Anda di halaman 1dari 12

INFEKSI BAKTERI

PATOGENESIS

Ada 3 hal yang saling berhubungan bisa menyebabkan infeksi bakteri pada kulit

1. AGENT : bacterial spesies, faktor virulensi, mutasi


2. ENVIRONMENT : human flora, temperature, kelembaban, kondisi sosioekonomik
3. HOST : genetic, respon imun, malnutrisi, personal hygiene, faktor komorbiditas

Ada beberapa penyakit infeksi bakteri kulit: Impetigo, Ektima, folikulitis, furunkel, karbunkel,
erytrasma dan erisipelas / cellulitis

IMPETIGO

 Ada 2: Non-bullous impetigo atau impetigo kontagiosum) dan bullous impetigo (impetigo
bulosa)
 ETIOLOGI: Staphilococcus aureus, streptococcus hemoliticus
 Lebih banyak ditemukan pada anak2 daripada dewasa. Infeksi ini sering berpindah dari
manusia ke manusia melalui kontak antar individu
 Faktor Predisposisi: suhu panas, lembab, hygiene buruk. Kadang gigitan serangga dan abrasi
juga menyebabkan impetigo
 Infeksi biasanya dimulai pada wajah dan ekstremitas tapi dapat mnyebar ke permukaan
tubuh mana pun
 Impetigo biasanya dimulai dengan tampakan vesikel purelen. Kalau lesi menyebar maka
akan mengalami erosi, dan pada permukaannya terbentuk krusta warna keemasan (kerak
keemasan)
 MANIFESTASI KLINIS:
- Impetigo bulosa : tampak sebagai vesikel, bulla, erosi  bulat2 isinya cairan
- Non bulosa (kontagiosum) : pustula, krusta (kya berkerak)  bulat tapi isinya nanah
serata dengan kulit menyebar ada krusta
 IMPETIGO BULOSA:
- Disebabkan oleh Stafilokokus aureus  memproduksi toxin yang membelah (merusak)
lapisan superfisial kulit
- Tampakannya : biasanya bersih, bulla dengan cairan kuning. Flaccid (lembek), rupture,
meninggalkan kerak coklat tipis (krusta coklat tipis),
- Clinical manifestasi: paling umum pada anak, kalau pada dewasa (consider HIV)
- Management :
~ limited (terbatas) : mupirocin topical atau retapamulin
~ extensive : antibiotic sistemik (dicloxacillin, cephalexin)
~ MRSA (methicillin-resistant S. aureus) : Doxicycline, clindamisin, trimethoprim
sulfametaxazole
(NOTE: MRSA jenis infeksi)
 NON BULOSA:
- Tampakannya: papul, vesikel, dan pustula. Cepat break down (rusak), dari krusta
keemasan yang melekat, biasanya terdapat pada wajah dan ekstremitas
 PROGNOSIS
Tanpa pengobatan, lesi akan sembuh dalam beberapa minggu. komplikasi dapat terjadi pada
kondisi tertentu

CELLULITIS DAN ERYSIPELAS

NOTE:
Swelling = pembengkakan
lesion is not raised = lesi tidak terangkat,
line between the involved and uninvolved tissue is indistinct = garis antara jaringan yang terlibat dan
yang tidak terlibat tidak jelas
accompanying = menyertai
chills = panas dingin
indurated border = batas tidak beraturan

ERISIPELAS  Epidermis
SELULITIS  Dermis

 Faktor Resiko: trauma, stasis vena, penyakit kulit kronis, ulkus/luka, penggunaan IV drug,
indeksi jamur seperti tinea pedis)
GUIDELINE management pyoderma

 Improve personal hygiene


 Eliminasi faktor predisposisi
- Lokal:
1. Hindari trauma dan tekanan
2. Obati kelainan kulit yang ada
- Sistemik
1. Treatment of underlying diseases
2. perbaiki nutrisinya

 Spesifik treatment
- Lokal treatment:
1. Bersihkan dengan sabun dan air, atau cairan antiseptic
2. angkat krusta
3. antibiotic topical
- Sistemik treatment
1. antibiotic
- Management dari komplikasi

(Sumber: Harrison’s principles of internal medicine 17 th ed, patofisiologi sylvia)

INFEKSI JAMUR
 Secara garis besar dibagi 2 berdasarkan agen penyebabnya, yaitu:
1. Dermatofita  yg menyebabkan dermatofitosis. Agen penyebabnya ada 3:
- Trichophyton sp : menyerang kulit, rambut & kuku
- Microsporum sp : menyerang kulit & rambut
- Epidermophyton sp : menyerang kulit
2. Non dermatofita:
- Pityrosporum sp. (Malassezia sp.)
- Candida sp.

 PATOGENESIS

 Syarat pertumbuhan jamur:


- Air (kelembaban)
- O2
- N2 (keratin dari kulit)
- Garam2 anorganik  senyawa yang pada dasarnya tidak memiliki atom karbon di
dalamnya
- pH yang lebih tinggi (basa)
- Suhu tubuh - suhu kamar
- Terlindung sinar matahari
- Pigmen
 Sifat Jamur:
- Keratinofilik : membutuhkan keratin
- Lipofilik: butuh lemak

PENULARAN

DERMATOFITOSIS

Tinea Korporis (Tinea Glabrosa)

 =kurap
 Infeksi jamur kulit di seluruh wajah, tubuh, dan ekstremitas
 Disebabkan oleh Trichophyton sp., Microsporum canis (M.canis)
 Terdapat pada bagian kulit dengan rambut velus (kecuali telapak tangan, telapak kaki,
selangkangan)
 UKK: makula-patch eritem, batas tegas, bentuk anular/sirsinar, tertutup skuama putih tipis,
bagian tepi aktif dengan papul eritem-pustul, bagian tengah tampak menyembuh
 Seringkali skuama di perifer disertai dengan eritema dan pustula yg terlihat dengan bentuk
seperti cincin

LEPROSY (HANSEN’S DESEASE)


 Lepra adalah penyakit infeksi kronis dengan temuan pada kulit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Ini juga dikenal dengan nama penyakit Hansen.
 M.Leprae merupakan bakteri tahan asam dan alcohol serta bakteri gram positif
 Jadi M.Leprae ini yang paling pertama diserang yaitu Saraf perifer, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
 Ini mengekspresikan dirinya dalam bentuk klinikopatologi yang berbeda tergantung pada
status kekebalan tubuh host
 Ada beberapa pasien yang mudah di identifikasi berdasarkan klinisnya, tapia da juga yang
susah di diagnosis (masih membuat dilema diagnosis). Biasanya kalau sudah seperti itu
dilakukan px histopatologi sebagai gold standar diagnosis lepra
 Jika kita masih ragu dengan diagnosis, untuk memastikan mka dilakukan Pemeriksaan
histopatologi. Dan juga memberikan indikasi prognosis penyakit. Berbagai faktor juga
mempengaruhi diagnosis histopatologi seperti perbedaan ukuran sampel, pemilihan lokasi
biopsi, usia lesi, imunologi, dan status pengobatan pasien pada saat biopsi.
 Kusta bukan penyakit keturunan. M.Leprae dapat ditemukam pada kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.
 Tempat implantasi M.leprae tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang
semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-
anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ± 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang
sekali.
 Penyakit kusta paling banyak terjadi di wilayah Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan,
dan dapat terlihat di wilayah terpencil Amerika Utara. Selain itu juga kebanyakan pada
masyarakat ekonomi rendah
 Di masyarakat (pandangan masyarakat), kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan
ditakuti, karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, deformitas, adanya kerusakan saraf besar
yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik, dan sensorik, serta adanya paralisis dan
atrofi otot.
 Oleh sebab itu seorang penderita kusta biasanya merasa sangat terintimidasi karena
dikucilkan di masyarakat.
 CLINICAL FINDING:
- Biasanya diawali dengan tampakan makula hipopigmentasi soliter. Bagian tubuh yang
terkena sering baal/kehilangan sensasi, kurang peka terhadap suhu
- Pada fase awal disebut indeterminate leprosy. Pada fase ini belum diketahui respon
imun apa yang ditingkatkan oleh host (respon imun yang berperan) .
- Setelah jangka waktu tertentu, kalau respon imun yang dimediasi oleh sel tubuh host
bisa mengendalikan bakteri  terbentulah kusta tuberculoid atau kusta paucibacillary.
- tuberculoid leprosy manifestasinya 1-3 bercak/plak
- struktur adneksa seperti rambut hilang dan lesi sering mengalami hipopigmentasi
- lepra jenis ini cenderung menyerang saraf tepi (misalnya saraf medianus dan ulnaris).
Nah kalau saraf yg terkena kita palpasi maka terlihat pembesaran dan nodul yg jaraknya
tdk teratur
- karena sarafnya terlibat maka menyebabkan rusaknya kulit dan otot yg dipersarafi
 PATOGENESIS
- M. leprae merupakan mikobakterium tahan asam yang banyak ditemukan di lingkungan
dengan suhu rata-rata sekitar 29 ° C.
- Bakteri terhirup  menyerbar secara hematogen menyerang kulit dan jaringan lain
- Bakteri ini diklasifikasikan sebagai intraseluler obligat (tidak dapat bereproduksi diluar
sel inang)
- M.leprae bertahan dalam histiosit, dimana ia dilindungi dari sistem pertahanan host
- Kalau respon imun individu yg terkena buruk  terbentuk lepromatous leprosy (kusta
lepromatosa)
- Kalau respon imun baik  tuberculoid leprosy
- Katanya diperkirakan hanya 5% dari yg terpajan bakteri ini yang mengembangkan
penyakit menjadi lepra.
- Meskipun potensi untuk menyebabkan penyakit kecil, M.lepra sangat tidak biasa karena
bisa menginfeksi saraf tepi. Bakteri tersebut mengekspresikan protein, fenolik glikolipid
1 (PGL-1), yang memiliki kemampuan untuk mengikat sel saraf tepi
- Jadi, M.Leprae punya patogenitas dan daya invasi yang rendah, karena kalau
penderitanya mengandung banyak M.leprae belum tentu gejala yg muncul akan berat.
Begitupun sebaliknya
- Jadi disini derajat infeksi dan derajat penyakit tidak seimbang. Hal ini juga disebabkan
respon imun tubuh individu yang berbeda2
- Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya
infeksinya.
 MANAJEMEN
- Pedoman pengobatan kusta telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
dan harus selalu memperhatikan dan mengacu pada informasi terbaru pengobatan
lepra.
- Perawatan didasarkan pada bacillary load.
- Penyakit paucibacillary dapat diobati dengan rejimen rifampisin, minocycline, ofloxacin,
dan dapson. Jadwal pengobatan bervariasi selama masa terapi, yaitu 6 bulan, dan
mengikuti protokol sangatlah penting.
- Penyakit multibasiler membutuhkan terapi yang lebih lama dan menggunakan kombinasi
dapson, clofazimine, dan rifampisin.

(SUMBER: NETTER edisi 2 volume 4) (Ilmu penyakit kulit FKUI edisi 7)

CASE REPORT

Seorang pria 53 tahun datang ke bagian rawat jalan kulit dengan beberapa lesi asimtomatik merah di
seluruh tubuh sejak 15 hari. Tidak ada riwayat keluhan lainnya. Tidak ada komorbiditas terkait
lainnya. Dia tidak sedang mengonsumsi obat apa pun. Tidak ada riwayat epistaksis, hidung
tersumbat, chappals hilang, mata kemerahan atau berair, pembengkakan kaki, suara serak, dan
anosmia. Tidak ada demam terkait, kelemahan tangan dan kaki, atau keluhan serupa di masa lalu.
Pemeriksaan klinis menunjukkan beberapa plak eritematosa asimtomatik dan nodul bersirkumsisi
dengan baik berukuran 1,5-2 cm, cenderung simetris di atas dahi [Gambar 1a], hidung dan pipi
[Gambar 1b], lobus telinga [Gambar 1c], dada, punggung [Gambar 1d], dan kedua tungkai atas dan
bawah. Sebanyak 24 nodul dan 30 plak terlihat. Saraf ulnaris bilateral menebal, seragam, dan tidak
nyeri tekan. Tidak ada night pain. Batang saraf lain seperti saraf median, saraf radial, saraf peroneal
umum, saraf tibialis posterior, saraf wajah, dan cabang zygomatiknya tidak teraba. Saraf kulit
superfisial seperti saraf aurikuler besar, saraf supratroklear, saraf supraorbital, saraf infraorbital,
saraf supraklavikula, saraf kutaneus lengan bawah dan paha tidak teraba. Saraf di sekitar lesi tidak
teraba. Panas dan dingin, sensasi sentuhan hilang pada lesi. Ada nodul infiltratif di atas lobus
telinga. Tidak ada limfadenopati. Diagnosis klinis kami adalah kusta lepromatosa. Serologi untuk
HIV negatif. Apusan kulit celah untuk basil tahan asam diambil dari enam lokasi yaitu kedua alis,
kedua lobulus telinga, dan dua lesi negatif. Biopsi dari sebuah nodul menunjukkan penipisan
epidermal dengan adanya banyak granuloma di dermis superfisial dan dalam [Gambar 2a], yang
terutama berada di sekitar struktur neurovaskular dan adneksa [Gambar 2b dan c]. Granuloma
terdiri dari sel epiteloid, sel raksasa multinuklear Langhan, limfosit, dan kadang sel
polimorfonuklear yang menunjukkan kusta tuberkuloid. Pewarnaan Fite Faraco pada spesimen
biopsi negatif dan pasien dirawat dengan pengobatan antilepra.

