Anda di halaman 1dari 75

SKENARIO 2

TUTOR 9B
LEPRA (KUSTA/MORBUS
HANSEN)
MORBUS HANSEN
● Penyakit lepra, yang dikenal juga dengan nama kusta atau Morbus Hansen,
merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri basil tahan asam
Mycobacterium leprae.
● Penularan lepra terjadi melalui inhalasi dan kontak lama antara individu yang rentan
dan pasien lepra yang tidak diterapi.
MYCOBACTERIUM LEPRAE
● Mycobacterium leprae merupakan bakteri dari kelas Schizomycetes, ordo
Actinomycetales, famili Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium.
● Mycobacterium leprae berbentuk batang dengan bentukan bulat di kedua
ujungnya, berukuran panjang 1,5-8 mikron dan diameter 0,2-0,5 mikron.
● Mycobacterium leprae berwarna merah dengan pewarnaan Ziehl Nielsen.
● Mycobacterium leprae utamanya menginfeksi sel makrofag dan sel
schwann.
● Suhu yang diperlukan untuk bakteri tersebut bertahan dan proliferasi antara
27-30 C,
PATOFISIOLOGI MORBUS HANSEN

Bakteri Mycobacterium leprae ditularkan dengan kontak dekat dan lama antara
individu yang rentan dengan pasien yang terinfeksi melalui sekresi nasal atau
droplet. Rute transmisi utama adalah sekresi nasal. Selain itu, transmisi juga
dapat terjadi melalui erosi kulit.

Faktor genetik diduga berpengaruh terhadap perkembangan penyakit lepra. Studi


genetik mengidentifikasi mutasi pada regio kromosom 6p21, 17q22, 20p13 dan
10p13 berhubungan dengan lepra. Oleh karena itu, hanya sekitar 5 – 10%
populasi yang diestimasi rentan terhadap infeksi.
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan fisik dilakukan di tempat dengan penerangan yang baik. Temuan pada
pemeriksaan fisik dapat meliputi hipestesia, lesi kulit, dan neuropati perifer. Pemeriksaan
fisik yang dilakukan diantaranya:

Inspeksi

Inspeksi dilakukan dari kepala sampai kaki. Perhatikan setiap makula, nodul, jaringan parut
dan penebalan kulit. Perhatikan apakah ada deformitas pada wajah, tangan dan kaki.
Palpasi

Palpasi dilakukan untuk memeriksa apakah ada penebalan saraf tepi atau tidak. Tempat-
tempat dimana sering terjadi penebalan saraf adalah pada nervus ulnaris di siku, nervus
medianus dan radialis superfisial di pergelangan tangan, nervus peroneus komunis di fossa
poplitea, dan nervus aurikularis di leher.

Pemeriksaan Fungsi Sensorik

Gunakan sepotong kapas yang sudah dipilin pada ujungnya. Berikan penjelasan pada
pasien bila merasakan sentuhan maka pasien harus menunjuk bagian mana yang terasa.
Pasien ditutup matanya saat melakukan pemeriksaan. Lesi di kulit diperiksa secara
bergantian dengan kulit yang normal untuk mengetahui apakah ada anestesi atau
hipestesia.
Pemeriksaan Penunjang
● Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan bakteriologis untuk
mengetahui apakah ada basil tahan asam (BTA) pada kerokan kulit atau tidak.
● Pengambilan sampel kerokan kulit untuk pemeriksaan bakteriologis bisa
dilakukan pada cuping telinga atau lesi kulit yang paling aktif (lesi kulit yang
meninggi dan berwarna kemerahan).
● Sampel kerokan kulit dapat diambil dari 2 sampai 3 tempat yang berbeda.
● Pemeriksaan ini dapat membantu menentukan klasifikasi pada pasien lepra baru,
membantu menilai hasil pengobatan, serta sebagai evaluasi pada pasien relapse
Klasifikasi Lepra
Klasifikasi Ridley-Jopling

Klasifikasi berdasarkan Ridley-Jopling diantaranya:

● TT (Tuberkuloid): pasien memiliki sistem imun seluler yang baik, dengan pasien
mengalami lesi kulit tunggal atau jumlah lesi asimetris yang kecil.
● BT (Borderline Tuberkuloid): seperti TT, tetapi lesi lebih banyak dengan ukuran
lebih kecil.
● BB (Borderline- Borderline): lesi antara TT dan LL dengan distribusi asimetris serta
gangguan saraf sedang.
● BL (Borderline Lepromatous): mirip
dengan LL, tetapi dengan jumlah lebih
banyak, tidak simetris dan kehilangan
sensasi di beberapa bagian kulit.
● LL (Lepromatous): bakteri
bermultiplikasi dan menyebar melalui
pembuluh darah karena tidak adanya
respon imun seluler terhadap bakteri.
Lesi kulit multipel dan simetris,
hipopigmentasi dan batas yang kurang
tegas. Pada tahap lanjut pasien
mengalami facies leonine, madarosis,
dan edema pada kak
TATALAKSANA
● Penatalaksanaan lepra, atau juga dikenal dengan kusta atau Morbus Hansen, adalah
menggunakan obat antilepra seperti dapson dan rifampicin.
● MDT adalah kombinasi dua atau lebih obat antilepra dimana salah satunya adalah
rifampicin yang merupakan obat bakterisidal kuat.
● Obat antilepra selain rifampicin bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan
bakteri.
● Pengobatan MDT tidak mengobati kecacatan yang sudah terjadi. Pengobatan MDT
bertujuan untuk memutuskan rantai penularan, mencegah terjadinya cacat atau mencegah
kecacatan bertambah parah, memperpendek masa pengobatan, mencegah terjadinya
resistensi kuman serta meningkatkan keteraturan berobat
EDUKASI DAN PROMOSI KESEHATAN

Edukasi Mengenai Pengobatan


Pasien lepra disarankan untuk meminum obat secara teratur dalam jangka waktu
pengobatan yang telah ditentukan, ketidakteraturan minum obat dapat meningkatkan risiko
terjadinya resistensi obat dan disabilitas yang lebih berat.

Pasien lepra yang meminum obat MDT harus diberikan edukasi mengenai efek samping
obat yang dapat terjadi seperti urin berwarna merah, perubahan warna kulit menjadi coklat
(hiperpigmentasi), gangguan gastrointestinal seperti mual muntah, anemia, gangguan ginjal.

Bila pasien menunjukkan tanda-tanda reaksi alergi / hipersensitivitas setelah minum obat
MDT seperti urtikaria, purpura, syok anafilaksis, maka petugas kesehatan harus segera
menghentikan obat, memberikan
■ Pasien disarankan untuk memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur.
■ Pasien disarankan untuk melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik,
■ Untuk pasien lepra dengan kecacatan pada mata sehingga mata tidak dapat ditutup
(Lagophthalmos) maka pasien disarankan untuk menggunakan kacamata sehingga dapat
terlindungi dari debu, ketika tidur tutup mata dengan menggunakan sepotong kain basah,
menggunakan artificial tears bila mata sangat kering.
■ Lindungilah tangan dari benda yang panas atau tajam dengan menggunakan sarung tangan
tebal, perhatikan apakah ada luka di sekitar tangan, bila ada luka, memar atau lecet segera
periksakan ke dokter untuk diberikan perawatan.
■ Periksa kaki secara rutin untuk mengetahui apakah ada luka atau tidak, bila
kaki kering dan tebal, rendam kaki selama 20 menit dengan air biasa, gosok
bagian kaki yang menebal kemudian olesi kaki dengan pelembab seperti
minyak kelapa.
■ Pasien lepra yang mengalami mati rasa di kaki harus selalu menggunakan
alas kaki, memeriksa apakah di kaki ada luka, lecet atau memar serta
menghindari penekanan telapak kaki seperti berdiri terlalu lama atau jongkok
terlalu lama.
■ Pilih alas kaki yang empuk di bagian dalam tetapi keras di bagian luar untuk
melindungi kaki dari benda tajam.
ERISIPELAS
ERISIPELAS
Erisipelas adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh Streptococcus pyogenes
dengan gejala utamanya ialah eritema berwarna merah cerah dan berbatas
tegas disertai gejala konstitusi.

Bagian tubuh yang sering terlibat adalah kedua tungkai bawah, wajah, dan
tangan.
Streptococcus pyogenes
● Bakteri gram positif
● Bersifat anaerob fakultatif, katalase negatif
● Tidak motil, tidak memiliki spora
● Berbentuk kokus
● Diameter 0,5-2 µm
● Tumbuh dengan baik pada pH 7,4-7,6
● Suhu optimum 37 C
● Tergolong sebagai β-haemolytic
PATOFISIOLOGI
Kerusakan kulit

Invasi bakteri

Erisipelas

Respon inflamasi

Respon inflamasi
Respon lokal
sistemik
ANAMNESIS & PEMERIKSAAN FISIK
ANAMNESIS PEMERIKSAAN FISIK

Pasien datang dengan : Lokalisasi : kaki, tangan, dan wajah

● Kulit kemerahan, terasa panas, sakit, dan Efloresensi: plak eritematosa nummular
bengkak hingga plakat, berbatas tegas di bagian
● Demam tengah kadang-kadang ditemukan vesikel
● Gejala konstitusi atau bula.
● Lesi melebar
● Faktor risiko : usia, gangguan barier kulit,
gangguan aliran limfatik, dan adanya
penyakit penyerta tertentu.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Biopsi
2. Pemeriksaan darah
○ Untuk melihat adanya gambaran leukositosis
3. Kultur bakteri
TATALAKSANA EDUKASI

1. Antipiretik dan analgetik 1. Atasi faktor risiko


2. First line : Penicilin V 500 mg 2. Jaga kebersihan terutama
3. Alternatif : Erythromycin 500 mg apabila ada luka pada tubuh
4. Terapi parenteral : 3. Mencegah kerusakan kulit
a. Penicillin G 1.2 juta unit IV 4. Merawat/ mengobati luka
dengan penicillin V 500 mg
b. Ceftriaxone 1 g IV atau
cefazolin 1 sampai 2 g IV
diikuti dengan erythromycin
500 mg
5. Vancomycin 1 g IV
LUPUS ERITEMATOSUS
KUTANEOUS (SCLE)
DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik adalah
penyakit autoimun multisistem dengan
manifestasi khas dan perilaku klinis
bervariasi. Penyakit ini merupakan
penyakit autoimun yang menyebabkan
inflamasi sistemik pada berbagai sistem
organ bersifat kronis.
ETIOLOGI

Faktor Genetik Faktor Lingkungan Obat-obatan

Faktor Hormonal Faktor Imunologis


PATOFISIOLOGI
Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus
Sistemik
Kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997

● Ruam malar ● Perikarditis


● Ruam diskoid ● Gangguan renal
● Fotosensitivitas ● Gangguan neurologi
● Ulkus mulut ● Gangguan hematologi
● Artritis ● Gangguan Imunologik
● Serositis Pleuritis ● Antibodi antinuklear positif
PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah
2. Kimia darah
3. Serologi ANA
TATALAKSANA

1. Hidroksikloroquin (HCQ)
2. Glukokortikoid (GK)
3. Imunosupresan (IS)
4. Agen Biologis
EDUKASI
■ Penjelasan mengenai sle, penyebab, perjalanan penyakit dan komplikasinya
■ Aktivitas fisik yang cukup,
■ Cara mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari
paparan sinar matahari dengan memakai tabir surya, payung atau topi
■ Pencegahan infeksi, pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
osteoporosis atau terjadi dislipidemia
■ Pengobatan jangka panjang dan pemantauan penyakit
URTIKARIA
Urtikaria / Angioedema
Definisi
Urtikaria ->Reaksi vaskular pada kulit dengan tanda :

-Edema setempat (Cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan) pada epidermis sampai dermis (Papila) ->
Menyerupai plak

-Rasa gatal, tersengat, atau tertusuk

Angioedema -> Urtikaria yang terjadi pada lapisan kulit yang lebih dalam (Dermis dan Subkutan)

