Anda di halaman 1dari 21

PENYAKIT KUSTA

Juandri S. Tusi, S.Kep.,Ns. M.T


Pengertian
 adalah suatu penyakit kronis menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium leprae. Penyakit ini terutama menyerang pada
masyarakat dinegara-negara berkembang dan menimbulkan
dampak psikologis, sosial dan ekonomi.

 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh M. leprae yang merupakan basil tahan
asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang sel saraf
perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian
atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
 Kuman Myohacterium leprae hidup pada sel Schwann dan sistim
retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan termasuk
kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya.
 Kuman-kuman kusta berbentuk batang, biasanya berkelompok dan
ada yang tersebar satu-satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar
0,2-0,5 mic yang bersifat tahan asam.
 Sampai saat ini kuman tersebut belum dapat dibiakkan dalam
medium buatan, dan manusia merupakan satu-satunya sumber
penularan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membiakkan
kuman tersebut yaitu melalui: telapak kaki tikus, tikus yang
diradiasi, kultur jaringan syaraf manusia dan pada media buatan.
 Diagnosis penyakit lepra melalui usapan sekret hidung dan
melalui kerokan kulit penderita. Kuman yang berada di sekret
hidung yang kering,dapat bertahan hidup sampai 9 hari di luar
tubuh, sedangkan di tanah yang lembab dan suhu kamar, kuman ini
dapat bertahan sampai 46 hari
 MANIFESTASI KLINIS
 Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat
satu dari tanda kardinal berikut:
 1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi
kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat
bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai
kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf
tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan
otot juga merupakan tanda kusta.
 2) BTA positif. Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam
dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai
kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai
ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
 Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda utama
atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
 1.      Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/lesi dapat
berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-
merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
 2.      Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi
saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan
kronis saraf tepi (neuritis perifer ).
 Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
 Ø  Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa
 Ø  Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot (parese) atau
kelumpuhan ( paralise)
 Ø  Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.
 Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit
(BTA+) Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di
temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama diatas. Pada
dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang
meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.
 Klasifikasi
Menurut Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP (1999) dan WHO
(1995) penyakit ini dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu
Pause Basilier (PB) dan Multi Basier (MB).
Secara awam kusta dikenal ada dua macam yakni kusta kering dan
kusta basah. Jika kusta terlambat diobati maka akan timbul
kerusakan saraf dengan akibat berupa mati rasa (terhadap stimulus
panas, dingin, nyeri), kelumpuhan otot, buta, dan akibat lain yang
disebabkan oleh proses immunologis yang disebut reaksi kusta.
 Patofisiologi
Setelah M. leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh
terhadap masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem
immunitas seluler (cellular mediated immune) pasien.

Teori yang paling banyak digunakan adalah penularan melalui


kontak/sentuhan yang berlangsung lama, namun berbagai penelitian
mutakhir mengarah pada droplet infection yaiut penularan melalui
selaput lendir pada saluran napas. M. leprae tidak dapat bergerak
sendiri dan tidak menghasilkan racun yang dapat merusak kulit,
sedangkan ukuran fisiknya yang lebih besar dari pada pori-pori
kulit. Oleh karena itu, M. leprae yang karena sesuatu hal menempel
pada kulit kita, tidak dapat menembus kulit jika tidak ada luka pada
kulit.
 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 1.      Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah
sebagai berikut:
 Ø  Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
 Ø  Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali
tidak ditemukan lesi ditempat lain.
 Ø  Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bilaperlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
 Ø  Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium
leprae ialah:
 ·         Cuping telinga kiri atau kanan
 ·         Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
 Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
 ·         Tidak menyenangkan pasien
 ·         Positif palsu karena ada mikobakterium lain
 ·         Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidung apabila sedian apus kulit negatif.
 ·         Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung
lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
 Ø  Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
 ·         Semua orang yang dicurigai menderita kusta
 ·         Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien
kusta
 ·         Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena
tersangka kuman resisten terhadap obat
 ·        Ø  Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode
yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk
kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates).
 PENATALAKSANAAN
 1.      Terapi Medik  Tujuan utama program pemberantasan kusta
adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat
serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama
tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
 Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
 Perawatan Umum Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf
tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
 A.    Perawatan mata dengan lagophthalmos
 ·         Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
 ·         Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat 
 ·         Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
  
 B.     Perawatan tangan yang mati rasa
 ·         Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-tanda
luka, melepuh
 ·         Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebihkurang
setengah jam
 ·         Keadaan basah diolesi minyak 
 ·         Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
 ·         Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
 ·         Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
 Perawatan kaki yang mati rasa
 ·         Penderita memeriksa kaki tiap hari
 ·         Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
 ·         Masih basah diolesi minyak 
 ·         Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
 ·         Jari-jari bengkok diurut lurus
 ·         Kaki mati rasa dilindungi
 D.    Perawatan luka
 ·         Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
 ·         Luka dibalut agar bersih 
 ·         Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
 ·         Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
 ASUHAN KEPERAWATAN
  
 3.1 PENGKAJIAN
 a.       Biodata
 Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan,
anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda.
Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat
kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian
besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
 b.      Riwayat Penyakit Sekarang
 Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan
keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri
tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ
tubuh.
 Riwayat Kesehatan Masa Lalu
 Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika
dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat
imunisasi.
 d.      Riwayat Kesehatan Keluarga
 Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota
keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
 Riwayat Psikososial
 Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien
mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan.
 f.       Pola Aktivitas Sehari-hari
 Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada
tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami
ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena
kondisinya yang tidak memungkinkan.
 .      Pemeriksaan Fisik 
 Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
  
 1)      System Pengelihatan Adanya gangguan fungsi saraf tepi
sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika
terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik
terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta.Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika
terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis
mata maka alismata akan rontok.
 2)      System Pernafasan Klien dengan morbus hansen hidungnya
seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
 System Persarafan
 Ø  Kerusakan Fungsi Sensorik 
 Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati
rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat
terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.
 Ø  Kerusakan Fungsi Motorik 
 Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan
lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan.
Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat
terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada
mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
 Ø  Kerusakan Fungsi Otonom
 Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal,
mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
 )      System Musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf
tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan
kaki, jika dibiarkan akan atropi.
 5)      System Integumen Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi
(seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat
(penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan
fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras
dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat
bercak.
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
 1.      Gangguan rasa nyaman nyeri yang berhubungan dengan
proses inflamasi jaringan.
 2.      Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan
proses inflamasi.
 3.      Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan
otot
 4.      Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
 5.      Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan lesi yang
meluas

 Intervensi, implementasi dan evaluasi


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai