Anda di halaman 1dari 217

BUKU AJAR

L
U KP
N P
H
AS

PENYAKIT KULIT DI DAERAH TROPIS

Oleh:

Muhammad Dali Amiruddin


Faridha S. Ilyas

Safruddin Amin

Dianawaty Amiruddin

PENYAKIT KULIT KAUSA BAKTERI


PIODERMA
TUJUAN PEMBELAJARAN
I.

Impetigo Krustosa (Impetigo Non Bulosa)

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit impetigo krustosa.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit impetigo krustosa.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang impetigo krustosa.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya impetigo krustosa.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari impetigo krustosa.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis impetigo krustosa.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit impetigo krustosa.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit impetigo krustosa.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit impetigo krustosa.

I.

Impetigo Krustosa (Impetigo Non Bulosa)

Definisi :

Patogenesis :
Tidak adanya reseptor
fibronectin untuk asam
teichoic moieties pada
S.aureus dan group
streptococcus

Bentuk pioderma yang


paling sederhana.
Menyerang epidermis

Gejala Klinis :

L
U KP
N P
H
AS

Fakt or Pencet us :

Gat al
Effloresensi : M akula erit em,
vesikel, bulla, secret
kekunungan, krust a t ebal

- musim panas atau cuaca


yang lembab.
-kebersihan yang kurang
dan higiene yang buruk
(anemia dan malnutrisi)

Hist opat ologi :

Et iologi :

-Peradangan superficial folikel


pilosebasea bagian atas.
-Dermis dilatasi pembuluh
darah, edema dan infiltrasi
PMN

Streptococcus

IM PETIGO

KRUSTOSA

Terapi :

Komplikasi :

Prognosis :

Topikal : Kompres , ant ibiot ic


t opikal
Sist emik :
Ant ibiot ik,simptomat ik

Dapat t erjadi

Baik

glomerulonefrit is

Definisi
Bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis, gambaran yang dominan
ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis-lapis.
Penyebab dan epidemiologi
-

Penyebab: Paling sering disebabkan oleh grup streptococcus

Umur: terutama pada anak-anak.

Jenis kelamin: frekuensinya sama pada pria dan wanita.

L
U KP
N P
H
AS

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit


-

Musim: musim panas atau cuaca panas yang lembab.

Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk (anemia dan
malnutrisi)

Gejala Klinik

Keluhan utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2

mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah
pecah dan mengeluarkan secret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering
dan membentuk krusta berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat
daerah erosive yang mengeluarkan secret sehingga krusta kembali menebal.
Predileksi : Pada wajah atau ekstremitas setelah trauma

Patogenesis : Kulit yang intak resisten terhadap kolonisasi atau impetigenisasi,


kemungkinan tidak adanya reseptor fibronectin untuk asam teichoic moieties pada
S.aureus dan group streptococcus yang menyebabkan lesi
Pemeriksaan Fisis
-

Lokalisasi: daerah yang terpajan, terutama wajah (sekitar hidung dan mulut), tangan,
leher, dan ekstremitas.

Efloresensi/sifat-sifatnya: macula eritematosa miliar sampai lentikular, difus; pustule


miliar sampai lentikular; krusta kuning kecoklatan, nerlapis-lapis, mudah diangkat.

Gambaran histopatologi
Berupa peradangan superficial folikel pilosebasea bagian atas. Terbentuk bula atau
vesikopustula subkornea yang berisi kokus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis.
Pada lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi pembuluh
darah, edema dan infiltrasi PMN.
Pemeriksaan pembantu/laboratorium

L
U KP
N P
H
AS

Biakan bakteriologis eksudat lesi; biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan
dengan tes resistensi.
Diagnosis banding

1. Varisela: lesi lebih kecil, berbatas tegas, umbilikasi vesikal.

2. Ektima: lesi lebih besar, lebih dalam dan peradangan lebih berat. Ditutupi krusta yang
keras, jika diangkat akan berdarah secara difus.

3. Impetigenisasi: pioderma sekunder, prosesnya menahun sering masih tampak


penyakit dasarnya.

Penatalaksanaan

Menjaga kebersihan kulit dengan mandi pakai sabun 2 kali sehari. Jika krusta banyak,

dikeluarkan dengan mencuci dengan H2O2 dalam air, lalu diberi salep antibiotic seperti

kloramfenikol 2% ,teramisin 3%, dan mupirocin ointment. Jika lesi banyak dan disertai

gejala konstitusi (demam, dll), berikan antibiotic sistemik, misalnya penisilin, kloksasilin,
atau sefalosporin.
Prognosis

Baik. Namun, dapat timbul komplikasi sistemik seperti glomerulonefritis, dan lain-lain.

I.

Impetigo Bulosa

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit impetigo bulosa.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit impetigo bulosa.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang impetigo bulosa.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya impetigo bulosa.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari impetigo bulosa.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis impetigo bulosa.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit impetigo bulosa.
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit impetigo bulosa.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit impetigo bulosa.

II.

Impetigo Bulosa
Definisi :

Pat ogenesis :
Tidak adanya reseptor
fibronectin untuk asam
teichoic moieties pada
S.aureus dan group
streptococcus

Bent uk pioderma dengan


gejala adanya bulla

Gejala Klinis :

Fakt or Pencet us :

- musim panas atau cuaca


yang lembab.
-kebersihan yang kurang
dan higiene yang buruk
- malnutrisi

L
U KP
N P
H
AS

Vesikel, bulla, krust a

Et iologi :

Histopatologi :
- vesikel subkornea berisi selsel radang yaitu leukosit.
- Dermis sebukan sel-sel
radang ringan dan pelebaran
ujung-ujung pembuluh darah

Staphylococcus.

IM PETIGO
BULLOSA

Terapi :

Komplikasi :

Prognosis :

Topikal : Kompres , ant ibiot ic


t opikal
Sist emik :
Ant ibiot ik,simptomat ik

Selulit is, limfangit is dan

Baik

bakt erimia

Definisi
Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama dengan gejala utama
berupa bulla berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak
hipopion.

Penyebab dan epdemiologi


Penyebab: terutama disebabkan oleh staphylococcus.

Umur: anak-anak dan dewasa.

L
U KP
N P
H
AS

Jenis kelamin: frekuensi sama dengan pria dan wanita

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:


-

Daerah: lebih banyak pada daerah tropis dengan udara panas.

Musim/iklim: musim panas dengan banyak debu.

Kebersihan/higiene: higiene kurang.

Gizi: lebih sering dan lebih berat pada keadaan kurang gizi dan anemia.

Lingkungan: yang kotor dan berdebu akan lebih sering dan lebih hebat.

Gejala Klinik

Vesikel sampai bulla timbul mendadak pada kulit sehat, bervariasi mulai miliar hingga

lentikular, dapat bertahan 2-3 hari. Berdinding tebal dan ada hipopion. Jika pecah
menimbulkan krusta yang coklat datar dan tipis.

Pemeriksaan kulit
-

Lokalisasi: ketiak, dada, punggung dan ekstremitasatas dan bawah.

Efloresensi/sifat-sifatnya: tampak bula dengan dinding tebal dan tipis, miliar hingga
lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan peradangan, kadang-kadang tampak
hipopion.

Gambaran histopatologi

Pada epidermis tampak vesikel subkornea berisi sel-sel radang yaitu leukosit. Pada
dermis tampak sebukan sel-sel radang ringan dan pelebaran ujung-ujung pembuluh darah.
7

Pemeriksaan pembantu/laboratorium
1. Preparat mikroskopik langsung dari cairan bula untuk mencari stafilokok.
2. Biakan cairan bula dan uji resistensi.

Diagnosis banding
1. Pemfigus: biasanya bula berdinding tebal, dikelilingioleh daerah eritematosa dan

L
U KP
N P
H
AS

keadaan umum buruk.


2. Impetigenasi: menunjukkan pula gejala-gejala penyakit primer dengan gejala
konstitusi berupa demam dan malaise.

3. Tinea sirsinata: jika lepuh pecah, bagian tepi masih menunjukkan danya lepuh, tetapi
bagian tengah menyembuh.

Penatalaksanaan

Menjaga kebersihan dan menghilangkan faktor-faktor predisposisi. Jika bula besar dan

banyak, sebaiknya dipecahkan, selanjutnya dibersihkan dengan antiseptic (betadine) dan


diberi salep antibiotic (kloramfenikol 2% atau eritromisin 3%). Jika Pada dewasa dengan

gejala ekstensive atau bulla diberikan diberikan antibiotik sistemik seperti amoksisilin +
asam klavulanat 25 mg/kg BB, cephalexin (40-50 mg/kg/hr), dicloxacin 250-500 mg 4
kali sehari, eritromisin 250-500 mg.
First line

Topikal
Mupirocin
Asam Fusidat

Second line

Sistemik
Dicloxacin

Amoksisilin+asam klavulanat
Azthromycin
Clindamycin
Eritromycin

Dosis
250-500 mg 4 kali sehari
selama 5-7 hari
25 mg.kgBB, 250-500 mg 4
kali sehari
500 mg x 1, 250 mg/hr
selama 4 hari
15 mg/kg/hr 3 kali sehari
250-500 mg 4 kali sehari
selama 5-7 hari

Prognosis

Umumnya baik
8

II.

Ektima

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit ektima.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit ektima.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit yang ektima.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya ektima.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari ektima.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis ektima.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit ektima.


7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit ektima.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit ektima.

Ektima

Pat ogenesis :

Definisi :

Staphylococcus aureus
memproduksi beberapa toksin
membantu perlekatan
bakteri dengan sel host

Pioderma yang
menyerang epidermis
dan dermis

Gejala Klinis :
Vesikel atau vesikopustula di
atas kulit yang eritematosa,
membesar dan pecah,
terbentuk krusta tebal . Jika
krusta dilepas terdapat ulkus
dangkal

Fakt or Pencet us :

L
U KP
N P
H
AS

III.

- musim panas atau cuaca


yang lembab.
-kebersihan yang kurang
dan higiene yang buruk
- malnutrisi

Et iologi :

Hist opat ologi :

Streptococcus atau
Staphylococcus

Peradangan dalam
dengan infiltrasi PMN
dan pembentukan abses

EKTIM A

Terapi :

Komplikasi :

Prognosis :

Topikal : Kompres , ant ibiot ic


t opikal
Sist emik :
Ant ibiot ik,simptomat ik

Bakt erimia

Dubia

10

Definisi :
Adalah pioderma yang menyerang epidermis dan dermis, membentuk ulkus dangkal yang
ditutupi oleh krusta berlapis.

Penyebab dan epidemiologi:


Penyebab : streptokok piogenik, stafilokok atau ke duanya
Umur : Frekuensi pada anak-anak lebih tinggi daripada dewasa

L
U KP
N P
H
AS

Jenis kelamin: Pria dan wanita sama


Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:
Musim/iklim : panas dan lembab

Kebersihan atau higiene: Kebersihan yang kurang higiene yang buruk, serta malnutrisi.
Gejala Klinik

Keluhan : gatal. Lesi awal berupa vesikel atau vesikopustula di atas kulit yang

eritematosa, membesar dan pecah, terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar di lepas

dari dasarnya. Jika krusta dilepas terdapat ulkus dangkal. Jika keadaan umum baik akan
sembuh sendiri dalam waktu 3 minggu, meninggalkan jaringan parut yang tidak berarti.
Jika keadaan umum buruk dapat menjadi gangrene.
Pemeriksaan kulit:

Lokalisasi; Ekremitas bawah, wajah dan ketiak

Efloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa lentikular hingga nummular, vesikel dan

pustula miliar hingga nummular, difus, simetris serta krusta kehijauan yang sukar di
lepas.

Gambaran histopatologi:

Peradangan dalam dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel
pilosebasea. Pada dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN.

Diagnosis banding:

1.Impetigo krustosa: Krusta mudah di angkat, warna krusta kekuningan

2.Folikulitis : Biasanya berbatas tegas, berupa papul miliar sampai lentikular

11

Penatalaksanaan
Umumnya : Memeperbaiki higiene dan kebersihan
Khusus : Jika lesi sedikit :salepkloramfenikel 2%;jika luas diberi antibiotic
sistemik:penisilin 600000-1,5 juta IU intramuscular selama 5-10 hari. Terapi topikal
dangan kompres terbuka untuk melunakkan krusta dan membersihkan debris.

L
U KP
N P
H
AS

Prognosis: baik

12

III.

Folikulitis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit folikulitis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit folikulitis.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit folikulitis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya folikulitis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari folikulitis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis folikulitis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit


folikulitis.

7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit folikulitis.


8. Menjelaskan komplikasi penyakit folikulitis.

13

IV.

Folikulitis
Definisi :

Pat ogenesis :

Staphylococcus aureus
memproduksi beberapa toksin
membantu perlekatan
bakteri dengan sel host

- Infeksi epidermis pada


folikel rambut.
- Terdapat dua tipe :
folikulitis superfisial dan
folikulitis profunda.

Gejala Klinis :

L
U KP
N P
H
AS

Fakt or Pencetus :

- Paparan senyawa kimia


Penggunaan steroid topikal yang
berdosis tinggi.
- kebersihan yang kurang dan higiene
yang buruk.
Diabetes mellitus, kelelahan dan
kurang gizi

Nodul at au pust ule dengan


dasar erit em

Et iologi :

Hist opat ologi :

Folikel

edematosa

rambut

dengan

Staphylococcus aureus
gram positif.

tampak

sebukan

sel-sel radang akut.

Folikulit is

Terapi :
M enjaga kebersihan
Topikal : Kompres , ant ibiot ic
t opikal
Sist emik :
Ant ibiot ik,simptomat ik

Komplikasi :

Prognosis :

Pada folikulit is profunda

Baik

lupoid sycosis

14

Definisi
Folikulitis adalah suatu infeksi epidermis pada folikel rambut. Terdapat dua tipe
folikulitis berdasarkan kedalaman invasi, yakni folikulitis superfisial dan folikulitis
profunda.
Folikulitis superfisialis
merupakan salah satu jenis folikulitis yang juga disebut sebagai Bockhart of Impetigo.
Penyebab
Penyebab: Staphylococcus aureus gram positif.

L
U KP
N P
H
AS

Umur: semua umur lebih sering dijumpai pada anak-anak.

Jenis kelamin: frekuensi sama antara pria dan wanita.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

- Paparan senyawa kimia di tempat kerja. Sebagai contoh paparan dengan minyak mineral
dan tar.
-

Penggunaan steroid topikal yang berdosis tinggi.

Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higiene yang buruk.

Lain-lain: diabetes mellitus, kelelahan dan kurang gizi merupakan faktor yang

mempercepat dan memperberat penyakit. Insidens meninggi pada lingkungan yang


kotor.

Patogenesis

Secara umum, hampir 20% populasi manusia memiliki bakteri Staphylococcus aureus

dalam tubuh mereka. Lokasi yang paling sering adalah hidung, aksila dan perineum.

Staphylococcus aureus memproduksi beberapa toksin yang dapat meningkatkan

kontribusi untuk invasi dan membantu mempertahankan kehidupan stafilokokus dalam


jaringan. Produk-produk yang dihasilkan di dinding sel bakteri ini menimbulkan berbagai

efek pada sistem kekebalan tubuh penderita. Produk-produk yang dihasilkan pada
dinding sel ini adalah asam teichoic, peptidoglycan dan protein A. Protein A ini

membantu pelekatan bakteri pada sel host. Selanjutnya, bakteri akan terikat pada porsi Fc
dari IgG sebagai tambahan pada fragmen Fab pada IgE.

15

Pada follikulitis superfisial, populasi sel neutrofil dapat memfiltrasi pada bagian
infundibulum pada folikel rambut dan mencetuskan suatu infeksi. Ini merupakan satu
contoh yang disebutkan sebagai suatu invasi secara langsung.

Gejala klinik
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan:
Lesi berbentuk bulat atau pustul dengan dasar eritematosa. Dapat terbentuk pustul

L
U KP
N P
H
AS

berwarna kuning yang dapat menghilang dalam 7 hingga 10 hari tanpa membentuk

sikatris. Biasanya disertai rasa gatal. Pertumbuhan rambut sendiri tidak terganggu
kadang-kadang penyakit ini ditimbulkan oleh discharge (sekret) dari luka dan abses.

Pemeriksaan kulit
-

Lokalisasi: daerah berambut, paling sering pada kulit kepala dan ekstremitas.

Efloresensi/sifat-sifatnya: berupa macula eritematosa, papula, pastula, dan krusta


miliar sampai lentikular, regional sesuai dengan pertumbuhan rambut.

Gambaran histopatologi

Folikel rambut tampak edematosa dengan sebukan sel-sel radang akut.

Pemeriksaan pembantu/laboratorium

Pemeriksaan bakteriologis dari secret lesi (dengan pewarnaan Gram).

Diagnosis banding

1. Akne vulgaris: terutama di wajah punggung.

2. Impetigo bockhart: daerah yang terkena adalah ekstremitas, dengan dasar eritematosa
dan tampak pustule miliar.

Penatalaksanaan

Menjaga kebersihan umum terutama kulit; makanan tinggi protein dan tinggi kalori.

16

Folikulitis stafilokokus superfisial yang ringan sering sembuh sendiri tanpa pengobatan,
atau dengan pembersih antiseptik atau antiseptik topikal dan menghindari faktor-faktor
predisposisi yang memicu terjadinya folikulitis. Pada kasus yang berat, dibutuhkan
penggunaan antibiotik topikal atau sistemik.
Folikulitis bakterial superficial dapat diobati dengan antibakterial yang mengandung
chlorhexidine, triclosan atau povidine-iodine, yang dapat digunakan dalam bentuk krim,
lotion, sabun, atau campuran pada bak mandi. Dianjurkan untuk membersihkan area lesi

L
U KP
N P
H
AS

sebanyak tiga kali sehari dengan menggunakan sabun antibakteri. Ointment antibakteri
(bacitracin atau mupirocin 2%) juga dapat digunakan selama 7-10 hari terbatas pada
daerah lesi. Apabila terjadi kasus folikulitis stafilokokus yang menyebar luas pada tubuh
atau rekuren, dapat diberikan antibiotik golongan -lactam, macrolides.
Prognosis
Baik.

Folikulitis profunda.

Sycosis barbae merupakan folikulitis profunda dengan inflamasi perifolikuler yang


terjadi pada daerah wajah atau atas bibir. Jika tidak diobati lesi akan lebih dalam dan

kronik. Pengobatan local dengan kompres salin dan antibotik topikal ( muprocin atau
clindamycin) untuk mengontrol infeksi. Pada kasus yang berat diberikan antibiotik
sistemik

17

IV.

Furunkel

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit furunkel.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit furunkel.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit furunkel.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya furunkel.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari furunkel.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis furunkel.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit


furunkel.

7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit furunkel.


8. Menjelaskan komplikasi penyakit furunkel.

18

V.

Furunkel

Definisi :

Pat ogenesis :

Peradangan
rambut

dan

folikel
jaringan

L
U KP
N P
H
AS

subkutan sekitarnya.

Gejala Klinis :

Fakt or Pencet us :

Sakit dan nyeri


Infilt rat kecil, nodus
erit emat ous dengan bint k
put ih dit engah

- obesitas, DM, hiperhidrosis.


- musim panas atau cuaca
yang lembab.
-kebersihan yang kurang dan
higiene yang buruk

Et iologi :

Hist opat ologi :

staphylococcus aureus.

abses yang dibentuk oleh


limfosit dan leukosit
PMN

Furunkel

Terapi :

Komplikasi :

Prognosis :

mengurangi faktor penyebab


seperti obesitas, DM,
hiperhidrosis.

Bakt eremia dan rekurensi

Baik

Topikal : Kompres , ant ibiot ic


t opikal
Sist emik :
Ant ibiot ik,simptomat ik

19

Definisi
Adalah peradangan folikel rambut dan jaringan subkutan sekitarnya.

Penyebab dan epidemiologi


Penyebab: staphylococcus aureus.

Umur: dapat terjadi pada anak-anak atau orang muda.

Jenis kelamin: sama pada pria dan wanita.

L
U KP
N P
H
AS

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:


-

Musim/iklim: lebih sering pada musim panas karna banyak berkeringat.

Kebersihan/higiene: kebersihan dan higiene yang kurang.

Lingkungan: lingkungan yang kurang baik/bersih. Lain-lain: diabetes, obesitas,


hiperhidrosis, anemia, dan stress emosional mempengaruhi tingkat insidens.

Gejala klinik

Sakit dan nyeri pada daerah lesi. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu

singkat membesar membentuk nodula eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada


tempat rambut keluar tampak bintik-bintikputih sebagai mata bisul. Nodus tadi aka

melunak (supurasi) menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minorisresistensie
yaitu muara folikel, rambut menjadi rontok/terlepas.

Pemeriksaan kulit
-

Lokalisasi: sering pada bagian tubuh yang berambutdan mudah terkena iritasi,

gesekan atau tekanan; atau pada daerah yang lembap seperti ketiak, bokong,
punggung leher, dan wajah.

Eflorensia/sifat-sifatnya: mula-mula berupa macula eritematosa lentikular nummular


setempat, kemudian menjadi nodula lentikularnumular berbentuk kerucut.
20

Gambaran histopatologi
Berupa abses yang dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN, mula-mula pada folikel
rambut. Pada bagian bawah folikel rambut (dalam jaringan subkutis), abses dapat pula
mengandung stafilokok.

Pemeriksaan pembantu/laboratorium

L
U KP
N P
H
AS

Pemeriksaan bakteriologi dari secret.

Diagnosis banding

1. Sporotikosis: kelainan jamur sistemik, menimbulkan benjolan-benjolanyang berjejer


sesuai dengan aliran limfe, pada perabaan kenyal dan nyeri.

2. Blastomikosis: benjolan multiple dengan beberapa pustule, daerahsekitarnya


melunak.

3. Skrofuloderma: biasanya berbentuk lonjong, livid dan ditemukan jembatan-jembatan


kulit (skin bridges).

Penatalaksanaan
-

Higiene kulit harus ditingkatkan.

Jika masih berupa infiltrate, topikal dapat diberikan kompres salep iktiol 5% atau
salep antibiotic.

Antibiotic sistemik: eritromisin 4 x 250 mg atau penisilin masih merupakan obat


terpilih atau antibiotic berspektrum luas member hasil yang baik.

Jika lesi matang, lakukan insisi dan aspirasi, selanjutnya dikompres atau diberi salep
kloramfenikol 2 %.

Usaha mengurangi faktor penyebab seperti obesitas, DM, hiperhidrosis.

Prognosis

Baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis menjadi kurang baik
ketika terjadi rekurensi.

21

V.

Karbunkel

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit karbunkel.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit karbunkel.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit karbunkel.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya karbunkel.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari karbunkel.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis furunkel.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit karbunkel.


7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit karbunkel.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit karbunkel.

VI.

Karbunkel
22

Definisi :

Pat ogenesis

Gabungan beberapa
furunkel

Gejala Klinis :

Fakt or Pencet us :

nyeri

L
U KP
N P
H
AS

- obesitas, DM,
hiperhidrosis.
- musim panas atau cuaca
yang lembab.
-kebersihan yang kurang
dan higiene yang buruk

Nodul erit emat ous,


abses

Et iologi :

Hist opat ologi :

staphylococcus
aureus.

abses yang dalam,


dibentuk oleh limfosit
dan leukosit PMN

Karbunkel

Terapi :

Komplikasi :

Prognosis

Mengurangi faktor penyebab,


DM, hiperhidrosis.
Topikal : Kompres , antibiotic
topikal
Sistemik :
Definisi
Antibiotik,simptomatik

Bakt eremia

Rekurensi

23

Adalah gabungan beberapa furunkel yang dibatasi oleh trabekula fibrosa yang berasal
dari jaringan subkutan yang padat. Perkembangan dari furunkelmenjadi karbunkel
bergantung pada status imunologis penderita.

Penyebab dan epidemiologi


Penyebab: staphylococcus aureaus.

Umur: anak-anak dan dewasa.

Jenis kelamin: frekuensi sama pada pria dan wanita.

L
U KP
N P
H
AS

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:


-

Kebersihan/higiene: kebersihan yang kurang dan higien yang buruk.

Faktor predisposisi: DM, obesitas, dan hiperhidrosis.

Lingkungan: yang kotor dengan berdebu mempengaruhi penjalaran penyakit.

Gejala klinik

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan: keluhan berupa
nyeri pada lesi dan malaise. Lesi mula-mula berupa infiltrate kecil, dalam waktu singkat

membesar menjadi nodus-nodus eritematosa berbentuk kerucut. Kemudian pada tempat


rambut keluar tampak bintik putih sebagai mata bisul. Nodus-nodus tadi akan melunak
menjadi abses yang akan memecah melalui lokus minoris resitensie yaitu muara folikel.

Pemeriksaan kulit
-

Lokalisasi: tengkuk, punggung, dan bokong.

Efloresensi/sifat-sifatnya: macula eritematosa kemudian menjadi nodula lentikular


hingga nummular, regional, bentuk teratur dan tampak fistula mengeluarkan secret
putih/kental.

Gambaran histopatologi

Berupa abses yang dalam, dibentuk oleh limfosit dan leukosit PMN, mula-mula pada

folikel rambut. Pada bagian folikel rambut yang terdapat di jaringan subkutan, abses
dapat mengandung stafilokok.

24

Pemeriksaan pembantu/laboratorium
1. Pemeriksaan darah: leukositosis.
2. Pemeriksaan bakteriologik secret lesi.

Diagnosis banding
1. Sporotrikosis: nodula berjejer sepanjang aliran limfe.
2. Blastomikosis: nodula kronik dengan multiple fistula.

L
U KP
N P
H
AS

3. Akne konglobata: selain dipunggung, nodula-nodula merah hitam tampak di daerah


wajah dan lengan, menyebar di satu region.

Penatalaksanaan
-

Umum:

Usaha untuk mengatasi faktor predisposisi seperti obesitas, DM dan


hiperhidrosis.

Menjaga kebersihan dan mencegah luka kulit.

Khusus:

Topikal: jika masih infiltrate diberi salep iktiol 10%; jikalesi matang lakukan
insisi dan aspirasi, dipasang drainase lalu dikompres.

Antibiotic sistemik: eritromisin 4 x 250 mg selama 7-14 hari, pensilin 600.000


IU selama 5-10 hari.

Antibiotika yang masih sensitive memberikan hasil yang memuaskan seperti


sefalosporin atau gilongan kuinolon.

Prognosis

Baik, jika faktor predisposisi dapat diatasi. Prognosis menjadi kurang baik jika terjadi
rekurensi.

25

VI.

Eritrasma

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit eritrasma.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit eritrasma.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit eritrasma.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya eritrasma.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari eritrasma.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis eritrasma.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit eritrasma.


7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit eritrasma.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit eritrasma.

26

VII.

Eritrasma

Definisi :

Infeksi bakteri superfisial

Gejala Klinis :
Gat al, erit em, rasa panas,
dapat disert ai ekskoriasi

L
U KP
N P
H
AS

Fakt or Pencet us :

dan likenifikasi

Kegemukan,

peminum

alkohol, cuaca lembab,


higiene buruk

Hist opat ologi :


Hiperkeratosis, parakeratosis,
akantosis, serta pelebaran

Et iologi :

pembuluh darah dan


sebukan
sel-sel
polinuklear.

Corynebacterium
minutissimum

ERITRASM A

Terapi :

Topikal : Kompres , antibiotic


topikal
Sistemik : Antibiotik,simptomatik

Komplikasi :

Prognosis :
Baik

27

Definisi : eritrasma adalah infeksi bakteri superficial pada kulit yang ditandai dengan
makula merah kecoklatan dengan batas ireguler dan terjadi sering pada daerah lipatan.

Penyebab dan epidemiologi : Penyebab


Umur

: Corynebacterium minutissimum
: Dewasa muda

L
U KP
N P
H
AS

Jenis kelamin : Frekuensinya sama pada pria dan wanita


Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti:

Orang-orang yang banyak keringat, kegemukan, peminum alkohol lebih sering terkena
penyakit ini.

Daerah/musim/iklim : Daerah beriklim panas lebih sering daripada daerah dingin.


Kebersihan/higiene
Lingkungan

: Higiene buruk berperan penting dalam menimbulkan penyakit.

: Panas dan lembab mempermudah timbulnya penyakit.

Gejala Klinik

Di awali dengan rasa gatal pada daerah genitocrural lalu menjadi eritema, teraba panas.
Dapat juga disertai ekskoriasi dan likenifikasi.

Pemeriksaan kulit:
Lokalisasi

: Lipat paha bagian dalam sampai skrotum, aksila, dan intergluteal

Efloresensi/sifat-sifatnya: Eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan


terkadang erosif.

Gambaran histopatologi: Hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, serta pelebaran


ujung-ujung pembuluh darah dan sebukan sel-sel polinuklear.
Pemeriksaan pembantu/laboratorium:

1.sediaan langsung kerokan kulit dengan pewarnaan gram, tampak batang gram positif.
2.sinar wood: fluoresensi merah bata.
Diagnosis banding:

1.Tinea kruris: Biasanya gatal dengan papula-papula eritematosa


2.Kandidiasis: eritema dengan lesi satelit, erosif dan gatal.

28

Penatalaksanaan:
Pada eritrasma local, pada daerah kaki dapat dicuci dengan benzoil peroksida dan gel 5 %
efektif pada banyak kasus. Clindamycin solution atau azole krim juga merupakan agen
topikal yang efektif.
Sistemik: eritromosin 15 mg/kg BB, 4 kali sehari selama 5-10 hari. Claritromycin 1 gr
dosis tunggal

L
U KP
N P
H
AS

Prognosis: Baik

29

VII.

Erisipelas

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit erisipelas.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit ersipelas.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit erisipelas.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya erisipelas.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari erisipelas.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis erisipelas.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit erisipelas.


7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit erisipelas.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit erisipelas.

30

VIII.

Erisipelas

Definisi :

Peradangan akut pada


kulit yang disebabkan
streptococcus

Gejala Klinis :

L
U KP
N P
H
AS

Luka kecil kemudian


menjadi kemerahan,
edema,berbat as t egas dan
nyeri t ekan

Fakt or Pencet us :
Higiene kurang

DM at au malnut risi

Hist opat ologi :

Epidermis edematosa,

dengan sebukan sel PM N,


dermis dilat asi pembuluh

Et iologi :

darah

Streptococcus
hemolyticus

ERISEPELAS

Terapi :

Komplikasi :

Prognosis :

Topikal : Kompres , antibiotic


topikal
Sistemik :
Antibiotik,analgetik,antipiretik

Bakt erimia

Baik

31

Definisi: Adalah peradangan akut pada kulit yang disebabkan streptokok dengan gejala
utama kemerahan kulit.
Penyebab dan epidemiologi:
Penyebab: Streptococcus hemolyticus
Umur: Banyak pada anak-anak dan dewasa
Jenis kelamin: Frekuensinya sama pada pria dan wanita
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit seperti;

L
U KP
N P
H
AS

Kebersihan/higiene: Orang-orang dengan kebersihan dan higiene yang kurang lebih


mudah terkena.

Faktor predisposisi: Diabetes mellitus, infeksi saluran napas atas gizi kurang lebih mudah
di serang

Gejala singkat penyakit:

Lesi di mulai dengan luka-luka kecil di kulit selanjutnya lebih menjadi merah cerah,
berbatas tegas, edema dan nyeri tekan. Terasa panas pada perabaan, di bagian tengah
terkadang ditemukan vesikel atau bula, pada tempat masuk kuman.
Pemeriksaan kulit:

Lokalisasi: Kaki, tangan dan wajah

Efloresensi/sifat-sifatnya: Makula eritematosa nummular hingga plakat, berbatas tegas,


edematosa, panas pada perabaan dan nyeri tekan. Pada bagian tengah di temukan vesikal
miliar atau bular lentikular.
.

Gambaran histopatologi: Epidermis tampak edematosa, sel-sel membengkak dan dan


sebukan sel inflamasi serta polimorfonuklear. Pada dermis pelebaran pembuluh darah dan
sabukan sel-sel radang.

Pemeriksaan pembantu/laboratorium:

1.Pemeriksaan darah didapatkan leukositosis.

2.Biakan darah, usapan tenggorok dan hidung dapat diisolasi streptokok beta hemolitik.
Diagnosis banding:

1.Urtikaria: warna merah akan menghilang pada penekanan

2.Flurunkulosis: biasanya nyeri, berbentuk kerucut dan berbatas tegas.


Penatalaksanaan:

32

Sistemik : antipiretik dan analgetik.


Penisilin 0,6-1,5 mega unit selama 5-10 hari
Sefalosporin 4x400 mg selama 5 hari member hasil yang buruk.
Topikal: kompres dengan larutan asam borac 3%
Prognosis: Baik

L
U KP
N P
H
AS

Referensi
1. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Superficial Cutaneus

Infections and Pyodermas. In: Wolff K, Godlsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine 7th ed. USA: McGraw-Hills; 2008. p. 1732-37

2. Siregar,RS. Saripati Ilmu Penyakit Kulit. Edisi 2. ECG.Jakarta.2003.p.45-67

3. Hay RJ, Adriaans BM Bacterial Infections In: Burns T, Breathnach S, Cox N,


Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology Volume 1-4 7th ed. UK: Blackwell
Publishing; 2004. p. 27.1-27.21

33

VIII.

Hidradenitis Supuratif

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit hidradenitis supuratif.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menyebutkan tentang penyakit hidradenitis supuratif.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit hidradenitis supuratif.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya hidradenitis supuratif


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari hidradenitis supuratif
5. Menjelaskan diferensial diagnosis hidradenitis supuratif.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit hidradenitis


supuratif.

7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit hidradenitis supuratif.


8. Menjelaskan komplikasi penyakit hidradenitis supuratif

34

HIDRAADENITIS SUPURATIVA

Patogenesis :

Definisi :

Inflamasi sekitar folikel


rambut Rupture folikel
keratin dan bakteri formasi
abses

L
U KP
N P
H
AS

Infeksi kelenjar Apokrin

Gejala Klinis :

Et iologi & Faktor Pencet us :

nodul yang nyeri, blind


boils pada lesi awal,
abses, sinus, scar

Genet ik, hormonal, fakt or


host , pakaian

ketat

Hist opat ologi :

Oklusi inflamasi,
nekrosis sebaceous,
apocrinitis

HIDRAADENITIS
SUPURATIF

Terapi :

Komplikasi :

Prognosis :

Ant ibot ik , Kort ikost eroid,

Selulit is, fist ula, lmphedema

Kualit as hidup t erganggu

Pembedahan

Defenisi

35

Hidradenitis suppurativa (HS) adalah penyakit kulit yang mengenai kelenjar apokrin yang
menuju ke kulit. Ditandai dengan adanya nodul bulat

yang berulang, nyeri, yang dapat

membentuk abses dan sinus dengan supurasi dan jaringan parut hipertrofik dari kelenjar apokrin.
didefinisikan hanya dengan gambaran klinis dan kronisitasnya, tidak ada gambaran patologis
yang khas
Epidemiologi

L
U KP
N P
H
AS

HS umumnya terjadi pada dewasa muda. Rasio jenis kelamin diperkirakan: wanita tiga kali lebih
sering terkena, di genito-femoralis sementara ada dominasi yang jelas laki-laki di daerah perianal, di daerah aksila rasionya sama.
Etiologi dan faktor resiko
Genetik

Riwayat keluarga pada 30% sampai 40% dari pasien. Pola dominan autosomal

telah dilaporkan dan hubungan untuk lokus pada kromosom 1p21.1-1q25.3 telah
dilaporkan dalam keluarga.

Hormonal

Premenstrual, perempuan lebih dominan dan sering terjadi setelah menarche,


peningkatan selama kehamilan menarik perhatian terhadap faktor hormonal dan hipotesis

sindrom hiperandrogenik. Ketiadaan tanda-tanda klinis virilism, yang menunjukkan


normalitas sirkulasi androgen, tidak adanya hyperseborrhea, dan efek terbatas

dari

perawatan anti-androgen, menyingkirkan peran hiperandrogenism. Penelitian case

control menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan dalam kadar hormon serum

pasien HS. Hubungan antara HS dan hiperandrogenisme sebagian besar didasarkan pada
temuan bahwa indeks androgen bebas meningkat karena tingkat

hormone-binding

globulin yang rendah , yang dipengaruhi oleh berat badan.

Imunologi

Tidak ada data yang kuat yang dapat menjelaskan pada faktor-faktor tersebut berperan
tetapi hubungan dengan penyakit Crohn memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut.

Faktor host

36

Suatu penelitian case control yang meneliti 302 pasien telah mengkonfirmasi bahwa
merokok dan kelebihan berat badan merupakan dua faktor utama yang terkait dengan HS. Faktofaktor non-genetik ainnya seperti penggunaan antiperspirant, bedak dan deodoran, hair removal
dengan pisau cukur silet telah dikesampingkan. Pakaian ketat dapat menyebabkan
ketidaknyamanan dapat dipertimbangkan.

Patogenesis

L
U KP
N P
H
AS

Berdasarkan gambaran histologis, HS merupakan penyakit inflamasi yang terjadi sekitar folikel
rambut. Rupture folikel menyebabkan keluarnya kerarin dan bakteri sepanjang dermis yang

mneyebabkan respon kemotaktik dan terbentuknya formasi abses, yang kemudian sel epitel
folikuler ini menuju ke saluran sinus. Genetik mungkin berkontribusi, dilaporkan lebih sering
terjadi pada kelainan genetik yang diturunkan autosomal dominan.
Gejala Klinik

Kriteria Diagnostik diadopsi dari Congress of HSF Foundation 2009

1. Lesi tipikal , yaitu nodul yang nyeri, blind boils pada lesi awal, abses, sinus, scar dan
tombstones dengan komedo terbuka pada lesi sekunder.

2. Topografi tipikal, yaitu aksila, pangkal paha, perineum dan perianal, bokong, lipatan mammae
infra dan intermamae.

3. Kronisitas dan kambuh.

Ketiga kriteria harus dipenuhi untuk menegakkan diagnostik.

Pemeriksaan histopatologis

HS awalnya digambarkan sebagai penyakit kelenjar apokrin; Studi histologis mengungkapkan


bahwa lesi awal diamati pada lesi yang dipotong menunjukkan folikel dengan keratinisasi
infundibular,

mengarah ke gambar histologis yang sesuai dengan oklusi inflamasi (infiltrasi limfositik awal
menjadi kronis infiltrat inflammatory histiosit yang mengandung dan sel raksasa terkait dengan

fragmen keratin) dan nekrosis sebaceous dan / atau kelenjar keringat adalah fenomena sekunder.
37

Namun, Jemec et al mencatat bahwa pemeriksaan histopatologi lanjut mengungkapkan


apocrinitis utama dalam 5% dari semua kasus non-infundibular epitel keratin dan non-keratin HS
lesi telah terbukti sama dengan yang diamati di luar selubung akar menunjukkan partisipasinya
dalam patogenesis HS.
Diagnosis Banding
Karbunkel dan Furonkulosis
Infeksi kelenjar bartholini

L
U KP
N P
H
AS

IInfeksi kista epidermal

Lymphogranuloma venereum , Scrofuloderma, Actinomyces


Fistula yang berkembang

Nodular acne and pilonidal kista

Terapi

Pengobatan berdasarkan klasifikasi Hurley

Grade I : Formasi abses, tunggal atau multiple tanpa keterlibatan saluran sinus dan dapat
sembuh kembali

Grade II : Abses berulang dengan pembentukan saluran dan dapat menjadi sembuh kembali.
Tunggal atau multiple , secara luas dipisahkan lesi

Kelas III : Diffuse atau keterlibatan beberapa saluran sinus yang terkait dan abses di seluruh
area

Pengobatan tahap akut

Beberapa pasien menderita nodul menyakitkan berulang tetapi juga mengalami periode remisi.

Terapi topikal termasuk antiseptik dan antibiotik dianjurkan oleh beberapa penulis,

klindamisin topikal telah diklaim efektif dan seefektif tetracycline dalam uji klinis.

Antibiotik oral dengan tujuan memperpendek durasi nyeri dan menghindari evolusi

menuju lesi abses. berbagai antibiotik telah digunakan : amoxicilline, cephalosporine,


clindamycine, rifampisin, M-jenis penisilin. amoksisilin + asam klavulanat

Steroid

intralesional

(misalnya

triamcinolone

(5-10

mg)

telah

dianjurkan. Involusi yang cepat (12-24 jam) dari lesi awal mungkin diperoleh
38

dosis tinggi steroid sistemik dapat digunakan untuk mengurangi peradangan


dan

nyeri.

Mereka

dapat

digunakan

sebagai

antibiotik yang mencegah evolusi lesi menjadi

alternatif

untuk

dosis

tinggi

abses atau sebagai tambahan dengan

antibiotik. Dan ditappering dengan cepat.

Untuk abses, yaitu ketika lesi mengalami fluktuasi, penuh cairan, dan terapi medis tidak efektif ,

L
U KP
N P
H
AS

seharusnya tidak menunda untuk dilakukan prosedur drainase bedah (insisi).

2. Tahap Kronik

- Antibiotik : Untuk pasien dengan derajat peradangan dan nyeri yang hebat serta discharge yag
banyak, regimen kombinasi klindamisin dan rifampicin selama 10 minggu sangat berguna.

- Zinc salts dosis tinggi (90 mg of Zinc gluconate , yang digunakan untuk acne) telah terbuti
efektif dalm penelitian singkat

- Metronodazole pada kasus dengan discharge yang berbau dapat membantu


- Dapson telah digunakan dan memberikan hasil yang baik

- Radioterapi : Beberapa kasus dilaporkan diberikan radioterapi dan memberikan hasil yang baik

Pengobatan Bedah

Petunjuk utama untuk hasil yang baik dan permanen adalah pemetaan saluran sinus dan fistula,
biasanya dilakukan selama intervensi bedah.

Lokal excisions dan penutupan primer: Ketika tingkat keterlibatan kulit terbatas, terutama dalam
hal kekambuhan abses dan nanah di lokasi yang sama, lokal eksisi dapat dilakukan.
Exteriorization merupakan terapi alternatif, kekambuhan mungkin terjadi.

39

Radikal eksisi dan penyembuhan sekunder atau graft. Ini merupakan pilihan terbaik dalam tahap
III.
Komplikasi
- Infeksi akut yang meluas seperti selulitis atau infeksi sitemik sangat jarang terjadi
- Pembentukan fistula ke dalam uretra, kandung kemih, rektum, atau peritoneum.

L
U KP
N P
H
AS

- Konsekuensi dari supurasi kronis dapat mencakup anemia, hypoproteinemia, amiloidosis


-

Arthropathy

Obstruksi

Peripheral

limfatik

dan

dan

aksial.

lymphoedema

Kronis

anggota

malaise

badan,

dan

depresi

elephantiasis

skrotum

- Karsinoma sel skuamosa pada lokasi perineum dan gluteal


Prognosis

Perubahan yang mendalam dari kualitas hidup diamati bahkan pada kasus ringan. Sebuah studi
dari 114 pasien dengan HS menggunakan indeks DLQI mencatat nilai sangat tinggi terutama
untuk pertanyaan 1 mengukur tingkat rasa sakit, gatal dan nyeri. Sebuah studi baru-baru ini dari
61 pasien dengan HS menggunakan beberapa kualitas hidup kuesioner menunjukkan bahwa

penurunan kualitas hidup di setiap 'dimensi' secara statistik lebih tinggi ( P <0,001) dibandingkan
pasien neurofibromatosis urtikaria, psoriasis dan dermatitis atopik.

Referensi

1. Revus J. Hidradenitis suppurativa. JEADV 2009; 23 : 985 998

2. Mortimer, PS, Lunnis PJHidraadenitis supurative.J R Soc Med. 2000;93:420-422


3. Siregar,RS. Saripati Ilmu Penyakit Kulit. Edisi 2. ECG.Jakarta.2003.p.45-67

40

IX.

Morbus Hansen (MH)

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit Morbus Hansen (MH).

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit Morbus Hansen.

2. Menjelaskan penyebab dari penyakit Morbus Hansen.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Morbus Hansen


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Morbus Hansen
5. Menjelaskan diferensial diagnosis Morbus Hansen.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis penyakit Morbus Hansen
7. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit Morbus Hansen.
8. Menjelaskan komplikasi penyakit Morbus Hansen

41

MORBUS HANSEN

Pat ogenesis

Definisi

kerusakan saraf dibagi 3 bentuk:

penyakit infeksi
granulomatosamenahun yang
disebabkan oleh organisme
intraseluler obligat M.leprae.

1. Lesi intrafasikuler;
2.Lesi intraneural-ekstrafasikuler;

L
U KP
N P
H
AS

3. Lesi ekstraneural.
Gejala Klinis

Triger Fakt or

Ada 3 tanda kardinal:

1. lesi kulit yang anestesi;

2. penebalan saraf perifer;

3. ditemukannya M.leprae.

Hist opat ologi

Et iologi

Dit emukan basil t ahan asam

M . leprae

KUSTA

Terapi

Komplikasi

Dapson

Kecacat an

M DT

Golongan flukinolon, et ionamid/ prot ionamid,


golongan t iourea, ROM
Imunot erapi

Prognosis
Dubia

42

Definisi
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosamenahun yang disebabkan oleh
organisme intraseluler obligat M.leprae. Awalnya, kuman ini menyerang susunan saraf tepi, lalu
menyerang kulit, mukosa, saluran napas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis.

Klasifikasi
Sampai saat ini untuk klasifikasi yang dipakai pada penelitian terbanyak adalah klasifikasi

L
U KP
N P
H
AS

Ridley dan Jopling. Klasifikasi ini berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis,
dan mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis, yaitu membagi penyakit kusta dalam 5 tipe
yaitu:

1. Tipe Tuberkuloid(TT);

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT);


3. Tipe Borderline (BB);

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL);


5. Tipe Lepromatous (LL).

Dalam pemakaian obat kombinasi (MDT) untuk pemberantasan penyakit kusta, maka WHO

mengelompokkan penyakit kusta atas dua kelompok berdasarkan jumlah lesi kulit dan
pemeriksaan apusan lesi kulit, yaitu:

1. Tipe Pausibasiler (PB) terdiri atas tipe Indeterminate (I), Tuberkuloid (TT), Borderline
Tuberkuloid (BT). Jumlah lesi sebanyak 1 hingga 5 lesi kulit. Hasil pemeriksaan basil tahan
asam (BTA) negatif.

2. Tipe Multibasiler (MB) terdiri atas tipe Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL),
Lepromatous (LL). Jumlah lesi lebih atau sama dengan 6 lesi kulit. Hasil pemeriksaan BTA
positif.

Dalam program pemberantasan penyakit kusta nasional di Indonesia, maka Departemen


Kesehatan Republik Indonesia 1991 mengambil kebijaksanaan dalam penyederhanaan metode

pelaksanaan pengobatan kombinasi bahwa sarana laboratorium tidak mutlak harus ada melainkan

cukup hanya berdasarkan atas gambaran klinis. Bila klasifikasi meragukan maka penderita kusta
digolongkan dalam klasifikasi MB.

43

Gambaran Klinis
Manifestasi klinis penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang
lanjut, dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita kusta adalah
seseorang yang menunjukkan gejala klinis kusta dengan atau tanpa pemeriksaan bakteriologis
dan memerlukan suatu pengobatan.
Bagian tubuh yang dingin seperti saluran napas, testis, bilik mata depan dan kulit terutama
cuping telinga dan jari merupakan daerah yang biasa terkena. Bagian tubuh yang dingin tidak

L
U KP
N P
H
AS

hanya karena pertumbuhan optimal M.leprae pada suhu rendah tetapi mungkin juga karena
kurangnya respon imunologi akibat rendahnya suhu pada daerah tersebut.
Gejala dan keluhan penyakit tergantung pada:

1. multiplikasi dan diseminata kuman M.leprae;

2. respon imun penderita terhadap kuman M.leprae;

3. komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

Ada 3 tanda kardinal yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari
penyakit kusta yakni:

1. lesi kulit yang anestesi;

2. penebalan saraf perifer;

3. ditemukannya M.leprae.
Lesi Kulit yang Anestesi

Makula atau plakat atau lebih jarang pada papul atau nodul dengan hilangnya rasa raba, rasa
sakit dan suhu yang jelas. Kelainan lain pada kulit yang spesifik berupa perubahan warna berupa
lesi hipopigmentasi atau eritem dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan rambut.

Penebalan Saraf Perifer

Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit kusta. Pada daerah
endemik kusta temuan ada-nya penebalan saraf perifer dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis. Untuk mengevaluasi ini diperlukan latihan yangterus-menerus cara meraba saraf dan
pada saat pemeriksaan perlu dibandingkan dengan saraf.Penebalan saraf (awal biasanya asimetri)

pada daerah yang berdekatan dengan lesi kulit seperti aurikular, ulnar, radial, peroneal
superfisial, dan tibial posterior. Penebalan saraf ini dapat atau tidak disertai adanya rasa nyeri
dan menyebabkan gangguan sensoris dan motoris pada saraf yang terkena.
44

Terdapat M.leprae
M.lepraedimasukkan

dalam

genus

Mycobacterium,

famili

Mycobacteriaceae,

ordo

Actinomycetales, klas Schyzomycetes. Berbentuk pleomorf, lurus, batang ramping dan sisanya
berbentuk paralel dengan kedua ujungnya bulat; ukuran panjang 1-8 mm dan lebar 0,3-0,5 mm.
Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang Gram positif, tidak bergerak, dan tidak
berspora.
Dengan mikroskop elektron kuman ini akan terlihat gambaran ultrastruktur yang umumnya sama

L
U KP
N P
H
AS

dengan mikobakteria lain. M.leprae terdiri atas:


- Kapsul: terdiri atas 2 macam lemak yaitu phthiocerol dimycerosate, lemak yang berperan
sebagai protektif pasif dan phenolic glycolipid 1 (PGL1), lemak dengan 3 molekul gula metilat
yang melekat pada molekul fenol pada lemak phthiocerol. Pada imunofluoresensi tidak

langsung didapatkan lokasi PGL1 ini yaitu pada permukaan M.leprae. Kapsul lemak akan
melindungi bakteri dari efek toksis enzim lisosom dan metabolit oksigen reaktif lainnya dalam

makrofag host. Adanya ikatan trisakarida spesifik pada PGL1 terhadap laminin-2 lamina
basalis sel schwann saraf menyebabkan M.leprae dapat memasuki sel saraf perifer.

- Dinding sel mempunyai ketebalan 20 nm yang terdiri atas 2 lapisan yaitu:

a) Lapisan luar: transparan dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang

arabinogalaktan teresterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat, mirip dengan yang
ditemukan pada mikobakterium lain serta kompleks protein lipopolisakarida.

b). Lapisan dalam: terdiri dari peptidoglikan yang berbeda dengan peptidoglikan mikobakteria
lainnya, dimana L-alanin diganti dengan glisin.

Dinding sel yang berhubungan dengan lipoprotein ini berikatan dengan Toll-like receptor 2/1 yang

berperan dalam inisiasi respon host terhadap invasi M.leprae.

- Membran sel: berada dibawah dinding sel, penting untuk transportasi molekul ke dalam dan ke
luar mikroorganisme. Membran ini terdiri dari lemak dan protein.

- Sitoplasma: merupakan isi sel dan terdiri dari granul-granul cadangan, DNA, dan RNA.

Port of exit M.leprae

Yang dimaksud port of exit adalah tempat di mana M.leprae keluar dari tubuh manusia yaitu
kulit dan mukosa hidung. Masih diperdebatkan apakah M.leprae terdapat pada deskuamasi sel

epitel kulit yang intak, namun yang jelas bahwa M.leprae dikeluarkan dari kulit yang terluka,
45

cairan/discharge yang keluar dari ulkus penderita dan melalui kelenjar keringat dan kelenjar
sebasea. Mukosa nasal melepaskan pa-ling banyak M.leprae di mana mampu melepaskan 10
miliar organisme hidup per hari dan mampu hidup lama di luar tubuh manusia sekitar 7-9 hari di
daerah tropis.
Pada saat berbicara, batuk dan bersin, M.leprae juga dikeluarkan dari penderita di mana sekali
bersin mampu melepaskan 110.000 basil. Penularan melalui droplet infeksi memegang peranan
yang cukup besar, di samping penularan melalui kontak erat dari kulit ke kulit.

L
U KP
N P
H
AS

Darah penderita kusta juga mengandung banyak M.leprae. Pada penderita kusta tipe lepromatosa
mengandung lebih dari 105 bakteri per mililiter darah.

Feses penderita kusta juga dikatakan mengandung M.leprae yang hidup dan dianggap mungkin
bisa menular.

Pada wanita hamil penderita kusta lepromatosayang belum diobati, sejumlah besar bakteri dapat

melewati plasenta dan menginfeksi janin yang dikandungnya. Hal ini dibuktikan dengan
tingginya kadar IgA anti M.leprae pada janin dari ibu yang menderita kusta, yang menunjukkan
adanya paparan bakteri pada janin yang akan merangsang respon imun janin. IgA mendeteksi

reaksi imunologi janin terhadap paparan bakteri karena IgA tidak dapat melewati plasenta,
sedangkan yang dapat melewati plasenta adalah IgG.Air susu dinyatakan sebagai sumber
pelepasan M.leprae, walaupun kemungkinan penularan kepada bayi sampai saat inimasih

dipertanyakan. Sekali minum air susu ibu yang menderita kusta tipe lepromatosa bayi akan

meminum sebanyak lebih kurang 2 miliar bakteri. Walaupun belum ada studi epidemiologi yang
menyebutkan apakah bayi yang minum air susu yang mengandung begitu banyak bakteri akan
menderita kusta. Penularan terhadap bayi melalui air susu pada penderita kusta yang telah diberi
pengobatan dapson/DDS tidak perlu dikhawatirkan, karena DDS dapat membunuh bakteri dalam
air susu dalam beberapa minggu. Di samping itu, obat tersebut juga disekresikan melalui air susu

satu atau dua jam setelah ibu meminumnya, sehingga bayi secara tidak langsung juga mendapat
terapi profilaksis.

Port of entry M.leprae

Port of entry adalah tempat masuknya kuman M.leprae ke dalam tubuh manusia. Ada beberapa
cara masuk M.leprae ke dalam tubuh yaitu:
- Penularan melalui kontak
46

Kontak kulit dengan kulit secara langsung yang erat, lama dan berulang. M.leprae terutama
memasuki tubuh manusia melalui lesi kulit atau setelah trauma, walaupun dikatakan bahwa
penularan melalui kulit yang intak juga mungkin tetapi lebih sulit. Menggunakan pakaian
pelindung dan alas kaki dapat membantu mengurangi kemungkinan penularan kusta pada negara
berkembang di mana kusta masih endemis, mengingat kuman ini dapat hidup pada lingkungan
diluar tubuh manusia/tanah selama lebih dari 46 hari.
- Penularan melalui inhalasi

L
U KP
N P
H
AS

Penularan melalui saluran pernapasan yaitu percikan ludah, di mana M.leprae tidak
mengakibatkan lesi pada paru-paru karena suhu pada paru-paru yang tinggi tetapi langsung

masuk ke aliran darah. Dari aliran darah M.leprae kemudian dapat mencapai saraf tepi dan
difagosit sel schwann dan bermultiplikasi di dalamnya.
- Penularan melalui ingesti/saluran pencernaan

Air susu ibu yang menderita kusta lepromatosa mengan-dung sangat banyak bakteri yang hidup,

namun insiden kusta pada bayi yang minum susu dari ibu yang menderita kusta lepromatosa

hanya setengah bila dibandingkan dengan bayi yang minum susu botol. Hal ini menunjukkan
bahwa penularan melalui air susu masih dipertanyakan.
- Penularan melalui gigitan serangga

Adanya kemungkinan transmisi kusta melalui gigitan serangga. Untuk terjadinya penularan, ada
3 hal yang diperlukan:

1. Adanya jumlah bakteri hidup dengan jumlah yang cukup banyak;

2. Adanya makanan yang cukup untuk bakteri, sampai akhirnya dapat ditularkan kepada host;
3. Bakteri harus dapat bermultiplikasi pada serangga sebagai vektor.

Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesiini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesikulit bisa satu atau beberapa dengan ukuran 3-30

cm, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang

biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. Anestesi atau hiperestesi merupakan

karakteristik mayor pada tipe ini. Keterlibatan saraf perifer sering terjadi. Tipe TT ini sering
menyebabkan kecacatan yang berat. Adanya infiltrasi tuberkuloiddan kurang atau tidak adanya
47

basil merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
Granulomaepiteloidini terdapat pada sebagian besar atau seluruh dermis yang dikelilingi oleh
infiltrasi limfosit yang meluas. Granulomasering meluas ke sel basal epidermis sehingga tidak
ada daerah clear zone dan dapat berpenetrasi ke dermis bagian bawah. Pada berkas saraf dapat
terjadi nekrosiskaseosaatau fibrinoiddi daerah dermis. Banyak sel raksasa langhans yang
dikelilingi oleh limfosit dalam perineurium. Pada penderita dengan tipe ini biasanya hasil
Mitsuda positif kuat dan uji in vitro untuk SIS pada M.leprae positif pada sebagian besar kasus.

L
U KP
N P
H
AS

BTA tidak ditemukan, tetapi dapat ditemukan dalam jumlah yang kecil dengan biopsi pada tepi
lesiyang aktif.

Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesipada tipe ini menyerupai tipe TT yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai

lesisatelit di pinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tetapi gambaran hipo-pigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe TT, adanya gangguan saraf tidak
seberat pada tipe IT, biasanya asimetris. Lesisatelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal. Sitologi dan komposisi dari granuloma biasanya susah dibedakan dengan tipe TT,

tetapi ini bisa dilihat dengan adanya zona subepidermal walaupun sangat sempit. Granuloma
dapat dibedakan dengan tipe BB dengan melihat adanya limfosit pada zona perifer atau adanya

sel raksasa langhans yang kadang-kadang terdapat dalam jumlah yang banyak. Sel makrofag
menunjukkan derajat yang bervariasi mulai dari diferensiasi epiteloidsampai sel raksasa. BTA
didapat dalam jumlah sedikit 0,1 atau 2 + di dalam granuloma, dan biasanya 1+ sampai 3+ pada

serabut saraf yang terkena. Uji lepromin positif tetapi tidak terlalu kuat. Merupakan tipe yang
paling tidak stabil dari semua spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik
dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesidapat berbentuk makula infiltrat. Permukaan lesidapat
mengkilat, batas lesikurang jelas dengan jumlah lesiyang melebihi tipe BT dan cenderung
simetris. Lesisangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk ataupun distribusinya. Bisa didapatkan

adanya lesi punched-outyaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang
merupakan ciri khas tipe ini.

Yang paling spesifik yaitu adanya sel epiteloidyang difus dan tersebar ke dalam granulomadan
tidak terfokus dalam zona sel epiteloid, sel epiteloidmenjadi lebih besar tetapi tidak seberat pada

tipe BT, tanpa sel raksasa Langhans. Limfosit sedikit dan berkelompok. Mulai nampak daerah48

daerah epidermal clear zone. Saraf tampak normal, perineuriummeng-adakan laminasi. BTA 3+
sampai 4+. Reaksi Mitsuda negatif dan uji transformasi limfosit sangat lemah atau negatif.

Tipe Borderline Lepromatous (BL)


Secara klasik lesidimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Makulalebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih
kecil, papul dan noduslebih tegas dengan distribusi lesiyang hampir simetris dan beberapa

L
U KP
N P
H
AS

nodusnampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesibagian tengah se-ring nampak normal
dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibanding pinggir luarnya dan beberapa plak tampak

seperti punched-out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi,


berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibanding tipe LL dengan

penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi. Tampak bentuk granuloma dari

makrofag yang tidak berdiferensiasi. Vakuolisasisel sedikit dan dapat ditemukan sedikit
makrofagdengan sel busa dan dapat dengan atau tanpa sel busa. Biasanya uji Mitsuda negatif.
Basil tahan asam dapat mencapai 3+ sampai dengan 4+.

Tipe Lepromatous (LL)

Jumlah lesisangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat, berbatas tidak
tegas dengan tepi yang kabur dan cenderung menyatu serta tidak ditemukan gangguan anestesi

dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesikhas yakni di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga sedang di badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan dan

permukaan ekstensor tungkai bawah. Nodul dan papul yang merupakan karakteristik pada tipe
LL biasanya berjumlah banyak. Nodul tersebut terutama terdapat pada cuping telinga.

Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka

menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosisyang dimulai
pada bagian lateral alis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitaspada hidung.

Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.
Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking and glove anaesthesia.

Bila penyakit ini menjadi progresif, makula dan papula baru muncul sedangkan lesi yang lama
menjadi plakat dan nodul. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer meng-alami
degenerasi hialinatau fibrosisyang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot-otot tangan dan
49

kaki. Tampak granulomamakrofagtanpa sel epiteloid dan sangat sedikit limfosit. Ditemukan
granulomayang terdiri atas histiosit yang menunjukkan perubahan degenerasi lemak yang
bervariasi dengan dibentuknya sel-sel busa. Makrofag dengan sitoplasma yang berbusa atau
vakuolisasi disebut sebagai sel Lepra atau sel virchow. Potongan saraf yang nampak berbentuk
kulit bawang tanpa infiltrasi sel atau dapat normal. BTA mencapai 5+ sampai 6+. Uji Mitsuda
negatif.

L
U KP
N P
H
AS

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling, tetapi
diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I) yang merupakan stadium

awal kusta yang terdiri atas lesi hipopigmentasiatau eritem dengan sisik yang sedikit dan dapat
saja masih sensitif. Lokalisasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka,

kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini
hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan histopatologisdidapatkan basilatau terdapat
infiltrat di sekitar saraf. Pada 20-80% kasus penderita kusta, tipe ini merupakan tanda pertama.

Sebagian besar akan sembuh spontan. Secara histopatologis tidak dapat dibedakan dengan
dermatitis kronik, bila didapatkan kepadatan sel meningkat pada satu berkas saraf (perineural

cuffing) maka ini bersifat spesifik. Basil tahan asam tidak didapatkan atau hanya sedikit. Bila
hanya ditemukan sebukan sel makrofagyang banyak maka kemungkinan perkembangan akan ke

arah tipe LL, sedangkan bila didapatkan beberapa granuloma sel epiteloidmaka perkembangan
ke arah tipe TT.

Etiologi/Patofisiologi Kerusakan Saraf

Etiologi/patofisiologi kerusakan saraf dapat dibagi dalam 3 bentuk:


1. Lesi intrafasikuler;

2. Lesi intraneural-ekstrafasikuler;
3. Lesi ekstraneural.

1. Lesi intrafasikuler

Lesiintrafasikulerdiakibatkan oleh pengaruh basil secara langsung pada sel schwann. Ini

merupakan tanda khas tipe lepromatosawalaupun tidak semua kerusakan saraf pada tipe L
disebabkan oleh infiltrasi basil. Serangan saraf tersembunyi dan lambat walaupun terjadinya
50

sangat dini dan menimbulkan gangguan fungsi saraf yang berat. Keadaan ini dapat berlangsung
tanpa rasa nyeri sebagai gejala awal suatu neuritisakut. Pada batang saraf yang mengalami
infiltrasi basil, terbentuk sikatriksyang menyebabkan fibrosisdan saraf kaku seperti tali. Saraf
tidak menebal, tetapi ada gangguan konduksi. Pada keadaan reaksi (tidak tergantung derajat
kerusakan saraf sebelumnya) dapat timbul nyeri saraf akut akibat kompresi intra neuralyang
cepat atau fenomena ekstraneural.

L
U KP
N P
H
AS

2. Lesi Intraneural-Ekstrafasikuler
Epineuronsering mengalami proliferasifibrosasehingga saraf menebal dan kaku. Dalam keadaan

reaksi kusta oleh karena fenomena imun, terjadi gejala radang pada batang saraf berupa edema

interfasikuleryang sangat nyeri. Fungsi saraf tiba-tiba berkurang. Fibrosisepineuralmencegah


perluasan sekunder

dari

edemainterfasikuler,

meningkatkan tekanan

intraneural, dan

menimbulkan kerusakan saraf. Terjadi obliterasivaskulerdan iskemibatang saraf yang telah


mengalamivaskulitis leprosayang khas memperberat pengurangan fung-si saraf.

Pada tipe T, fenomena imunyang hebat dan iskemisaraf setempat dianggap miielinyang

bertanggung jawab untuk terjadinya nekrosis kaseosayang disebut absessaraf. Neuritisakut


setempat pada batang saraf yang tidak berfungsi dan telah mengalami fibrosisdapat

menimbulkan nyeri hebat dan kadang-kadang perlu tindakan operasi. Saraf bengkak dan mielin
mionalmeninggi, tetapi tidak memberikan gejala-gejala saraf di bagian distalnya.

3. Lesi Ekstraneural

Lesi ekstraneuralterjadi karena penekanan dalam saluranosteofibrosadan jalan mielin yang

sempit seperti epitro-char-olecranon dan guyoncanaluntuk n.ulnaris dan carpal tunnel untuk

n.medianus, supinator tunneluntuk lengan atas dan alur retromaleolarmedialisdan richet untuk

n.tibialis posterior. Kerusakan saraf proksimaldari zone saluran osteofibrosa(tunnel). Diagnosis


berdasarkan gejala nyeri atau iritatif saraf (parestesi) pada lokasi tersebut.
Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh:

a. menurunnya isi (fibrosis mielin, mikrohematomoleh karena trauma) jarang terjadi;


b. meningkatnya isi (edemadan pembengkakan saraf).

51

Gangguan keseimbangan dan sirkulasi darah yang tiba-tiba dalam saluran yang disebutkan di
atas, kongesti pasif dan bertambahnya edemamenyebabkan iskemi. Mula-mula fungsi saraf
menjadi iritatif, tetapi kemudian berkurang.

Klasifikasi Kerusakan Saraf


Terdapat bermacam-macam klasifikasi kerusakan saraf yang didasarkan atas hal-hal berikut:
1. Perlangsungan klinis: akut, subakut, kronis;

L
U KP
N P
H
AS

2. Gangguan fungsi: iritatif, mielin;


3. Anatomi saraf: ulnaris, medianus, radialis, cabang nervus radialis, tibialis posterior, tibialis
myelin, aurikularis, supraorbital, poplitea lateralis, dan fasialis;
4. Topografi: lesitunggal, mielin;

5. Batas/lokasi kerusakan: cabang subkutan, batang saraf, pleksussaraf.


1. PerlangsunganKlinis

Gejala yang timbul pada perlangsungan klinis seperti berikut:


a. neuropatiakut: terjadi nyeri spontan;

b. neuropatisubakut: timbul nyeri bila dirangsang/palpasi;


c. neuropatikronis: tidak memberikan keluhan nyeri.
2. Gangguan Fungsi

Gejala-gejala periode iritatif seperti berikut:


a. sensoris: disestesi, parestesi, hiperalgesi;
b. motoris: fibrilasiotot, kram otot.

Gejala-gejala periode mielinseperti berikut:


a. sensoris: hipestesi, anestesi;

b. motoris: paresis, paralisis. Pada keadaan ini fungsi otot hilang, terjadi atrofidan deformitas;
hilangnya keseimbangan otot;

c. otonom: tidak ada keringat karena paralisis.


3. AnatomiSaraf

Pada penyakit kusta terdapat predileksikhusus dari saraf-saraf yang diserang, yaitu:
- N.ulnaris

- N.medianus
- N.radialis

52

- N.peroneus komunis
- N.tibialis posterior
- N.fasialis
Sebab-sebab atau syarat-syarat terserangnya saraf pada predileksiadalah sebagai berikut:
a. Sarafyangterletaksuperfisialis/subkutan
M.leprae tumbuh baik pada mielinmionalyang lebih rendah daripada mielinmionaltubuh, yang
cenderung berkelompok dan memperbanyak diri. Temperatur rendah juga dikatakan

L
U KP
N P
H
AS

menghambat transpormielinmionalnormal dalam akson.


b. Berdekatan dengan tulang dan sendi

Saraf-saraf yang berdekatan dengan tulang mudah terkena trauma. Demikian juga dengan saraf

yang berdekatan dengan sendi karena selalu digerakkan akan memperbesar trauma yang sudah
ada.

c. Mempunyai kemungkinan konstriksi

Pembengkakan saraf terjadi proksimaldan tidak jauh dari tempat konstriksi.


d. Saraf terletak pada titik angulasi

Titik persilangan saraf dalam kanalisfibroosseus, trauma yang berulang-ulang pada waktu sendi

difleksikandan diekstensikanmengakibatkan inflamasidan pembengkakan saraf. Sebagai contoh,


kasus subluksasi n.ulnarisdi atas mielin epikondilus medialisterjadi 6% pada orang normal, tetapi
pada neuritis leprosaditemukan sebanyak 30%.

e. Kerusakan saraf disebabkan oleh berbagai reaksi imun

Pada neuropati tuberkuloiddapat disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe lambat terhadap
antigen M.leprae intra-neural. Adapun pada tipe L, neuropatikompleks imunmemegang peranan
penting dalam kerusakan saraf, terutama selama reaksi ENL. Namun, belum ada mielin
mionalterhadap mielinsaraf periferyang diperlihatkan pada penderita kusta.

Cara/Tempat Masuknya M.leprae ke dalam Saraf

Masuknya M.leprae ke dalam saraf melalui cara/tempat berikut:

1. Melalui aksonyang terbuka ke dalam epidermis/dermissuperfisialisdiikuti dengan penembusan


epitel. Kemudian M.leprae berjalan sepanjang eksoplasma;

2. Difagositosisoleh sel perineurium, lalu menyeberangi endoneuriumdan sel schwann;


53

3. Melalui pembuluh darah endoneuralselama bacteriemi. Cara ini kurang penting dibandingkan
mielinmionalkedua cara di atas.

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Sel Schwann oleh M.leprae


1. Pada tipe tuberkuloid: karena infiltrasi M.leprae pada sel schwann, terjadi reaksi radang hebat
oleh

karena

reaksi

imunologikdi

dalamnya,

timbul

edema,

lesi

vaskuler,

iskemi,

nekrosis/perkejuan parenkimsaraf (abses).

L
U KP
N P
H
AS

2. Sel schwann bukan fagositmielinmional, tetapi fungsi utamanya adalah sintesis mielin.
3. Sel schwann mempunyai kesanggupan invitro untuk membuat sejumlah besar komponen

mielin dan lemak-lemak lainnya yang dapat dipakai oleh M.leprae.

4. Sel schwann yang mengandung M.leprae dapat menjadi sumber infeksi primer dan persisten

untuk kebocoran basil/antigen basil yang terus-meneruske dalam sirkulasi, yang bertanggung
jawab terhadap infeksi yang menetap atau kambuh pada beberapa kasus tipe L.

5. Sel schwann dari serabut yang tidak bermielinmemperlihatkan afinitasyang lebih besar
terhadap M.leprae dari- pada serabut yang bermielin.
6.

Mekanisme

fagositosisM.leprae

oleh

sel

schwann

sama

dengan

mekanisme

fagositosismakrofag.

7. Beberapa bukti baru telah muncul. Suatu glikoprotein(-dystroglican) yang mengikat ke

permukaan M.leprae juga terikat pada suatu molekul dipermukaan dari permukaan sel schwann
dan menyediakan mekanisme potensial untuk internalisasi dari basiloleh sel schwann.

Diagnosis

Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan klinik dibantu dengan
pemeriksaan

bakteriologik,

histopatologik,

imunologik,

dan

lain-lain.

Tanda-tanda

kardinalpenyakit kusta adalah:


1. anestesi;

2. penebalan saraf di daerah yang terkena;


3. adanya lesi-lesikulit;
4. ditemukannya BTA.

54

Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan jika dijumpai salah satu dari ketiga tanda
kardinalyang pertama. Pemeriksaan laboratorium penyakit kusta meliputi:
1. pemeriksaan bakteriologik;
2. pemeriksaan histopatologik;
3. pemeriksaan imunologik.

Pemeriksaan Bakteriologik

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan pemeriksaan bakteriologikadalah:


1. membantu menentukan diagnosis;

2. membantu menentukan klasifikasi;


3. menilai hasil pengobatan;

4. mencurigai resistensi terhadap obat.

Pada pemeriksaan bakteriologik, yang penting adalah perhitungan Indeks Bakteriologi (IB) dan

Indeks Morfologi (IM). IB, yaitu angka yang menunjukkan banyaknya kuman M.leprae pada
tiap satuan lapangan tertentu, baik kuman yang mati maupun kuman yang hidup. IB seseorang
adalah IB rata-rata semua lesiyang dibuat sediaan.
Kegunaan menghitung IB:

a. membantu menentukan klasifikasi kusta;

b. membantu menilai berat ringannya infeksi pada kulit;


c. membantu mencurigai terjadinya resistensi obat;

d. untuk mengetahui prognosis penyakit selama pengobatan;


e. untuk monitoring perjalanan penyakit.

Pengertian IB menurut Logaritma Ridley:

Negatif (-) = Tidak ditemukan BTA pada 100 lapangan penglihatan (LP)
1 (+) = 1 - 10 basil / 100 LP
2 (+) = 1 - 10 basil / 10 LP
3 (+) = 1 - 10 basil / 1 LP

4 (+) = 10 - 100 basil / 1 LP


55

5 (+) = 100 - 1000 basil / 1 LP


6 (+) = > 1000 basil / 1 LP
Perlu dicatat bahwa pada kusta tipe TT, apusan kulit menunjukkan hasil negatif. Apusan kulit
hanya akan menunjukkan hasil positif apabila pada setiap gram kulit terdapat minimal 10.000
basil. Oleh karena itu, hasil yang negatif belum tentu menunjukkan penderita sudah sembuh.
Juga pemeriksaan tersebut ditentukan: IM, yaitu angka yang menunjukkan persentase basilkusta
utuh (solid) dalam semua basil yang dihitung.

L
U KP
N P
H
AS

Kegunaan menghitung IM:


a. menilai kemajuan pengobatan/efektif obat kusta;

b. membantu menentukan kemungkinan resistensi obat.

Dalam berlangsungnya pengobatan, IM lebih cepat berubah dibandingkan dengan IB. IM yang

naik kembali setelah menurun menunjukkan kemungkinan-kemungkinan antara lain penderita


tidak makan obat atau ada gangguan absorbsiobat, atau mungkin telah terjadi resistensi

basilterhadap obat. IM tidak dapat dipakai pada penilaian berat reaksi karena pengobatan MDT
yang efektif lebih cepat menjadi 0%. Tidak ada korelasi antara IB dan IM dengan berat ENL.

Pemeriksaan Histopatologik

Pemeriksaan histopatologikdapat membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit kusta

apabila manifestasi klinik dan bakteriologiktidak jelas.


Pemeriksaan ini dilakukan jika:

a. diagnosis tidak pasti, misalnya pada tipe indeterminate, pada keadaan demikian biopsiharus
disertakan kulit yang normal;

b. untuk menentukan klasifikasi secara tepat;

c. untuk menentukan macam reaksi kusta, misalnya antara reaksi down-grading dan up-grading;

d. untuk menentukan kemajuan pengobatan, misalnya dilakukan pada lesi yang tampak paling
aktif untuk menentukan adanya kemungkinan resistensi terhadap obat.

Imunohistokimia

Merupakan bagian dari pemeriksaan histopatologisdengan sediaan biopsikulit yang kemudian

dilakukan fiksasi bufer formalin 15% dan selanjutnya dilakukan pewarnaan untuk
imunohistokimiaberupa:

56

1. S-100 protein; pemeriksaan dengan pewarnaan ini spesifik untuk melihat adanya basil/kuman
kusta dalam neuron dan sel schwann saraf dari saraf perifer pada kulit.
2. PGL-1; pemeriksaan dengan pewarnaan spesifik ini untuk melihat adanya deposit antibodi
anti-PGL-1 antigen berupa IgM yang terdapat pada lesi kulit dan serabut saraf perifer penderita.
3. LAM-B (lipoarabinimannan B); pemeriksaan dengan pewarnaan spesifik ini untuk melihat
adanya proses granulomatosis dalam sel schwann dari serabut saraf perifer kulit, yang mana
kelainan ini hanya dapat terlihat pada lesi kulit penderita kusta sedangkan penyakit

L
U KP
N P
H
AS

granulomatosa yang lain tidak ditemukan.

Pemeriksaan Imunologik

Pemeriksaan imunologikini dilakukan tidak untuk menegakkan diagnosis, tetapi hanya untuk
membantu dalam menentukan klasifikasi dan perjalanan penyakit kusta.
Pemeriksaan imunologik terdiri atas:
1. Tes Lepromin;
2. Tes Histamin.
Tes Lepromin

Pemeriksaan leprominmerupakan salah satu alat penunjang diagnosis penyakit kusta yang
menunjukkan seberapa besar kemampuan individu bereaksi secara seluler terhadap kuman
M.leprae yang masuk ke tubuh. Lepromin adalah suatu suspensi steril yang didapat dari jaringan

yang dihancurkan yang mengandung kuman M.leprae dan dipakai sebagai tes kulit secara
intradermal pada penyakit kusta.

Dikenal 2 macam lepromin, yaitu:

a. Lepromin Mitsuda H (Integral Lepromin Mitsuda Wade-Hayashi);


b. Lepromin Dharmendra.
Cara kerja

Dilakukan tes kulit dengan menyuntikkan 0,1 ml lepromin secara intradermal di lengan bawah,
kira-kira 2-3 cm distal dari fossa kubiti dengan alat suntik tuberkulin sehingga terbentuk
benjolan iskemik dengan diameter kurang lebih 8 mm.

Reaksi dan Pembacaan Lepromin

Reaksi kulit terhadap tes lepromin ada 2 macam, yaitu:


57

a. reaksi dini (reaksi Fernandez);


b. reaksi lambat (reaksi Mitsuda).
1. Reaksi Dini (Reaksi Fernandez)
Reaksi dini berbentuk infiltrasi eritematosa yang timbul 24-72 jam setelah penyuntikan. Reaksi
ini menunjukkan hipersensitivitas yang telah ada terhadap antigen yang disuntikkan. Pembacaan
biasanya dilakukan 48 jam kemudian setelah penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam
degradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).

L
U KP
N P
H
AS

2. Reaksi Lambat (Reaksi Mitsuda)


Reaksi ini berbentuk noduleryang tampak paling jelas pada hari ke 21-30. Reaksi ini

menunjukkan respon terhadap imunitas seluler. Pembacaan dilakukan setelah hari ke-21
penyuntikan dan hasil tes dinyatakan dalam gradasi negatif (-) sampai positif 3 (+3).

Kedua jenis leprominDharmendra maupun Mitsuda menghasilkan reaksi dini maupun reaksi
lambat. Reaksi dini paling sering didapatkan pada tes leprominDharmendra, sedangkan reaksi
lambat paling sering didapatkan pada tes leprominMitsuda.
Tes Histamin

Apabila histamindisuntikkan secara intradermalpada kulit normal akan menyebabkan dilatasi


kapiler. Hal tersebut dapat dilihat pada adanya suatu bercak berwarna merah yang disebut

sebagai histamin flare. Keadaan ini tidak disebabkan pengaruh langsung oleh histamin ke
dinding kapiler, karena adanya oxen reflex, dari saraf kulit sehingga terjadinya pun bergantung
pada integritas serabut saraf simpatik. Derajat kerusakan saraf dapat dinilai dengan melihat

ukuran dari bercak merah yang timbul. Ini sangat berguna untuk menentukan apakah suatu
makulahipopigmentasidisebabkan kusta atau kelainan lain.

Tes histamindapat dilakukan dengan cara berikut: Larutan 0,001 % histamin asam fosfat
diteteskan pada lesi yang dicurigai dan pada kulit normal sebagai kontrol. Kemudian kulit

ditusuk dengan jarum melalui tetesan tersebut. Cara lain adalah injeksi intradermal 0,1 cc larutan

1:1000 histamin fosfat. Pada kulit normal akan timbul bintul merah dalam waktu 1-2 menit.
Pembacaan dilakukan setelah 10 menit. Pada kusta indeterminatedan borderlineakan timbul
lambat sedangkan pada tipe tuberkuloidjustru tidak ada.

Selain tes-tes tersebut di atas, terdapat beberapa tes diagnostik untuk penyakit kusta seperti yang
dijelaskan pada uraian berikut.

58

1. Tes Pengeluaran Keringat


Tes ini merupakan cara lain untuk mengetahui integritas dari saraf kulit, selain tes histamin.
Proses berkeringat bergantung pada integritas serabut saraf parasimpatik. Jika suatu makula
hipopigmentasidisebabkan oleh kusta, maka respon dari kelenjar keringat terhadap obat-obat
kolinergikakan berkurang. Cara yang paling praktis untuk mengetahui faal keringat adalah
dengan menyuruh penderita melakukan olahraga di bawah sinar matahari, lalu dilihat apakah

L
U KP
N P
H
AS

pada daerah yang dicurigai mengeluarkan keringat atau tidak.


2. Tes Pilokarpin

Tes pilokarpindapat dilakukan dengan cara berikut. Diambil 0,1 cc larutan 0,06% pilokarpin
nitrat, disuntikkan intradermal pada makulayang dicurigai dan kulit sehat sebagai kontrol.

Kemudian kulit diolesi dengan tinctura jodine, lalu di atasnya ditaburi dengan tepung amilum.
Jika faal keringat baik maka akan terjadi perubahan warna amilummenjadi biru, sedangkan bila

anhidrosis seperti kusta, warna amilumtetap yang berarti ada kerusakan saraf. Selain tinctura
jodine dan amilum dapat pula dipakai bahan lain yaitu quainizarin dengan interpretasi sama di
atas.

Cara lain selain di atas adalah dengan Methacholine Sweating Test. Pada makula yang dicurigai

dan kulit normal sebagai kontrol diolesi dengan larutan minor (mengandung iodium 2% dan
castor oil 10% dalam alkohol absolut). Setelah itu disuntik secara intradermal dengan 0,1 cc

larutan metachopline 1%. Kemudian ditaburi dengan serbuk amilum. Interpretasi selanjutnya
sama dengan tes pilokarpin.
3. Tes Serologis

Tes serologis yang baik sebagai sarana penunjang dignosis penyakit kusta beserta kontaknya

secara ideal harus yang tepat guna (sensitif, spesifik dan presisi yang tinggi) dan berdaya guna.
Hal itu berarti tes tersebut mempunyai jangkauan yang luas baik dalam fungsi maupun tempat

pelaksanaannya (dapat sampai jenjang Puskesmas). Mengingat bahwa penyakit kusta merupakan
penyakit rakyat yang terdapat di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sebagian besar masyarakat

Indonesia berdiam di pedesaan maka tes yang tepat untuk menunjang pemberantasan penyakit
kusta ini adalah sarana diagnostik yang mempunyai tepat guna dan daya guna, juga murah serta
praktis dalam pelaksanaanya. Tampaknya tes MLPA dapat memenuhi harapan di atas.

59

Pada daerah dengan prevalensi kusta yang tinggi, diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
pemeriksaan klinis dan mikroskopis. Mendeteksi bakteri merupakan hal yang sulit dilakukan dan
gambaran histopatologis dapat menunjukkan gambaran yang tidak spesifik.
Viabilitas M.leprae sangat sulit ditentukan karena bakteri tidak bisa dibiakkan pada media kultur.
Teknik mouse footpad (MFP) untuk mengetahui replikasi M.leprae memberi harapan untuk
menemukan obat anti kusta baru, mengetahui resistensi obat pada M.leprae, dan
mengembangkan vaksin. Teknik MFP ini memerlukan waktu yang lama, mahal dan memerlukan

L
U KP
N P
H
AS

tenaga ahli sehingga dianggap tidak praktis digunakan dalam penelitian. Terbatasnya
laboratorium yang dapat melakukan teknik MFP ini juga merupakan hambatan dalam suatu
penelitian.

Teknik Radiorespirometry (RR) diketahui berkaitan dengan pertumbuhan M.leprae pada MFP

dan berguna untuk evaluasi kerentanan M.leprae terhadap obat anti kusta baru, dan terhadap

perubahan lingkungan, misalnya ultraviolet dan radiasi. Selain itu, teknik ini juga dapat

mengetahui terjadinya resistensi terhadap rifampisindan efek M.leprae yang viabel pada sel

schwann. Teknik RR hanya mampu mendeteksi bakteri dalam jumlah yang besar (107), sehingga
membatasi penggunaannya untuk tujuan klinis dan untuk kasus dengan jumlah bakteri yang

sedikit. Selain itu, RR memerlukan substansi radioaktif yang penggunaannya sangat terbatas di
beberapa negara.

