Anda di halaman 1dari 21

Referat Kelompok

PILIHAN ANTIBIOTIK TOPIKAL PADA


PENATALAKSANAAN PIODERMA

Oleh :
Dewi Laila Azhar
Fukunda Izzah Tamara
Kholid Damri
Latifa Ramadhani
Mardla Annisa
Shabrina Maharani

Pembimbing :dr. Alida Widiawaty, M.Biomed., Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018
ANTIBIOTIK TOPIKAL PADA PENATALAKSANAAN
PIODERMA

Dewi Laila Azhar1, Fukunda Izzah Tamara1, Kholid Damri1, Latifa Ramadhani1,
Mardla Annisa1, Shabrina Maharani1, Alida Widiawaty2.

KJF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Riau/RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru

ABSTRAK
Antibiotik adalah salah satu obat yang paling sering diresepkan dalam
pengobatan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional merupakan masalah
global. Diperkirakan kurang dari 50% dari semua obat yang diresepkan,
diserahkan atau dijual tidak sesuai aturan, dan kurang dari 50% pasien
mendapatkan obat dari peresepan. Kulit manusia normal dikolonisasi setelah
kelahiran oleh bakteri hidup komensal. Pioderma primer dan sekunder disebabkan
oleh Staphylococusm aureus atau Streptococcus group A. Penatalaksanaan
pioderma meliputi penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi. Antibiotik
topikal yang digunakan adalah retapamulin, mupirosin, asam fusidat, eritromisin,
sodium sulfasetamide, gentamisin, klindamisin dan kloramfenikol.
Kata kunci : antibiotik topikal, asam fusidat, eritromisin, gentamisin,
kloramfenikol, klindamisin, mupirosin, pioderma, retapamulin, sodium
sulfasetamide.
ABSTRACT
Antibiotics was one of the most commonly prescribed drugs in medicine.
Irrational use of antibiotics was a global problem. It was estimated that less than
50% of all drugs prescribed, delivered or sold was not according to the rules, and
less than 50% of patients got medication from prescription. Normal human skin
was colonized after birth by commensal living bacteria. Primary and secondary
pyoderma were caused by Staphylococusm aureus or Streptococcus group A.
Management of pyoderma includes non-pharmacological and pharmacological
management. Topical antibiotics used are retapamulin, mupirocin and fusidic
1
acid, erythromycin, sulfasetamide sodium, gentamicin, clindamicin, clindamicin
and kloramfenikol.
Key words: Topical antibiotic, fusidic acid, erythromicin, gentamicin,
chloramfenikol, clindamicin, mupirocin, pyoderma, retapamulin, sulfasetamide
sodium.
PENDAHULUAN
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional merupakan masalah global.
Diperkirakan kurang dari 50% semua obat diresepkan, diserahkan (dispensed)
atau dijual tidak sesuai aturan, dan kurang dari 50% pasien mendapatkan obat dari
peresepan atau dispensed.1 Menurut Abimbola pada International Journal of
Infection Control, dalam banyak negara berkembang, antibiotik tersedia tanpa
resep sehingga individu menggunakan antibiotik dengan sewenang-wenang.
Antibiotik tersebut digunakan dengan dosis yang tidak tepat, indikasi yang tidak
tepat, cara pemberian dengan interval waktu yang tidak tepat, dan lama pemakaian
yang tidak tepat. Kulit manusia normal dikolonisasi setelah kelahiran oleh bakteri
dengan jumlahyang banyak yang hidup komensal pada epidermis dan
aksesorisnya. Beberapa minggu setelah kelahiran, flora kulit neonatus sama
seperti orang dewasa. Pioderma primer dan sekunder disebabkan oleh S. Aureus
atau grup A streptococcus. Pioderma yang disebabkan oleh S. aureus terjadi pada
individu yang membawa organisme dari hidung, yang bertranslokasi ke kulit dan
dapat masuk ke epidermis melalui celah kulit dan menyebabkan infeksi
superfisial. Pioderma akibat streptokokus grus A menyebabkan gambaran klinis
yang luas menjadi superfisial dan infeksi jaringan lunak invasif, bergantung pada
organisme, lokasi anatomis dan faktor host.3
A. PIODERMA
a. Definisi
Pioderma adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus, atau kedua-duanya. Penyebabnya yang utama adalah
Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus, sedangkan
Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit dan jarang
menyebabkan infeksi.4

