Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis Kusta


1. Defenisi
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari Bahasa India
kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra ada disebut dalam
kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew Zaarath, yang sebenarnya beberapa
penyakit kulit lainnya. (Linuwih, 2010)
Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan dengan kuman
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat dan menahun. Saraf
tepi/perifer sebagai afinitas pertama kemudian kulit dan mukosa saluran napas
bagian atas, kemudian dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat.
(Kemenkes RI, 2015)
2. Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dapat dibiakkkan dalam media artificial. Mycobacterium leprae berbentuk basil/
batang dengan ukuran panjang 1- 8 mikron,tahan asam biasanya berkelompok,
serta positif-Gram. (Firdaus J.Kunoli, 2012)
3. Cara Penularan
Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai
sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse
dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar timus. Kuman kusta
banyak ditemukan dimukosa hidung manusia. Pada pasien kusta tipe
Lepromatosa telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas merupakan sumber
kuman.
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2 sampai 5 tahun akan
tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila Mycobacterium
leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh
orang lain.

1
2

Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama
dengan pasien. Pasien yang sudah minum obat MDT tidak menjadi sumber
penularan kepada orang lain. Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta
setelah kontak dengan pasien kusta karena adanya factor kekebalan tubuh.
(Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2010)
4. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda tersangka kusta yaitu pada kulit dan saraf. Tanda – tanda
pada kulit tampak eritema atau hipopigmentasi, mati rasa, tidak gatal, baal pada
tangan dan kaki, kulit mengkilat, bersisik, kulit tidak berkeringat (anhidrosis),
alis mata tidak berambut (madarosis), bengkak atau penebalan pada wajah dan
cuping telinga serta Lepuh tidak nyeri pada tangan dan kaki.
Tanda – tanda pada saraf yaitu nyeri tekan spontan, rasa kesemutan seperti
tertusuk-tusuk, nyeri pada anggota gerak, kelemahan anggota gerak dan kelopak
mata (WHO, 2012), cacat (deformitas) dan Luka (ulkus) yang sulit sembuh.
(Kemenkes RI, 2015)
5. Klasifikasi Kusta
Di Indonesia kusta diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu: tipe PB (pausi
basiler) dan tipe MB (multi basiler). Pada tipe PB lesi kulit 1-5, hipopigmentasi
atau eritema, distribusi tidak simetris dan mati rasa serta kerusakan satu cabang
saraf sedangkan pada tipe MB lesi kulit > 5, distribusi lebih semetris, mati rasa
dan banyak kerusakan cabang saraf.
Menurut Ridley dan Jopling kusta diklasifikasi menjadi tipe TT
(tuberkuloid), BT (borderline tuberkuloid), BB (mid borderline), BL (boderline
lepromatosa) dan LL (lepramatosa). (Arif Mansjoer,Suprohaita, 2000)
6. Patofisiologi dan Pathway
Micobacterium Leprae adalah organisasi tahan asam intrasel yang sangat
sulit tumbuh dalam biakan, tetapi dapat ditumbuhkan dalam almadilo
(trenggileng), kuman ini tumbuh lebih lambat dari pada micobacretium lain dan
tumbuh paling subur pada suhu 32 C sampai 34 C, yakni suhu kulit manusia dan
suhu tubuh inti armadilo, seperti M. Tuberkulosis, M. Leprae tidak
mengeluarkan toksin dan virulensinya didasarkan pada sifat dinding selnya.
Dinding selnya cukup mirip dengan dinding M. Tuberkulosis sehingga
3

imunisasi BCG sedikit banyak memberi perlindungan terhadap infeksi M.


Leprae. Imunitas seluler tercermin oleh reaksi hipersensitivitas tapi lambat
terhadap penyuntikan ekstrak bakteri yang disebut lepromin kedalam kulit.
4

Pathway

Etiologi:
Mycobacterium leprae
(Bersifat BTA dan Obliga Tintraseluller)

Menyerang saraf perifer, kulit, mukosa saluran pernapasan bagian atas

Derajat imunitas tinggi Derajat imunitas

Tuberkuloid Terjadi proses lepromatosis

Gangguan saraf tepi, saraf Benjolan-benjolan kecil


perifer disertai rontok bulu
rambut, cuping telinga,
muka singa, kemerahan
Kelainan kulit berupa
bercak putih, bercak
tampak kering dan mati
Gangguan rasa nyaman
rasa sama sekali
nyeri