(SUMBER: Case report Tuberculoid leprosy presenting with multiple skin lesions, oleh
Rahulkrishna K. Kota,dkk Departments of Skin and VD and 1Pathology, Pramukhswami Medical
College, Karamsad, Gujarat, India)

CASE REPORT  nomor 1 di skenario

(Two Cases of Leprosy in Siblings Caused by Mycobacterium lepromatosis and Review of the
Literature, OLEH Michael C. Sotiriou, Department of Dermatology, University of Illinois at Chicago,
Chicago, Illinois; National Hansen’s Disease Program, Baton Rouge, Louisiana)

Seorang pria berusia 25 tahun, tinggal di Minneapolis tetapi berasal dari Guerrero, Meksiko, dengan
riwayat pruritus, bengkak, dan nyeri selama satu setengah tahun yang melibatkan ekstremitas
distal dan telinga pada Januari 2007. Pemeriksaan fisik di waktu dan tidak lama setelah madarosis
yang terungkap (Gambar 1), edema telinga yang tidak berdenyut, bulu mata hilang bilateral, dan
bercak yang tidak jelas, agak kehitaman, hiperpigmentasi tersebar secara difus dan simetris pada
ekstremitasnya dengan sedikit bagian tubuh dan leher. Tangan dan kakinya menunjukkan edema
nonpitting dan indurasi. Tidak ada defisit neurologis yang dicatat. Pemeriksaan laboratorium
ekstensif mengungkapkan hasil abnormal berikut: peningkatan laju sedimentasi eritrosit (ESR) 54
mm / jam, reagin plasma cepat reaktif, uji absorpsi antibodi treponema fluoresen batas, dan titer
antibodi antinuklear (ANA) 1: 320 dengan pola berbintik . Antibodi anti-dsDNA negatif. Biopsi kulit
dari paha kiri dilakukan, dan pasien dirawat secara empiris dengan intramuskular benzathione
penicillin dalam pandangan tes sifilis positif.

Histopatologi biopsi kulit menunjukkan infiltrat granulomatosa, dengan keterlibatan perineural dan
perivaskular, dan sejumlah besar basil tahan asam pada pewarnaan Fite (Gambar 2). Temuan ini,
bersama dengan presentasi klinis dan hasil laboratorium, memberikan diagnosis kusta lepromatous
borderline. Pasien diobati dengan Minocycline 100 mg setiap hari, rifampisin 600 mg setiap bulan,
dan dapson 50 mg setiap hari.

Kira-kira 11 bulan setelah terapi multidrug untuk kusta, tanda dan gejala pasien yang menunjukkan
reaksi reversal dan ERITEMA NODOSUM LEPROSUM (ENL), termasuk lesi kulit yang memburuk dan
pembengkakan tangan dan kaki serta onset baru demam, gejala eritematosa yang berulang. nodul
pada semua ekstremitas, dan nyeri sendi. Dia juga melaporkan eksudat kekuningan dari lesi yang
sudah ada sebelumnya di kaki kanan. Pada pemeriksaan, edema nonpitting dan indurasi ditemukan
pada semua ekstremitas distal dan warna kehitaman baru terlihat pada tangan dan kakinya. Luka di
kaki kanannya muncul sebagai ulserasi penyembuhan dengan kerak hemoragik di atasnya.
Pemeriksaan neurologis saat ini menunjukkan saraf ulnaris yang teraba dan sedikit lunak secara
bilateral dan kelemahan ringan (skala 4 dari 5) pada semua ekstremitas distal. Sensasi berkurang
menjadi nyeri (pada ekstremitas bawah) dan sentuhan ringan terjadi pada sebagian besar tangan
kiri punggung dan kaki bagian bawah, dari pertengahan betis hingga kaki punggung. Refleksnya
simetris dan utuh. Perubahan warna kebiruan di hidung dan telinganya juga diamati, yang dianggap
sebagai efek minocycline, yang menyebabkan penghentian penggunaan obat.