-Klinis ditandai dengan pembengkakan jaringan

-Rasa terbakar
Color atlas and synopsis of clinical dermatology,
2017
Urtikaria / Angioedema
Etiologi dan Patofisiologi

Color atlas and synopsis of clinical dermatology,


2017
Urtikaria / Angioedema
Pemeriksaan Fisik
Tanda:

● Lesi berupa urtika/bintul multiple maupun soliter dengan bentuk dan ukuran variative berbatas tegas
● Lesi urtika mirip papula - > gigitan serangga
● Lesi berupa edema dengan batas difus ->angioedema
● Lesi berupa urtika/bintul dengan ukuran kecil 2-3 mm ->kolinergik

Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 2016


Urtikaria / Angioedema
Pemeriksaan Fisik

Color atlas and synopsis of clinical dermatology,


2017
Urtikaria / Angioedema
Pemeriksaan Penunjang
Tujuan: mencari etiologi urtikaria

1. Pemeriksaan darah, urin, feses rutin -> menilai ada tidaknya infeksi tersembunyi
2. Skin – Prick test ->uji dengan berbagai alergen
3. Pemeriksaan kadar IgE total dan Eosinofil -> factor atopi
4. Uji serum autolog ->urtikaria kronis->membuktikan autoimun urtikaria
5. Uji dermografisme dan uji Cold Stimulation Test-> penyebab fisik
6. Pemeriksaan histopatologis -> gejala mastositosis dan vaskulitis

Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 2016


Urtikaria / Angioedema
Pemeriksaan Penunjang

Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 2016


Urtikaria / Angioedema
Tatalaksana dan Edukasi
Terapi Sistemik : Edukasi :
1. Antihistamin H1 Generasi baru (Lini pertama, kedua, dan ketiga) ->
teratur
● Hydroxyzine ● Menghindari factor pencetus
● Terfenadine ● Menghindari konsumsi alcohol,
● Cetirizine kelelahan fisik dan mental
2. Kortikosteroid -> Eksaserbasi berlebihan
● Prednisone
● Suhu yang terlalu panas
3. H2-blocker dan imunoterapi (Lini keempat):
● Cimetidine
● Siklosporin
● Omalizumab
Terapi topical: Bedak mentol 0,5-1% atau kalamin

Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 2016


TINEA CORPORIS
DEFINISI
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai lesi inflamasi maupun non
inflamasi pada kulit yang tidak berambut (glabrous skin) yaitu seperti pada bagian muka, leher,
badan, lengan, tungkai dan gluteal.

Tinea Incognito : dermatfitosis dengan bentuk klinis yang tidak khas oleh karena diobati dengan
steroid topikal kuat.
ETIOLOGI
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Khas :

● Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong


dengan tepi yang aktif dengan perkembangan kearah luar,
bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi
gambaran yang polisiklik,arsinar,dan sirsinar.
● Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang
ditandai dengan eritema, adanya papul atau vesikel,
sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang.
● Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat
dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
● Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan kulit,
kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah dipanaskan dengan
api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan
hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil
sebesar 1-3μ.
● Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25- 300C),kemudian satu minggu
dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk
koloni, bentuk hifa dan bentuk spora .
TATA LAKSANA
1. Pengobatan Topikal

Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas,
hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat-obat klasik, obat- obat derivate imidazole dan alilamin
dapat digunakan untuk mengatasi masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan imidaol kurang
lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative. Selanjutnya dianjurkan
juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud
mengurangi kekambuhan
2. Pengobatan Sistemik

Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis adalah:

● Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak 15-20 mg/kgBB/hari,
sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
● Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang resisten terhadap griseofulvin atau terapi
topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
● Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin dikatakan cukuo memuaskan untuk
pengobatan tinea korporis.
EDUKASI
● Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi
dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
● Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang yang terinfeksi.
● Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah penyebaran jamur
tersebut.
● Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran agar
jamur tidak mudah tumbuh.
● Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu basah
seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.
● Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-debu yang
menempel pada sepatu.
● Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan sandal yang terbuat
dari bahan kayu dan karet
SELULITIS
Definisi Selulitis

Penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi streptococcal ataupun


staphylococcal pada jaringan subkutan, yang biasanya disebabkan
oleh luka minor yang terkontaminasi.

World Health Organization. WHO Model Prescribing Information: drugs used in bacterial infections. World Health Organization; 2001.
Etiologi Selulitis

Menurut Alpers Ann, (2006), penyebab selulitis antara lain


Streptococcus grup B, Haemophylus influenza, Pneumokokus,
Staphylococcus aereus dan Streptococcus grup A. Meskipun ada
beberapa bakteri yang dapat menyebabkab selulitis, penyebab yang
paling sering dijumpai adalah Staphylococcus dan Streptococcus,
(Medicastore, 2010).
Patofisiologi Selulitis
Pemeriksaan Fisik Selulitis
Gambaran klinis :

A. Eritema lokal pada kulit &


sistem vena dan limfatik pada
kedua ekstremitas atas dan
bawah.
B. Kemerahan yang karakteristik
hangat
C. Nyeri tekan pada area yang
bengkak
D. Demam.
Pemeriksaan Penunjang Selulitis
1.Pemeriksaan Laboratorium
a. CBC (Complete Blood Count ), menunjukkan kenaikan jumlah leukosit dan rata-rata
sedimentasi eritrosit. Sehingga mengindikasikan adanya infeksi bakteri.
b. BUN level
c. Kreatinin level
d. Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga
e. Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas pada daerah
penampakan luka namun sangat membantu pada area abses atau terdapat bula.
f. Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum memenuhi
beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil, tidak terasa sakit, tidak ada tanda
sistemik (demam, dingin, dehidrasi, takipnea, takikardia, hipotensi), dan tidak ada faktor
resiko.

2.Pemeriksaan Imaging
g. Plain-film Radiography
h. CT Scan
i. MRI
Tatalaksana Selulitis
Edukasi Selulitis

● Cuci area lesi dengan air dan sabun. Lakukan selembut mungkin setiap
mandi
● Oleskan krim pelindung lesi. Biasa dianjurkan untuk petroleum jelly
(Vaseline)
● Balut lesi. Ganti balutan setiap hari
● Perhatikan tanda-tanda infeksi (Kemerahan, nyeri). Jika ada, segera
hubungi dokter kembali
PTRISIASIS ROSEA
Definisi

Erupsi papulskuamosa akut dengan morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter
panjang sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus.
Etiologi

Belum diketahui dengan pasti (idiopatik). Ada yang mengemukakan hipotesa bahwa penyebabnya adalah
virus karena merupakan self limiting disease (Watanabe et al) melakukan penelitian dan mempercayai bahwa
pityriasis rosea disebabkan oleh virus. Mereka melakukan replikasi aktif dari Herpes Virus (HHV) 6 dan 7 pada
sel mononuklear dari kulit yang mengandung lesi, kemudian mengidentifikasi virus pada sampel serum
penderita. Jadi, rosea ini merupakan reaksi sekunder dari reaktivasi virus yang didapatkan pada masa lampau
dan menetap pada fase laten sebagai sel mononuklear (James, 2006).

Berdasarkan -buku Fitzpatrick Dermatology Atlas menyebutkan penyebab dari pityriasis rosea merupakan
virus herpes tipe 7. penyakit ini akan sembuh sendiri dalam kurun waktu 3-8 minggu, biasanya 6 minggu.
Patofisiologi
Pemeriksaan Fisik

Lesi pertama berupamakula eritema tosa yang berbentuk oval atau anular dengan ukuran yang bervariasi
antara 2-4 cm, soliter, bagian tengah ditutupi oleh skuama halus dan bagian tepi mempunyai batas tegas yang
ditutupi oleh skuama tipis

Dari 69% penderita ditemui adanya gejala prodromal berupa malaise,


mual, hilang nafsu makan, demam, nyeri sendi, dan pembengkakan
kelenjar limfe
Timbul lesi sekunder generalisata.