Kecacatan akibat
kerusakan jaringan tubuh
5

7. Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutuskan mata
rantai penularan, mencegah resisten obat, memperpendek masa pengobatan,
meningkatkan keteraturan berobat dan mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Menurut Departemen Kesehatan R.I. (1995: 7). Untuk pengobatan
menggunakan Multi Drug Therapy (MDT), yaitu menggunakan gabungan
Rifampicin, Lamprene,dan DDS dimulai tahun 1981, Program ini bertujuan
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa pada Tipe PB yaitu rifampisin
600mg /bulan diminum di depan petugas, DDS 100mg/hari diminum dirumah.
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum
obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa pada Tipe MB yaitu rifampisin
600mg/bulan diminum di depan petugas, lampren 300mg/bulan diminum di
depan petugas dilanjutkan lampren 50 mg/hari diminum di rumah serta DDS
100mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positip.
Dosis untuk anak umur di bawah 10 tahun yaitu lampren
100mg/bulan,lampren 50 mg/2 kali/minggu sedangkan dosis untuk anak umur
11-14 tahun lampren 100mg/bulan, lampren 50mg/3 kali/minggu, DDS 1-2
mg/kg berat badan dan rifampisin 10-15mg/kg berat badan.
Pengobatan MDT terbaru dengan metoda ROM, menurut WHO (1998)
yaitu pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dan
pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
dberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif
dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
6

Adapun kelompok orang yang mendapatkan MDT antara lain: pasien yang baru
didiagnosa kusta dan belum pernah mendapat MDT, pasien yang mengalami
relaps, default, pindah berobat dan ganti klasifikasi/tipe.
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium adalah pemeriksaan
Bakteriologis. Pengambilan kerokan jaringan kulit pada kelainan kulit yang
paling aktif, pada lesi kulit yang aktif di tempat lain atau pada cuping telinga
kanan/kiri.
9. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
kusta. Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan reaksi kekebalan atau reaksi antigen antibodi dengan
akiba merugikan pasien. (Arif Mansjoer,Suprohaita, 2000)
10. Rehabilitasi
Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan sosial.
Usaha medis yang dapaat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan
fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat
diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang
sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental
diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat
sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima
kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai
dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan
fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandirian- nya dengan
memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran
hasil usaha pasien.
B. Konsep Keperawatan Ketidakefektifan Manajemen Terapeutik
keluarga
1. Definisi.
Ketidakefektifan manajemen terapeutik keluarga adalah pola pengaturan
dan pengintegrasian ke dalam kebiasaan terapeutik hidup sehari – hari
7

untuk pengobatan penyakit sekuelanya yang tidak memuaskan untuk


memenuhi tujuan kesehatan spesifik. (NANDA, 2015 - 2017).
2. Batasan Karakteristik
Kegagalan memasukkan regimen pengobatan dalam kehidupan sehari-
hari, kesulitan dengan regimen yang di programkan dan kegagalan
melakukan tindakan untuk mengurangi faktor resiko.
3. Penyebab
Kesulitan ekonomi, Ketidak cukupan petunjuk untuk bertindak,
Kompleksitas program pengobatan dan ketidakefektifan pola perawatan
kesehatan keluarga. (PPNI, 2017)
C. Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga
1. Definisi
Keluarga adalah dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan
keterikatan aturan dan emosional dan individual mempunyai peran
masing – masing yang merupakan bagian dari keluarga. (Suprayitno,
2004 : 1)
Keluarga adalah satu atau lebih individu yang tinggal bersama,
sehingga mempunyai ikatan emosional, dan mengembangkan dalam
intelaransi sosial, peran dan tugas. (Muhlisin, 2012)
2. Struktur Keluarga
Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga
melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya. Menurut Parad
dan Caplan dalam Suprayitno (2004: 7) struktur keluarga terdiri dari 4
elemen yaitu: Struktur peran keluarga dengan menggambarkan peran
masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya
dilingkungan masyarakat atau peran formal dan informal; nilai atau
norma keluarga dengan nilai menggambarkan nilai dan norma yang
dipelajari dan diyakini oleh keluarga,khususnya yang berhubungan
dengan kesehatan; pola kominikasi keluarga,menggambarkan bagaimana
cara dan komunuikasi ayah - ibu ( orang tua ),orang tua dengan anak,
anak dengan anak dan anggota keluarga lain ( pada keluarga besar )
dengan keluarga inti dan struktur kekuatan keluarga dengan
8

menggambarkan kemampuan keluarga untuk mengubah perilaku yang


berhubungan dengan kesehatan.
3. Tipe Keluarga
Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu
keluarga inti (nuclear family) merupakan keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu, anak dari keturunan/adopsi serta keluarga besar (extended family)
merupakan keluarga inti ditambah anggota keluarga lain yang
mempunyai hubungan darah (kakek, nenek, Paman, bibi)
4. Fungsi keluarga
Fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu dan
mempersiapkan anggota keluarga yang berhubungan dengan orang lain
adalah fungsi efektif. Untuk mengembangkan dan melatih anak
berkehidupan sosial dan berhubungan dengan orang lain di luar rumah
disebut fungsi sosialisasi. Fungsi reproduksi dapat menjaga generasi dan
menjaga kelangsungan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga
secara ekonomi serta mengembangkan kemampuan individu
meningkatkan penghasilan termasuk fungsi ekonomi serta fungsi
perawatan/pemeliharaan adalah fungsi yang dapat mempertahankan
keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas
tinggi, kerja, dan harapan peran kultural.
Faktor yang mempengaruhi identitas personal yaitu
ketidakpercayaan orang terdekat, tekanan dari suatu kelompok, clan
perubahan dalam struktur sosial.
Kesemuanya dapat menimbulkan gangguan konsep diriyang
mempengaruhi aktualisasi seseorang sehari hari. Perilaku
yangberhubungan dengan adanya gangguan konsep diri diantaranya
mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruksif terhadap diri
sendiri, gangguan dalam berhubungan, perasaan tidak mampu, rasa
bersalah, mudah tersinggung, perasaan negatif terhadap tubuhnya
sendiri, ketegangan peran yang dirasakan, pandangan hidup yang
pesimis, keluhan fisik, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan
9

terhadap kemampuan personal, pengurangan diri, menarik diri secara


sosial,menarik diri dari realitas, dan khawatir.
5. Konsep Diri Pada Pasien Kusta
Manusia sebagai mahluk bio-psiko-sosial, artinya bila salah satu
aspek pada diri individu mengalami gangguan maka secara signifikan
hal tersebut akan mempengaruhi aspek lainnya. Individu yang berada
dalam kondisi sakit (aspekbio terganggu) maka dapat dipastikan bahwa
kondisi tersebut akan mempengaruhi aspek psikisnya, dimana individu
akan mengalami keticlakseimbangan mental.
Hal ini rnenunjukkan adanya hubungan timbal balik antara fisik,
psikis, maupun sosial. Karena memang pada dasarnya penyakit sistemik
tubuh acapkali membawa gangguan psikis dan sosial sebagai
komorbiditasnya atau penyerta, sehingga bisa kita bayangkan bila
individu yang berada dalam kondisi sakit (pada umumnya) saja secara
signifikan akan mengalami ketidak seimbangan mental dan
menampilkan perilaku-perilaku tertentu, ataupun membawa gangguan
psikis sebagai komorbiditasnya. Dan hal ini terjadi pula pada pasien
kusta yang memiliki permasalahan gangguan bio-psiko-sosial dan
berdampak pula pada konsep diri pasien tersebut. Penyakit kusta
merupakan salah satu penyakit menular yang sebenarnya tingkat
penularannya sangat rendah. Namun dampak penyakit kusta yang dapat
menimbulkan kecacatan pada penderita inilah yang sebenarnya
membawa stigma atau rumors-rumors yang tidak menguntungkan dalam
program rehabilitasi dan pemberantasan penyakit kusta, sehingga tidak
jarang penyakit dianggap sebagal ’kartu mati’ bagi penderitanya.
Bahkan juga ditemukan kasus percobaan bunuh diri pada pasien kusta
yang baru, sedang menjalani pengobatan, bahkan yang telah selesai
menjalani pengobatan tetapi masih dalam pemantauan karena tidak kuat
menahan beban sosial yang didapatnya.
Beban sosial yang dimaksud adalah stigma yang ada dalam
lingkungan masyarakat sosial seputar penyakit kusta yang dianggap
sebagai kutukan Tuhan, penyakit najis, dan sebagainya. Stigma ini
10

semakin mengembangbiakkanleprophobia pada masyarakat sehingga


semakin mernperburuk kondisi psikis pasien yang pada dasarnya telah
memiliki ketidakseimbangan mental.
Sebenarnya banyak faktor yang menstimulus perilaku pasien
kusta, baik faktor ekstemal maupun faktor internal. Faktor internal
merupakan faktor yang mendorong pasien dalam menentukan sikap,
yaitu seperti
kepribadian, tingkat pendidikan, pengetahuan, nilai yang dipercaya dan
sebagainya. Untuk jenis kelamin dikatakan oleh Stuart dan Sunden
(1995) bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi pembentukan konsep
diri seseorang. Kemudian Satmoko (1995) mengatakan bahwa tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam menilai dirinya
sendiri. Kemudian untuk lamanya waktu perawatan dan pengobatan
dikarenakan berpatokan pada masa pengobatan Multi Drug Terapi
(MDT) pada pasien kusta yang berbeda antara tipe PB dan MB,
sedangkan sampel yang diperlukan mencakup pasien tipe PB dan MB.
Maka dipilih sampel pasienyang benar-benar telah menjalani lepas obat
atau Release From Treatment untuk mendapatkan hasil penelitian yang
akurat.
Namun tidak dipungkiri juga bahwa faktor eksternal pasien yang
sebenarnya hanya merupakan faktor yang memperkuat, ternyata
membawa dampak yang signifikan pada perilaku penderitanya (Parij s,
1998). Faktor eksternal tersebut adalah lingkungan sosialnya, baik
keluarga maupun masyarakat umumnya. Sehingga tidak jarang kita
temui pasien yang tidak teratur melaksanakan pengobatan dan
rehabilitasi dikarenakan faktor eksternal seperti keluarga malu mengakui
seandainya ada anggota keluarga yang menderita kusta.
Pasien sendiri sebenarnya jarang memutuskan apa yang akan
dilakukannya, namun interaksinya dengan lingkungan akan membawa
dampak yang cukup besar pada perilaku sehat dirinya. Umumnya pasien
kusta sering mengalami gangguan psikis, yang meliputi konsep diri dari
11

pasien itu sendiri, biasanya respon psikis pasien kusta meliputi:

a. Shock Mental
Pada permulaan pasien akan mengalami shock mental dan hal
tersebut dapat terlihat dari ekspresinya seprti murung, putus asa, dan
depresi. Pada tahap tersebut, umumnya pasien akan membutuhkan
waktu beberapa lama dan akan berkurang sejalan dengan kemajuan
penyembuhan diri pasien tersebut.
b. Harapan Untuk Sembuh Kembali Seperti Semula/Putus Asa
Tahap ini adalah dampak dari tahap pertama. Dimana bila
pasien memperoleh kesembuhan yang cukup progresif maka dirinya
mempunyai harapan untuk sembuh kembali sepeni semula. Tetapi
bila pasien tidak menemui bahwa harapannya tidak sesuai dengan
kenyataan seperti adanya cacat, kerusakan ekstremitas, pada masa
RFT didapatkan kecacatan yang menetap, perubahan fungsi tubuh,
dan sebagainya maka pasien akan mengalami frustasi, kecewa, dan
bahkan mungkin akan putus asa dengan keadaannya.
c. Menerima keadaan
Pada akhirnya pasien kusta sedikit demi sedikit dapat
menyadari dan menerima kenyataan yang ada pada dirinya sefla
berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada saat itu.
Sejalan dengan hal tersebut, tahap-tahap tersebut sebenamya dapat
digambarkan seperti gunung es, dimana tahap menerima keadaan
menjadi puncak gunung sedangkan frustasi dan shock mental berada
terselubung dalam diri pasien (Harjana, 1994).
Kondisi menerima keadaan tersebut sebenarnya menyimpan
gejala-gejala afektif yang dapat dilihat dari ekspresi mereka yang
cenderung sedih, cemas, irretable, kehilangan motivasi dalam diri
mereka, mudah dan sering menangis. Sedangkan gejala-gejala lain
yang dapat terlihat adalah apatis dan kurang mempunyai inisiatif
dalam penampilan peran keseharian. Gejala-gejala psikis tersebut
12

akan membawa pasien pada perilaku stress yang destruksif (distress)


seperti depresi, yang mengarah pada sindrom-sindrom neurotik
lainnya.
Secara spesifik pada umumnya ada enam perilaku yang
ditampilkan dan dapat diamati pada individu dan mendeskripsikan
perilaku umumnya yang ditampakkan oleh pasien kusta yaitu:
a. Merasa Ketakutan
Bentuk ketakutan yang dialami oleh pasien kusta misalnya
meliputi takut penyakitnya tidak bisa sembuh total, cacat, ataupun
takut tidak mendapat pengakuan dari lingkungan sehingga merasa
dikucilkan.
b. Menarik Diri
Salah satu perasaan yang timbul pada pasien kusta adalah
kecemasan. Sehingga untuk mengatasi kecemasan tersebut salah
satu cara yang mereka lakukan adalah dengan menarik diri dari
lingkungannya. Misalnya dengan tidakmau bicara kalau tidak
ditanya, tidak berani mengungkapkan apa yang dirasa, dan
sebagainya.
c. Hanya Mempersoalkan Diri Sendiri
Ditandai dengan mengisolasi dirinya baik dari
keluarga/1ingkungan/aktivitas dan beranggapan bahwa semua orang
menyudutkannya, hanya memikirkan penyakitnya sendiri, minta
dimaklumi, hanya menceritakan penyakit yang sedang diderita, dan
sebagainya. Terkadang juga ada keoenderungan untuk
mendramatisir persoalan kecil, banyak menuntut dan mengeluh
tentang masalah sepele.
d. Reaksi Emosional Tinggi
Lebih sensitive, minder, terlalu percaya pada anggapan
subjektif yang dirasakannya (walaupun sebenarnya tidak beralasan),
menuntut terlalu banyak perhatian dan kasih saying dari orang lain.
e. Perubahan Persepsi Terhadap Lingkungan
13