Untuk mengobati reaksi, prednison 40 mg setiap hari dan pentoxifylline 800 mg tiga kali sehari
digunakan. Meskipun sudah diobati, reaksi pasien tetap ada, yang menyebabkan peningkatan
prednison menjadi 100 mg setiap hari dan mulai clofazamine 150 mg setiap hari. Kira-kira 6 bulan
kemudian, pasien menerima thalidomide, dan dosis obat akhirnya ditingkatkan menjadi 400 mg
setiap hari selama bulan-bulan berikutnya karena demam persisten dan lesi ENL. Pada tindak lanjut
terakhirnya, 7 tahun setelah presentasi awal, pasien masih dalam pengobatan dengan thalidomide
50 mg setiap hari dan prednison ditingkatkan dari 2,5 menjadi 5 mg setiap hari karena kambuh
ringan aktivitas penyakit, sebagaimana dibuktikan dengan ENL yang jarang tetapi baru. lesi. Defisit
neurologis ringannya telah teratasi sepenuhnya. Biopsi kulit juga menunjukkan resolusi yang
hampir lengkap dari infiltrat inflamasi bersama dengan basil tahan asam yang jarang mengalami
degenerasi.

Kira-kira 5 tahun setelah diagnosis pria tersebut, kakak perempuannya, yang berasal dari Meksiko
dan juga tinggal di Minnesota, mengalami lesi kulit pada usia 41 tahun. Lesi tersebut berupa bercak
berwarna ungu pada pipi malar bilateral serta eritematosa hipoestetik multipel hingga
hiperpigmentasi violet. Plak di punggung atas, kedua lengan, paha kiri atas, dan kaki distal. Tidak
ada defisit neurologis yang tercatat pada saat itu. Biopsi dari paha kiri dan kaki kanan bawah
menunjukkan peradangan granulomatosa dan basil tahan asam untuk menunjukkan kusta
lepromatosa borderline. Dia segera diobati dengan rifampisin 600 mg setiap bulan, klaritromisin
500 mg setiap hari, dan clofazamine 200 mg setiap hari.

Karena basil tahan asam tidak dapat didemonstrasikan dalam saraf kulit, dan oleh karena itu
identitas organisme tidak dapat ditentukan secara histologis, salah satu biopsi dianalisis untuk agen
etiologinya dengan uji polymerase chain reaction (PCR) untuk membedakan Mycobacterium leprae
well-known dan agen baru Mycobacterium lepromatosis. Hasil PCR negatif untuk M. leprae, tetapi
sekuensing dari sebagian gen RNA ribosom 16S (rRNA) menunjukkan kecocokan untuk M.
lepromatosis. Biopsi kulit lebih lanjut tindak lanjut dilakukan kemudian, yang memastikan adanya
basil tahan asam di dalam saraf kulit.

Kasus saudarinya juga complicated (rumit). 3 bulan setelah memulai terapi multidrug, ia mengalami
demam, nyeri tekan nodul eritematosa pada ekstremitasnya, nyeri sendi, dan pembengkakan
pada tangan dan kaki (Gambar 4) serta lesi kulit yang sudah ada sebelumnya. Dikarenakan ada
tanda dan gejala ini serta adanya sesak napas menyebabkan rawat inap, dia juga mengalami apnea
tidur dan obesitas yang menyebabkan dispnea. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan ESR
abnormal 77 mm / jam dan protein C-reaktif 62 mg / dL dan tingkat vitamin D rendah (30 ng / mL).

Sel darah lengkap dan profil metaboliknya biasa-biasa saja kecuali untuk peningkatan glukosa (149
mg / dL), yang mengarah ke tes HbA1c, diagnosis diabetes, dan permulaan pengobatan metformin.
Selama rawat inap 24 jam di Minnesota, pasien diberi metilprednisolon intravena dan dipulangkan
dengan prednison 40 mg setiap hari untuk dipindahkan ke Program Penyakit Hansen Nasional
(NHDP) di Baton Rouge, Louisiana, untuk pengelolaan lebih lanjut.
Di NHDP, apusan kulit celah menunjukkan hasil bakteriologis berikut: 4+ (telinga kanan), 1+ (siku
kiri), 2+ (lutut bilateral), dan tidak ada basil dari telinga kiri dan smear siku kanan. Indeks
bakteriologis dihitung menjadi 1,7. Thalidomide 300 mg setiap hari dan suplementasi vitamin D
dosis tinggi 50.000 unit setiap minggu dimulai saat ini. Pasien tetap dirawat di rumah sakit selama
23 hari karena neuritis parah (membuatnya tidak bisa berjalan). Prednison ditingkatkan hingga 80
mg. Aspirin 81 mg setiap hari dan clopidogrel 75 mg tiga kali seminggu juga dimulai untuk mencegah
trombosis vena dalam mengingat penggunaan thalidomide dan prednison secara bersamaan,
obesitas, dan imobilitas. Setelah dipulangkan, dia dilanjutkan dengan thalidomide dengan dosis 200
mg setiap hari dan prednison 60 mg setiap hari yang menghasilkan perbaikan pada nyeri sendi dan
pembengkakannya.

Kira-kira 14 bulan setelah diagnosis awalnya, pasien datang dengan gejala kambuh ringan, yang
ditemukan karena selang waktu dosis prednison karena buta huruf dalam bahasa Inggris. Dia
mengalami demam dan nyeri sendi saat itu dan kembali dirawat di rumah sakit di NHDP selama 1
minggu. Pemeriksaan fisik menunjukkan nyeri tekan pada saraf ulnaris bersama dengan penurunan
sensasi dermal pada distribusi saraf, yang tidak dicatat pada pemeriksaan awal. Namun, sensasi
ekstremitas bawah distal meningkat. Oleh karena itu, saat dipulangkan, ia dilanjutkan dengan dosis
harian prednison 35 mg (dengan taper sebanyak 5 mg setiap bulan), thalidomide 100 mg, rifampisin
600 mg, klaritromisin 500 mg setiap hari, dan clofazamine 100 mg.

Setelah saudari itu didiagnosis M. lepromatosis, analisis retrospektif PCR dari biopsi asli saudara
tersebut dilakukan; itu memastikan adanya M. lepromatosis, bukan M. leprae. Dengan demikian,
pengelompokan kasus dalam keluarga kemungkinan besar terjadi. Sejarah keluarga lebih lanjut
kemudian diperoleh.

Meski tinggal di Meksiko, kedua bersaudara ini tidak pernah serumah. Kakak laki-laki itu tinggal
bersama ibu dan lima saudara kandung lainnya (hingga saat ini tidak ada yang terpengaruh) di
negara bagian Guerrero, ∼60 mil dari saudari tersebut, yang berbagi rumah dengan suami dan anak-
anaknya. Saudari itu adalah anggota keluarga pertama yang berimigrasi ke Amerika Serikat, kira-kira
10 tahun sebelum dia didiagnosis mengidap penyakit Hansen, dan akhirnya menetap di St. Paul,
Minnesota. Saudara itu pindah ke Minnesota kira-kira 2 tahun kemudian atau 4 tahun sebelum
didiagnosis kusta. Dia tinggal bersama saudara perempuannya untuk tahun pertama, yang
merupakan satu-satunya saat pasangan saudara kandung itu pernah tinggal bersama. Setelah
imigrasi, saudara kandungnya tetap berada di Amerika Serikat tanpa kunjungan kembali. Saudara itu
menyebutkan riwayat penanganan dan konsumsi armadillo yang sering selama tinggal di Meksiko.

DISKUSI

 Laporan ini menggambarkan sepasang saudara kandung yang sama-sama mengidap penyakit
kusta akibat M. lepromatosis. Mereka menunjukkan manifestasi klinis yang serupa dan
reaksi berlarut-larut pada pengobatan antilepra. Kasus-kasus tersebut menunjukkan
kemungkinan pengelompokan keluarga dari infeksi seperti yang didokumentasikan dengan
baik pada kusta.
 Mycobacterium lepromatosis dikenali sebagai spesies baru Mycobacterium dan penyebab
kusta dari dua pasien asal Meksiko yang meninggal karena kusta difus kusta (DLL). Analisis
sekuensing awal DNA dari beberapa gen menunjukkan perbedaan 7,4% dengan M. leprae. 1
Analisis lebih lanjut dari 20 gen dan pseudogenes dari M. lepromatosis menunjukkan
perbedaan genetik 9,1% dengan M. leprae yang memperkuat perbedaan tingkat spesies dan
perbandingan lebih lanjut menunjukkan waktu divergensi kedua spesies sekitar 10 juta
tahun yang lalu dari nenek moyang terakhir yang sama . Baru-baru ini, genom dari dua strain
M. lepromatosis diurutkan, menunjukkan perbedaan genom ∼13%. Analisis salah satu
rancangan genom memperbaiki waktu divergensi menjadi 13,9 juta tahun dan menunjukkan
organisasi genom yang serupa dari kedua basil. Jadi, M. lepromatosis dan M. leprae adalah
spesies yang berkerabat dekat yang dapat dibedakan pada tingkat genom yang
menyebabkan manifestasi klinis serupa pada infeksi pada manusia.

 Berdasarkan sekuens gen M. lepromatosis, tes PCR dikembangkan di laboratorium yang
berbeda untuk membedakan M. leprae dan M. lepromatosis. Gen 16S rRNA dari masing-
masing basil mengandung urutan penanda untuk memungkinkan pembedaan spesies.
Amplifikasi PCR dari target yang lebih kecil (dari 135 pasangan basa [bp] hingga 450 bp) juga
digunakan untuk bekerja pada jaringan biopsi yang tertanam parafin dengan formalin.
Meskipun elektroforesis gel agarosa dari fragmen DNA yang diamplifikasi telah digunakan
untuk mengidentifikasi M. lepromatosis pada beberapa spesimen biopsi, tes yang lebih pasti
berdasarkan sekuensing DNA harus menjadi mode standar pengujian untuk menghindari
kesalahan positif yang dapat terjadi dengan analisis fragmen DNA pada gel.

 Hingga saat ini, total 64 kasus kusta yang disebabkan oleh M. lepromatosis telah dilaporkan
di Meksiko atau pasien yang berasal dari Meksiko, termasuk kasus saat ini. 1,5–9 Infeksi
Mycobacterium lepromatosis menunjukkan daerah endemik di Meksiko barat dan tengah
sepanjang Pantai Pasifik (Gambar 5). Daerah ini bertepatan dengan sejarah distribusi DLL di
Meksiko. Kasus M. lepromatosis yang lebih jarang atau jarang telah dijelaskan di negara
bagian Meksiko timur laut dan utara, seperti Nuevo Leon, Tamaulipas, dan Coahuila, dan
ujung tenggara negara itu.

 Di tempat lain di dunia, laporan menunjukkan lima kasus yang disebabkan atau
disumbangkan oleh M. lepromatosis, termasuk dua kasus Tionghoa Singapura, 5 satu kasus
warga asli Kanada, dan dua kasus pada warga asli Kosta Rika yang sekarang tinggal di
Amerika Serikat (BM Stryjewska , data tidak dipublikasikan). Sampai saat ini, telah ada
delapan kasus di Amerika Serikat, dua orang Kosta Rika yang disebutkan di atas, serta enam
pasien asal Meksiko. Jadi, berdasarkan bukti yang tersedia sampai saat ini, M. lepromatosis
tampaknya terlokalisasi terutama di Amerika Utara dan Tengah.

 Karena masa inkubasi yang lama dan timbulnya penyakit kusta yang berbahaya, penularan
agen kusta sulit untuk diketahui, tetapi secara umum dapat diterima bahwa masa inkubasi
rata-rata sekitar 7 tahun. Di antara kasus M. lepromatosis yang dilaporkan yang disebutkan
di atas, tidak termasuk saudara kandung yang sekarang, bagaimana pasien memperoleh
infeksi sulit untuk dinilai atau sama sekali tidak diketahui.

 Pengelompokan keluarga yang mungkin dari kasus-kasus saat ini membuat kami membuat
sketsa skenario penularan berdasarkan riwayat yang diperoleh dari saudara kandung dan
awal penyakit mereka masing-masing. Saudara itu tertular infeksi di Guerrero, daerah
endemik; dia berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 2003 dengan penyakit subklinis dan
tinggal bersama saudara perempuannya selama 1 tahun (2003–2004), selama itu, dia
menular dan menularkan basil tersebut kepada saudara perempuannya; dan ia mencari
perawatan pada awal 2007, diikuti oleh saudari itu pada tahun 2012. Fakta bahwa saudara
laki-laki tersebut memiliki riwayat penyakit selama satu setengah tahun, madarosis, rambut
rontok, basil yang banyak di jaringan, dan titer ANA yang tinggi (nonspesifik) menyarankan
durasi infeksi yang cukup lama. Dia bisa saja menular pada tahun 2004 atau 1 tahun sebelum
penyakitnya mulai muncul pada pertengahan tahun 2005. Untuk mendukung hal ini, penulis
sebelumnya telah menunjukkan bahwa, dalam kasus infeksi M. lepromatosis yang
terdokumentasi dengan baik, pasien menunjukkan beban basiler yang berat di limfatik 6
bulan sebelum manifestasi kusta yang jelas. Adanya basil tahan asam pada mukosa hidung,
yang diduga merupakan jalur penularan kusta, juga telah dijelaskan dalam tiga laporan
infeksi M. lepromatosis. Masa inkubasi yang mungkin untuk penyakit saudara
perempuannya adalah sekitar 8 tahun (2004-2012), baik dalam periode prodromal rata-rata
yang dikenal untuk kusta.

