
hipersensitifitas tipe I sampai IV. Sel limfosit terdiri dari limfosit B, Limfosit T sitotoksik (cytotoxic
T lymphocyte, cTL), limfosit T helper 1 (Th1) dan limfosit T helper 2 (Th2). Limfosit B yang
teraktivasi oleh substansi yang dibawa sel dendritik akan berubah menjadi sel plasma yang
menghasilkan antibodi dan sel memori. Ada lima jenis antibodi yaitu imunoglobulin M (IgM), D
(IgD), G (IgG), E (IgE) dan A (IgA). Jenis antibodi mana yang akan dihasilkan oleh sel limfosit B
sangat tergantung pada jenis sitokin dan sel yang ada disekelilingnya yang ditentukan oleh faktor
genetik dan lingkungan seseorang. Munculnya reaksi alergi membutuhkan sensitisasi (paparan
berulang) seseorang terhadap alergen tertentu. Paparan ini dapat muncul kapan saja dalam
hidup seseorang meskipun kesempatan terbesar seseorang untuk mengembangkan alergi adalah
pada masa anak-anak dan remaja.
Gambar 3. 1. Tipe Reaksi Alergi

Reaksi Hipersensitifitas Tipe I


Reaksi Hipersensitifitas tipe I atau reaksi cepat yang diperantarai oleh IgE, sering disebut
sebagai reaksi alergi. Maka terminologi alergi selalu mengacu pada reaksi yang diperantarai oleh
IgE.
Pada reaksi alergi tipe I, bila seseorang yang memiliki kecenderungan alergi (atopi)
terpapar oleh alergen, melalui bantuan sel dendritik dan sel Th2, limfosit B akan memproduksi
IgE. Setelah dilepaskan, IgE akan berikatan dengan reseptornya (FcɛR1) pada sel mast, basofil dan
eosinofil dan kemudian tinggal di jaringan kulit maupun mukosa. Apabila terjadi paparan oleh
alergen yang sama maka alergen (yang berfungsi sebagai antigen) akan berikatan dengan IgE
(yang berfungsi sebagai antibodi) yang spesifik. Ikatan tersebut memacu pelepasan histamin,
heparin, tumor necrosis factor α (TNFα) dan faktor kemotaktik yang telah tersedia dalam sel
mast sehingga menghasilkan reaksi yang cepat (immediate response). Faktor kemotaktik
selanjutnya akan menarik eosinofil dan basofil ke tempat paparan. Reaksi fase lambat (late
phase) muncul dari mediator inflamasi baru yang diproduksi sel mast maupun yang dilepaskan
oleh eosinofil dan basofil (gambar 2). Beberapa contoh kelainan klinis dari reaksi alergi tipe 1
adalah rhinitis alergika, asma akut, reaksi anafilaksis.
Gambar 3. 2. Respon Fase cepat dan fase lambat reaksi alergi

Reaksi alergi pada kulit muncul pada menit pertama penyuntikan antigen dan diikuti oleh edema
yang meluas selama beberapa jam. Beberapa menit setelah inhalasi antigen, terjadi konstriksi otot
polos bronchial yang terlihat melalui turunnya aliran puncak ekspirasi (peak expiratory flow rate,
PEFR) yang kemudian membaik. Delapan jam kemudian terlihat penurunan PEFR kembali yang
menandakan terjadi konstriksi otot polos bronchial akibat reaksi alergi fase lambat.
Tanda dan gejala yang paling sering muncul akibat reaksi alergi meliputi urtikaria (gambar 3),
pruritus, flushing atau kemerahan, angioedema pada wajah, ekstremitas atau jaringan laring (yang
menyebakan rasa tercekik dan stridor), wheezing dan hipotensi.

Gambar 3.3. Urticarial Drug Eruption


Reaksi Alergi Tipe II
Reaksi alergi tipe II muncul bila antibodi selain IgE terikat pada substansi ekstraseluler
(soluble) atau pada permukaan sel. Ikatan antigen antibodi ini dapat mengaktifkan komplemen
dan dikenali oleh sel yang memiliki Fc receptor seperti makrofag atau netrofil yang selanjutnya
memacu proses fagositosis dan pelepasan berbagai mediator inflamasi.
Reaksi alergi terhadap penicillin merupakan salah satu contoh reaksi alergi tipe II. Molekul
penicillin yang kecil sebenarnya tidak bersifat imunogenik tetapi bila molekul ini terikat pada
molekul besar (misalnya trombosit) yang berfungsi sebagai carier maka sifatnya menjadi
imunogenik dan hal ini dikenal sebagai hapten. Ikatan hapten-carier akan mengaktifkan
komplemen yang menarik makrofag dan netrofil yang kemudian memfagositosis komplek
molekul penicillin-carier-komplemen dan melepaskan mediator inflamasi.

Reaksi Alergi Tipe III


Reaksi tipe III disebut juga immune complex disease, terjadi bila sejumlah besar protein
(yang berfungsi sebagai antigen) masuk ke dalam tubuh dan mencetuskan pembentukan
antibodi. Antibodi spesifik ini akan mengikat antigen membentuk komplek antigen-antibodi yang
bersirkulasi dalam pembuluh darah. Komplek ini akan mengaktifkan sistem fagositosis, sebagai
akibatnya mereka dibersihkan di sistem retikuloendotelial. Jika semakin banyak komplek antigen-
antibodi terbentuk, sistem retikuloendotelial tidak mempu membersihkan seluruh komplek
sehingga akan terdeposit di pembuluh-pembuluh darah kecil, mengaktifkan komplemen, menarik
netrofil dan melepaskan berbagai mediator inflamasi yang merusak jaringan. Prototipe reaksi
alergi tipe III adalah serum sickness.

Reaksi Alergi Tipe IV


Reaksi hipersensitifitas tipe IV merupakan reaksi yang diperantarai oleh limfosit T. Limfosit
Th1 dan Th2 memperantarai reaksi alergi tipe lambat (delayed type hypersensitivity) seperti
rhinitis alergika kronis sedangkan limfosit T sitotoksik memperantarai reaksi sitolisis misalnya
dermatitis kontak. Reaksi alergi tipe lambat juga diduga memiliki peran penting dalam
patofisiologi hipersensitifitas obat Steven Jhonson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal necrolysis
(TEN).

2. ANAPHYLAXIS
Definisi
Anaphylaxis adalah suatu bentuk sistemik yang ekstrem dari reaksi alergi tipe I, muncul
dalam hitungan menit setelah pemberian antigen spesifik dan bermanifestasi sebagai edema
laring, bronkospasme serta kegagalan kardiovaskular yang mengancam jiwa.

Patofisiologi
Anaphylaxis tidak akan terjadi tanpa adanya paparan berulang terhadap substansi
imunogenik. Terikatnya antigen spesifik pada sel mast menyebabkan pelepasan histamin,
heparine, TNFα dan faktor kemotaktik. Histamin dan heparin meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah menyebabkan ekstravasasi plasma ke jaringan, vasodilatasi, edema dan kondisi
hipovolemi. Keduanya juga vasokontriktor otot polos yang kuat yang menyebabkan spasme laring
dan bronkokonstriksi serta meningkatnya produksi mukus. Faktor kemotaktik menarik netrofil
dan makrofag yang akan melepaskan lebih banyak mediator inflamasi.

Faktor Penyebab
Beberapa substansi yang dapat menimbulkan anaphylaxis diantaranya : hormon (insulin,
vasopresin), enzim (trypsin, streptokinase), makanan (susu, telur, kacang), protein rumah tangga
(latex), polisakarida, antibiotik, bahan diagnostik (sulfobromophthalein), pollen (serbuk bunga)
dan kutu.

Tanda dan Gejala


Meskipun tiap orang berbeda dalam onset munculnya gejala, salah satu ciri khas
anaphylaxis adalah onset yang sangat cepat yaitu beberapa detik sampai menit. Peningkatan
permeabilitas pembuluh darah menimbulkan hipotensi sampai syok. Edema laring dan epiglotis
menyebabkan suara serak, tercekat, bahkan stridor. Bronkokonstriksi bermanifestasi sebagai
sesak napas, wheezing. Pada kulit terlihat erupsi urticaria yang khas. Kadang dapat pula dilihat
adanya angioedema.

Penatalaksanaan
Anaphylaxis merupakan kondisi gawat darurat yang membutuhkan penanganan cepat.
Apabila terjadi anaphylaxis, segera lakukan tindakan resusitasi untuk jalan napas, pernapasan dan
sirkulasi (airway, breathing, circulation) lalu berikan epinephrine 1:1000 dengan dosis 0,2-0,5 ml
secara intramuskuler atau subcutan. Injeksi epinephrine dapat diulang tiap 5-15 menit jika
diperlukan. Epinephrine dapat menstabilkan hemodinamik, menimbulkan efek bronkodilatasi
dan menghambat pelepasan mediator inflamasi lebih lanjut dari sel mast. Sejumlah besar cairan
intravena (cairan saline, Ringer Lactate, koloid, plasma expanders) harus segera diberikan untuk
menggantikan plasma yang hilang pada pasien yang mengalami hipotensi. Obat-obat vasopresor
seperti dopamin, norepinephrine dapat digunakan bila syok belum teratasi dengan resusitasi
cairan.
Bila terjadi obstruksi jalan napas akibat edema laring dan hipopharing, intubasi
endotrakea atau trakeostomi merupakan tindakan pilihan. Bronkokonstriksi dapat diatasi dengan
inhalasi agonis β2 atau pemberian aminophilin intravena (dosis awal 6 mg/kg berat badan bolus
dalam waktu 30 menit dilanjutkan 0,5mg/kg berat badan/jam).
Pemberian antihistamin 25-50 mg per oral, intramuskular atau intravena berguna untuk
memperbaiki menifestasi kutaneus urtikaria, pruritus dan angioedema. Kortikosteroid tidak
banyak berguna pada fase cepat tetapi dapat mengurangi reaksi yang berkepanjangan atau
kekambuhan. Mengingat adanya fase lambat yang muncul sekitar 6-12 jam pasca paparan, maka
pasien anaphylaxis yang telah pulih dari reaksi fase`cepat harus tetap mendapat pengawasan
setidaknya selama 24 jam.

