BAB 1
PENDAHULUAN
kali dan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Penelitian R. Bwire dan H.J.S Kawuma
(1993), menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan adalah 14,8
%, selama pengobatan 80,5 % dan setelah pengobatan 4,7 %.31. Studi dari Scollard
D.M, et.al (1994), menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I adalah 32
% dan frekuensi reaksi tipe II 37 %. Frekuensi kejadian reaksi kusta menurut jenis
kelamin adalah pada wanita 47 % dan laki-laki 26 %.32 Kajian dari Van Brakel W.H
(1994), menyebutkan bahwa prevalensi reaksi reversal adalah 28 % dan ENL adalah
5,7 %14.2
Apabila penanganan penderita reaksi kusta terlambat atau tidak adekuat,
dapat mengakibatkan kecacatan. Kecacatan tersebut akibat dari kerusakan saraf
perifer saat terjadinya reaksi kusta, seperti gangguan saraf sensorik, motorik maupun
otonom. Kecacatan akibat reaksi akan berdampak luas baik sosial, ekonomi, budaya
dan ketahanan nasional. Akibat kecacatan kusta, penderita akan menjadi penyandang
masalah sosial karena kehilangan produktifitas dan masa depannya. Kecacatan karena
penyakit kusta menjadi beban pada penderita keluarga maupun masyarakat. Banyak
penderita yang menjadi tuna wisma, tuna sosial, tuna karya dan kemungkinan dapat
mengarah pada tindak kejahatan atau gangguan di masyarakat. 4
Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia, penyakit kusta ini
merupakan penyakit dengan kompetensi 4, yang berarti bahwa dokter umum harus
mampu menegakkan diagnosis dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri
sampai tuntas. Oleh karena itu sebagai calon lulusan dokter umum, diwajibkan untuk
memahami dengan baik mengenai perjalanan penyakit kusta, termasuk reaksi kusta.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
adalah
penyakit
kronik
yang
disebabkan
oleh
kuman
tuberculoid
(BT),
borderlineborderline
(BB),
borderline
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
f. kehilngan
kemampuan
berkeringat, bulu
rontok pada bercak
Penebalan dan
kerusakan syaraf tepi
Deformitas
Sediaan apusan
Ciri-ciri khusus
Tipe PB
Tipe MB
Hipopigmentasi / eritema
1-5 lesi
Kering, kasar
Unilateral atau bilateral
asimetris
Tegas
Selalui ada dan jelas
>5 lesi
Basah, mengkilap
Bilateral simetris
Kurang tegas
Biasanya kurang jelas, jika
ada terjadi pada kondisi
lanjut
Bercak masih berkeringat,l
bulu tidak rontok
Hanya 1 saraf
>1 saraf
Contoh gambar
efloresensi kusta
Tabel 2.1 Perbedaan Gambaran Klinis Penyakit Kusta Tipe PB dan MB 1,3,6,7
2, 3, 4, 5, 7
10
2,5,7
imunosupresan
dan
bila
diberikan
tidak
adekuat
Tabel 2.2 Faktor Resiko Pencetus Terjadinya Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2 4
2.2.3 Jenis Reaksi Kusta
Dari beberapa macam klasifikasi, yang paling banyak dianut yaitu:
1. Reaksi tipe 1 (Reaksi reversal atau reaksi upgrading.)
2. Reaksi tipe 2 (E.N.L (Eritema Nodusum Leprosum))
11
E.N.L terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan bisa juga pada BL,
yang berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan
timbulnya E.N.L. 1
Tabel 2.3 Perbedaan Reaksi Kusta tipe 1 (reaksi reversal) dan tipe 2 (E.N.L)
a. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading)
12
Reaksi kusta tipe I terjadi pada penderita kusta tipe PB dan MB, terutama
pada fase 6 bulan pertama pengobatan.1 Pada penderita kusta tipe MB, reaksi
kusta tipe I sering terjadi salah diagnosis sebagai kasus kambuh. Reaksi tipe I
yang terjadi selama pengobatan diduga disebabkan oleh meningkatnya respon
imun seluler secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.
Apabila dilihat dari segi pembasmian kuman kusta reaksi tipe I ini dapat
menguntungkan, namun inflamasi yang timbul berlebihan pada saraf dapat
mengakibatkan kecacatan, terutama bila tidak atau terlambat ditangani. Penderita
dengan jumlah lesi yang banyak dan hasil kerokan kulit positip akan menaikkan
risiko terjadinya reaksi tipe I. 2,3,7
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan. 2,3,7
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1
adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga
kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, IL-1b, IL-6,
IFN- dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama
13
14
15
Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit, dimana pada kulit akan
timbul gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di
lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain maka dapat menimbulka gejala
seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis arthritis, orkitis, dan nefritis akut
yang ditandai dengan proteinuria. 1,4
Kalau diperhatikan lagi reaksi E.N.L dan reaksi reversal secara klinis,
E.N.L dengan lesi eritema nodosum sehingga disebut reaksi lepra nodular,
sedangkan reaksi reversal tanpa nodus, sehingga disebut juga reaksi non-nodular.
Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau
tidak adanya nodus. Jika ada berarti disebut reaksi nodular atau E.N.L, dan
sebaliknya. 1,4
2). Lama terjadinya reaksi
Lama perjalanan ENL dapat berlangsung 3 minggu atau lebih, kadang lebih lama.
3). Menurut beratnya reaksi
Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat
Perbedaan reaksi tipe II ringan dan berat dapat dilihat pada tabel 2.4.
Gambar 2.1 Spektrum Reaksi Kusta Tipe 1 (RR) dan Tipe 2 (E.N.L)
16
Tabel 2.4 Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat dari Reaksi Kusta Tipe 1 dan 2 4
2.2.4 Diagnosis Reaksi Kusta
Diagnosis reaksi kusta dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
meliputi pemeriksaan pada lesi kulit, saraf tepi dan keadaan umum penderita.
Pemeriksaan untuk mendiagnosis reaksi kusta menggunakan formulir pencegahan
cacat atau preventions of disabillity (POD), yang dilakukan setiap satu bulan
sekali. Formulir POD digunakan untuk mencatat dan memonitor fungsi saraf serta
17
alat untuk mendeteksi dini adanya reaksi kusta. Fungsi saraf utama yang diperiksa
adalah saraf di muka (nervus facialis), tangan (nervus medianus, nervus ulnaris
dan nervus radialis) dan di kaki (nervus peroneus, nervus tibialis posterior). Bila
didapatkan tanda klinis seperti adanya nodul, nodul ulserasi, bercak aktif atau
bengkak di daerah saraf tepi, nyeri tekan saraf, berkurangnya rasa raba dan
kelemahan otot serta adanya lagophalmus dalam 6 bulan terakhir, berarti
penderita sedang mengalami reaksi kusta. Cara memeriksa gangguan fungsi saraf
dan kelemahan otot adalah dengan teknik voluntary muscle test (VMT) atau tes
kekuatan otot dan untuk memeriksa berkurangnya rasa raba dilakukan sensitivity
test (ST) atau tes rasa raba. 1,2,4
18
19
20
b. Pengobatan E.N.L
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain
prednison. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison
15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi
dosisnya, begitu pula sebaliknya. Dosis diturunkan perlahan sampai berhenti sama
sekali sesuai dengan perbaikan reaksi. Dapat ditambahkan obat analgetikantipiretik dan sedativa atau bila berat penderita bisa menjalani rawat inap.
Namun ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid; E.N.L
dapat timbul kembali jika obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis
tertentu, sehingga penderita harus mendapatkan kortikosteroid terus-menerus. 1
Klofazimin selain sebagai obat anti kusta, dapat juga dipakai sebagai antireaksi E.N.L, tetapi dengan dosis lebih tinggi, dan juga tergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat reaksi makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200300 mg sehari. Efeknya lebih lambat daripada kortikosteroid, tetapi keuntungan
pemakaian klofazimin ini dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak diinginkan
oleh banyak penderita adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, terutama
pada dosis tinggi. Namun hal ini bersifat reversibel, dapat hilang setelah
pemberian dihentikan, meskipun butuh waktu lama. Selama pengobatan E.N.L,
obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya. 1
-
21
22
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut
dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina, blefaroptosis, ektropion). Kerusakan
folikel rambut menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula
sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak elastik.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon,
ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata. 2,4
2. Kelompok cacat sekunder
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkan
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi
sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan
motorik
menyebabkan
kontraktur
sehingga
dapat
23
24
BAB 3
25
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
26
1. Kosasih, A, Wisnu, M, Sjamsoe, E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi Kelima, 2008. Hlm. 82-88. Jakarta: FK UI.
2. Prawoto. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya
Reaksi Kusta. Universitas Diponegoro. Semarang.
3. Thomas, R, Robert, L. Leprosy. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. Ed seventh, Vol.2, 2008, Chapter 189; 1786-1796.
4. Ditjen PPM & PL Dep. Kes. RI. 2012. Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta, Hal 4-138.
5. Zulkifli, dr. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkan, diunduh tanggal
15
Maret
2015
pkl
19.30.
www.library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-
zulkifli2.pdf
6. Murtiastutik, D, Ervianti, E. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Dep/SMF
Kesehatan Kulit Kelamin FK UNAIR/ RSUD dr. Soetomo. Surabaya. Ed 2,
2009.
7. Amirudin M, D. 2000. Kusta. Dalam: Harahap, M. Ilmu Pneyakit Kulit dan
Kelamin. Cetakan I. Hipokrates: Jakarta.
8. World Health Organization. 1998. Action Programme for the Elimination of
Leprosy, revised, Geneva: 1-27.