2
b. Faktor predisposisi
 Higiene yang kurang
 Menurunnya daya tahan tubuh, biasanya karena kelelahan, anemia, atau
penyakit-penyakit tertentu seperti penyakit kronis, neoplasma, dan diabetes
mellitus
 Telah ada penyakit lain di kulit, hal ini dapat merangsang terjadinya
pioderma yang hampir bisa dipastikan akan memperparah penyakit kulit
sebelumnya tersebut, hal itu juga terjadi karena fungsi kulit sebagai
pelindung yang terganggu oleh penyakit. Karena terjadi kerusakan di
epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga
memudahkan terjadinya infeksi. 4
c. Klasifikasi
 Pioderma Primer
Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,
penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
 Pioderma Sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain. Gambaran klinisnya tak khas
dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai pioderma
sekunder disebut impetigenisata, contohnya: dermatitis impetigenisata,
scabies impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika terdapat pus, kustul,
bula purulen, krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah
bening regional, leukositosis, dapat pula disertai demam. 4
d. Kriteria diagnostik
1. Pioderma superfisial
Tidak ada gejala konsititusi.
 Impetigo non bolusa
Predileksi : daerah wajah, terutama disekitar nares dan mulut
Lesi awal berupa makula atau papul eritematosa yang secara cepat
berkembang menjadi vesikel atau pustul yang kemudian pecah membentuk
krusta kuning madu ( honey colour) dikelilingi eritema. Lesi dapat melebar
sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit di sekitarnya.
Rasa gatal dan tidak nyaman dapat terjadi.

3
 Impetigo bolusa
Predileksi : daerah intertriginosa (aksila, ingiunal, gluteal) dada dan
punggung.
Vesikel-bula kendur, dapat timbul bula hipopion
Tanda nikolsky negatif.
Bula pecah meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah
eritematosa (kolaret) dan cepat mengering
 Ektima
Merupakan bentuk pioderma ulseratif yang disebabkan oleh S. Aureus dan
atau streptococcus grup A
Predileksi : Ekstremitas bawah atau daerah terbuka
Ulkus dangkal tertutup krusta tebal dan lekat, berwarna kuning keabuan.
Apabila krusta diangkat, tampak ulkus bentuk punched out, tepi ulkus
meninggi,indurasi, berwarna keunguan.
 Folikulitis
Merupakan salah satu bentuk pioderma pada folikel rambut.
Dibedakan menjadi dua bentuk :
-Folikulitis superfisialis ( impetigo Bockhart/impetigo folikular)
Predileksi : Skalp ( anak-anak), dagu, aksila, ekstremitas bawah, bokong (
dewasa)
Terdapat rasa gatal dan panas.
Kelainan berupa pustul kecil dome –shaped, multipel, mudah pecah pada
folikel rambut.
-folikulitis profunda
Predileksi : dagu, atas bibir.
Nodus Eritematosa dengan perabaan hangat , nyeri.
 Furunkel/Karbunkel
Merupakan infeksi pada folikel rambut dengan jaringan sekitarnya
Predileksi : daerah berambut yang sering mengalami gesekan, oklusif,
berkeringat misalnya leher, wajah aksila dan bokong

4
Lesi berupa nodus eritematosa, awalnya keras, nyeri tekan , dapat
membesar 1-3 cm, setelah beberapa hari terdapat fluktuasi, bila pecah
keluar pus.
Karbunkel timbul bila yang terkena beberapa folikel rambut. Karbunkel
lebih besar, diameter mencapai 3-10 cm, dasar lebih dalam. Nyeri dan
sering disertai gejala konstitus. Pecah lebih lambat, bila sembuh dapat
meninggalkan jaringan parut.3,5,6
2. Pioderma Profunda.
Terdapat gejala konstitusi dan rasa nyeri.
Terdiri atas.
 Erisepelas : lesi eritematosa merah cerah, infiltrat dibagian pinggir, edema,
vesikel, dan bula diatas lesi
 Selulitis : infiltrat eritematosa difus.
 Flegmon : selulitis dengan supurasi.
 Abses kelenjar keringat : tidak nyeri bersama miliaria, nodus eritematosa
bentuk kubah.
 Hidradenitis : nodus, abses, fistel didaerah ketiak atau perineum.
 Ulkus Piogenik : ulkus dengan pus. 3,5,6
e. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
 Mandi 2 kali sehari dengan sabun
 Mengatasi/ identifikasi faktoe prediposisi dan keadaan komorbid,
misalnya infestasi parasit, dermatitis atopik, edema , obesitas dan
infusiensi vena.
2. Medikamentosa
a. Topikal
 Bila banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan permanganas
kalikulus 1/5000, asam salisilat 0,1 %, rivanol 1 %, larutan povidon
iodine 1% dilakukan 3 kali sehari masing-masing ½ -1 jam selama
keadaan akut.
 Bila tidak tertutup pus atau krusta : salep/ krim asam fusidat 2 %,
mupirosin 2 %, dioleskan 2-3 kali sehari, selama 7-10 hari.
5
b. Sistemik
Lini Pertama :
Kloksasilin/ dikloksasilin : dewasa 4 x250-500 mg/ hari per oral.
Anak-anak : 25-50 mg/ hari terbagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin dan asam klavulanat : dewasa : 3x 250-500 mg / hari.
Anak-anak : 25 mg/kgBB/hari terbagi3 dosis.
Sefaliksin : 25-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.
Lini Kedua :
Azitromisin : 1x 500 mg/hari (hari 1) dilanjutkan 1x 250 mg ( hari ke 2-
5), Klindamisin : 15 mg/ KgBB/ hari terbagi 3 dosis. Eritromisi pada
dewasa 4 x 250-500 mg/ hari sedangkan pada anak-anak 20-50
mg/kgBB/hari terbagi 4 dosis. 3,6,7
c. Tindakan
Apabila lesi abses besar, nyeri disertai fluktuasi, dilakukan insisi dan
drainase. 3,7
f. Prognosis
Impetigo dapat sembuh tanpa pengobatan dalam 2 minggu tanpa sekuele.
Ektima dapat menetap selama beberapa minggu dan dapat terjadi komplikasi
skar. Rekurensi abses dan furunkel pada anak sebesar 18-28 %
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
Quo ad functionam : bonam.3,7

ANTIBIOTIK TOPIKAL
A. RETAPAMULIN
Retapamulin merupakan antibiotik novel semisintetik golongan pleuromutilin
yang digunakan secara topikal.a Retapamulin berbentuk kristal solid berwarna
putih hingga kekuningan dengan formula molekulnya adalah C30H47NO4S dan
berat molekul 517,78. Retapamulin dibuat dari ferementasi oleh Clitopirus
passeckerianus dan sensitif terhadap Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes. 8,9

6
a. Farmakodinamik
Retapamulin bekerja sebagai bakteriostatik, namun dapat menjadi bakterisidal
pada konsentrasi yang lebih tinggi. Retapamulin bekerja secara selektif
menghambat inisiasi pembentukan sintesis protein di dalam bakteri pada 50S
ribosom.8,10,11
b. Farmakokinetik
Retapamulin digunakan secara topikal dengan bioavailabilitas yang rendah.
Retapamulin dimetabolisme di mikrosom hati melalui enzim sitokrom P450 3A4
(CYP3A4) dengan banyak jalur, terutama jalur mono-oxygenation dan N-
demethylation. Paparan sistemik melalui andimistrasi topikal retapamulin terukur
rendah. Retapamulin didistribusikan dengan cara berikatan dengan protein plasma
manusia dnegan kekuatan 94%. Jalur ekskresi retapamulin saat ini belum
diketahui.8,12
c. Mechanism of action
Retapamulin bekerja secara selektif menghambat sintesiprotein bakteri dengan
cara berinteraksi dengan subunbit ribosom 50S bakteri. Interaksi ini menghambat
transfer peptidyl, menmblok interaksi P-site dan menghambat aktivitas normal
ribosom 50S. Retapamulin efektif terhadap bakteri gram positif.8
d. Sediaan, dosis dan cara pakai
Retapamulin tersedia dalam bentuk salep 1% dan dipakai dua kali sehari
secara topikal selama lima hari. Setiap gram salep mengandung 10 mg
retapamulin. Salep tersedia dengan ukuran 5 gram, 10 gram dan 15 gram tube.
Retapamulin tidak bisa digunakan untuk intraoral, mata ataupun vagina.10,11
e. Efek samping
Retapamulin memiliki toleransi yang cukup baik. Efek samping yang
dilaporkan adalah iritasi dan pruritus pada tempat yang diberi retapamulin,
sebanyak 1,4% dari total subjek penelitian. Kurang dari 2% mengeluhkan nyeri
kepala dan diare serta dermatitis kontak.10
f. Toksikologi
Penelitian jangka panjang mengenai potensi karsinogenik retapamulin belum
dilakukan. Retapamulin diketahui tidak bersifak toksik terhadap gen atau
berpengaruh pada sel limfoma. Tidak ada bukti kuat retapamulin berpengaruh

7
terhadap fertilitas tikus percobaan. Pada percobaan dengan hewan, retapamulin
diketahui toksik terhadap kehamilan, namun penelitian terhadap wanita hamil
belum diketahui. Retapamulin juga belum diketahui apakah diekskresikan
bersama ASI. Retapamulin aman pada anak-anak berumur 9 bulan hingga 17
tahun. 8
B. ASAM FUSIDAT
Asam fusidat merupakan antibiotik steroidal dengan spektrum sempit yang
berasal dari jamur Fusidium coccineum dan bersifat asam lemah yang tersedia
dalam bentuk terionisasi dalam plasma dan jaringan pada pH 7,4. Asam fusidat
adalah triterpenoid tetrasiklik, mirip dengan sefalosporin tetapi menjadi berbeda
dengan penambahan beberapa kelompok asetil, sehingga meningkatkan
aktivitasnya yang mirip adrenokortikoid. Kerja antibiotik ini yaitu menghambat
sintesis protein bakteri. Sifat kerja dari asam fusidat adalah bakteriostatik, namun
pada pemberian dengan konsentrasi yang tinggi maka kerjanya bersifat
bakterisid.13,14
a. Farmakodinamik
Asam fusidat bekerja menginhibisi sintesis protein bakteri dengan cara
mengikat faktor pemanjangan G (EF-G) pada ribosom, sehingga mencegah
terjadinya pelepasan EF-G guanosine difosfat komplek yang akan menghambat
terjemahan bakteri tersebut. Asam fusidat efektif terutama pada bakteri Gram-
positif seperti spesies Staphylococcus, spesies Streptococcus dan spesies
Corynebacterium.13
b. Farmakokinetik
Asam fusidat berikatan kuat dengan albumin sekitar 91-98% dan memiliki
potensi yang kuat sebagai pengangkut dari bilirubin. Pada pemberian secara oral
dengan dosis 500 mg, maka asam fusidat akan mencapai konsentrasi puncak
(Cmax) yaitu 14,5 mg/L hingga 33,3 mg/ L dengan rentang waktu 2- 3,2 jam.
Kadar asam fusidat akan mulai muncul setelah 8 jam kemudian yaitu 8- 12,5
mg/L dan setelah 12 jam kadar asam fusidat akan mencapai 7,5 – 10 mg/L.15
c. Efek samping
Beberapa penelitian menyatakan bahwa asam fusidat dalam bentuk salep dan
krim efektif dalam mengobati infeksi kulit dengan pemakaian 2 hingga 3 kali

8
sehari. Pada salah satu studi menjelaskan penggunaan asam fusidat dan mupirocin
salep memiliki toleransi yang baik dengan sedikit efek samping dibanding
antibiotik oral lainnya pada kasus impetigo. Pada kasus eksim atopik yang
biasanya terjadi infeksi dari S.aureus maka terapi lini pertama yang
direkomendasikan adalah kombinasi asam fusidat dengan komponen steroid.13,16
d. Interaksi obat
Pemberian asam fusidat pada pemberian oral bersamaan dengan statin akan
meningkatkan kadar kedua agen tersebut yang pada beberapa kasus menyebabkan
rhabdomyolisis yang parah. Pada kasus yang lain menyebutkan bahwa
penggunaan statin jangka panjang dan dikombinasikan dengan pemberian asam
fusidat secara oral akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Asam fusidat
bekerja dengan menghambat sistem enzim CYP3A4 dan keadaan ini apabila
dikombinasikan dengan obat tertentu akan menyebabkan peningkatan toksisitas
dari kedua obat tersebut. Oleh sebab itu, pada pasien yang mendapatkan statin dan
akan diberikan asam fusidat maka sebaiknya dilakukan terlebih dahulu tes
creatine kinase, tes fungsi hati dan tes kelemahan otot.13
e. Sediaan
Sediaan asam fusidat topikal menunjukkan permeabilitis kulit yang baik dan
potensi alergi yang rendah yang digunakan sebagai antibiotik spektrum sempit
terhadap infeksi staphylococcus aureus pada kulit dan jaringan lunak. Asam
fusidat sekarang tidak lagi digunakan secara sistemik karena tersedia obat yang
lebih aman dan efektif. Asam fusidat tersedia dalam bentuk salep kulit 2% yang
digunakan untuk infeksi kulit superfisialis oleh Staphylococus aureus.14
C. MUPIROSIN
Antibiotik mupirosin diproduksi oleh fermentasi bakteri pseudomonas
fluorescens yang diperkenalkan secara klinis pada tahun 1980-an dan terbukti
telah menjadi salah satu antibiotik untuk S.aureus yang mekanisme kerjanya
menekan sintesis protein dan RNA dengan cara menghambat isoleusil t-RNA
sintetase. Mupirosin cepat dieliminasi dari tubuh dengan hasil metabolisme
berupa metabolit inaktif yang cepat diekskresikan oleh ginjal. Penguunaan
jangka panjang mupirosin dapat menyebaban resistensi. Ibu hamil yang
menggunakan mupirosin harus dalam pengawasan. Efek samping yang dapat

9
ditimbulkan adalah rasa pedih pada daerah yang di aplikasikan, gatal, dan
eritema. 17
a. Farmakodinamik
Mupirosin adalah antibiotik baru yang dapat menghambat isoleusil t-
RNA sintetase sehingga dapat menekan sintesis protein bakteri. Mupirosin
bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah atau hambat minimum dan
bersifat bakterisida pada konsentrasi yang lebih tinggi.
b. Farmakokinetik
Absorpsi sistemik dari mupirosin rendah melalui kulit manusia. Secara
uji klinis, ketika diberikan secara sistemk, mupirosin dimetabolisme menjadi
metabolit inaktif yaitu asam amonik dan cepat dieksresikan. Mupirosin cepat
dieelimnasi tubuh dengan hasil metabolisme berupa metabolit inaktif asam
monik yang cepat diekskresikan oleh ginjal.
c. Indikasi
Pengobatan topikal infeksi lesi sekunder atau infeksi kulit oleh bakteri
yang dibuaat daam sediaan krim atau salap. Mupirosin efektif untuk
menghambat kuman aerobik Gram-Positif, termasuk methicillin-resistant
S.aureus. Obat ini tidak mempunyai efek yang berarti terhadap klamidia,
jamur, dan flora normal kulit. Obat ini tersedia dalam bentuk salep 2 %.
Namun vehikulum obat ini dapat diserap terlalu banyak pada lesi yang luas
sehingga menimbukan efek neurotoksik. Pada umumnya pemberian topikal
mupirosin dapat ditoleransi dengan baik, namun vehikulumnya dapat
mengiritasi mukosa hidung pada penggunaan intranasal. Mupirosin topikal
diindikasikan untuk berbagai infeksi kulit yang disebabkan oleh S.aureus dan
S.pyogenes.18
Pada penelitian yang dilakukan di Manado, pengoabatan pada pasien
pioderma adalah terapi kombinasi antara antibiotik sistemik dan antibiotik
topikal. Pemberian terapi juga duberikan berdasarkan jenis pioderma yang
diderita. Pada terapi topikal, yang paling sering digunakan adalah asam
fusidat, mupirosin, gentasmisin, dan kombinasi kompres NaCl 0,9% dengan
mupirosin atau gentamisin.19

10
D. ERITROMISIN
Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolid yang efektif
terhadap bakteri kokus Gram positif dan bakteri basil Gram negatif.
Eritromisin dihasilkan dari strain Streptomyces erythreus dan digunakan
sebagai pengobatan topikal pada akne namun antibiotik ini juga dapat
digunakan pada kasus infeksi kulit dan jaringan lunak seperti eritrasma,
impetigo, selulitis dan pioderma terutama pada pasien yang alergi dengan
penisilin.3,14
a. Farmakodinamik
Eritromisin bekerja bakteriostatik, namun dapat juga bersifat bakterisidal
pada kuman yang sangat peka. Eritromisin bekerja menghambat sintesis
protein bakteri dengan jalan menghmbt sintesis bakteri.14
b. Farmakokinetik
Basa eritromisin dapat diserap dengan baik pada usus kecil namun dapat
dirusak oleh asam lambung dan juga penyerapannya dapat terhambat apabila
ada makanan. Eritromisin diekskresikan 2-5% dalam bentuk aktif melalui
urin dan mengalami pemekatan di hati. Kadar obat aktif dalam cairan empedu
dapat 100x melebihi kadar obat didalam darah. Masa paruh eliminasi
eritromisin adalah sekitar 1,5 jam dan berdifusi baik keseluruh jaringan tubuh
kecuali otak dan cairan serebrospinal.14
c. Mekanisme kerja
Eritromisin bekerja menghambat sintesis protein bakteri dengan jalan
berikatan secara reversible dengan ribosom subunit 50S, dan umumnya
bersifat bakteriostatik, walaupun kadang dapat bersifat bakterisidal pada
kuman yang sangat peka.14
d. Sediaan
Eritromisin tersedia dalam bentuk larutan 1,5-2 %, gel, dan salep dan
tersedia juga dalam bentuk kombinasi yaitu dengan benzoil peroksida yang
dapat memperlambat resistensi antibiotik.3
e. Efek samping
Efek samping yang berat akibat pemakaian eritromisin jarang terjadi.
Raksi alergi yang mungkin dapat timbul dalam bentuk demam, eosinophilia

11
dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Eritromisin oral
terutama dosis besar dapat sering menimbulkan iritasi saluran cerna seperti
mual, muntah dan nyeri epigastrium.14
f. Toksikologi
Eritromisin pada pemberian oral dilaporkan meningkatkan toksisitas
karbamazepin, kortikosteroid, siklosporin, digoksin, warfarin, terfenadin,
astemizol dan teofilin karena menghambat sitkrom p-450. Kombinasi dengan
terfenadin dan astemizol dapat menimbulkan aritmia jantung.14
SODIUM SULFASETAMIDE
Sodium sulfasetamid merupakan antibiotik golongan sulfonamid dengan
bentuk topikal yang bekerja menghambat pembentukan asam folat pada
bakteri.20 Sodium sulfasetamid merupakan bentuk garam sodium dari
sulfasetamid dengan rumus kimia C8H10N2O3S. 21
a. Farmakodinamik
Sodium sulfasetamid bekerja secara bakteriostatik dan efektif terhadap
bakteri gram positif dan negatif dan merupakan antibiotik spektrum luas.
Namun, beberapa spesies bakteri telah mengalami resistensi terhadap
golongan sulfonamid.20,21

b. Farmakokinetik
Sodium sulfasetamid digunakan secara topikal dan bersifat larut dalam
air. Absorpsi sodium sulfasetamid dalam bentuk topikal pada kulit yang intak
tidak diketahui, namun percobaan pada kulit kadaver menunjukkan absorpsi
sebesar 4%.22
c. Mechanism of action
Sulfasetamid secara kompetitif menghambat dihidropteroat sintase,
enzim bakteri yang berguna dalam sintesis asam folat pada bakteri sehingga
sensitif terhadap bakteri yang mensintesis asam folatnya sendiri.20
d. Sediaan, dosis dan cara pakai
Sodium sulfasetamid tersedia dalam bentuk lotion 10% dan
dikombinasikan dengan sulfur 5% dalam bentuk gel, krim, masker wajah dan

12
suspensi. Lotion tersedia dengan ukuran 118 ml per botol. Bentuk krim
tersedia dengan ukuran 57 g per botol. 21,22
e. Efek samping
Reaksi sensitivitas terhadap sulfasetamid jarang terjadi, namun obat ini
tidak boleh diberikan kepada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap
sulfonamid. Sodium sulfasetamid dilaporkan dapat menyebabkan iritasi dan
reaksi alergi pada kulit.20,21
f. Toksikologi
Penelitian jangka panjang mengenai potensi karsinogenik, mutasi gen,
dan gangguan fertilitas sodium sulfasetamid belum dilakukan. Pada ibu hamil
dan menyusui, sodium sulfasetamid hanya diberikan jika benar-benar
dibutuhkan, karena penggunaan oral sulfasetamid diketahui berpengaruh pada
janin dan diekskresikan di ASI. 22
g. Penggunaan pada pioderma
Sodium sulfasetamid bukan merupakan obat pilihan pertama pada
pioderma walaupun obat ini sensitif terhadap bakteri gram positif. Hal ini
karena adanya resistensi yang terjadi pada golongan sulfonamid termasuk
sodium sulfasetamid.20,21

E. GENTAMISIN
Gentamisin adalah antibiotika golongan aminoglikosia yang
bekerja dengan cara berikatan dengan ribosom 30 s dan menghambat
sintesis protein. Terikatnya aminoglikosida pada ribosom ini
mempercepat transpor aminoglikosida ke dalam sel diikuti dengan
kerusakan membran sitoplasma dan disusul kematian sel. Semua
aminoglikosida bersifat bakterisidal da terutama aktif terhadap bakteri
basil gram negatif yang aerob.23
a. Farmakodinamik
Gentamisin berdifusi lewat kanal air yang dibentuk oleh porin
proteins pada membran luar dari bakteri gram negatif masuk ke ruang

13
periplasmik. Sedangkan transpor melalui membran dalam sitoplasma
membutuhkan energi. Fase transpor yang membutuhkan energi ini
bersifat rate limitating, dapat diblok oleh Ca++ dan Mg++,
hiperosmolaritas, penurunan pH dan anaerob. Hal ini menerangkan
penurunan aktivitas aminoglikosid pada lingkungan anaerob. ntibiotika
golongan aminoglikosia yang bekerja dengan cara berikatan dengan
ribosom 30s dan menghambat sintesis protein. Terikatnya
aminoglikosida pada ribosom ini mempercepat transpor aminoglikosida
ke dalam sel diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma dan disusul
kematian sel.23
b. Farmakokinetik
Gentamisin sebagai polikation bersifat sangat polar sehingga sangat
sukar diabsorpi melalui saluran cerna. Pemberian topikal untuk
mendaatkan efek lokal, sedangkan untuk mendapatkan kadar sistemik
yang efektif perlu diberikan secara parenteral.23
c. Efek samping
Eosinofilia, demam, dermatitis eksfoliativ, angioedema pada
penggunaan jangka panjang.24

d. Sediaan
Gentamycin sulfate krim 0,1% tube 5 gr dan 10 gr.24
F. KLORAMFENIKOL
Kloramfenikol pertama kali diisolasi dari Streptomyces venequelae dan
merupakan antibiotik spektrum luas pertama. Kloramfenikol efektif terhadap
Staphylococcus, Streptococcus, Aerobacter,Bacillus, Corynebacterium,
Hemophilus, dan protozoa dan beberapa fungi. 25
a. Farmakodinamik
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap berbagai bakteri dan
bersifat bakterisidal terhadap H. influenza, Neisseria meningitidis dan S.
pneumoniae. 20
b. Farmakokinetik
14
Kloramfenikol dikonsumsi secara oral dan topikal. Kloramfenikol
diabsorpsi cepat dari saluran cerna. Kloramfenikol dimetabolisme di hepar
dan disekresi melalui urin.20 Absorpsi kloramfenikol pada kulit dapat
diabaikan karena sangat kecil. Walaupun begitu, risiko depresi sumsum
tulang sebagai efek samping tetap dipertimbangkan.26
c. Mechanism of action
Kloramfenikol bekerja secara selektif menghambat sintesis protein
bakteri dengan cara berinteraksi dengan subunbit ribosom 50S bakteri dan
menghambat pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol juga bekerja
menghambat sintesis protein di mitokondria bakteri.20
d. Sediaan, dosis dan cara pakai
Kloramfenikol topikal tersedia dalam bentuk krim 2% dengan sediaan 10
gram dan 15 gram dan dioleskan pada daerah lesi di kulit 3-4 kali sehari.27
e. Efek samping
Kloramfenikol topikal memiliki toleransi yang cukup baik. Efek samping
yang dilaporkan adalah iritasi, angioedema, urtikaria dan pruritus pada tempat
yang diberi kloramfenikol. Reaksi anafilaktik juga dilaporkan pada beberapa
penggunaan.26,27

f. Toksikologi
Kloramfenikol menyebabkan toksisitas terkait dosis yang tampak
sebagai anemia, leukopenia, depresi sumsum tulang, serta anemia aplastik.
Pada kloramfenikol topikal, hal ini jarang sekali dilaporkan. Kloramfenikol
dengan konsumsi sistemik pada ibu hami dan menyusui dan menyebabkan
pengaruh pada janis berupa depresi sumsum tulang janin.
g. Penggunaan pada pioderma
Kloramfenikol sensitif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif
sehingga dapat digunakan sebagai terapi topikal pada pioderma. Namun, efek
samping seperti depresi sumsum tulang perlu diwaspadai sehingga
kloramfenikol tidak menjadi antibiotik pilihan pertama pada pioderma.25,26
G. KLINDAMISIN

15
Klindamisin adalah senyawa semi sintetis dari derivat antibiotik
lincomycin. Klindamisin memiliki efek lipofilik yang lebih besar karena
unsur chlorine yang dimilikinya. Hal ini membuat penetrasi Klindamisin ke
dalam sel bakteri lebih baik daripada lincomycin.28,29
a. Farmakokinetik
Klindamisin diabsorbsi dengan cepat oleh saluran pencernaan. Senyawa
penghambat neuromuscular seperti aminoglikosida dan eritromisin.28,29
b. Farmakodinamik
Klindamisin dapat bekerja sebagai bakteriostatik maupun bakterisida
tergantung konsentrasi obat pada tempat infeksi dan organisme penyebab
infeksi klindamisn menghambat sintesa protein organisme dengan mengikat
subunit ribosom 50 S yang mengakibatkan terhambatnya pembentukan ikatan
peptida.28,29
c. Mekanisme kerja
Klindamisin menunjukkan tiga mekanisme kerja yaitu :
1. Menurunkan presentase asam lemak bebas
2. Memiliki efek antiinflamasi
3. Menurunkan jumlah bakteri
Secara spesifik antiinflamasi yang dimiliki Klindamisin terdiri dari
menghambat pertumbuhan, sintesa protein, produksi lipase, produksi folikular
asam lemak bebas, dan molekul kemotaksis leukosit pada P.acnes. Pada
perkembangannya klindamisin dapat menghambat berbagai sitokin
proinflamasi.
d. Sediaan obat
1. Kapsul : 75 mg, 150 mg, 300 mg
2. Suspensi : 75 mg/ 5 ml
3. Injeksi : 2ml dan 4 ml vials mengandung 150 mg/ ml
e. Efek samping
Berikut ini efek samping klindamisin yang dapat terjadi :
1. Gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan kolitis
pseudomembranousa.
2. Reaksi hipersensitif atau alergi seperti pruritus, rash, atau urtikaria.

16
3. Gangguan hati seperti jaundice, abnormalitas test fungsi hati.
4. Gangguan ginjal seperti disfungsi ginjal (azotemia, oliguria, proteinuria).
5. Gangguan darah / hematologi seperti neutropenia sementara (leukopenia),
eosinofilia, agranulositosis, dan thrombositopenia.
6. Gangguan muskuloskeletal seperti polyarthritis.28,29

KESIMPULAN
Pioderma adalah penyakit kulit yang penyebabnya utamanya adalah
Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus, sedangkan
Staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal di kulit dan jarang
menyebabkan infeksi. Pioderma terdiri dari pioderma superfisial dan pioderma
profunda. Penatalaksanaan terdiri dari penggunaan antibiotik sistemik dan
antibiotik topikal. Pilihan antibiotik topikal terdiri dari retapamulin, asam fusidat,
mupirosin, eritromisin, sodium sulfasetamide, gentamisin, kloramfenikol dan
klindamisin.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. antimicrobial resistance. Geneva: World Health
Organization; 2014.
2. Abimbola, I. O. 2013. Knowledge and practices in the use of antibiotiks
among a group of Nigerian university students.International Journal of
Infection Control. 9 (7), 1-8.
3. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI , Gilchrest BA, paller AS,
editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine . Edisi ke-8.
New York:McGraw-Hill, 2012.
4. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke tujuh. 2015.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Ki V, Rotstein C. Bacterial skin and soft tissue infectionts in adults: A review
of their epidemiology, pathogenesis, diagnosis, traetment and site of care.
Can J Infect Dis Med Mikrobiol 2008;19:173-84
6. Steven DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger PE Goldstein Ejc, et, al.
Practice Guidlines for the diagnosis and Management of skin and soft tissue

17
infection: 2014 Update by the infectious Diseases Society of America.
Clinical infectious diseases 2014;59(2):10-52
7. Ostrovsky DA, Fedorowicz Z, Ehrlich A, Impetigo. Dynamed . 2016.[Disitasi
20 juni 2017] tersedia di httpa://www.dynamed.com/topics/dmp-AN-
T115810/impetigo.
8. FDA. ALTABAX (retapamulin) ointment 1%. Food and Drug
Adsministration. 2012. [accesed 27 Desember 2018]. Available at:
https://www.accessdata.fda.gov>label
9. Rittenhouse S, Biswas S, Broskey J, McCloskey L, Moore T, Vasey S, et al.
Selection of retapamulin, a novel pleuromutilin for topical use. Antimicrobial
Agents and Chemotherapy. 2006;50(11): 3882-3885.
10. Coutinho B. Retapamulin (Altabax) 1% topical ointment for the treatment of
impetigo. Am Fam Physician. 2007;76(10):1537-1541.
11. Drugbank. Retapamulin. [Accessed 27 Desember 2018]. Available at:
https://www.drugbank.ca/drugs/DB01256
12. Pubchem. Retapamulin. National Center of Biotechnology Information. US.
[Accessed 27 Desember 2018].Available at :
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ compound/ Retapamulin# section=Top.
13. Musmade Pb, Tumkur A, Trilok M, and Bairy KI. Fusidic Acid-Topical
Antimicrobial in Management of Staphylococcus Aureus. International Jurnal
of Pharmacy and Pharmaceutical Science. 2013;5; Suppl 4.
14. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi: Balai
Penerbit FKUI; Jakarta; 2007.
15. Turnidge J. Fusidic acid pharmacology, pharmacokinetics and
pharmacodynamics. Int J Antimicrob Agent 1999; 112 (suppl 2): p23-34.
16. Ramsay CA, Savoie JM, Gilbert M, Gidon M, Kidson P. The treatment of
atopic dermatitis with topical fusidic acid and hydrocortisone acetate. J eur
Acad dermatol venereal 1996; 7 (Suppl. 1): S15-22.
17. Poovelikunnel, dkk. Mupirocin resistance: clinical implications and potential
alternatives for the eradication of MRSA. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy. Ireland. 2015. hal : 2681-92.

18
18. Setiabudy, Rianto. Antimikroba Lain. In : Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007. hal : 729-30.
19. Caren, Pangow, dkk. Profil Pioderma Pada Anak di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO Periode Januari-
Desember 2012.
20. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I, editor. Goodman and Gillman
manual farmakologi dan terapi. Jakarta : EGC. 2011
21. Pubchem. Sulfacetamide sodium. National Center for Biotechnology
Infomation. [Accessed 4 January 2019, Modified 29 december 2018].
Available from :
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compounds/6419954#section=Top.
22. FDA. Klaron (sodium sulfacetamide) lotion 10%. [database on internet].
Food and Drug Adsministration. 2012. Available from :
https://www.accessdata.fda.gov/ drugsatfda_docs/ label/2010/
019931s019lbl.pdf.
23. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan terapi. Edisi
5. Jakarta : Badan Penerbit FKUI, 2011
24. Stringer JL. Basic concepts in pharmacology. 2nd ed. Singapore :
McGraw Hill. 2001.
25. Trice R, Shafer J. Topical chloramphenicol therapy of pyogenic dermatosis.
JAMA. 1952;149(16): 1469-1470.
26. Krautheim A, Gollnick H. Transdermal penetration of topical drugs used in
the treatment of acne. Clin Pharmacokinet. 2003;42(14): 1287-1304.
27. Synthomicyn. [database on internet]. Israel Ministry of Health. 2011.
Available from : https://www.old.health.gov.il/units/pharmacy/trufot
/alonim/SYNTHO-MYCINE_Skin_Ointment_dr_1327559884095.pdf
28. Beck LE. Topical clindamycin in the management of acne vulgaris. Arch
Dermatol (J)1981;117:482 –485.
29. Resh William, Stoughton Richard. Topically applied antibiotics in acne
vulgaris. Arch Dermatol 1976;112:182 –184.

19
20

Anda mungkin juga menyukai