3. URTICARIA DAN ANGIOEDEMA


Definisi
Urtikaria merupakan kelainan yang mengenai bagian superfisial dermis, berupa bercak
berbatas tegas beberapa milimeter sampai sentimeter dengan tepi menebal kemerahan dan
bagian tengah memucat. Angioedema adalah edema lokal yang berbatas tegas yang melibatkan
lapisan kulit yang lebih dalam termasuk jaringan subkutan. Urtikaria dan angioedema dapat
muncul terpisah atau bersama-sama sebagai manifestasi kutaneus dari edema non pitting.
Urtikaria dan/atau angioedema yang menetap kurang dari 6 minggu dikategorikan akut
sedangkan bila menetap lebih dari 6 minggu dikategorikan kronis.

Patofisiologi
Patofisiologi urtikaria dan angioedema bervariasi tergantung penyebabnya dan belum
sepenuhnya dapat dijelaskan, sebagian besar memiliki dasar imunologis namun sebagian lainnya
tidak. Yang paling banyak ditemui adalah urtikaria dan angioedema yang diperantarai IgE,
dimana pada daerah lesi kadar histamin plasma diketahui meningkat drastis dan jaringan dermis
dan subkutan dipenuhi oleh sel mast yang mengalami degranulasi.

Tanda dan Gejala


Urtikaria paling sering ditemukan di daerah wajah dan ekstremitas sedangkan angioedema
pada daerah kelopak mata, telapak tangan dan bibir. Namun, angioedema juga dapat terjadi
pada saluran napas bagian atas yang menimbulkan obstruksi laring dan pada saluran cerna yang
menimbulkan keluhan kolik. Durasi urtikaria dan angioedema adalah 24-72 jam. Lesi lama akan
menghilang diikuti munculnya lesi baru.
Urtikaria dan/atau angiedema harus dibedakan dari dermatitis kontak, dermatitis atopi dan
mastositosis sistemik. Onset yang cepat dan self limited merupakan salah satu ciri khas urtikaria
dan angioedema. Selain itu, kadang dapat ditemukan sekelompok urtikaria dengan stadium lesi
yang berbeda-beda. Pada urtikaria atau angioedema yang diperantarai IgE, pemeriksaan darah
tepi menunjukkan peningkatan eosinofil dan peningkatan kadar IgE.

Penatalaksanaan
Anamnesa yang teliti dapat mengungkapkan faktor pencetus urtikaria dan angioedema.
Sebagai konfirmasi dapat dilakukan tes kulit (skin testing). Paparan alergen ini harus dieliminasi
untuk mencegah reaksi alergi yang berkepanjangan. Terapi utama urtikaria dan angioedema
adalah H1-antihistamin. Penggunaan kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk kasus akut
mengingat H1-antihistamin saja sudah cukup. Pada kasus kronik, pemberian antidepresan trisiklik
yang memiliki efek antikolinergik sebelum tidur dapat membantu. Kortikosteroid sistemik,
hidroksiklorokuin atau colchicine dapat menjadi pilihan pada kasus kronik. Siklosporin cukup
efektif untuk kasus autoimun.

4. REAKSI ANAPHYLACTOID
Reaksi anaphylactoid disebut juga reaksi pseudoalergik. Reaksi ini menyerupai reaksi
immediate hypersensitivity yang diperantarai IgE (Reaksi alergi tipe I). Namun pada
anaphylactoid tidak terjadi aktivasi IgE melainkan aktivasi sel mast secara langsung.
Salah satu contoh reaksi anaphylactoid adalah reaksi terhadap media radiokontras. Reaksi
terhadap radiokontras tidak diperantarai IgE meskipun gambaran klinisnya mirip anaphylaxis.
Molekul radiokontras langsung terikat pada sel mast dan memacu pelepasan berbagai mediator
inflamasi.
Untuk menghindari anaphylactoid dapat dilakukan tindakan berupa penggunaan media
radiokontras berberat molekul kecil dan pemberian prednison 50 mg per oral tiap 6 jam, 18 jam
sebelum tindakan dan diphenhidramin 25-50 mg intra muskuler satu jam sebelum tindakan.

5. SINDROMA STEVENS JOHNSON-TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS


Definisi
Sindroma Stevens Johnson (Stevens Johnson syndrome, SJS)-Toxic epidemal necrolysis(TEN)
merupakan kelainan akibat reaksi terhadap obat. Ditandai dengan nekrosis epidermal yang
mengakibatkan lepasnya jaringan epidermis (epidermal detachment).
SSJ-TEN merupakan suatu spektrum penyakit yang sebenarnya sama. Perbedaan terletak
pada luas kulit yang terkena.
SSJ: luas kulit yang terkena kurang dari 10%
SSJ-TEN: Luas kulit terkena 10-30%
TEN: luas kulit terkean lebih dari 10%
Etiologi
(1) obat (tersering)
(2) infeksi
(3) malignancy-related (lymphoma)
(4) idiopathik (25% kasus)

Patofisiologi
Peristiwa molekuler penyakit ini belum sepenuhnya dimengerti. Namun peristiwa
imunologik terlibat, dimana terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengalami
apoptosis. Kematian sel ini menimbulkan pelepasan epidermis

Tanda dan Gejala


Gejala SJS/TEN bersifat akut. Minimal terdapat mukosa di dua tempat yang mengalami
gangguan, paling sering adalah mukosa oral dan konjungtiva. Lesi di kulit dan mukosa
menimbulkan nyeri dan nyeri telan. Lesi yang berat dapat menimbulkan infeksi yang ditandai
demam tinggi atau kelainan gastrointestinal yang ditandai perdarahan saluran cerna. Komplikasi
yang muncul meliputi sepsis, dehidrasi, perdarahan saluran cerna. Lesi yang berat bersifat
mengancam jiwa dan dapat menyebabkan kematian.
Diagnostik
Diagnosis SJS-TEN ditegakkan dengan biopsi kulit dan anamnesis yang teliti. Pemeriksaan
darah tidak banyak membantu. Diagnosis banding SJS-TEN adalah pemphigus.

Penatalaksanaan
Langkah utama penatalaksanaan adalah menghentikan obat-obatan yang menyebabkan
SJS-TEN dan terapi suportif. Pasien dengan lesi luas sebaiknya dirawat di unit luka bakar dan
mendapat cairan dan nutrisi yang optimal. Meskipun tidak ada data yang cukup kuat menunjang
penggunaan kortikosteroid pada kasus SJS, namun banyak dokter masih memberikan obat ini.
Pemberian kortikosteroid dosis sedang-tinggi (prednison 100-250 mg per hari) dapat dicobakan
pada kasus berat tetapi sebaiknya diberikan sedini mungkin sebelum muncul bula.
Prognosis SSJ-TEN telah dikembangkan dengan menggunakan Scorten (lihat Box)

STEP 4
KERANGKA PEMIKIRAN

Tindakan pemberian
obat

Individu sensitif

Patogenesis

Gejala Reaksi alergi


obat
Anafilaksis, urticaria, angioedma, cutaneous
drug reaction (steven-johnsosn syndrome)

Penatalaksanaan

STEP 5
Sasaran Pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa reaksi allergi (anaphylaxis, urticaria, angioedema dan
cutenous drug reaction (stevens-johnson syndrome)
2. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi terjadinya reaksi allergi
3. Mahasiswa mampu menentukan DD reaksi allergi (anaphylaxis,urticaria,angioedema dan
cutanous drug reaction stevens-johnson syndrome)
4. mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala lain reaksi allergi
5. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan reaksi allergi

2. KULIAH :
1. Bioetika dan Medicolegal : Informed consent, Rahasia Kedokteran
Sasaran Pembelajaran:
 Mahasiswa mampu menjelaskan tentang informed konsent dan rahasia kedokteran
2. Ilmu Penyakit Dalam: Mekanisme Terjadinya Autoimmune
Sasaran Pembelajaran:
 mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi dari autoimmunitas.
3. Ilmu Penyakit Dalam: Autoimmune diseases : SLE, vasculitis syndrome,
Sasaran Pembelajaran:
mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala, patofisiologi dan penatalaksanaan SLE,
vasculitis syndrome,
4.Ilmu Penyakit Dalam: Penyakit-penyakit Muskuloskeletal Rheumatic fever, : Rheumatic
artritis, Osteoartritis, Goutartritis, spondyloartritis, systemic sclerosis, syorgen sindrome,
sarcoidosis dan amyloidosis
Sasaran Pembelajaran:
mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala, patofisiologi dan penatalaksanaan
Penyakit Rheumatic artritis, Osteoartritis, Goutartritis, spondyloartritis, systemic sclerosis,
syorgen sindrome, sarcoidosis dan amyloidosis

3. PRAKTIKUM :
a. Skin Test
Sasaran Pembelajaran:
mahasiswa mampu Melakukan persiapan dan tindakan skin test serta
menginterpretasikannya.
b. Pemeriksaan asam urat dan Protein
Sasaran Pembelajaran:
mahasiswa mampu melakukan persiapan dan pemeriksaan asam urat dan Protein serta
menginterpretasikannya.

4. KETERAMPILAN MEDIK (3 x 50 menit):


Materi Belajar :
 Keterampilan Komunikasi : Komunikasi pada pasien Lanjut Usia
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Telinga
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan visus, buta warna & gerakan
Mata
 Keterampilan Prosedural : pemasangan kateter
Sumber belajar : Modul Keterampilan Medik

MODUL 4
TOPIK : Hematology dan vascular
SASARAN PEMBELAJARAN
Pada akhir modul 4 mahasiswa diharapkan mampu :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi letih, lemah, lesu, lelah dan pucat (tutorial)
2. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi terjadinya kelainan sel-sel darah. (tutorial)
3. Mahasiswa mampu menbuat Diagnosis banding penyakit dengan kelainan sel-sel darah.
(tutorial)
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala anemia aplastik iron deficiency,
macrocytic, hemolytic, associated with cronic disease. (tutorial)
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala thrombocytopenia dan agranulocytosis.
(tuto rial)
6. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda, gejala penyakit leukemia, multiple myeloma dan
lympho ma (kuliah)
7. Mahasiswa mampu menjelaskan cara pemeriksaan faal hemostasis dan LE sel serta
penggunaannya di klinik (kuliah)
8. Mahasiswa mampu membuat diagnosis dan diferensial diagnosis, melakukan
penatalaksanaan serta pencegahan vein disorder dan hemostasis disorder (kuliah)

9. Mahasiswa mampu membuat diagnosis dan diferensial diagnosis, melakukan


penatalaksanaan serta pencegahan Hemophilia, DIC dan Antiphospholipid syndrome,
myelodisplastic syndrome-leukemia serta aspek laboratoriumnya (kuliah)
10. Melakukan persiapan dan pemeriksaan manual sederhana untuk faal hemostasis, tes
fragilitas osmotik eritrosit dan LE sel (praktikum)

REFERENSI:
1. Mazza J.J, Manual of Cinical Hematology, 2ndEd, Little,Brown and Company,
Boston, 1995.
2. Wintrobe’s Clinical Hematology, 10th Ed., Wlliam & Wilkins, Baltimore,
Maryland, 1999.
3. Desai S.P, Clinician’s Guide to Laboratory Medicine. A Practical Approach, Lexi-
Comp Inc, Ohio, 2000
4. Isbister JP, Hematologi Klinik.Pendekatan berorientasi masalah (terjemahan),
Penerbit Hipokrates, 1993, Jakarta.
5. Henry J.B, Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Methods, 9th Ed.,
W.B.Saunders Company, Philadelphia, 1996.
6. Mansjoer Ari, dkk, Kapita Selekta Kedokteran jilid 1, edisi 3, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta, 2007.
7. Penuntun Praktikum Hematology. Laboratorium Patologi Klinik FK Unmul.
Samarinda, 2007

1. Problem Based Learning (PBL)

Skenario : Kok Masih Demam sih ?......

Bapak Agus, seorang pekerja pabrik cat berumur 35 tahun datang ke rumah sakit karena panas
selama 1 minggu, cepat merasa lelah dan disertai mual-mual. tampak memar pada tangan kanan
dan kiri. Sebelumnya Pak Agus telah minum beberapa obat dari dokter Puskesmas akan tetapi
panasnya tetap tidak turun-turun. Sewaktu di rumah sakit dilakukan pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, evaluasi morfologi darah tepi dan retikulosit. Hasil Laboratorium ditemukan
hemoglobin 7,6 gr/dl, lekosit 3.400/µl dengan hitung jenis 4/-/-/5/90/1 dan trombosit 36.000/µl.
Retikulosit 0,3 %. Sedangkan hasil morfologi darah tepi adalah: pansitopenia, limfositosis relatif
dengan saran pemeriksaan BMP.

Step 1. Terminologi sulit :


i. Pansitopenia: penurunan jumlah eritrosit, leukosit dan trombosit di sirkulasi.
ii. Limfositosis relatif : jumlah total limfosit tidak meningkat tetapi persentase
limfosit meningkat pada keadaan ini ditemukan total leukosit normal atau
menurun
iii. Retikulosit : sel eritrosit muda yang sitoplasmanya masih mengandung
sejumlah besar sisa – sisa ribosom dan RNA yang berasal dari sisa intinya.
iv. BMP / BMA : Bone marrow punction / Bone Marrow Aspiration :
pungsi/aspirasi sum-sum tulang yang bertujuan mendapatkan sampel dari
sum-sum tulang untuk menilai tempat produksi sel – sel darah
(hematopoiesis).

Step 2: Masalah yang mungkin timbul :


1. Mengapa panas yang diderita Pak Agus tidak turun-turun?
2. Mengapa Pak Agus merasa cepat lelah ?
3. Mengapa terjadi memar pada tangan kanan dan kiri Pak Agus tanpa riwayat benturan?
4. Bagaimana hasil laboratorium darah lengkap pada orang normal?
5. Mengapa terjadi limfositosis relatif ?
6. Pemeriksaan apa saja yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnose Pak Agus?

Step 3 : TEORI YANG HARUS DIKUASAI MAHASISWA

ANEMIA
Definisi :
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dan/ atau hitung eritrosit lebih
rendah dari nilai normal. (Pria: Hb < 14 g/dl dan wanita: Hb<12 g/dl)
Gejala-gejala umum anemia antara lain: cepat lelah, takikardi, palpitasi, dan takipneu pada
latihan fisik.
Patofisiologi anemia secara umum:
 Penurunan produksi:anemia defisiensi, anemia aplastik,dll
 Peningkatan penghancuran: anemia hemolitik
. Anemia kehilangan darah / perdarahan: akut dan kronis

Pembagian anemia menurut morfologi eritrosit:


1. Anemia normokrom-normositik.(MCV 82-92 fl , MCHC > 32%, MCH > 26 pg)
1.1. perdarahan akut
1.2. anemia karena kanker
1.3. anemia aplastik
1.4. lekemia, mieloma multiple

2. Anemia hipokrom-mikrositik. (MCV < 82 fl, MCHC < 32%, MCH < 26 pg)
2.1. anemia kurang besi
2.2. hemoglobinopati (mis.sickle cells anemia)
2.3. thalassemia
2.4. anemia karena penyakit kronik (penyakit infeksi atau penyakit collagen)
3. Anemia normokrom-makrositik. (MCV > 94 fl, MCHC > 32%, MCH > 26 pg)
3.1. anemia megaloblastik karena kurang vit. B12(termasuk anemia pernisiosa) dan anemia
karena kurang asam folat.
3.2. anemia hemolitik dengan respons retikulositosis
3.3. anemia setelah pendarahan akut dengan respons retikulositosis
3.4. anemia karena penyakit hati kronik , hipotiroid, obstructive jaundice
3.5 anemia pada myelodisplastic syndrome

ANEMIA KURANG BESI

Anemia kurang besi adalah anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi didalam tubuh
yang mengakibatkan gangguan pada sintesa hemoglobin. Kejadian ini timbul karena
makanan kurang mengandung zat besi, kebutuhan tubuh terhadap zat besi
meningkat(mis.Kanak-kanak, kehamilan) atau karena mengalami perdarahan kronik (mis.
Hemoroid, Mioma uteri, Ankilostomiasis ).

Gambaran laboratorium:
 Kadar Hb, MCV, MCH, MCHC , hematokrit dan jumlah eritrosit turun.
 Pada hapusan darah eritrosit terlihat hipokro-mikrositik, beberapa eritrosit
berbentuk pensil atau cerutu dan pada keadaan berat eritrosit berbentuk anulosit.
 Kadar ferritin serum memberi petunjuk keadaan cadangan Fe, bila nilainya turun
menunjukkan adanya defisiensi Fe.
 Kadar serum transferrin meningkat. Zat ini dapat diukur dengan imunoassay atau
mengalikan TIBC dengan 0,7.
 Serum iron (SI) turun, TIBC (Total Iron Binding Capacity) naik.

Sumsum tulang

Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia eritroid dan sel normoblas mikrositik dengan
tepi sitoplasma sedikit irreguler.
Pemeriksaan hemosiderin dengan pengecatan Prussian blue merupakan indikator paling
baik. untuk menunjukkan adanya defisiensi Fe. Pada anemia kurang besi hemosiderin
dalam makrofag tidak tampak dan jumlah sideroblas menurun < 10%.

Diagnosa banding

1. Anemia karena penyakit kronik (mis.artritis rematoid, TBC)


Pada keadaan ini umumnya :
 derajat anemia ringan sampai sedang (Hb 7-10 g/dl)
 hemosiderin dalam sumsum tulang normal
 serum Iron (SI) menurun dan Total Iron Binding Capacity (TIBC )
menurun
2. Thalassemia
3. Anemia sideroblastik

Penatalaksanaan

3. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya obat cacing


4. Pemberian preparat Fe (Fero sulfat 3x325mg oral, fero glukonat 3x200mg oral atau
parenteral, dll)

ANEMIA MEGALOBLASTIK
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh hematopoisis abnormal
yang ditandai asinkronisme maturasi inti sel dan sitoplasma pada deret eritroid dan mieloid
akibat gangguan sintese DNA karena kekurangan vit. B12 atau asam folat.
Di dalam sumsum tulang tampak hiperplasia dan perubahan megaloblastik terutama pada
deret sel eritroid, mieloid, ditandai dengan inti sel besar-besar dengan kromatin halus.

Patogenesis
Pada kekurangan vit.B12/asam folat akan terjadi gangguan sintesa DNA yang
menghambat pembelahan sel. Keadaan ini menyebabkan eritropoisis dan granulopoisis
menjadi inefektif sehingga hanya sedikit eritroblas yang dapat hidup sampai menjadi
retikulosit.
Absorbsi vit.B12 di ileum memerlukan bantuan faktor intrinsik dalam lambung.
Faktor intrinsik merupakan mukoprotein yang dihasilkan oleh dinding lambung. Bila terjadi
atrofi dinding lambung atau keadaan achlorhydria, pasca gastrektomi, akan diikuti
penurunan produksi faktor intrinsik dan penyerapan vit.B12, yang akan menimbulkan
anemia megaloblastik (anemia Pernisiosa).
Tanpa tambahan dari luar, cadangan B12 di dalam hati dapat mencukupi
kebutuhan tubuh selama 3–5 tahun, sedangkan asam folat dapat bertahan hanya 3–5
bulan. Oleh karena itu di klinik anemia megaloblastik lebih sering disebabkan oleh
kekurangan asam folat.

Etiologi

1. Kurang vit.B12 karena ,


 diet rendah vit.B12
 gangguan absorbsi :
- Kekurangan faktor intrinsik
- Kelainan yeyunum
- Penyakit cacing (difilobotrium latum)
2. Kurang asam folat karena,
 diet kurang asam folat (paling sering)
 gangguan absorbsi: kelainan yeyunum
 kebutuhan meningkat: kehamilan, anemia hemolitik, lekemia, keganasan.

Gambaran laboratorium
Darah tepi
Kadar Hb turun 7-9 g/dl.
MCV meningkat > 100 (fl), sedangkan MCHC/MCH normal.
Pada hapusan darah eritrosit terlihat aniso – poikilositosis – normokrom -
makrositik, makro-ovalosit (+).
Jumlah lekosit normal atau menurun dan pada hapusan darah terlihat
hipersegmentasi netrofil (lobi >5) dan "giant stab".
Bila pada hapusan darah terdapat sel netrofil berlobi lebih dari 5 disebut hiperseg-
mentasi netrofil yang merupakan tanda dini dari defisiensi vit.B12 atau asam folat.
Jumlah trombosit turun kurang dari 100.000/cu.mm, bentuknya besar-besar

Sumsum tulang.
Sumsum tulang tampak hiperseluler yang menunjukkan peningkatan aktifitas
sistem eritropoitik, granulopoitik, trombopoitik disertai adanya perubahan
megaloblastik yang ditandai adanya sel-sel normoblas besar-besar dengan kromatin
inti halus, banyak "giant metamielosit" , hipersegmentasi inti megakariosit. M/E
ratio menurun, yaitu : 1 : 1
Lain-lain:
- Kadar LDH (lactic acid dehidrogenase) meningkat.
- Tes untuk anemia kurang vit.B12 : mengukur kadar B12 serum (turun).
- Tes untuk anemia kurang asam folat : mengukur kadar folat serum (turun).

Diagnosis banding.
Terutama dibedakan dengan anemia normokrom-makrositik yang lain yaitu;

1. Anemia setelah perdarahan akut, anemia hemolitik (pada keadaan ini terdapat
retikulositosis).
2. Penyakit hati, Obstructive jaundice, Post splenectomy, pada keadaan ini terjadi
perluasan dinding sel, sehingga eritrosit tampak besar.
Penatalaksanaan

Meliputi pengobatan terhadap penyebabnya dan

Suplementasi vitamin B12 1.000 mg/hari selama 5-7hari, 1 kali tiap bulan

Suplementasi asam folat oral 1mg perhari.

ANEMIA APLASTIK

Difinisi:
Anemia aplastik adalah anemia yang di darah tepi ditandai oleh pansitopenia disertai
sumsum tulang hiposeluler baik pada sistem eritropoitik, granulopoitik dan trombopoitik.
Pada dasarnya keluhan dan gejala-gejala yang timbul disebabkan oleh anemia, netropenia
dan trombositopenia. Keluhan lemah, anoreksia, nafas pendek, disebabkan oleh anemia.
Gejala perdarahan gusi, epistaxis, purpura, dan menorrhagia akibat dari trombositopenia.
Penderita sering mengalami panas (infeksi) dan ulcerasi pada pharynx disebabkan oleh
netropenia.

Etiologi
1. Idiopatik (50 % dari kasus)
2. Drug-induced dan toksin
Mis. Kloramfenikol, Fenilbutazon, sulfonamid, benzene, insektisida .
3. Infeksi
Mis. Hepatitis virus, cytomegalovirus, mononucleosis infeksiosa.
4. Kehamilan (membaik setelah persalinan).
5. Thymoma, menimbulkan pure red cell aplasia.
6. Mielodisplasia
Perkembangan Myelodysplastic syndrome dan PNH (25%) menjadi anemia
aplastik
7. Konstitusional (Fanconi’s anemia)

Patofisiologi

Beberapa mekanisme yang dapat dihubungkan dengan kejadian anemia aplastik adalah
 Kelainan intrinsik secara kualitatip atau kuantitatip dari SIH (Sel Induk
Hematopoesis )
 Supresi imunologik pada hematopoisis,
- Antibody-mediated
- Cell-mediated
- Lymphokine-mediated
 Kerusakan lingkungan mikro hematopoisis
 Kelainan produksi cytokine
Kebanyakan anemia aplastik disebabkan kelainan intrinsik SIH, kelainan imunologik atau
gabungan keduanya, sedangkan kerusakan lingkungan mikro hematopoisis jarang.
Gambaran laboratorium
Darah tepi
 Anemia normokrom-normositik Hct pasien
 Hitung retikulosit terkoreksi ( retikulosit % X --------------- ) rendah,
Hct normal
merupakan indokator yang lebih akurat untuk menilai adanya supresi eritropoisis.
 Netropenia (jumlah absolut < 1500 / ul)
 Jumlah limfosit normal
 Trombositopenia (kurang dari 150.000 / ul)

Sumsum tulang
Sumsum tulang hiposeluler, pada hapusan terlihat didominasi oleh sel limfosit dan sel
plasma, dan cadangan Fe meningkat. Kadang-kadang satu fokus kecil sumsum tulang
terlihat hiperseluler, maka perlu ulangan aspirasi atau biopsi sumsum tulang untuk
meperjelas diagnosis.

Penatalaksanaan:
Tujuan utama terapi sesuai etiologi dan anemianya
Transfusi darah, atasi komplikasi (infeksi), transplantasi susmsum tulang.

ANEMIA HEMOLITIK

Pada orang dewasa kira-kira 200 milyar eritrosit baru dibuat setiap hari untuk
mempertahankan jumlah eritrosit yang beredar. Eritrosit yang baru meninggalkan sumsum
tulang adalah retikulosit dan dapt mencapai usia 120 hari.
Pada peristiwa hemolitik terjadi pemecahan eritrosit yang berlebihan-lebihan (umur
eritrosit memendek). Pada proses hemolitik tidak selalu disertai gejala anemia karena
tergantung pada jumlah eritrosit yang rusak dan kemampuan sumsum tulang
mengganti sel-sel eritrosit yang rusak. Sumsum tulang dapat meningkatkan aktifitasnya
sampai 6-8 kali aktifitas normal, dan bila jumlah kerusakan eritrosit sedemikian banyak
sedangkan kompensasi oleh sumsum tulang tidak memadai, maka akan timbul gejala
anemia.
Proses hemolisis bisa terjadi ekstra vaskuler atau intravaskuler. Tetapi umumnya
pemecahan eritrosit (80-90% eritrosit normal) terjadi ekstravaskuler yaitu di jaringan RES.
Klasifikasi Anemia Hemolitik :
I. Heriditer :
1. Kelainan membran :
 sferositosis heriditer
 ovalositosis heriditer
2. Kelainan enzim:
 defisiensi enzim G-6PD
 defisiensi enzim Piruvat kinase
3. Kelainan struktur dan sintesa globin:
 sickle cell anemia
 thalassemia
 Hb H disease
II. Dapatan ( Acquired ):
1. Immune hemolytic anemia
1.1. Idiopatik
 Autoimmune hemolytic anemia (AIHA)
1.2. Sekunder:
 Infeksi virus,
 Limfosarkoma, CLL, SLE.
 Drug-induced : Penisilin, Quinidin, Methyldopa
2. Trauma dan mikroangiopatik
 Penggunaan katup jantung buatan
 Cacat jantung
 Hemolytic–uremic syndrome (HUS)
 Disseminated intravascular coagulation (DIC)
3. Infeksi : Malaria.
4. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)
5. Lain-lain : Luka bakar luas, bahan kimia, racun ular.

A. Pemecahan eritrosit ektravaskuler.


Pemecahan eritrosit ekstravaskuler terjadi di jaringan RES (limpa dan/atau hati).
Pada proses ini akan terbentuk bilirubin indirek yang dilepas kedalam plasma, lalu
memasuki hati dan dikonjugasi oleh enzim glukoronil transferase menjadi bilirubin
glukoronat, kemudian melalui saluran empedu dialirkan ke dalam usus lalu dipecah
menjadi urobilinogen dan sterkobilinogen, kemudian urobilinogen diserap usus
memasuki plasma dan selanjutnya dikeluarkan melalui ginjal bersama urine. Sedangkan
sterkobilinogen akan keluar bersama faeces.
B. Pemecahan eritrosit intravaskuler
Pemecahan eritrosit intravaskuler terjadi didalam pembuluh darah, dan terjadi
pelepasan Hb kedalam plasma. Hb-bebas dalam plasma akan segera diikat
oleh haptoglobin (alpha 2
glukoprotein yang dibuat oleh hati), kemudian ikatan Hb-haptoglobin akan ditangkap
oleh sel parenkim hati dan Hb dirubah menjadi bilirubin-glukoronat, lalu melalui
saluran empedu dialirkan kedalam usus dan proses selanjutnya seperti pada A. Bila
proses hemolisis sangat hebat, plasma akan kehabisan haptoglobin. Hb-bebas
yang masih banyak beredar di dalam plasma disebut hemoglobinemia, yang
selanjutnya akan keluar melalui ginjal bersama urine disebut hemoglobinuria.
Hemoglobin dalam filtrat urine sebagian diserap oleh sel-sel tubuli dan
hemosiderin akan tertinggal disitu. Bila sel-sel tubuli tadi mengalami deskuamasi, maka
hemosiderin dalam sel tubulus akan ikut keluar bersama urine disebut
hemosiderinuria.
Hb-bebas sebagian mengalami oksidasi menjadi methemoglobine yang segera
keluar melalui ginjal bersama urine disebut methemoglobinuria Sebagian
methemoglobin terurai menjadi heme-oksid + globin. Lalu heme-oksid berikatan
dengan albumin membentuk methemalbumin, kemudian dibersihkan di hati .

Gejala Klinik
Penderita tampak pucat, mudah letih, nafas pendek, nadi cepat dan sklera ikterik.
Pada anemia hemolitik herediter seperti thalassemia, sferositosis herediter sering
dijumpai:

1. Pada anamnese mengeluh pucat yang tidak sembuh sejak bayi sampai kanak-
kanak, disertai perut merongkol (splenomegali).
2. Bila penderita mencapai dewasa, bisa timbul batu empedu
3. Gambaran radiologis pada tulang tengkorak terdapat gambaran "hair on end"
dan pada tulang panjang terdapat pelebaran cavum medulare dan penipisan
cortex. Hal ini terjadi karena adanya hiperplasia sumsum tulang yang luar biasa
dalam waktu yang lama.

Gambaran laboratorium :
Secara umum pada anemia hemolitik ditandai,
1. Kadar Hb turun
2. Retikulositosis, kadang terdapat normoblas pada darah tepi
3. Kadar bilirubin indirek meningkat
4. Kadar lactic acid dehydrogenase meningkat (LDH).
5. Urobilirubinuria meningkat
6. Sterkobilin faeces meningkat

Pada proses hemolitik intravaskuler ditambah:


1. Kadar Haptoglobin turun
2. Hemoglobinemia
3. Hemoglobinuria
4. Hemosiderinuria
5. Methemoglobinemia
6. Methemoglobinuria

Sumsum tulang
Sumsum tulang hiperseluler
Rasio M:E turun.(mis Rasio M:E = 1:1), keadaan ini menujukkan adanya peningkatan
aktifitas eritropoisis di dalam sumsum tulang.
Rasio M:E adalah perbandingan antara deret netrofil (mulai mieloblas  segmen) dengan
deret normoblas ( mulai pronormoblas  normoblas acidofilik). Normal Rasio M:E = 2 - 4 :
1
Untuk mengetahui penyebab anemia hemolitik diperlukan pemeriksaan tambahan
sebagai berikut :
1. Thalasemia dan Hb pati: pemeriksaan elektroforese Hb, dan kadar Hb A2 secara
kromatografi kolum.
2. Sferositosis heriditer: tes fragilitas osmotik dan autohemolisis
3. Defisiensi enzim G-6 PD: memeriksa kadar enzim G-6PD.
Bila baru terjadi serangan hemolitik yang diikuti retikulositosis,
maka hasil pemeriksaan enzim G-6PD normal, karena retikulosit masih kaya
dengan enzim G-6PD. Jadi pemeriksaan enzim G-6PD harus ditunda sampai eri-
trosit cukup tua (jumlah retikulosit normal).
4. A I H A : Test Coombs direk
5. H D N : Test Coombs direk
6. P N H : Test Acid Hams
7. Malaria : cari plasmodiumnya

Penatalaksanaan
 Tergantung etiologi / pathogenesis hemolitiknya
 Bila karena autoimun diberikan prednisolon
 Transfusi dengan pertimbangan yang baik keuntungan dan kerugiannya
 splenektomi

FEROSITOSIS HEREDITER

Sferositosis heriditer merupakan anemia hemolitik yang diturunkan secara


autosomal dominant dan kelainannya dihubungkan dengan defisiensi spectrin dalam
eritrosit yang menyebabkan eritrosit kehilangan membran sel dan menjadi tidak stabil
sehingga berbentuk sferosit.