 Sebaliknya, peran saudara kandung yang terpapar armadillo tidak pasti mengingat belum
ada survei tentang armadillo di Meksiko untuk menunjukkan pengangkutan mereka dari
basil kusta. Sejauh ini, tidak ada infeksi armadillo dengan M. lepromatosis yang dilaporkan,
meskipun hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Di Amerika Serikat bagian selatan,
persentase yang signifikan dari kasus infeksi M. leprae pada manusia memiliki genotipe yang
sama yang ditemukan pada armadillo yang terinfeksi di wilayah tersebut.
 DLL adalah bentuk kusta non-nodular difus yang endemik di Meksiko tetapi jarang terjadi di
tempat lain. Jika tidak diobati, seperti selama era preantibiotik atau karena kesalahan
diagnosis, DLL dapat berkembang menjadi nekrosis kulit stadium akhir, ulserasi, oklusi
pembuluh darah dermal, dan beban basil sistemik. Ini dikenal sebagai fenomena Lucio.
Penelitian sebelumnya yang melibatkan pasien kusta Meksiko8 telah menghubungkan M.
lepromatosis dengan DLL. DLL merupakan diagnosis klinikopatologi; oleh karena itu,
mengingat kurangnya nodul kulit, kasus saudara kandung saat ini juga memiliki ciri ini.
Namun, tidak ada bukti fenomena Lucio dalam kasus ini.

 Reaksi reversal dan ENL merupakan komplikasi kusta yang sering muncul sebagai sindrom
inflamasi berat dan berhubungan dengan eksaserbasi cedera saraf dan gangguan fungsional.
Reaksi ini dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah selesai pengobatan antimikobakteri.
Kasus-kasus saat ini menunjukkan reaksi yang parah dan berkepanjangan, yang menjadi
tantangan bagi manajemen klinis. Dalam kasus pengelompokan keluarga ini, penting untuk
dicatat bahwa faktor genetik sangat penting dalam daya tanggap inang terhadap M. leprae,
dan mungkin juga terhadap M. lepromatosis. Bukti substansial juga menunjukkan bahwa
faktor penentu genetik manusia merupakan faktor risiko utama reaksi kusta. Dua kasus
infeksi M. lepromatosis dengan ENL berat dan reaksi Lucio sebagai tanda-tanda juga telah
dijelaskan. Dengan begitu sedikit kasus yang dilaporkan sejauh ini, masih harus dilihat
apakah tingkat keparahan reaksi dikaitkan dengan infeksi M. lepromatosis. Yang juga perlu
diperhatikan, tes sifilis positif dari saudara tersebut dan titer ANA yang tinggi dapat dikaitkan
dengan antibodi reaktif silang pada kusta lepromatosa.

 Oleh karena itu, berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan di atas, kami merangkum M.
lepromatosis lepra sebagai berikut:

1) M. lepromatosis menyebabkan berbagai manifestasi klinis yang sebanding dengan


infeksi M. leprae khas pada pasien di Meksiko dan di tempat lain;
2) manifestasi klinis pasien sangat bervariasi seperti yang terlihat pada infeksi M.
leprae, dan masih harus ditentukan apakah perbedaan antara infeksi M. leprae dan
M. lepromatosis dapat dikenali secara klinis;
3) diagnosis patologis sama untuk kedua spesies Mycobacterium (perbedaan spesies
memerlukan analisis DNA);
4) pengobatan dengan rejimen multidrug harus efektif meskipun dibutuhkan lebih
banyak pengalaman. Saat ini, identifikasi M. lepromatosis terutama berdasarkan
nilai epidemiologi.

Anda mungkin juga menyukai