Pada lesi sekunder akan ditemukan 2 tipe lesi. Lesi terdiri dari lesi dengan
bentuk yang sama dengan lesi primer dengan ukuran lebih kecil (diameter
0,5 - 1,5 cm) dengan aksis panjangnya sejajar dengan garis kulit dan
sejajar dengan kosta sehingga memberikan gambaran Christmas tree.
Pemeriksaan penunjang

● Pemeriksaan dilakukan dengan kerokan kulit dengan KOH 10 %


Dengan test pemberian KOH 10% pada sampel kerokan kulit ini digunakan untuk mengetahui apakah
ruam tersebut di sebabkan oleh jamur atau bukan.
● Pemeriksaan dapat dilakukan dengan histopatologi
Pada lapisan epidermis ditemukan adanya parakeratosis hiperplasia, spongiosis fokal, eksositosis
limfosit, akantosis ringan dan menghilang atau menipisnya lapisan granuler. Sedangkan pada dermis
ditemukan adanya ekstravasasi eritrosit serta beberapa monosit.
Tatalaksana

Pityriasis rosea adalah kondisi yang tidak memerlukan perawatan khusus dan pada sebagian besar kasus
dapat hilang dengan sendirinya dalam waktu 12 minggu. Beberapa pengobatan yang tersedia untuk
mengurangi gejala penyakit ini, di antaranya: krim pencegah kulit kering yang sekaligus berfungsi sebagai
pelembap kulit, salep atau krim steroid, dan antihistamin sebagai pereda gatal. Tindakan sederhana seperti
berendam atau mandi menggunakan air hangat juga dapat meredakan rasa gatal yang mendera.
Tatalaksana

● Topikal
Untuk mengurangi rasa gatal dapat menggunakan zink oksida, kalamin losion atau 0,25% mentol. Pada
kasus berat dengan lesi lebih luas dan gatal yang berat digunakan glukokartikoid topikal kerja
menengah (bethametasone dipropionate 0,025% pemberian 2 kali sehari.
● Sistemik
Pemberian antihistamin oral sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa gatal. Untuk gejala yang berat
dengan serangan akut dapat diberikan kortikosteroid sistemik.
Edukasi

● Ptriasis Rosea adalah kelainan yang dapat sembuh dengan sendirinya, kebanyakan pasien hanya perlu
diberi konseling mengenai perjalanan alami penyakit
● Hindari zat iritan yang dapat memperparah kondisi lesi kulit seperti parfum, sabun mandi.
● Pasien dapat mengguanakan sabun mandi khusus sehingga dengan penggunaan rutin dapat
mengurangi rasa gatal yang berlebih.
DAFTAR PUSTAKA
1. 1.Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP, Roh EK. Fitzpatrick's color atlas and synopsis of clinical dermatology. 5th ed.
McGraw-Hill,; 2017.
2. 2. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2015.
3. 3. DermNetNZ All about the skin. 2018. Diunduh dari https://dermnetnz.org/topics/papular-urticaria/ 29 September
2020.
4. Tiyas M, Basuki R, Ratnaningrum K, Indrastiti R. Sistem Integumen. Semarang: Unimus Press. 2017.
5. Davis LS. Erysipelas [Internet]. Medscape. 2020. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1052445-overview#a4
6. Dhar AD. Erysipelas [Internet]. MSD Manual. 2019. Available from:
https://www.msdmanuals.com/professional/dermatologic-disorders/bacterial-skin-infections/erysipelas
7. Michael Y, Shaukat NM. Erysipelas. InStatPearls [Internet] 2019 Feb 3. StatPearls Publishing.
8. Buchner C, Bryant C, Eslami A, Lakos G. Anti-Nuclear Antibody Screening Using HEp-2 Cells. J Vis Exp. 2014 Jun 23;(88):1–
8.
9. Greidinger EL, Hoffman RW. Antinuclear Antibody Testing: Methods, Indications, and Interpretation. Lab Med. 2003 Feb
1;34(2):113–7.
10. Stevens DL, Bryant AE. Impetigo, erysipelas and cellulitis. InStreptococcus Pyogenes: Basic Biology to Clinical
Manifestations [Internet] 2016 Feb 10. University of Oklahoma Health Sciences Center.
11. https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/cellulitis/symptoms-causes/syc-20370762
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai