Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia


dan beberapa negara di dunia. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh
masyarakat, keluarga dan termasuk petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan
masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta
maupun cacat yang ditimbulkannya.2
Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan
suatu reaksi kekebalan yang abnormal (respon imun seluler atau respon imun
humoral), dengan akibat yang merugikan penderita. Reaksi kusta dapat terjadi
sebelum, selama atau sesudah pengobatan dengan obat kusta. Reaksi kusta dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I
disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, ditandai lesi kulit
memerah, bengkak, nyeri, panas, neuritis dan gangguan fungsi saraf serta dapat
terjadi demam. Sebaliknya reaksi tipe II merupakan reaksi humoral, yang ditandai
dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi, gangguan
konstitusi dan adanya komplikasi pada organ tubuh lainnya. 1,2,4
Faktor pencetus reaksi kusta antara lain : usia penderita saat didiagnosis > 15
tahun, jenis kelamin, tipe kusta MB, bakteri indeks (BI) positif, status gizi, lama
pengobatan, penderita dalam kondisi stres fisik, kehamilan, sesudah melahirkan,
sesudah mendapat imunisasi, penyakit malaria, kecacingan, karies gigi, penderita
stres mental dan efek pemakaian obat untuk kekebalan tubuh. 4
Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita kusta
mengalami reaksi kusta.Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak 1

kali dan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Penelitian R. Bwire dan H.J.S Kawuma
(1993), menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan adalah 14,8
%, selama pengobatan 80,5 % dan setelah pengobatan 4,7 %.31. Studi dari Scollard
D.M, et.al (1994), menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I adalah 32
% dan frekuensi reaksi tipe II 37 %. Frekuensi kejadian reaksi kusta menurut jenis
kelamin adalah pada wanita 47 % dan laki-laki 26 %.32 Kajian dari Van Brakel W.H
(1994), menyebutkan bahwa prevalensi reaksi reversal adalah 28 % dan ENL adalah
5,7 %14.2
Apabila penanganan penderita reaksi kusta terlambat atau tidak adekuat,
dapat mengakibatkan kecacatan. Kecacatan tersebut akibat dari kerusakan saraf
perifer saat terjadinya reaksi kusta, seperti gangguan saraf sensorik, motorik maupun
otonom. Kecacatan akibat reaksi akan berdampak luas baik sosial, ekonomi, budaya
dan ketahanan nasional. Akibat kecacatan kusta, penderita akan menjadi penyandang
masalah sosial karena kehilangan produktifitas dan masa depannya. Kecacatan karena
penyakit kusta menjadi beban pada penderita keluarga maupun masyarakat. Banyak
penderita yang menjadi tuna wisma, tuna sosial, tuna karya dan kemungkinan dapat
mengarah pada tindak kejahatan atau gangguan di masyarakat. 4
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia, penyakit kusta ini
merupakan penyakit dengan kompetensi 4, yang berarti bahwa dokter umum harus
mampu menegakkan diagnosis dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri
sampai tuntas. Oleh karena itu sebagai calon lulusan dokter umum, diwajibkan untuk
memahami dengan baik mengenai perjalanan penyakit kusta, termasuk reaksi kusta.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kusta


2.1.1 Definisi
Kusta

adalah

penyakit

kronik

yang

disebabkan

oleh

kuman

Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,


selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas,
sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. 3
2.1.2 Etiologi
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan oleh
warganegara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman
Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan
asam dan alkohol serta bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan
sistem retikulo endotelial. 7
2.1.3 Masa Inkubasi
Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan
rata-rata 3-5 tahun. Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan sel yang lama,
yaitu antara 2 3 minggu dan di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta
dapat bertahan sampai 9 hari. 1, 7

2.1.4 Klasifikasi Kusta


Dikenal beberapa jenis klasifikasi kusta, yang sebagian besar didasarkan
pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Beberapa
klasifikasi kusta di antaranya adalah :
a. Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (1953) 1, 7
Pada klasifikasi kusta ini penderita kusta di tempatkan pada dua kutub,
satu kutub terdapat kusta tipe tuberculoid (T) dan kutub lain tipe lepromatous
(L) . Diantara kedua tipe ini ada tipe tengah yaitu tipe borderline (B). Di
samping itu ada tipe yang menjembatani yaitu disebut tipe intermediate
borderline (B).
b. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley Jopling (1962) 1, 3
Berdasarkan gambaran imunologis, Ridley dan Jopling membagi tipe kusta
menjadi 6 kelas yaitu : intermediate (I), tuberculoidtuberculoid (TT),
borderline

tuberculoid

(BT),

borderlineborderline

(BB),

borderline

lepromatous (BT) dan lepromatous lepromatous (LL).


c. Klasifikasi WHO ( 1997 )
Pada pertengahan tahun 1997 WHO Expert Committee menganjurkan
klasifikasi kusta menjadi pausi basiler (PB) lesi tunggal, pausi basiler (PB lesi
2-5) dan multi basiler (MB). Sekarang untuk pengobatan PB lesi tunggal
disamakan dengan PB lesi 2-5. Sesuai dengan jenis regimen MDT (multi drug
therapy) maka penyakit kusta dibagi dalam 2 tipe, yaitu tipe PB dan MB.
Klasifikasi WHO (1997) inilah yang diterapkan dalam program pemberantasan
penyakit kusta di Indonesia.8 Penentuan klasifikasi atau tipe kusta
selengkapnya seperti tabel di bawah ini :

No
.
1.

Kelainan kulit dan


pemeriksaan
bakteriologis
Lesi kulit (makula
yang datar, papul
yang meninggi,
infiltrat, plak eritem,
nodus)
a. Jumlah
b. Permukaan
c. Distribusi
d. Batas
e. Gangguan
sensibilitas

2.
3.
4.
5.

f. kehilngan
kemampuan
berkeringat, bulu
rontok pada bercak
Penebalan dan
kerusakan syaraf tepi
Deformitas
Sediaan apusan
Ciri-ciri khusus

Tipe PB

Tipe MB

Hipopigmentasi / eritema

1-5 lesi
Kering, kasar
Unilateral atau bilateral
asimetris
Tegas
Selalui ada dan jelas

Bercak tidak berkeringat,


terdapat bulu rontok pada
bercak

>5 lesi
Basah, mengkilap
Bilateral simetris
Kurang tegas
Biasanya kurang jelas, jika
ada terjadi pada kondisi
lanjut
Bercak masih berkeringat,l
bulu tidak rontok

Hanya 1 saraf

>1 saraf

Proses terjadi lebih cepat


BTA (-)
Central healing
(penyembuhan di tengah)

Terdapat pada tahap lanjut


BTA (+)
Madarosis, hidung pelana,
wajah singa (fascies
loenina), ginekomasti pada
laki-laki, punched out lesion
(lesi seperti kue donat)

Contoh gambar
efloresensi kusta

Tabel 2.1 Perbedaan Gambaran Klinis Penyakit Kusta Tipe PB dan MB 1,3,6,7

2.1.5 Diagnosis Kusta

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis


dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan
paling sederhana. Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan
anamnesa, pemeriksaan klinik (pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan
fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal
satu tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut yaitu :
a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau
kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi)
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat
peradangan saraf (neuritis perifer) , bisa berupa :
1). Gangguan fungsi sensoris (mati rasa)
2). Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, kelumpuhan
3). Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak
c. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA
positif). 2, 3
2.1.6 Pengobatan Kusta (Multi Drug Therapy / MDT)
Regimen pengobatan multi drug therapy (MDT) dipergunakan di
Indonesia, regimen ini berdasarkan rekomendasi WHO, yaitu : 4,8
a. Penderita pausi basiler (PB)
1). Penderita PB lesi 1
Diberi dosis tunggal ROM (rifampisin, ofloxacin dan minosiklin).
Dewasa 50-70 kg : rifampisin 600 mg, ofloxacin 400 mg, minosiklin 100 mg
Anak 5-14 tahun : rifampisin 300 mg, ofloxacin 200 mg dan minosiklin 50 mg

Pemberian pengobatan hanya sekali saja dan penderita digolongkan dalam


kelompok RFT (release from tretment). Dalam program kusta di Indonesia,
regimen ROM ini tidak dipergunakan, penderita PB dengan 1 lesi diobati
seperti pada PB dengan 2-5 lesi.
2). Penderita PB lesi 2-5
Dewasa : rifampisin 600 mg, dapson 100 mg (diminum hari pertama di depan
petugas) dan dapson 100 mg (diminum di rumah hari 2-28) . Lama
pengobatan : 6-9 bulan (6 blister)
b. Penderita multi basiler (MB)
Dewasa : rifampisin 600 mg, clofazimin 300 mg, dapson100 mg (diminum
hari pertama di depan petugas) dan clofazimin 50 mg, dapson 100 mg (diminum
di rumah hari 2-28). Lama pengobatan : 12-18 bulan (12 blister)
Sedangkan anak dibawah 10 tahun, dosis MDT diberikan berdasarkan
berat badan, yaitu : rifampisin 10-15 mg/kg BB, dapson 1-2 mg/kg BB dan
clofazimin 1 mg/kg BB. Penderita yang telah menyelesaikan regimen pengobatan
disebut RFT (release from treatment). Setelah RFT penderita tetap dilakukan
pengamatan secara pasif yaitu tipe kusta PB selama 2 tahun dan tipe kusta MB
selama 5 tahun. Penderita kusta yang telah melewati masa pengamatan setelah
RFT disebut RFC (release from control) atau bebas dari pengamatan.
2.2 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronis. Reaksi ini adalah gambaran dari episode
akut hipersensitifitas terhadap M. leprae yang menyebabkan gangguan dalam
keseimbangan sistem imunologi. Adapun patofisiologinya belum terlalu jelas,

namun terkait dengan reaksi imunologik, dan terminologi serta klasifikasinya


masih bermacam-macam. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula
merugikan yang disebut dengan reaksi imun patologik, salah satunya adalah reaksi
kusta ini. 1,2,4
2.2.1 Epidemiologi
Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita kusta
mengalami reaksi kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak
1 kali dan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder
(1998), sebanyak 12% penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama masa
pengobatan dan 1,6% terjadi setelah penderita RFT. Penelitian R. Bwire dan H.J.S
Kawuma (1993), menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum
pengobatan adalah 14,8%, selama pengobatan 80,5% dan setelah pengobatan 4,7%. 2,5

2.2.2 Faktor Risiko Terjadinya Reaksi Kusta


Faktor risiko yang diduga berperan terhadap terjadinya reaksi
kusta adalah sebagai berikut :

2, 3, 4, 5, 7

a. Karakteristik individu, diantaranya adalah umur pasien saat


didiagnosis kusta lebih dari 15 tahun , Jenis kelamin wanita,
Pekerja kasar.
b. Karakteristik status klinis, yaitu tipe kusta MB , dimana tipe kusta
dipengaruhi oleh variasi dalam kesempurnaan sistem respon
imun seluler. Pada kusta tipe PB dengan respon imun seluler
cukup tinggi lebih sering mendapat reaksi kusta tipe I yang
kadang gambaran klinisnya lebih hebat. Hal ini terjadi karena
kuman yang mati akan dihabiskan sistem fagosit tubuh, tetapi
pada sebagian penderita akan terjadi reaksi imun sebagai bentuk

perlawanan (hipersensitivitas akut). Sedangkan pada tipe MB dengan respon


imun rendah, reaksi kusta ini tidak seberat pada tipe PB.3 Beberapa penelitian
sebelumnya menyimpulkan bahwa tipe kusta MB memiliki resiko mengalami
reaksi 2,45 sampai 4 kali lebih besar daripada tipe PB. 2,3
Yang kedua adalah lama sakit lebih dari 1 tahun, dimana lama penderita
menderita sakit kusta mulai dari sebelum didiagnosa, sesudah didiagnosa dan
diobati sampai RFT , diduga berhubungan dengan terjadinya reaksi kusta.
Semakin lama menderita sakit memungkinkan banyak Mycobacterium leprae
yang mati atau pecah dan menjadi antigen sehingga memicu terjadinya reaksi
kusta. 1 Reaksi ENL juga dapat terjadi pada pada kusta yang tidak diobati
dalam waktu yang lama. 4,5
Yang selanjutnya adalah jumlah lesi lebih dari 10, lalu menstruasi serta
kontrasepsi hormonal, karena penderita kusta usia subur akan mengalami
mentruasi yang akan berpengaruh pada keseimbangan atau perubahan
hormonal yang akan menjadi faktor pencetus terjadinya reaksi kusta. Faktor
lainnya adalah stres, kelelahan fisik, kehamilan, laktasi dimana keempat faktor
ini secara fisiologis menyebabkan terjadinya penurunan respon imun sistemik
tubuh, sehingga memudahkan penderita untuk mengalami reaksi kusta. 7
c. Karakteristik status pengobatan, meliputi lama pengobatan lebih dari 6 bulan.
Lama pengobatan MDT akan berpengaruh terhadap reaksi ku sta. Penderita
biasanya akan mendapat reaksi kusta setelah 6 bulan atau lebih
mendapat pengobatan MDT. Pagolori (2002), menyimpulkan
bahwa pengobatan yang sudah berjalan lama mempunyai risiko
mengalami reaksi kusta 2,9 kali dibandingkan penderita yang

10

mendapat pengobatan awal. Penelitian W.H Van Brakel (1994),


menyimpulakan bahwa reaksi kusta tipe I lebih banyak terjadi
pada 6 bulan pertama pengobatan dan reaksi kusta tipe II terjadi
setelah pengobatan berjalan 1 tahun.

2,5,7

Riwayat pengobatan reaksi kusta sebelumnya terutama jika


tidak diobati dengan adekuat diduga dapat memicu terjadinya
reaksi kusta berulang. Pengobatan dengan obat reaksi kusta
bersifat

imunosupresan

dan

bila

diberikan

tidak

adekuat

menyebabkan berbagai reaksi respons imun yang akan memicu terjadinya


reaksi kusta. Berikut ini adalah tabel mengenai beberapa faktor resiko yang
dapat memicu terjadinya reaksi kusta tipe 1 maupun tipe 2. 4

Tabel 2.2 Faktor Resiko Pencetus Terjadinya Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2 4
2.2.3 Jenis Reaksi Kusta
Dari beberapa macam klasifikasi, yang paling banyak dianut yaitu:
1. Reaksi tipe 1 (Reaksi reversal atau reaksi upgrading.)
2. Reaksi tipe 2 (E.N.L (Eritema Nodusum Leprosum))

11

E.N.L terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan bisa juga pada BL,
yang berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan
timbulnya E.N.L. 1

Tabel 2.3 Perbedaan Reaksi Kusta tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (E.N.L)
a. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading)

12

Reaksi kusta tipe I terjadi pada penderita kusta tipe PB dan MB, terutama
pada fase 6 bulan pertama pengobatan.1 Pada penderita kusta tipe MB, reaksi
kusta tipe I sering terjadi salah diagnosis sebagai kasus kambuh. Reaksi tipe I
yang terjadi selama pengobatan diduga disebabkan oleh meningkatnya respon
imun seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.
Apabila dilihat dari segi pembasmian kuman kusta reaksi tipe I ini dapat
menguntungkan, namun inflamasi yang timbul berlebihan pada saraf dapat
mengakibatkan kecacatan, terutama bila tidak atau terlambat ditangani. Penderita
dengan jumlah lesi yang banyak dan hasil kerokan kulit positip akan menaikkan
risiko terjadinya reaksi tipe I. 2,3,7
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan. 2,3,7
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1
adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga
kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, IL-1b, IL-6,
IFN- dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama

13

terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan


produksi IL-2 dan IFN- meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic
infiltration pada kulit dan syaraf. IFN dan TNF- bertanggung jawab terhadap
terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan
yang cepat. 2,3
Reaksi tipe I merupakan masalah besar pada penyakit kusta karena dapat
berpotensi potensi untuk menyebabkan kerusakan saraf dan hilangnya fungsi
saraf.
1). Gejala reaksi kusta tipe I
Gejala yang terjadi pada reaksi tipe I berupa adanya perubahan lesi kulit
maupun saraf akibat peradangan yang terjadi. Manifestasi lesi pada kulit dapat
berupa warna kemerahan, bengkak, nyeri dan panas. Pada saraf dapat terjadi
neuritis dan gangguan fungsi saraf. Kadang dapat terjadi gangguan keadaan
umum penderita (demam). 1 Gejala klinis reaksi reversal umumnya ditandai
dengan sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul
lesi baru dalam waktu relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi
infiltrat menjadi makin infiltratif, dan lesi lama menjadi bertambah luas. Satu
gejala saja sudah cukup. 1,2,3
2). Menurut beratnya reaksi
Beratnya reaksi tipe I dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat.
Adapun perbedaan antara reaksi kusta tipe I ringan dan berat dapat dilihat pada
pada tabel 2.4.
3). Menurut lama terjadinya reaksi

14

Reaksi kusta tipe I dapat berlangsung 6-12 minggu atau lebih. 2


b. Reaksi kusta tipe II (Erythema Nodosum Leprosum / ENL)
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL. Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat
juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug
Therapy (MDT). 2,4
Secara imunopatologis, E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae + antibodi (IgG,
IgM) + komplemen kompleks imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini,
maka E.N.L termasuk dalam golongan penyakit imun, oleh karena salah satu
protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Didapatkan
bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe
tuberkuloid. Hal ini terjadi karena pada tipe lepromatosa, jumlah basil jauh lebih
banyak daripada tipe tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan
tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena saat pengobatan, banyak basil lepra yang
mai dan hancur, yang berarti ada banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi
dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut
terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai
organ tubuh. 1,2,4
Diagnosis ENL diperoleh dengan pemeriksaan klinik maupun histologi.
Secara mikroskopis spesimen ENL digolongkan menjadi 3 bagian mengikuti
lokasi peradangan utama yaitu : klasikal (subkutis), kulit dalam, dan permukaan. 7
1). Gejala ENL

15

Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit, dimana pada kulit akan
timbul gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di
lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain maka dapat menimbulka gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis arthritis, orkitis, dan nefritis akut
yang ditandai dengan proteinuria. 1,4
Kalau diperhatikan lagi reaksi E.N.L dan reaksi reversal secara klinis,
E.N.L dengan lesi eritema nodosum sehingga disebut reaksi lepra nodular,
sedangkan reaksi reversal tanpa nodus, sehingga disebut juga reaksi non-nodular.
Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau
tidak adanya nodus. Jika ada berarti disebut reaksi nodular atau E.N.L, dan
sebaliknya. 1,4
2). Lama terjadinya reaksi
Lama perjalanan ENL dapat berlangsung 3 minggu atau lebih, kadang lebih lama.
3). Menurut beratnya reaksi
Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat
Perbedaan reaksi tipe II ringan dan berat dapat dilihat pada tabel 2.4.

Gambar 2.1 Spektrum Reaksi Kusta Tipe 1 (RR) dan Tipe 2 (E.N.L)

16

Tabel 2.4 Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat dari Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2 4
2.2.4 Diagnosis Reaksi Kusta
Diagnosis reaksi kusta dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
meliputi pemeriksaan pada lesi kulit, saraf tepi dan keadaan umum penderita.
Pemeriksaan untuk mendiagnosis reaksi kusta menggunakan formulir pencegahan
cacat atau preventions of disabillity (POD), yang dilakukan setiap satu bulan
sekali. Formulir POD digunakan untuk mencatat dan memonitor fungsi saraf serta

17

alat untuk mendeteksi dini adanya reaksi kusta. Fungsi saraf utama yang diperiksa
adalah saraf di muka (nervus facialis), tangan (nervus medianus, nervus ulnaris
dan nervus radialis) dan di kaki (nervus peroneus, nervus tibialis posterior). Bila
didapatkan tanda klinis seperti adanya nodul, nodul ulserasi, bercak aktif atau
bengkak di daerah saraf tepi, nyeri tekan saraf, berkurangnya rasa raba dan
kelemahan otot serta adanya lagophalmus dalam 6 bulan terakhir, berarti
penderita sedang mengalami reaksi kusta. Cara memeriksa gangguan fungsi saraf
dan kelemahan otot adalah dengan teknik voluntary muscle test (VMT) atau tes
kekuatan otot dan untuk memeriksa berkurangnya rasa raba dilakukan sensitivity
test (ST) atau tes rasa raba. 1,2,4

Gambar 2.2 Reaksi Kusta Tipe 1 (Reaksi Reversal)

Gambar 2.3 Reaksi Kusta Tipe 2 (E.N.L)

18

2.2.5 Pengobatan Reaksi Kusta


a. Prinsip pengobatan reaksi
1). Istirahat / imobilisasi
2). Pemberian analgesik / sedatif
3). Pemberian obat anti reaksi pada reaksi berat
4). MDT diteruskan dengan dosis tidak berubah
5). Hindari / hilangkan faktor pencetus 4,8
Pengobatan berdasarkan derajat keparahan reaksi:
a. Pengobatan reaksi ringan
1). Berobat jalan dan istirahat di rumah
2). Pemberian analgetik dan sedatif bila perlu
3). Reaksi kusta ringan yang tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu
harus diobati sebagai reaksi kusta berat
4). MDT diteruskan dengan dosis tetap.
5). Hindari / hilangkan faktor pencetus 4,8
b. Pengobatan reaksi berat
1). Pemberian prednison
Pemberian prednison dengan cara bertahap atau taffering off selama 12
minggu. Setiap 2 minggu pemberian prednison harus dilakukan pemeriksaan
untuk pencegahan cacat.
2). Pemberian analgetik, bila perlu sedatif
3). Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin
4). Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit
5). MDT diteruskan dengan dosis tidak berubah

19

6). Hindari / hilangkan faktor pencetus 4


Skema pemberian prednison:
1). Pada orang dewasa ( diberikan pagi hari sehabis makan ) :
Dua minggu I : 40 mg / hari
Dua minggu II : 30 mg / hari
Dua minggu III : 20 mg / hari
Dua minggu IV : 15 mg / hari
Dua minggu V : 10 mg / hari
Dua minggu VI : 5 mg / hari
2). Pada anak-anak :
Prednison untuk penderita reaksi kusta anak diberikan dengan dosis awal
maksimal 1 mg / kg BB, kemudian setiap 2 minggu dievaluasi untuk
penurunan dosis dengan lama pengobatan minimal 2 minggu. 4
Pengobatan berdasarkan jenis reaksi kusta:
a. Pengobatan reaksi reversal
Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak, sebab jika
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi tambahan pengobatan. Jika ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
berat gejala neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, lalu
diturunkan perlahan. Pengobatan harus dilakukan secepatnya dan dengan dosis
yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak.
Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang
terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgesik dan sedativa dapat diberikan
jika perlu. 1

20

b. Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
prednison. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison
15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi
dosisnya, begitu pula sebaliknya. Dosis diturunkan perlahan sampai berhenti sama
sekali sesuai dengan perbaikan reaksi. Dapat ditambahkan obat analgetikantipiretik dan sedativa atau bila berat penderita bisa menjalani rawat inap.
Namun ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid; E.N.L
dapat timbul kembali jika obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis
tertentu, sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid terus-menerus. 1
Klofazimin selain sebagai obat anti kusta, dapat juga dipakai sebagai antireaksi E.N.L, tetapi dengan dosis lebih tinggi, dan juga tergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat reaksi makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200300 mg sehari. Efeknya lebih lambat daripada kortikosteroid, tetapi keuntungan
pemakaian klofazimin ini dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak diinginkan
oleh banyak penderita adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, terutama
pada dosis tinggi. Namun hal ini bersifat reversibel, dapat hilang setelah
pemberian dihentikan, meskipun butuh waktu lama. Selama pengobatan E.N.L,
obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya. 1
-

Pengobatan reaksi tipe II berulang

Pengobatan reaksi kusta tipe II berulang selain prednison, perlu ditambahkan


clofazimin dengan dosis dewasa sebagai berikut :
Selama 2 bulan : 3 X 100 mg / hari

21

Selama 2 bulan : 2 X 100 mg / hari


Selama 2 bulan : 1 X 100 mg / hari 4
2.2.6 Pencegahan Kecacatan
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal (reaksi tipe 1), lesi kulit multipel dan
dengan pembesaran atau nyeri pada saraf juga memiliki resiko tersebut.
Pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD) adalah suatu usaha untuk
memberikan tindakan pencegahan terhadap penderita agar terhindar dari risiko
cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta. Kegiatan
yang dilakukan berupa pemeriksaan klinis penderita (lesi kulit dan saraf) dengan
cara voluntary muscle test (VMT) dan sensitivity test (ST) menggunakan formulir
POD. Dengan POD reaksi kusta paling lambat dapat diketahui dalam waktu 1
bulan.1,2,8
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Kelompok cacat primer
Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung
oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.
leprae. Termasuk cacat primer adalah:
a. Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf motorik,
misalnya claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos dan cacat pada fungsi
otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas berkurang, serta
gangguan refleks vasodilatasi.

22

b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut
dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina, blefaroptosis, ektropion). Kerusakan
folikel rambut menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula
sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak elastik.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon,
ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata. 2,4
2. Kelompok cacat sekunder
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkan
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi
sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan

motorik

menyebabkan

kontraktur

sehingga

dapat

menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan juga memudahkan terjadinya


luka. Demikian pula akibat lagoftalmus dapat menyebabkan kornea kering
sehingga mudah timbul keratitis. 2,4
Kelumpuhan syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas
berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.

Gambar 2.4 Proses Terjadinya Kecacatan 4

23

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of


disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya
memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan
diminyaki agar tidak kering dan pecah. 1,4
WHO Expert Comitte on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO
Technical Report Series No. 607 (1977) telah membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta seperti pada tabel berikut.

Tabel 2.5 Klasifikasi Cacat Berdasarkan WHO 4,8

24

Gambar 2.5 Kecacatan Akibat Penyakit Kusta

BAB 3

25

KESIMPULAN

Reaksi kusta adalah gambaran dari episode akut hipersensitifitas terhadap


M. leprae yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan sistem imunologi.
Adapun patofisiologinya belum terlalu jelas, namun terkait dengan reaksi
imunologik. Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum
pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini
dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau
reaksi ENL.
Walaupun reaksi kusta ini sering ditemukan namun etiologinya masih
belum jelas. Beberapa faktor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian
reaksi ini, seperti : setelah pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis,
imunisasi, kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.
Pencegahan cacat atau prevention of disabillity (POD) adalah suatu usaha
untuk memberikan tindakan pencegahan terhadap penderita agar terhindar dari
risiko cacat selama perjalanan penyakit kusta, terutama akibat reaksi kusta. Cara
terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat, sehingga diharapkan dengan penatalaksanaan yang
baik dan cepat, dapat mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada
penderita kusta.

DAFTAR PUSTAKA

26

1. Kosasih, A, Wisnu, M, Sjamsoe, E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Kelima, 2008. Hlm. 82-88. Jakarta: FK UI.
2. Prawoto. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya
Reaksi Kusta. Universitas Diponegoro. Semarang.
3. Thomas, R, Robert, L. Leprosy. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. Ed seventh, Vol.2, 2008, Chapter 189; 1786-1796.
4. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI. 2012. Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta, Hal 4-138.
5. Zulkifli, dr. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkan, diunduh tanggal
15

Maret

2015

pkl

19.30.

www.library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-

zulkifli2.pdf
6. Murtiastutik, D, Ervianti, E. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Dep/SMF
Kesehatan Kulit Kelamin FK UNAIR/ RSUD dr. Soetomo. Surabaya. Ed 2,
2009.
7. Amirudin M, D. 2000. Kusta. Dalam: Harahap, M. Ilmu Pneyakit Kulit dan
Kelamin. Cetakan I. Hipokrates: Jakarta.
8. World Health Organization. 1998. Action Programme for the Elimination of
Leprosy, revised, Geneva: 1-27.

Anda mungkin juga menyukai