Pada anamnese keluarga biasanya terdapat anemia, ikterus, splenomegali dan


cholelithiasis (batu empedu).

Gambaran Laboratorium
1. Anemia (bila kelainannya berat)
2. Retikulositosis
3. Bilirubin indirek dan LDH meningkat
4. Hapusan darah banyak terdapat eritrosit yang mikro-sferosit dan polikromasi.
5. Tes coombs direk : negatip (untuk DD. AIHA)
6. Tes fragilitas osmotik : positip
Bila eritrositnya dipaparkan dalam lar. Saline hipotonis pada berbagai
konsentrasi, maka sel sferosit akan mengalami hemolisis dalam lar.Saline kadar
tinggi dibandingkan dengan eritrosit normal
7. Tes autohemolise : positip
Bila darah-antikoagulan pasien diinkubasi secara steril selama 48 jam pada suhu
370 C, akan mengalami hemolisis dibanding dengan darah normal.

Penatalaksanaan
Penyakit ini menunjukkan respon yang baik terhadap splenektomi (treatment of choice).
DEFISIENSI GLUCOSE 6 PHOSPATE DEHYDROGENASE (G-6PD)

Enzim G-6PD merupakan katalisator pada awal proses glikolisis lewat jalur pentose
fosfat. Fungsi utama proses ini adalah mereduksi NADP (nicotinamide-adenine-
dinucleotide-phosphate) menjadi NADPH dimana NADPH diperlukan untuk mereduksi GSSG
(glutathion oxide) menjadi GSH. Kemudian GSH digunakan untuk detoksifikasi peroksida
(H2O2) atau peroksida-organik lain yang membahayakan eritrosit menjadi H2O.
Bila dalam sirkulasi terdapat sejumlah besar bahan yang bersifat oksidan, maka akan
terjadi,
1. Oksidasi Hb menjadi methemoglobin (reversibel) kemudian menjadi sulfhemoglobin
(irreversibel) dan Heinz bodies.
2. Kemudian disulfidnya melekat pada protein membran membentuk agregat.
Heinz bodies dan agregat pada membran akan mengurangi elastisitas eritrosit, dan bila
eritrosit ini melewati RES (limpa/hati) akan segera dihancurkan. Peristiwa ini tidak
terjadi bila eritrosit mempunyai cukup enzim G-6PD guna menghasilkan GSH untuk
mendetoksifikasi bahan oksidan tersebut.
Gen yang mengatur produksi enzim G-6PD terletak pada kromosom-X, oleh karena itu
gejala klinik lebih terlihat nyata pada pria daripada wanita.
Diperlukan G-6PD dan 6-PDG untuk mereduksi NADP menjadi NADPH guna menyediakan
glutathion reduksi (GSH) yang bersama GSH peroxidase dapat menetralisir H2O2 atau
oksidan yang lain.

Obat-obatan yang bersifat oksidan antara lain :


1. Primaquine 4. Nitrofuran
2. Sulfonomide 5. Acetamilid, Aspirin
3. Sulfone (DDS, Dapsone) 6. Nadilix acid (Negram)
Gambaran Laboratorium :
Gejala laboratorium terlihat 2-4 hari setelah minum obat tersebut, yaitu;
1. Kadar Hb turun (anemia)
2. Sklera mata ikterik karena bilirubin indirek meningkat.
3. Retikulositosis setelah 5-7 hari.
4. Heinz bodies (+)
Untuk menentukan diagnose pasti, perlu pemeriksaan kadar enzim G-6PD (pemeriksaan
enzim harus dilakukan jauh diluar serangan hemolitik atau bila jumlah retikulosit sudah
normal).
PAROXIMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA (PNH)
PNH adalah anemia hemolitik dan hemoglobinuria yang terjadi pada malam hari.
Kelainan ini terjadi karena eritrosit kehilangan beberapa protein pengontrol komplemen
pada membran sel, sehingga eritrosit menjadi sangat peka terhadap komplemen.
Protein tersebut antara lain :
 Decay accelerating factor (DAF)
 Membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL)
 C8 binding protein
Bagaimana kejadian PNH ini tidak jelas, mungkin terjadi mutasi pada stem cell (SIH) yang
kemudian diturunkan pada sel-sel keturunannya.
Semua pasien PNH menunjukkan gejala klinik dan laboratorium dari anemia hemolitik
kronik. Hemoglobinuria terjadi pada sebagian kecil pasien.
Defisiensi Fe bisa terjadi akibat kehilangan Fe melalui hemosiderinuria, dan komplikasi
yang paling serius adalah terjadi trombosis vena.

Gambaran Laboratorium :
1. Anemia bisa < 6 g%
2. Lekopenia,trombositopenia
3. Retikulositosis
4. Bilirubin indirek meningkat
5. Hemoglobinuria
6. Hemosiderinuria
7. Tes Ham positip
8. Hapusan darah hipokrom-mikrositik, polikromasia(+), normoblas(+)

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN


(AIHA = Autoimmun hemolytic anemia)

Anemia hemolitik autoimun disebabkan oleh adanya Ab terhadap eritrosit yang


dibentuk oleh sistem imun tubuh sendiri.
Antibodi ada 2 macam:
1. Ab tipe panas, bereaksi optimal pada suhu 37C,biasanya jenis IgG dan
penghancuran eritrosit di dalam limpa.
2. Ab tipe dingin, bereaksi optimal pada suhu < 37 C, biasanya jenis IgM, dan
penghancuran eritrosit didalam hati.
AIHA yang sering dijumpai disebabkan oleh Ab tipe panas (IgG).

Gambaran Laboratorium :
1. Hb turun
2. Bilirubin indirek meningkat
3. Retikulositosis
4. Urobilinuria meningkat
5. Pada hapusan darah eritrosit terlihat auto aglutinasi.
Hal ini karena eritrosit dilapisi oleh IgG sehingga pada pemeriksaan golongan darah
ABO dan pada reaksi silang sering menimbulkan kesulitan. Kesulitan ini bisa diatasi
dengan mencuci eritrosit memakai salin pada suhu 560 C beberapa kali, untuk
melepaskan IgG yang melekat pada dinding eritrosit tersebut.
Eritrosit terlihat polikromasi, normoblas, dan banyak mikrosferosit
6. Test Coombs direk positif.
Bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya eritrosit yang diselimuti oleh IgG atau
komplemen.
KELAINAN SINTESA HEMOGLOBIN
BERDASAR PERUBAHAN GENETIK.
Pada hemoglobin normal, 96–98% terdiri atas HbA (adult) dan sebagian kecil terdiri atas
HbA2 dan HbF. Struktur hemoglobin terdiri atas satu HEME dan GLOBIN terdiri dari 4
rantai polipeptida. Rantai polipeptida tersusun atas asam amino dengan
urutan(sequence)tertentu, dimana rantai alfa terdiri atas 141 asam amino sedangkan
rantai beta 146 asam amino. HbA (A1) mempunyai 4 rantai globin yang terdiri atas 2 rantai
alfa dan 2 rantai beta.

Rantai  Rantai 
Heme

Rantai  Rantai 

Gambar 4.1. Struktur HbA (A1 = 2 2)


HbF mempunyai 4 rantai globin yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai gama. Kadar HbF
normal pada dewasa dan anak-anak diatas usia 3 tahun kurang dari 4%.
Rantai  Rantai 
Heme
Rantai  Rantai 

Gambar 4.2. Struktur HbF (22)

HbA2 mempunyai 4 rantai globin terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai delta.

Kadar HbA2 normal: 2 - 3,5%.


Rantai  Rantai 
Heme
Rantai  Rantai 

Gambar 4.3. Struktur HbA2 (22)

Kelainan sintesa Hb karena perubahan genetik ada 2 macam:


1. Kelainan struktur rantai globin (Hemoglobinopati), dimana Hb yang
terbentuk memiliki struktur polipeptida abnormal,yaitu urutan asam aminonya
berubah atau asam amino tertentu terganti dengan jenis asam amino lain.
Contoh:
 Pada Hb S (sickle), asam amino rantai beta nomor urut 6 yang seharusnya
terdiri atas glutamic acid diganti valine.
 Pada Hb C disease , asam amino rantai beta nomor urut 6 yang seharusnya
terdiri atas glutamic acid diganti lysine.
 Pada Hb E disease, asam amino rantai beta nomor urut 26 yang seharusnya
terdiri atas glutamic acid diganti lysine.
2. Kelainan jumlah produksi rantai globin (Thalassemia), dimana salah satu atau lebih
rantai globin kurang/tidak diproduksi, sehingga tidak ada keseimbangan jumlah
masing-masing rantai globin.
Contoh:
 Thallasemia alfa jika produksi rantai alfa berkurang/tidak ada.
 Thallasemia beta jika produksi rantai beta berkurang/tidak ada.

THALASSEMIA
Thalassemia adalah kelainan kongenital dimana terdapat mutasi gen-globin yang
menyebabkan produksi salah satu atau lebih rantai globinnya berkurang atau hilang sama
sekali.
Gangguan pada sintesa rantai globin akan menyebabkan:
1. Produksi Hb tetramer inadekuat yang akan menghasilkan eritrosit hipokrom-mikrositik
2. Produksi rantai globin yang tidak terganggu tetap normal, menyebabkan
bertumpuknya rantai globin bebas ini (karena tidak memiliki pasangan) yang bersifat
tidak larut (terutama kelebihan rantai alfa pada thalassemia beta) akan mengendap
dan meracuni normoblas yang menyebabkan kerusakan normoblas dalam sumsum
tulang (ineffective erythropoeisis).

THALASSEMIA BETA
Pada thallasemia beta, karena terjadi gangguan produksi rantai beta maka produksi HbA
(2ß2) turun, sedangkan produksi HbA2 (22) meningkat dan HbF (22) normal atau
meningkat karena keduanya tidak mengandung rantai beta.
Arti simbol ini adalah:
Thalassemia ß+: berarti produksi rantai beta berkurang
Thalassemia ß0: berarti produksi rantai beta tidak ada.
Gambaran laboratorium:
- Kadar Hb turun tergantung parahnya kelainan
- Hematokrit (PCV), MCV, MCH, MCHC turun
- Jumlah retikulosit, kadar bilirubin indirek meningkat.
- Hapusan darah, eritrosit tampak aniso-poikilositosis hipokrom-mikrositik,
polikromasi, bintik-bintik basofil, sel target dan normoblas.
- Elektroferase Hb menunjukkan peningkatan kadar HbA2 lebih dari 4%. Kadar Hb A2
juga dapat diukur dengan kromatografi kolum.
Kadar HbA2 lebih besar 10 - 15% menunjukkan kemungkinan terdapat campuran
dengan HbE disease.
- Sumsum tulang menunjukkan peningkatan eritropoisis.

Diagnose banding :
1. Anemia kurang besi
2. Anemia hipokrom-mikrositik pada penyakit kronik

THALASSEMIA ALFA
Pada thallasemia alfa terjadi kehilangan satu atau lebih gen-globin alfa yang
menyebabkan gangguan produksi rantai alfa, maka produksi HbA, HbA2 dan HbF akan
turun (sintesanya memmerlukan rantai alfa), sebaliknya produksi Hb Bart (4) atau HbH
(ß4) dapat meningkat tergantung beratnya kelainan.

Tabel 4.1: Jenis-sindroma Thalasemia Alfa


Rasio sintesa
Morfologi Hb Bart rantai Alfa /
Eritrosit beta
Sindroma (%) Keterangan
neonatus
1. Hidrop Abnormal 80-100 0 Kematian dalam kandungan atau
Fetalis segera setelah lahir
Anemia hemolitik dengan
2. Penyakit Abnormal 25 0.3-0.6 intensitas bervariasi, terdapat
HbH 25% HbH
Eritrosit hipokrom - mikrositik, ti-
3. Thalassemia Abnormal 3-10 0.7-0.8 dak ada anemia
Trait

4. Carrier Normal 1-2 0.8-0.9 Tidak ada kelainan hemolitik


Samara

Klasifikasi menurut gejala klinik :


1. Thallasemia mayor (homosigot)
2. Tallasemia minor (heterosigot)
3. Tallasemia trait (heterosigot)
Penatalaksanaan anemia:
 Sesuai dengan etiologi
Misalnya defisiensi Fe, as folat diberikan
Terapi penyebab infeksi bakteri, malaria, dll
 Terapi keadaan klinis
 Simptomatis : panas, dll
 Transfusi darah sesuai kebutuhan

LEKOSIT
Lekosit darah tepi dikenal 5 jenis lekosit yaitu : Basofil, Eosinofil, Netrofil, Monosit dan
Limfosit.
Basofil
Dalam darah basofil hanya terdapat ½ - 1 % dari jumlah lekosit seluruhnya.
Jumlah basofil meningkat (basofilia) antara lain terdapat pada : Lekemia
mielositik kronik (CML) , Polisitemia vera, Mielofibrosis.
Eosinofil
Jumlah eosinofil dalam darah berkisar antara 1–3% dari seluruh lekosit. Jumlahnya meningkat
pada keadaan alergi, penyakit Hodgkin, cacingan, lekemia mielositik kronik (CML).
Netrofil
Pada orang dewasa jumlah absolut netrofil dalam darah berkisar antara 4000–9000/mm3 dan
dalam hitung jenis berkisar 50-65 %.
Beberapa keadaan dapat meningkatkan jumlah netrofil (netrofilia) atau menurunkan jumlah
netrofil (netropenia). Netropenia potensial berbahaya karena memudahkan infeksi , sehingga
pada kondisi netropenia yang berat memerlukan payung antibiotika dan isolasi penderita.

Netrofilia pada : Netropenia pada :

Infeksi bakteri Anemia aplastik


Proses radang Post radiasi
CML PNH
Perdarahan mendadak Hipersplenisme
Post splenektomi Anemia megaloblastik
Kehamilan Lupus eritematosus
Terapi kortikosteroid Artritis rematoid

Pada beberapa keadaan bentuk netrofil dapat mengalami perubahan ukuran, bentuk dan warna
granulanya.
Netrofil berukuran besar ( ‘giant metamielosit’, ‘giant stab’ ) atau bersegmen banyak ( > 5 lobi =
hipersegmentasi ) terdapat pada anemia megaloblastik dan prelekemia.

MONOSIT

Monositosis terdapat pada:


 beberapa infeksi parasit darah mis. Malaria
 lekemia monositik akut
 subacute bacterial endocarditis
 tuberkulose aktif.
Monositopenia, dapat terjadi karena pengaruh endotoxin, terapi kortikosteroid, dan pada anemia-
anemia aplastik.

LIMFOSIT
Limfosit dibagi menjadi limfosit T dan limfosit B, yang sangat berbeda fungsinya dalam proses
imunologi, tetapi berkaitan erat.
Limfosit B merupakan kira-kira 15-20 % dari jumlah limfosit dalam darah dan terutama termasuk
limfosit yang berumur pendek. Bila limfosit B mendapat rangsangan antigen, dia akan berubah
menjadi sel plasma guna membuat antibodi.

Limfositosis terdapat pada;


 Pada anak-anak jumlah limfosit lebih tinggi dibanding orang dewasa
 Infeksi virus (hepatitis, morbili)
 TBC fase penyembuhan
 Mononucleosis infecsiosa
Pada infeksi virus, dapat terjadi perubahan morfologi limfosit menjadi limfosit atipik
(limfosit plasma biru).

Limfopenia jarang ditemukan dalam praktek sehari-hari, kecuali pada penderita yang
mendapat pengobatan dengan kortikosteroid.

Diluar hal tersebut, limfopenia dapat timbul pada beberapa penyakit /keadaan yang disebut
‘immunodeficiency states’, baik bawaan maupun didapat.

TROMBOSIT
Trombosit adalah merupakan potongan-potongan dari sitoplasma megakariosit.
Didalam sel trombosit antara lain terdapat zat-zat seperti ADP (Adenosine diphosphate), faktor Von
Willebrand, PF3 (Platelet factor 3) yang berguna untuk fungsi trombosit dalam proses hemostasis (
penghentian perdarahan).

Sifat trombosit didalam hemostasis bila terjadi perlukaan pembuluh darah adalah:
Adhesi, agregasi yang akan membentuk ‘ primary plug ‘ atau sumbat trombosit serta mengaktifkan
proses koagulasi fibrinogen menjadi fibrin.

Step 4
PANSITOPENIA
Kerangka konsep Penurunan Jumlah
Eritrosit / Hb
Leukosit
Trombosit
Diferensial Diagnosis:

1. Penyakit penyebab
Anemia atau dengan gejala
Leukopenia Hematology anemia
Trombositopenia Disorders 2. Penyakit penyebab
atau dengan gejala
leukopenia
3. Penyakit penyebab
atau dengan gejala
KEADAAN trombositopenia
SEBALIKNYA
?

Polisitemia
Leukositoss
Trombositosis

Step 5
Learning Outcame:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi letih, lemah, lesu, lelah dan pucat
2. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi terjadinya kelainan sel-sel darah.
3. Mahasiswa mampu menbuat Diagnosis banding penyakit dengan kelainan sel-sel darah
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala anemia aplastik iron deficiency,
macrocytic, hemolytic, associated with cronic disease
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala thrombocytopenia dan agranulocytosis

2. KULIAH :
1. IPD: Polycytemia, thrombosytosis dan Leukemia, Multiple myeloma
Sasaran pembelajaran:

Mahasiswa mampu menjelaskan tanda, gejala penyakit leukemia, multiple myeloma dan
penyakit yang berhubungan dengan polycytemia, thrombosytosis

2. IPD: VEIN DISORDERS dan HEMOSTASIS DISORDER


Sasaran pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu membuat diagnosis dan diferensial diagnosis, melakukan
penatalaksanaan serta pencegahan embolisme dan deep vein trombosis
2. Mahasiswa mampu membuat diagnosis dan diferensial diagnosis, melakukan
penatalaksanaan serta pencegahan Hemophilia, DIC dan Antiphospholipid syndrome,
myelodisplastic syndrome-leukemia

3. Kuliah Pengantar Praktikum Patologi Kinik


Sasaran pembelajaran:
Mahasiswa mampu menjelaskan cara pemeriksaan faal hemostasis dan LE sel serta
penggunaannya di klinik

4. Kuliah Patologi Klinik:


Aspek laboratorium DIC, Hemofilia & antiphospholipid syndrome
Sasaran pembelajaran :
Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan penunjang, menginterpretasikan hasil
pemeriksaan Faal hemostasis, darah lengkap serta antiphospholipid.

3. PRAKTIKUM :
Praktikum Pemeriksaan darah
Sasaran pembelajaran:
- Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan faal hemostasis manual sederhana serta tes
fragilitas osmotik eritrosit.
- Mahasiswa mampu menjelaskan pemeriksaan faal hemostasis automatik
- Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan LE sel
Materi:
Pemeriksaan faal hemostasis: APTT,PPT,CT,BT, Rumple leed, LE sel

4. KETERAMPILAN MEDIK (3 x 50 menit):


Materi Belajar :
 Keterampilan Komunikasi : Komunikasi pada pasien Lanjut Usia
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Telinga
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan visus, buta warna & gerakan
Mata
 Keterampilan Prosedural : pemasangan kateter
Sumber belajar : Modul Keterampilan Medik
MODUL 5
TOPIK : Penyakit Neurologi dan Neoplasma kulit

Pada akhir modul 5 mahasiswa diharapkan mampu :


1. menjelaskan etiologi, tanda dan gejala, patogenesis dan patologi, penegakan diagnosis dan
diagnosis banding , serta penatalaksanaan parkinson’s disease (tutorial).
2. menjelaskan klasifikasi dan etiologi dementia, tanda dan gejala, patofisiologi, penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan vascular dementia & Alzheimer’s disease , Pick’s disease
(kuliah)
3. menjelaskan tentang identifikasi jenis kortikosteroid, farmakokinetik, farmakodinamik dan
toksisitasnya (kuliah)
4. menjelaskan etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan neoplasma kulit (kuliah)
5. melakukan persiapan dan pemeriksaan Patologi Anatomi: Seborrhoic Keratosis, Squamous
Cell Carcinoma, Basal Cell Carcinoma,Nevus Pigmentosus, Lentigo, Melanoma Maligna
(praktikum)
6. menjelaskan etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan demensia,Alzheimer, Pick’sdisease (kuliah)
7. Menjelaskan Bioetik & medikolegal,euthanasia (kuliah).

