TINJAUAN PUSTAKA
1
2
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan pasien. Pasien yang sudah minum obat MDT tidak menjadi sumber
penularan kepada orang lain. Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta
setelah kontak dengan pasien kusta karena adanya factor kekebalan tubuh.
(Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2010)
4. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda tersangka kusta yaitu pada kulit dan saraf. Tanda – tanda
pada kulit tampak eritema atau hipopigmentasi, mati rasa, tidak gatal, baal pada
tangan dan kaki, kulit mengkilat, bersisik, kulit tidak berkeringat (anhidrosis),
alis mata tidak berambut (madarosis), bengkak atau penebalan pada wajah dan
cuping telinga serta Lepuh tidak nyeri pada tangan dan kaki.
Tanda – tanda pada saraf yaitu nyeri tekan spontan, rasa kesemutan seperti
tertusuk-tusuk, nyeri pada anggota gerak, kelemahan anggota gerak dan kelopak
mata (WHO, 2012), cacat (deformitas) dan Luka (ulkus) yang sulit sembuh.
(Kemenkes RI, 2015)
5. Klasifikasi Kusta
Di Indonesia kusta diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu: tipe PB (pausi
basiler) dan tipe MB (multi basiler). Pada tipe PB lesi kulit 1-5, hipopigmentasi
atau eritema, distribusi tidak simetris dan mati rasa serta kerusakan satu cabang
saraf sedangkan pada tipe MB lesi kulit > 5, distribusi lebih semetris, mati rasa
dan banyak kerusakan cabang saraf.
Menurut Ridley dan Jopling kusta diklasifikasi menjadi tipe TT
(tuberkuloid), BT (borderline tuberkuloid), BB (mid borderline), BL (boderline
lepromatosa) dan LL (lepramatosa). (Arif Mansjoer,Suprohaita, 2000)
6. Patofisiologi dan Pathway
Micobacterium Leprae adalah organisasi tahan asam intrasel yang sangat
sulit tumbuh dalam biakan, tetapi dapat ditumbuhkan dalam almadilo
(trenggileng), kuman ini tumbuh lebih lambat dari pada micobacretium lain dan
tumbuh paling subur pada suhu 32 C sampai 34 C, yakni suhu kulit manusia dan
suhu tubuh inti armadilo, seperti M. Tuberkulosis, M. Leprae tidak
mengeluarkan toksin dan virulensinya didasarkan pada sifat dinding selnya.
Dinding selnya cukup mirip dengan dinding M. Tuberkulosis sehingga
3
Pathway
Etiologi:
Mycobacterium leprae
(Bersifat BTA dan Obliga Tintraseluller)
Kecacatan akibat
kerusakan jaringan tubuh
5
7. Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutuskan mata
rantai penularan, mencegah resisten obat, memperpendek masa pengobatan,
meningkatkan keteraturan berobat dan mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Menurut Departemen Kesehatan R.I. (1995: 7). Untuk pengobatan
menggunakan Multi Drug Therapy (MDT), yaitu menggunakan gabungan
Rifampicin, Lamprene,dan DDS dimulai tahun 1981, Program ini bertujuan
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa pada Tipe PB yaitu rifampisin
600mg /bulan diminum di depan petugas, DDS 100mg/hari diminum dirumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum
obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa pada Tipe MB yaitu rifampisin
600mg/bulan diminum di depan petugas, lampren 300mg/bulan diminum di
depan petugas dilanjutkan lampren 50 mg/hari diminum di rumah serta DDS
100mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positip.
Dosis untuk anak umur di bawah 10 tahun yaitu lampren
100mg/bulan,lampren 50 mg/2 kali/minggu sedangkan dosis untuk anak umur
11-14 tahun lampren 100mg/bulan, lampren 50mg/3 kali/minggu, DDS 1-2
mg/kg berat badan dan rifampisin 10-15mg/kg berat badan.
Pengobatan MDT terbaru dengan metoda ROM, menurut WHO (1998)
yaitu pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dan
pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
dberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif
dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
6
Adapun kelompok orang yang mendapatkan MDT antara lain: pasien yang baru
didiagnosa kusta dan belum pernah mendapat MDT, pasien yang mengalami
relaps, default, pindah berobat dan ganti klasifikasi/tipe.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium adalah pemeriksaan
Bakteriologis. Pengambilan kerokan jaringan kulit pada kelainan kulit yang
paling aktif, pada lesi kulit yang aktif di tempat lain atau pada cuping telinga
kanan/kiri.
9. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan reaksi kekebalan atau reaksi antigen antibodi dengan
akiba merugikan pasien. (Arif Mansjoer,Suprohaita, 2000)
10. Rehabilitasi
Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan sosial.
Usaha medis yang dapaat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan
fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat
diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang
sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental
diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat
sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima
kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai
dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan
fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandirian- nya dengan
memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran
hasil usaha pasien.
B. Konsep Keperawatan Ketidakefektifan Manajemen Terapeutik
keluarga
1. Definisi.
Ketidakefektifan manajemen terapeutik keluarga adalah pola pengaturan
dan pengintegrasian ke dalam kebiasaan terapeutik hidup sehari – hari
7
a. Shock Mental
Pada permulaan pasien akan mengalami shock mental dan hal
tersebut dapat terlihat dari ekspresinya seprti murung, putus asa, dan
depresi. Pada tahap tersebut, umumnya pasien akan membutuhkan
waktu beberapa lama dan akan berkurang sejalan dengan kemajuan
penyembuhan diri pasien tersebut.
b. Harapan Untuk Sembuh Kembali Seperti Semula/Putus Asa
Tahap ini adalah dampak dari tahap pertama. Dimana bila
pasien memperoleh kesembuhan yang cukup progresif maka dirinya
mempunyai harapan untuk sembuh kembali sepeni semula. Tetapi
bila pasien tidak menemui bahwa harapannya tidak sesuai dengan
kenyataan seperti adanya cacat, kerusakan ekstremitas, pada masa
RFT didapatkan kecacatan yang menetap, perubahan fungsi tubuh,
dan sebagainya maka pasien akan mengalami frustasi, kecewa, dan
bahkan mungkin akan putus asa dengan keadaannya.
c. Menerima keadaan
Pada akhirnya pasien kusta sedikit demi sedikit dapat
menyadari dan menerima kenyataan yang ada pada dirinya sefla
berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada saat itu.
Sejalan dengan hal tersebut, tahap-tahap tersebut sebenamya dapat
digambarkan seperti gunung es, dimana tahap menerima keadaan
menjadi puncak gunung sedangkan frustasi dan shock mental berada
terselubung dalam diri pasien (Harjana, 1994).
Kondisi menerima keadaan tersebut sebenarnya menyimpan
gejala-gejala afektif yang dapat dilihat dari ekspresi mereka yang
cenderung sedih, cemas, irretable, kehilangan motivasi dalam diri
mereka, mudah dan sering menangis. Sedangkan gejala-gejala lain
yang dapat terlihat adalah apatis dan kurang mempunyai inisiatif
dalam penampilan peran keseharian. Gejala-gejala psikis tersebut
12
f. Berkurangnya Minat
Pasien disamping memiliki rasa cemas, juga kadang-kadang
merasa stress dengan kondisi dirinya sehingga dirinya tidak
mempunyai perhatian terhadap segala sesuatu yang ada
dilingkungannya, pasif dan kurang berinisiatif. Terlepas dari hal
tersebut, sebenarnya banyak hal yang mempengaruhi respon psikis
yang dialami oleh pasien kusta dan berhubungan dengan penyakit
yang dialaminya, hal tersebut memiliki taraf yang berbeda-beda
disesuaikan dengan kepribadian pasien kusta, sikap dan pandangan
pasien kusta, lingkungan sosial pasien kusta.
Pada kepribadian pasien kusta, individu yang telah matur jelas akan
lebih mudah menerirna kenyataan pada dirinya secara positif dan hal
ini tentu saja akan membawa dampak yang lebih positif bagi dirinya
dalam mengembalikan keseimbangan diri. Sebaliknya pada individu
yang memiliki konstitusi mental yang lemah maka mungkin saja
keadaan penyakitnya tersebut akan mengembangkan sifat
ketergantungan, mudah putus asa, rendah diri, dansebagainya.
Dipandang dari sudut sikap dan pandangan pasien kusta, bagi
pasien yang mempunyai penilaian negatif terhadap penyakit yang
dideritanya maka akan lebih sulit untuk mengembangkan
keseimbangan konsep dirinya. Lingkungan social pasien kusta
sangat berpengaruh terhadap perkembangan atau keinginan
kesembuhan pasien sendiri. Lingkungan yang menolak akan
mengakibatkanpasien semakin berat menanggung label ’penyakit
kusta’ yang dideritanya sehingga kemungkinan pasien akan
mengembangkan perilaku penolakan terhadap dirinya maupun
lingkungannya. Sedangkan lingkungan yang selalu melindungi akan
menyulitkan pasien saat menyesuaikan diri. Sebaliknya dengan
14
Konsep Diri
a. Citra tubuh
b. Ideal diri
Pasien Kusta
c. Harga diri
d. Penampilan peran
e. Identitas personal
Faktor eksternal
Lingkungan sosial :
a. Keluarga
b. Masyarakat
15
6. Kerangka Penelitian
Faktor Internal
a. Kepribadian
b. Tingkat pendidikan
c. Pengetahuan
d. Nilai yang dipercaya
Mengetahui tingkat ;
Kategori
a. Citra tubuh
b. Ideal diri 1. Baik
Pasien Kusta Pasca RFT c. Harga diri 2. Cukup
d. Penampilan peran 3. Kurang
e. Identitas personal 4. Tidak baik
Faktor eksternal
Lingkungan sosial :
c. Keluarga
d. Masyarakat
Keterangan :
: Diteliti
16
7. Pertanyaan Penelitian