Misalnya merasa paling menderita, paling bernasib malang,


tidak ada harapan untuk diterima dilingkungan sosial, dan
sebagainya.

f. Berkurangnya Minat
Pasien disamping memiliki rasa cemas, juga kadang-kadang
merasa stress dengan kondisi dirinya sehingga dirinya tidak
mempunyai perhatian terhadap segala sesuatu yang ada
dilingkungannya, pasif dan kurang berinisiatif. Terlepas dari hal
tersebut, sebenarnya banyak hal yang mempengaruhi respon psikis
yang dialami oleh pasien kusta dan berhubungan dengan penyakit
yang dialaminya, hal tersebut memiliki taraf yang berbeda-beda
disesuaikan dengan kepribadian pasien kusta, sikap dan pandangan
pasien kusta, lingkungan sosial pasien kusta.
Pada kepribadian pasien kusta, individu yang telah matur jelas akan
lebih mudah menerirna kenyataan pada dirinya secara positif dan hal
ini tentu saja akan membawa dampak yang lebih positif bagi dirinya
dalam mengembalikan keseimbangan diri. Sebaliknya pada individu
yang memiliki konstitusi mental yang lemah maka mungkin saja
keadaan penyakitnya tersebut akan mengembangkan sifat
ketergantungan, mudah putus asa, rendah diri, dansebagainya.
Dipandang dari sudut sikap dan pandangan pasien kusta, bagi
pasien yang mempunyai penilaian negatif terhadap penyakit yang
dideritanya maka akan lebih sulit untuk mengembangkan
keseimbangan konsep dirinya. Lingkungan social pasien kusta
sangat berpengaruh terhadap perkembangan atau keinginan
kesembuhan pasien sendiri. Lingkungan yang menolak akan
mengakibatkanpasien semakin berat menanggung label ’penyakit
kusta’ yang dideritanya sehingga kemungkinan pasien akan
mengembangkan perilaku penolakan terhadap dirinya maupun
lingkungannya. Sedangkan lingkungan yang selalu melindungi akan
menyulitkan pasien saat menyesuaikan diri. Sebaliknya dengan
14

lingkungan yang penuh panerimaan dan supportive akan jauh lebih


mampu mengembalikan keseimbangan konsep diri dalam diri
pasien.
Faktor Internal
a. Kepribadian
5. b.Kerangka Teori
Tingkat pendidikan
c. Pengetahuan
d. Nilai yang dipercaya

Konsep Diri
a. Citra tubuh
b. Ideal diri
Pasien Kusta
c. Harga diri
d. Penampilan peran
e. Identitas personal

Faktor eksternal
Lingkungan sosial :
a. Keluarga
b. Masyarakat
15

Gambar 1. Skema Kerangka Teori

6. Kerangka Penelitian

Faktor Internal
a. Kepribadian
b. Tingkat pendidikan
c. Pengetahuan
d. Nilai yang dipercaya

Mengetahui tingkat ;
Kategori
a. Citra tubuh
b. Ideal diri 1. Baik
Pasien Kusta Pasca RFT c. Harga diri 2. Cukup
d. Penampilan peran 3. Kurang
e. Identitas personal 4. Tidak baik

Faktor eksternal
Lingkungan sosial :
c. Keluarga
d. Masyarakat

Keterangan :

: Diteliti
16

Gambar 2. Skema Kerangka Penelitian

7. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan tujuan yang akan dicapai maka peneliti membuat pertanyaan


penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakah tingkat Citra Diri pada pasien kusta?
b. Bagaimanakah tingkat Ideal Diri pada pasien kusta?
c. Bagaimanakah tingkat Harga Diri pada pasien kusta?
d. Bagaimanakah tingkat Penampilan Peran pada pasien kusta?
e. Bagaimanakah Identitas Personal pada pasien kusta?

Anda mungkin juga menyukai