REFERENSI
1. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine.,Mc Graw Hills.,2006.
2. Current Diagnosis and Treatment in Neuroloy, International edition,The Mc Graw-Hill
Company, 2007.
3. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV,FKUI,2006.
4. Adams and Victor’s Principle of Neurology, Eighth edition,The Mc Graw-Hill Company,2005

KEGIATAN PEMBELAJARAN

I. Problem Based Learning (PBL)

Skenario : TANGAN BERGERAK SENDIRI


Pak Marno (65 tahun) datang ke Puskesmas dengan keluhan tangan kanan sering bergerak-
gerak sendiri saat sedang duduk santai, tapi saat meraih sesuatu dengan tangan kanannya,
gerakan tersebut hilang dan segera muncul kembali saat tangan kanannya berhenti beraktivitas.
Dia juga merasa saat berjalan langkahnya menjadi pendek-pendek dan terasa kaku. Istrinya
yang menemaninya berobat juga mengatakan bahwa beberapa bulan terakhir pak Marno
cenderung diam dan wajahnya tidak berekspresi, bahkan cenderung seperti wajah topeng serta
sering lupa.

Step 1
Terminologi Sulit
1. Resting tremor : tremor dengan frekuensi 4-6 HZ pada ekstremitas yang sedang tidak
beraktivitas
2. Wajah topeng (Mask face): berkurangnya ekspresi wajah ditandai dengan perkurangnya
jumlah kedipan mata dan hilangnya gestur facial.

Step 2
Masalah yang mungkin Timbul
1. Mengapa tangan kanan pak Marno bergerak-gerak saat istirahat & gerakan hilang saat
aktivitas ?
2. Mengapa pak Marno langkah pak Marno menjadi pendek-pendek dan kaku?
3. Mengapa wajah pak Marno menjadi seperti topeng ?
4. Pemeriksaan laboratorium apa yang perlu dilakukan ?
5. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan fisik pada pak Marno?
6. Apakah perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan kepala?

Step 3
Teori Konsep yang Harus dikuasai Mahasiswa
PARKINSONISM DAN PARKINSON DISSEASE

Parkinsonism merupakan suatu kondisi klinis dimana seorang pasien menunjukkan satu atau
lebih dari gejala-gejala berikut yaitu: resting tremor, bradikinesia, rigiditas, hilangnya refleks
postural, postur tubuh bungkuk (fleksi), dan blok motorik (freezing). Untuk meneggakkan diagnosa
definit parkinsonism harus ditemukan minimal 2 dari gejala tersebut dan salah satunya harus resting
tremor.
Parkinson diseases (PD) adalah parkinsonsism primer yang bersifat idiopatik. Sekitar 80%
kasus parkinsonism adalah PD. Prevalensi dan insidensi PD meningkat dengan pertambahan usia,
dengan puncak pada usia 70 tahun dan usia rerata 56 tahun. Namun rentang usia insidensi PD
sangat lebar dan tidak jarang ditemukan pada pasien usia kurang dari 40 tahun.

Patogenesis
PD terjadi akibat degenerasi meuron-neuron yang memproduksi dopanime dalam substansia
nigra pars compacta dan locusceruleus di batang otak. Tanda patologi hallmark pada PD adalah
ditemukannya inklusi sitoplasma eosinofilik yang dikenal sebagai Lewy bodies di dalam banyak
neuron yang belum mengalami degenerasi. Pada saat gejala klinis semakin nyata ditemukan bahwa
sekitar 60% neuron dopaminergik di substansia nigra telah hilang dan level dopamin ganglia basalis
telah 80% menurun.
Kondisi tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap sistem ekstrapiramidal yang akan
menyebabkan inhibisi yang berlebihan oleh serabut GABA-ergik. Oleh karena itu rangsangan dari
talamus ke korteks melalui sarag glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke neuron
motorik medulla spinalis melemah sehingga terjadi hipokinesia. Sedangkan ketidakseimibangan
dopamin dan asetil kolin menyebabkan gejala berupa tremor karena asetilkolin merupakan
neurotransmiter pada neuromuscular junction yang bersifat eksitasi.
Penyebab degenerasi neuron dopaninergik pada substansia nigra belum diketahui, namun
perkembangan penelitian molekular genetik menemukan adanya pengaruh genetik terhadap
terjadinya toksisitas neuronal dan parkinsonism secara pada autosomal resesif atau autosomal
dominan PD familial.

Gejala dan Tanda Klinis


Tanda kardinal motorik pada PD meliputi resting tremor, bradikinesia, rigiditas, hilangnya
refleks postural, postur tubuh bungkuk, dan freezing. Awal terjadinya gejala dan tanda klinis pada
PD sering kali tidak disadari dan bersifat unilateral, dengan progresifitas yang lambat. Gejala dan
tanda klinis PD adalah:
1. Resting tremor dan bradikinesia

Merupakan gejala khas yang paling banyak ditemukan pada pasien PD. Resting tremor
adalah termor 4-6 siklus per detik dan terjadi saat ekstremitas yang mengalami tremor
sedang tidak melakukan aktifitas. Gejala ini terjadi pada 70% pasien PD. Biasanya resting
tremor hanya terjadi pada 1 ekstremitas hingga beberapa tahun dan selanjutnya dapat
berkembang hingga seluruh ekstremitas. Tremor akan hilang saat ekstremitas terkait
menlakukan aktivitas dan akan muncul kembali saat ekstremitas tersebut diam dan
mempertahankan posisi tertentu. Stres, semangat yang berlebihan, dan berjalan dapat
meningkatkan tremor.

Bradikinesia bermanifestasi sebagai perlambatan dalam aktivitas sehari-hari/activity daily


living (ADL), melakukan gerakan, waktu untuk bereaksi dan berkurangnya gerakan refleks.
Secara klinis pasien akan menunjukkan terganggunya ketepatan gerakan, hilangnya
ekspresia fasial (wajah topeng), berkurangnya anyunan tangan saat berjalan dan postur
tubuh membungkuk.

Hipokinesia (menurunnya amplitudo gerakan) paling banyak ditemukan sebagai


gerakan repetitif seperti gerakan ketukan jari tangan atau kaki, juga gerakan jari tangan dan
ibu jari seperti memutar-mutar pil (pil rolliing). Hipomimia (wajah topeng) beberapa
penurunan frekuensi kedipan mata dan hilananya gestur fasial. Gejala bradikinesia lain
meliputi hipofonia (volume suara kecil), disartria, mengences, tulisan menjadi kecil-kacil, dan
kesulitan untuk bangun dari posisi duduk.

2. Rigiditas

Pada pasien PD terjadi peningkatan resistensi terhadap gerakan ekstremitas saat ekstremitas
tersebut diekstensi, fleksi atau rotasi secara pasif. Gejala tersebut dirasakan seperti gerakan
roda bergerigi (cogwheeling). Rigiditas pada tubuh proksimal terjadi pada leher, sendi bahu,
dan panggul, sedangkan di distas terjadi pada siku, pergelangan tangan, lutut dan
pergelangan kaki.

Nyeri dan kekakuan pada sendi bahu sering kali merupakan gejala awal dari PD, namun
kondisi ini seringkali misdiagnosa dengan injuri caput sendi, artritis dan bursitis.

3. Hilangnya refleks postural


Merupakan gejala PD pada fase lanjut. Gejala berupa ketidakmampuan pasien untuk
mempertahankan keseimbangan saat di dorong dari belakang. Gejala ini tidak ditemukan
pada fase awal PD.

4. Freezing

Berupa ketidakmampuan sesaat untuk melakukan gerakan aktif, dan merupakan


salah satu gejala yang menyebabkan diabilitas. Kondisi ini dikenal sebagai blok
motorik, yaitu kebekuan (freezing) saat memulai berjalan, berbalik, berjalan melalui
jalan sempit, menyeberang jalan, atau mencapai suatu tujuan. Pasien mengalami
ketidakmambuan sesaat (beberapa detik) untuk menggerakkan kakinya, seolah-oleh
menempel (terlem) ke permukaan jalan/lantai. Jika gejala ini muncul pada awal
perjalanan penyakit atau menjadi gejala perdominan, maka harus dipertimbangkan
penyebab lain seperti sindrom parkinsonian atipikal.

5. Gejala nonmotor

Gejala nonmotor yang paling sering terjadi pada PD adalah perubahan kognitif berupa
perlambatan fungsi kognitif yang bermanifestasi sebagai memanjangnya waktu untuk
mengungkapkan isi pikir (bradifrenia). Demensia terjadi pada 20-40% pasien PD. Gejala
behavioral meliputi perubahan personaliti, depresi, pernurunan atensi, dan gangguan
visiospasial. Gejala sensorik meliputi nyeri, rasa terbakar, dan kesemutan.

Pemeriksaan Penunjang
Sampai saat ini tidak ada pemeriksan laboratorium daran maupun cairan serebrospinal yang
dapat mendukung penegakan diagnosa PD. Juga berlu ada marker biologi yang dapat menegakkan
diagnosa presimtomatik.
Pemeriksaan pencitraan yang bermanfaat untuk mengkonfirmasi diagnosa PD, yaitu:
Magnetic resonance imaging (MRI), menunjukkan gambaran yang normal pada pasien PD
18
Positron emission tomografi (PET), dengan menggunakan F-flurodopa menunjukkan penurunan
bermakna uptake flurodopa di ganglkia basalis pasien PD. Namun demikian pemeriksaan ini sangat
mahal, dan diagnosa dapat ditegakkan tanpa pemeriksan pencitraan.
Jika ada kecurigaan ke arah parkinsonism yang diinduksi toksin atau yang disebabkan oleh
kelainan metabolik, maka harus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang sesuai dengan kondisi
tersebut.

Penegakan Diagnosa
Meskipun pencitraan dengan PET dapat mendukung penegakkan diagnosa PD, namun diagnosa PD
dapat ditegakkan hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis.
Adapun kriteria diagnosa PD adalah:
 Possible PD, ada salah satu dari gejala di bawah ini:
1. Resting tremor
2. Bradikinesia
3. Rigiditas
4. Gangguan refleks postural
 Probable PD, ada kombinasi 2 gejala kardinal utama termasuk gangguan reflek postural.
 Definite PD, ada kombinasi tiga dari empat tanda kardinal.

Diagnosis Banding

Parkinsonism idiopatik primer


 Parkinson disease (sporadik dan familial)
Parkinsonism sekunder
 Drug-induces (dopamine antagonis dan depletor)
 Hidrosefalus (normal-pressure hydrocephalus)
 Trauma
 Tumor
 Vascular (multi infark)
 Metabolik (hipoparatiroid)
 Toksin (merkuri, karbon monoksida, sianida, metilfeniltetrahidropiridin)
 Infeksi (post ensefalitis)
 Hipoksia
Sindrom parkinsonian atipikal
 Progressive supraniclear palsy
 Degenerasi kortikobasal
 Atrofi multipel sistem
Demensia
 Lewy body disease difus
 Alzheimer disease
Inherited degenerative disease

Tidak ada gejala atau tanda tunggal yang dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan
diagnosa pPD secara mutlak. Respon awal terhadap levodopa yang seringkali dramatis dapa berjadi
pada PD, namun dapat juga terjadi pada perjalanan awal dari sindrom parkonsonian atipikal.
Perbaikan simptom dengan pemberian levodopa dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis
PD namun tidak dapat menjadi satu-satunya bukti.
Gambaran spesifik yang mengarah pada sindrom parkinsonian atipikal meliputi gejala awal
muncul simetris; tidak adanya tremor; munculnya gangguan berjalan, freezing dan instabilitas
postural yang terlalu dini; demensia pada tahun pertama; gangguan kortikospinal; gangguan
serebellar; gerakan mata abnormal; dan hipotensi ortostatik.
Demensia yang muncul mendahului gejala motorik juga mengarahkan gejala perkinsonism
pada penyakit demensia.
Pada Parkinsonism sekunder akibat drug-induced, gejala akan membaik setelah obat
dihentikan atau pemberian antidotumnya.
Hidrosefalus normal-pressure menyebabkan gangguan gaya berjalan parkinsonism yaitu
lengkah yang pendek dan kaku serta hilangnya refleks postural. Gejala ini muncul pada awal
perjalanan penyakit. Gejala juga disertai dengan demensia dan inkontinensia uri. Pada pencitraan
otak (CT-scan atau MRI) ditemukan pembesaran ventrikel yang sangat nyata. Diagnosis didukung
dengan adanya perbaikan bermakna dari gaya berjalan, kognisi dan inkontinensia uri setelah
pembuangan LCS.
Pada vaskular parkinsonism akan ditemukan adanya gambaran infark lakunar pada
pemeriksaan MRI otak. Kondisi ini tidak akan berespon baik dengan levodopa dan jarang ditemukan
adanya tremor.
Penatalaksanaan
A. Farmakoterapi
1. Levodopa
Merupakan agen paling poten untuk pengobatan simptomatik PD. Efek samping seperti
diskinesia (gerakan involunter) dan fluktuasi motorik dapat membatasi manfaat dari
levodopa. Setelah emakaian 5 tahun skitar 30% pasien mengalami hilangnya manfaat terapi
(wearing off) diskinesia atau keduanya, dan 10% mengalami fenomena on-off yang berat
(hilangnya manfaat terapi secara mendadak). Karena efek samping ini, maka sebaiknya
levodopa tidak diberikan pada fase awal PD.
Levodopa tersedia dalam bentuk kombinasi dengan carbidopa (Sinemet) dikonversi menjadi
dopamin di dalam tubuh. Carbidopa mencegah conversi levodopa menjadi dopamin di
perifer, dimana dopamintidak dapat melalui sawar darah-otak.
Pengobatan biasanya dimulai dengan cara bertahap meningkatkan dosis untuk mencapai
efek simptomatis yang maksimal, dengan dosis maksimal adalah carbidopa-levodopa
(25/100) 3 kali sehari.
Efek samping yang sering muncul pada terapi levodopa adalah anoreksia, nausea vomitus,
hipersomnolen, mimpi buruk, halusinasi, postural hipotensi dan aritmia kardial. Efek
samping terhadap sistem saraf sentral seperti halusinasi sering kali terkait dosis sehingga
perlu dilakukan penurunan dosis untuk mengurangi efek samping.
2. Dopamin agonis
Merupakan obat antiparkinson paling poten kedua setelah levodopa. Dopamin agonis
adalah bentuk sintetis dopamin yang menstimulasi reseptor dopamin striatal. Pertama kali
digunakan sebagai terapi tambahan levodopa, namun saat ini sering digunakan sebagai
monoterapi primer pada pasien PD ringan. Pemberian pada usia >70 tahun sering
menyebabkan konfusi, mngantuk dan psikosis.
Penelitian menunjukkan monoterapi primer dengan dopamin agonis pada PD fase awal
jarang menimbulkan efek samping diskinesia dan fluktuasi motorik jika dibandingkan dengan
terapi levodopa. Namun pada 70% pasien, monoterapi dengan dopamin agonis tidak lagi
efektif untuk mengobati simptom setelah pemakaian 3 tahun.
Pemberian dopamin agonis sebagai terapi inisial akan mengurangi terjadinya diskinesia,
memberikan penurunan gejala PD yang memuaskan, menunda penggunaan terapi levodopa,
dan terapi kombinasi dengan levodopa akan menurunkan kebutuhan dosis levodopa jika
monoterapi dopamin agonis tidak lagi menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pemberian semua jenis domapin agonis halus dimulai dengan dosis yang sangat rendahdan
ditingkatkan secara bertahap untuk meminimalkan risiko efek samping. Respon terhadap
terapi bersifat sangat individual. Bila efek samping muncul dengan satu jenis agonis, maka
perlu dicoba agonis lainnya.
3. Agen dopaminergik lain
4. Agen nondopaminergik
Obat-obat antikolinergik seperti trihexyphenidyl merupakan obat anti-PD yang digunakan
sebagai monoterapi primer atau kombinasi dengan dopamin agonis pada PD dengan
predominan tremor ringan. Bradikinesia dan rigiditas juga sedikit membaik dengan terapi
antikolinergik. Efek samping sering muncul pada pasien usia >70 tahun.
Benzodiasepin seperti lorazepam dalam dosis kecil (0,5-1mg, 2 kali/hari) bermanfaat untuk
mengatasi ansietas akibat fluktuasi motorik.
Neuroleptik atipikal diberikan untuk mengatasi halusinasi yang merupakan efek samping
terapi dopaminergik. Sediaan yang sering digunakan adalah quetiapine.

Kelas Kelompok Obat


Agen dopaminergik Precursor dopamin Levodopa-carbidopa
Dopamin agonis Bromocriptin, pergolide,
pramipexole, ropinirole,
COMT inhibitor amantadine, apomorphine
MAO-B inhibitor Entacapone, tolcapone
selegilin
Agen Antikolinergik Trihexyphenidyl, difenhidramin,
nondopaminergik Antiglutaminergik amitriptilin
GABAergik Amantadin
Lorazepam, clonazepam
Neuroleptik atipikal Serotonin & dopa Quetiapin
antagonis

B. Pembedahan
Prosedur pembedahan dilakukan untuk memperbaiki simptom PD. Indikasi pembedahan
adalah pasien PD idiopatik yang awalnya berespin baik terhadap terapi levodopa namun selanjutnya
tidak berespon baik karena munculnya efek samping.
Pembedahan yang dilakukan antara lain:
1. Pallidotomi & talamotomi unilateral, untuk mengurangi tremor.
2. Stimulasi deep brain, yaitu dengan meg-implan ekektroda pada daerah spesifik di ganglia
basalis.

Step 4
KERANGKA PEMIKIRAN

Gerakan menjadi
lamban dan kaku

Anamnesis

Pemeriksaan
fisis:
Resting tremor
Mask face
Diagnosis sementara
Diagnosis banding

Diagnosis pasti

Penatalaksanaan

Step 5
Learning Outcome :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan patogenesis PD.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan gejala klinis PD.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan kriteria diagnosa dan diagnosa banding PD.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan PD dan efek samping yang sering muncul.

2. KULIAH :
1. Lab. Farmakologi: Kortikosteroid
Sasaran Pembelajaran:
 mahasiswa mampu menjelaskan tentang identifikasi jenis kortikosteroid,
farmakokinetik, farmakodinamik dan toksisitasnya.

2. Syaraf: Demensia, demensia vaskular dan Alzheimer disease


Sasaran Pembelajaran:
 mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi demensia
 mahsiswa mampu menjelaskan etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, penegakan
diagnosa dan penatalaksanaan demensia vaskular dan Alzheimer disease.

3. Lab Kulit dan Kelamin : Neoplasma kulit


Sasaran Pembelajaran:
 mahsiswa mampu menjelaskan etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, penegakan
diagnosa dan penatalaksanaan neoplasma kulit.

4. Lab Syaraf : demensia vascular demensia,,Alzheimer, Pick’sdisease


 menjelaskan etiologi, tanda dan gejala, patofisiologi, penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan demensia, vascular demensia, Alzheimer, Pick’sdisease

5. Kuliah bioetik dan medicolegal : Eutanasia


Sasaran Pembelajaran:
 Mahasiswa mampu menjelaskan tentang eutanasia

3. PRAKTIKUM : Lab Patologi Anatomi :


Pemeriksaan Patologi Anatomi neoplasma Kulit : Seborrhoic Keratosis,Squamous Cell Carcinoma,
Basal Cell Carcinoma, Nevus Pigmentosus,Lentigo,Melanoma Maligna
Sasaran Pembelajaran:
 Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan Patologi Anatomi Seborrhoic Keratosis ,
Squamous Cell Carcinoma, Basal Cell Carcinoma, Nevus Pigmento
sus,Lentigo,Melanoma Maligna

4. KETERAMPILAN MEDIK (3 x 50 menit):


Materi Belajar :
 Keterampilan Komunikasi : Komunikasi pada pasien Lanjut Usia
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Telinga
 Keterampilan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan visus, buta warna & gerakan
Mata
 Keterampilan Prosedural : pemasangan kateter

Sumber belajar : Modul Keterampilan Medik

Anda mungkin juga menyukai