Polymerace Chain Reaction (PCR)

Merupakan metode baru untuk mendeteksi adanya organisme yang cepat dan tepat yaitu dengan
amplifikasi DNA yang spesifik sampai tingkat yang dapat dideteksi. Metode ini dapat

mendeteksi M.leprae dengan amplifikasi skuens 531 bp dari progennya dan terbukti sangat

bermanfaat untuk mendeteksi sejumlah kecil basil kusta dari biopsi kulit penderita kusta, untuk
melihat adanya kolonisasi adanya M.leprae pada mukosa/apusan hidung penderita kusta maupun
orang sehat.

Prinsip dari metode ini adalah DNA bakteri yang diekstraksi dari bakteri dengan cara

memecahkan bakteri tersebut, kemudian di denaturasi dengan pemanasan selama 2 menit.


Setelah itu diletakkan (unheeding) 2 primer pada masing-masing ujung yang berlawanan dari
kedua helai DNA, dilakukan pada 55C selama 2 menit. Kemudian diadakan polimerase dengan
menggunakan tag DNA polimerase pada suhu 72C selama 3 menit. Hal ini diulang sebanyak 32
60

kali. Hasil duplifikasi DNA dianalisa dengan melakukan elektroforesis dengan gel 2% dan
kemudian dibaca dengan melakukan hibridisasi atau dengan foto ultraviolet.
PCR ini sangat sensitif yang secara umum dipakai di lapangan untuk diagnostik asam nukleat
dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi DNA dari M.leprae diantara populasi di daerah
endemik kusta. Kemungkinan besar PCR dapat digunakan untuk diagnosis pasti kusta tipe
tuberkuloidatau untuk follow-up hasil pengobatan, menggantikan pemeriksaan adanya bakteri
tahan asam seperti yang dilakukan selama ini.

L
U KP
N P
H
AS

Pemeriksaan serologis memiliki potensi untuk mendeteksi dan mengidentifikasi respon imun
terhadap Mycobacterium leprae (M. leprae) sebagai diagnosis kusta. Oleh karena itu, PCR

sederhana dan PCR spesifik diusulkan sebagai pemeriksaan untuk mendeteksi M.leprae.
Bagaimanapun, pemeriksaan molekular sangat berguna untuk diagnosis kasus yang tidak biasa

atau membingungkan. Misalnya, diagnosis PNL dapat ditegakkan setelah mendeteksi adanya
M.leprae menggunakan pemeriksaan PCR pada spesimen biopsi saraf. Penggunaan PCR untuk

mendeteksi DNA M. leprae pada biopsi kulit dan saraf berguna untuk menegakkan diagnosis

kusta sehingga pengobatan yang tepat, pencegahan kecacatan dan data epidemiologi dapat

diketahui. Keuntungan PCR adalah sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, dan tidak
memerlukan kultur bakteri. Hal tersebut cukup penting, mengingat tidak bisa dilakukan kultur
bakteri M.leprae.

Kelainan Kulit yang Menyerupai Kusta


MakulaHipopigmentasi
a. Pitiriasis alba

Makulaberbentuk bulat, warna putih, lokasi pada wajah dan bila terdapat pada anak-anak
biasanya menjadi persoalan untuk diagnosis pada daerah endemik kusta. Penyebabnya belum

jelas, lesidapat tunggal atau multipel dan banyak pada pipi. Biasanya menghilang setelah anak
menjadi dewasa.
b. Vitiligo

Kelihatan lebih depigmentasi (achromia) daripada hipopigmentasidan pertumbuhan rambut pada


daerah makula dapat achromic. Lesimultipel, ukuran, dan bentuknya bervariasi. Tidak
didapatkan penebalan saraf dan tes histaminnormal. Bila hipopigmentasiberubah menjadi

depigmentasi, maka diagnosis akan menjadi lebih jelas. Tidak ada alopesia, anhidrosis, dan
61

gangguan sensasi. Vitiligodapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu segmental dan nonsegmental (generalisata). Kedua bentuk tersebut dapat diawali dengan vitiligofokalyang
mengenai sekitar 15% area tubuh yang terkena.
c. Pitiriasis versikolor
Biasanya hipopigmentasi yang asimptomatik, multipel, jarang pada wajah, lebih banyak pada
badan dan lengan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan KOH 10%, didapatkan

L
U KP
N P
H
AS

spora, hifapada kerokan kulit.

d. Dermatitis seboroik

Dermatitis seboroikmerupakan penyakit inflamasi kronik, relaps dengan predileksi pada daerah

yang kaya kelenjar sebasea. Kelainan ini ditandai dengan skuama, dan tidak jarang ditemukan

eritema dan kebotakan, namun gambaran morfologi penyakit ini tergantung pada daerah kulit
yang terkena. Pada fase akut, skuama yang tebal menutupi permukaan kulit yang agak lembab.

Kulit kepala adalah daerah yang paling sering terkena, selain itu juga dapat mengenai wajah,

dada, dan daerah sela-sela jari. Hipopigmentasi pada dada dan wajah yang mirip dengan kusta.
Adanya gatal, skuama dan ketombe pada kulit kepala menunjukkan suatu dermatitis seboroik.
e. Polymorphous light eruption

Pada anak-anak dan dewasa muda terdapat bercak hipopigmentasi kadang-kadang pada wajah.
Lesi biasanya dengan batas yang jelas, multipel, gatal, dan kadang-kadang asimtomatik.
f. Pitiriasis rosea

Penyebabnya mungkin virus, lesi hipopigmentasi yang asimtomatik, makula oval dengan
distribusi pada badan dan bagian proksimal anggota badan.
g. Nevi

Yang paling menyerupai kusta adalah nevus anemicus dan nevus pigmentosus. Kedua, nevi ini
tidak ditemukan adanya pigmen, ada sejak lahir dan membesar sesuai dengan usia anak.
h. Morphea (localized scleroderma)

Pada stadiumlanjut dari morphea, lesikulit hipopigmentasi, tetapi jarang hipestesi. Pada makula
yang berwarna putih, pertumbuhan rambut dan kelenjar keringat tidak ada dan bila terjadi
sklerosis yang lebih hebat dapat timbul gangguan sensoris.
i. Post inflamasi hipopigmentasi

62

Kulit bereaksi terhadap trauma berupa hipo atau hiperpigmentasi. Lesi meninggalkan makula
berbatas tegas dan dengan anamnesis dapat membantu menegakkan diagnosis.
j. Yaws
Depigmentasiyang terjadi berkembang lambat, simetris bilateral, lokasi pada lengan, daerah yang
tidak berambut, timbul pada usia dewasa di atas 30 tahun, disertai hiperkeratosis pada telapak
tangan dan kaki, nodus juxta articular, gangosa, sabre tibiae, biasanya multipel, mobil, keras
dan nodul yang subkutan atau intrakutan. Tes serologis untuk sifilis positif.

L
U KP
N P
H
AS

k. Onchocerciasis
Depigmentasi terbatas pada kedua tungkai di daerah pretibial.

l. Dermatitis kontak

Dermatitis kontak dapat berupa makula eritematosa disertai skuama, kadang sulit dibedakan
dengan kusta pada kasus dermatitis kontak rekalsitran terhadap terapi konvensional. Pada
dermatitis kontak tidak ditemukan gejala neuropati.

Lesi Kulit yang Meninggi


a. Tinea korporis

Bila berada pada daerah intertriginosa, lesi dapat hipopigmentasi. Kadang-kadang tidak gatal,
tetapi tidak anestesi. Pemeriksaan KOH 10% dan kerokan kulit dapat membantu menegakkan
diagnosis.
b. Sifilis

Lesi sifilis dapat menyerupai penyakit kusta, tetapi lesi ini biasanya asimptomatis. Pada sifilis
sekunder dan tersier lesi kulit kurang, dengan batas yang jelas. Limfadenopati, gejala lain seperti

lesi genital dan lesi oral sering timbul, tetapi tidak didapati kelainan saraf perifer. Pemeriksaan
tes hemaglutinasi positif terhadaptreponema pallidum.
c. Lupus vulgaris

Lesi kulit hanya sedikit dengan efloresensi berupa papula dengan pinggir eritem, bagian sentral
normal atau atropi kulit yang mirip kusta. Biasanya sering pada wajah dan dengan pemeriksaan
histopatologi saraf kulit tampak normal. Anestesi dan pembesaran saraf tidak ada.
d. Discoid lupus erythematous

63

Biasanya pada wanita umur 30-50 tahun, lesipada wajah menyerupai bentuk kupu-kupu dan
tidak ada gangguan sensoris. Bila penyakit menjadi progresif, maka kulit dapat menjadi atrofi.
e. Psoriasis
Lesi kulit yang khas berupa erupsi skuama berlapis se-perti mika dengan dasar yang eritematosa,
lesi yang bervariasi jumlahnya, dapat menyerang kulit kepala, daerah fleksor, dan jari-jari.
f. Post kalaazar dermal leishmaniasis
Pada stadium awal berupa makula hipopigmentasi pada daerah fleksor seperti aksila dan lipatan

L
U KP
N P
H
AS

paha, mirip dengan kusta tipe indeterminate. Nodul yang multipel dengan distribusi pada muka
dan telinga mirip kusta tipe lepromatosa. Pemeriksaan basil tahan asam dan leishman donovan
bodies dari nodul dapat membantu menegakkan diagnosis.

g. Granuloma anulare

Perjalanannya kronis, dapat menghilang spontan dan kadang-kadang muncul kembali. Anak-

anak dan dewasa muda sering terkena, lokalisasi bagian dorsum manus, mempunyai gambaran
histologis yang khas. Lesi bentuk anuler atau polisiklik dengan papula yang meninggi
eritematosa, atrofi atau normal pada bagian tengahnya yang biasanya pada ekstremitas.
h. Reaksi obat

Sering disertai dengan makula(rash) yang eritematosamirip dengan infiltrat kusta, reaksi obat
biasanya

disertai

demam,

sakit

sendi,

dan

gambaran

kliniknya

mirip

dengan

EritemaNodosumLeprosum.
i. Penyakit kolagen

Sistemik lupus eritematosus dan reumatoid artritis akut sering mirip dengan Eritema Nodosum

Leprosum. Lesi kulit pada SLE sering pada daerah muka. Neuritis perifer sering pada kusta

tetapi jarang pada SLE dan reumatoid artritis. Pada kasus yang meragukan dilakukan
pemeriksaan basil tahan asam.

j. Neurofibromatosis yang multipel

Nodul pada kulit berwarna dan pada 80% kasus dida-patkan multipel cafe au lait spots.
Gangguan sensoris tidak ada dan basil tahan asam negatif. Ukuran nodul ini bervariasi dan
sangat lunak.

k. Eritema Nodosum

64

Gejalanya kompleks, multipel, lunak, nodul sub atau intra kutan. Predileksi pada ekstremitas
bagian ekstensor. Sering remisi dan eksaserbasi.

Infiltrat Difus
a. Sunburn Skin
Dalam keadaan kronis, kulit menjadi tebal, didapat pada daerah wajah dan daerah yang terpajan
sinar matahari, sedangkan infiltratkusta biasanya pada tempat-tempat lain.

L
U KP
N P
H
AS

b. Hipotiroidisme
Rambut alis gugur dan infiltrasi musin pada kulit hingga mirip kusta tipe lepromatosa, dapat
dilakukan pemeriksaan tes fungsi tiroid dan basil tahan asam.
Manifestasi Kulit Mirip Reaksi Kusta
a. Nodular vaskulitis

Ditandai dengan nodul dan plak yang berlokasi pada tungkai dan paha, terjadi akibat inflamasi
pada dinding pembuluh darah di jaringan subkutis.
b. Erisipelas

Infeksi pada kulit yang berlokasi pada dermis dan hipodermis yang biasanya disebabkan oleh

infeksi streptococcus pyogenus dengan gejala klinik berupa eritema, peninggian kulit, nyeri dan
berbatas tegas.

c. Pyogenic gangrenosum

Penyakit kulit yang disebabkan oleh respon imunologik yang abnormal, gambaran klinik berupa
nodul eritem yang keras yang dengan cepat menjadi kehitaman dan ulserasi.
Kelainan Saraf Perifer yang Mirip Kusta
1. Diabetes Melitus

Umumnya pada umur di atas 40 tahun dengan gejala sensoris neuropati. Mononeuritis multipleks
jarang pada diabetes mellitus, tetapi juga dapat terjadi neuritis perifer.
2. Trauma

Trauma ringan dapat menyebabkan fibrosis dan gangguan saraf, trauma suntikan atau trauma
sesudah fraktur dekat tulang dapat menyebabkan neuritis perifer, saraf yang sering terkena
adalah saraf peroneus.

3. Bernhardts syndrome

65

Neuritis nervus kutaneus menyebabkan parestesi, anestesi anhidrosis, iktiosis dan eczema
anhidrotic, dan pada umumnya unilateral. Didapatkan pada orang gemuk, wanita hamil tetapi
dapat juga pada wanita yang tidak hamil. Tekanan pada pleksus lumbalis dan ligamentum
inguinal dapat menyebabkan neuritis.
4. Avitaminosis
Kekurangan vitamin B1, B6, B12, asam nikotinik dan asam folat dapat menyebabkan neuropati
sensoris bilateral.

L
U KP
N P
H
AS

5. Toksik neuritis
Berbagai obat dapat menyebabkan neuritis perifer seperti logam, alkohol dan DDS.
6. Penyakit Kolagen

Pada poliarteritis nodosa dapat terjadi footdrop dan wrist drop.


7. Disease of spine, spine cord, cervical rib

Pemeriksaan radiologis dan liquor cerebrospinalis dapat membantu menegakkan diagnosis,

disosiasi dari sensasi merupakan gejala khas yang dapat ditemukan pada penderita dengan
kelemahan otot-otot tangan dan kaki, tetapi tidak didapatkan pada penyakit kusta.
8. Sifilis

Saat ini polineuritis sifilis sudah jarang ditemukan biasanya disertai kelainan kolumna posterior.
Adanya kesukaran pada saat jalan karena gangguan sensasi dan pada keadaan lanjut dapat terjadi

ulkus plantaris. Pada mata dapat diperiksa Argyll Robertson Pupil. Pemeriksaan liquor
cerebrospinal dan darah dengan VDRL akan membantu diagnosis.
9. Overriding of the ulnar nerve

Overriding menyebabkan neuritis yang pada keadaan lanjut menyebabkan gangguan sensoris dan
motoris.

10. Carpal-tunnel syndrome

Neuritis dapat terjadi pada nervus medianus. Pemeriksaan saraf berguna untuk menegakkan
diagnosis. Pada neuropati multipel penyebabnya bermacam-macam, seperti diabetes yang dapat
menyebabkan ulkus plantaris. Pelepasan histamin akan berkurang pada lesi kulit yang anestesi.
11. Sensory neuropathies

Bersifat familier dan herediter. Onsetnya pada saat anak-anak dengan neuropati sensoris yang
gradual dan distribusinya simetris.

12. Hypertrophic interstitial neuritis


66

Tergolong gangguan sensoris motoris familial pada saraf perifer timbul pada dewasa muda, saraf
membesar, keras, atropi otot anggota badan (tungkai dan lengan), claw hand, drop foot, anestesi
dan refleks tendon menurun.
13. Primary amyloidosis
Penyakit ini jarang, biasanya timbul pada dekade ke 2 dan ke 3, biasa mengenai anggota gerak,
sensasi yang menurun, kelemahan otot dan drop foot. Pada keadaan lanjut dapat timbul refleks
tendon yang menurun dan ulkus tropik pada kaki. Gejalanya dapat berupa makroglosi, kardiopati

L
U KP
N P
H
AS

dan lesi amiloid pada kulit. Untuk diagnosis diperlukan pemeriksaan histopatologi dari saraf.
14. Sarkoidosis

Neuropati sensoris dengan atau tanpa pembesaran saraf. Lesi dari pada kusta dapat menyerupai
lesi sarkoidosis. Tes Kveim penting untuk diagnosis sarkoidosis dan biopsi saraf dapat
membantu menegakkan diagnosis.
15. Granuloma multiforme

Gangguan kronis banyak ditemukan di Nigeria dan didapat pada umur di atas 40 tahun. Plak
mirip kusta tipe TT, kadang-kadang lesi baru tampak sementara lesi tua menghilang.
16. Mycobacterium marinum infection (Fish tank granuloma)

Biasanya soliter, berwarna coklat kemerahan yang mirip kusta tipe TT. Diagnosis ditegakkan
dengan kultur, gambaran klinik dan reaksi kulit positif dengan PPD dan M.marinum.
17. Kaposis sarcoma

Didapatkan nodul dan edema, biasanya mengenai kaki dan tungkai bawah. Pada palpasi kaki
terasa keras dan 50% timbul nodul ulser. Pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan
diagnosis.

18. Atypical necrobiosis of face

Terjadi pada wanita dewasa yang tidak diabetik. Lesi anuler mirip kusta tipe borderline tetapi
kulit sering terkena dan perlu pemeriksaan histopatologi untuk diagnosis.
19. Follicular mucinosis (alopecia mucinosa)

Kulit berwarna atau plak eritematosa dengan skuama dan gugurnya rambut terutama alis mata,
yang mirip dengan kusta. Untuk ini diperlukan pemeriksaan histopatologi.
20. Wegners granulomatosis

67

Penyakit yang jarang, mirip kusta tipe lepromatosa karena biasanya mengenai dewasa muda,
dimulai dengan obstruksi nasal dan epistaksis yang rekuren kemudian terjadi lesi kulit berupa
papula nekrotik. Kematian terjadi karena gagal ginjal.
21.Siringomielia
Anestesi dan kelemahan otot ekstremitas tergantung pada lokasi lesi. Adanya anestesi (gangguan
rasa sakit dan suhu, tetapi raba tetap baik) dan refleks tendo berkurang. Tes histamin biasanya
positif.

L
U KP
N P
H
AS

22. Hereditary sensory radicular neuropathy


Pada tungkai bawah terjadi gangguan sensasi dan keringat, tetapi koordinasi otot tetap baik.
Terdapat ulkus plantaris kronis yang tidak sakit dan tuli terhadap nada tinggi.
23. Congenital indifference to pain

Didapat pada anak-anak dan tes histamin positif. Perubahan pada tulang mirip pada kusta berupa
absorbsi jari pada falangs terminal dan hancurnya tulang tarsal.
24. Hysteria

Hati-hati membuat diagnosis karena menurut Jopling, WHO pernah mengobati 2 penderita kusta
karena anestesi regional dengan tes histamin negatif dan disangka hysteria.
25. Peroneal muscular atrophy (Charcot Marie Tooth Type)

Suatu gangguan herediter, onsetnya pada waktu anak-anak, kelemahan otot ekstremitas, pes
cavus, hammer toes dan refleks tendon ekstremitas menurun sampai menghilang.
26. Recurrent or Chronic progressive (endotoxic) polyneuritis

Gangguan saraf akuisita, penyebabnya tidak diketahui, gejala pertama tampak pada usia dewasa
dan refleks tendon menurun.
27. Pachydermoperiostosis

Penebalan yang menyeluruh pada kulit, periosteum dan tulang serta penebalan saraf. Clubbing
fingers dan penebalan kulit dahi dapat dibedakan dengan faciesleon-tine dari kusta tipe
lepromatosa.

28. Excessive Muscular Development

Didapat pada pegulat dan orang-orang yang mengangkat barang berat hingga menyebabkan
penebalan nervus aurikularis.

68

Penyakit kusta juga dapat didiagnosis banding dengan pitiriasisprofunda, ichthyosis vulgaris,
folikulitiskronis, pityriasis lichenoides acuta, mikosisfunguidesdan limfomamaligna, influenza,
thromboangitis obliterans, erisipelas, blastomikosis, dan histoplasmosis.

Aspek-Aspek Pengobatan
Aspek-aspek pengobatan penyakit kusta terdiri atas:
1. Kemoterapi (obat-obatan anti kusta), akan dibicarakan;

L
U KP
N P
H
AS

2. Fisioterapi & rekonstruksi;


3. Psikoterapi.

Tujuan Pengobatan

Tujuan pengobatan penyakit kusta, yakni:

1. Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah cacat;

2. Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain.

Rejimen Pengobatan

Tipe PB dengan Lesi Tunggal

Diberikan dosis tunggal rifampisin- ofloksasin - minosiklin (ROM) :

Dewasa(50-70 kg) :Rifampisin 600 mg,Ofloksasin 400 mg, Minosiklin 100 mg.Anak(5-14
tahun) : Rifampisin 300 mg, Ofloksasin 200 mg
- Obat ditelan di depan petugas

- Anak < 5 tahun dan ibu hamil: tidak diberikan ROM

KeuntungandanKekuranganROM

Obat ini hanya bekerja secara metabolik aktif dengan waktu paruh 3 - 5 jam untuk rifampisin, 7 -

8 jam untuk ofloksasin dan 12 -18 jam untuk minosiklin. Keuntungan penggunaan ROM adalah

mempersingkat waktu pengobatan dan dosis tunggal ROM per bulan ternyata lebih efektif, aman,

murah dan pelaksanaannya lebih sederhana. Sedangkan kekurangannya, tidak dapat diberikan
pada anak dibawah 5 tahun, penderita di atas 65 tahun, wanita hamil, alergi dengan komponen
obat atau derivatnya, menderita infeksi TBC, DM, jantung, hepar, kanker atau epilepsi dan
pendeita dengan HIV positif.

69

Monoterapi
Dapson = DDS
Sifat : Bakteriostatik yaitu menghalangi/ menghambat per-tumbuhan kuman kusta.
Dosis :
a. Dewasa : 100 mg/hari, secara terus menerus.
b. Anak-anak : l-2mg/kgBB/hari.
Lamanya pengobatan tergantung dari tipe penyakitnya, yakni:

L
U KP
N P
H
AS

- tipe T : 3 tahun
- tipe I : 6 tahun

- tipe B/L : 10-15 tahun bahkan lebih.


Penderita dinyatakan:

- Inaktif apabila penderita sudah berobat lebih dari 1 tahun dan penderita berobat teratur (lebih
75% dosis seharusnya);

- Release from control (RFC) apabila penderita telah dinyatakan inaktif dan penderita tidak
pernah mengalami reaktivasi.

Bila selama pengobatan konsolidasi sesudah inaktif, timbul tanda-tanda aktif lagi dari penyakit,
keadaan ini disebut reaktivasi. Dalam hal ini penderita harus berobat dari permulaan sesuai

dengan skema pengobatan. Bila sesudah RFC timbul tanda-tanda aktif kembali dari penyakit,

keadaan ini disebut relaps dan pernyataan inaktif dan RFC dibatalkan. Dalam hal ini penderita
harus berobat dari permulaan sesuai dengan skema pengobatan.

Efek samping jarang terjadi. Kalau ada, maka hal tersebut dapat berupa gejala berikut:
- Anemi hemolitik dan defesiensi zat besi
- Manifestasi kulit (alergi)

- Manifestasi saluran pencernaan : anoreksi, nausea, muntah dan hepatitis.


- Neuropati perifer
- Psikosis

MDT

Sejak timbulnya masalah resistensi terhadap DDS, maka diambil suatu kebijaksanaan untuk

mengadakan perubahan dari pengobatan tunggal DDS menjadi pengobatan kombinasi. Dengan

pengobatan kombinasi, angka relapssangat rendah yaitu sekitar 0,1% per tahun untuk penderita
70

PB dan 0,06% per tahun untuk penderita MB. Di samping itu, pengobatan monoterapi menurut
WHO tidak layak. Di Indonesia, sejak tahun 1982 mulai digunakan obat kombinasi.
Tujuan pengobatan kombinasi:
a. mencegah resistensi terhadap obat khususnya DDS;
b. mengobati resistensi yang telah ada;
c. memperpendek waktu pengobatan;
d. pemutusan mata rantai penularan menjadi lebih cepat.

L
U KP
N P
H
AS

Berdasarkan rekomendasi kelompok studi WHO, Oktober 1981, di Genewa, dan hasil rapat
konsultasi Kusta Nasional Ciloto, Februari 1982, pengobatan kombinasi diberikan untuk semua
penderita penyakit kusta, baik yang PB maupun MB.

Selama pengobatan MDT hal-hal yang harus diperhatikan seperti berikut :

- Petugas kesehatan setempat harus bertanggung jawab dalam hal pemberian obat.

- Bila penderita tidak datang pada waktu yang ditentukan, maka pemberian rifampisindan
lampren masih dapat diberikan bila penderita datang dalam dua minggu terakhir.

- Bila penderita tidak datang, maka penderita harus dicari dan ditanyakan alasan tidak datangnya
di tempat pemberian obat.

- Memonitoring keteraturan pengobatan.

- Menjaga persediaan obat di gudang obat.

- Bila timbul reaksi kusta, sebaiknya dirujuk pada fasilitas kesehatan yang lebih memenuhi
persyaratan.

- Penderita tipe MB minimal sekali setahun melakukan pemeriksaan bakteriologis.


Rejimen pengobatan kombinasi sebagai berikut:
a. Dosis

- Pausibasiler (PB)

Dapson 100 mg/hari, makan di rumah.

Rifampisin 600 mg/bulan, makan di muka petugas.

Lamanya pengobatan: 6 bulan, maksimal 9 bulan (6 dosis rifampisin).

Penderita yang telah mendapat 6 dosis MDT dalam 6 bulan atau maksimal 9 bulan dapat
langsung dinyatakan RFT, asal tidak timbul lesi baru atau lesi semula melebar.

Penderita yang telah dinyatakan RFT dikeluarkan dan daftar pengobatan dan dimasukkan dalam
kelompok pengamatan (surveillance).
71

Pemeriksaan ulangan untuk pengamatan hanya dilakukan 1 x setahun selama 2 tahun. Bila
penderita yang telah dinyatakan RFT ternyata timbul lesi baru atau perluasan lesilama, maka
penderita tersebut dianggap relaps (kambuh) dan diklasifikasikan kembali menjadi penderita
MB. Pengobatan MDT diulangi dengan rejimen MB.
Bila setelah 2 tahun berturut-turut tidak timbul gejala aktif, atau tidak datang memeriksakan diri,
maka penderita di-nyatakan RFC (sembuh).
- Multibasiler (MB):

L
U KP
N P
H
AS

Dapson 100 mg/hari, minum di rumah


Rifampisin600 mg/bulan, diminum di muka petugas

Klofasimin (lampren) 50 mg/hari, diminum di rumah dan 300 mg/bulan, diminum di muka
petugas

Lama pengobatan: 12 bulan, maksimal 18 bulan (de-ngan 12 dosis rifampisin).

Bila ada kontraindikasi dapat diberikan kombinasi 600 mg rifampisin, 400 mg ofloksasin dan
100 mg minosiklin se-lama 24 bulan. Penderita MB yang telah mendapat MDT 12 dosis dalam
waktu 24 bulan atau maksimurn 18 bulan dan BTA negatif (pemeriksaan tiap bulan) dapat

dinyatakan RFT. Bila masih BTA positif, pengobatan diteruskan sampai BTA negatif
(pemeriksaan tiap 6 bulan).

Penderita yang tidak cocok dengan rifampisindapat diberikan 50 mg klofasimin tiap hari, 400 mg
ofloksasin dan 100 mg minoksiklin selama 6 bulan. Dilanjutkan dengan 50 mg klofasimin, 100
rng minosiklin atau 400 mg ofloksasin selama kurang lebih 18 bulan.

Pemeriksaan dilakukan 1 kali setahun selama 5 tahun untuk pemeriksaan klinis dan

bakteriologis. Bila setelah 5 tahun tidak timbul lesibaru atau perluasan lesilama dan tidak
menunjukkan tanda aktif, maka penderita dapat dinyatakan RFC (sembuh).
b. Sifat

- Lampren: bakteriostatik, menghambat pertumbuhan kuman kusta.


- Rifampisin: bakterisid, membunuh kuman kusta.
c. Efek Samping
- Lampren:

Warna kulit terutama pada infiltratungu sampai kehitam-hitaman, yang dapat hilang setelah
lamprendistop.

Gangguan saluran pencernaan.


72

Ichtyosis (menghilang 6-12 bulan setelah pengobatan selesai).


Pigmentasi conjunctiva.
- Rifampisin:
Sindroma kulit (pruritus)
Sindroma perut
Flu-like syndrome - Sindroma pernafasan (sesak, collapse, shock).
d. Kontraindikasi

L
U KP
N P
H
AS

Gangguan hepar dan ginjal


Sakit perut dan diarekronis.

e. Rencana Pelaksanaan MDT

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyusun rencana pelaksanaan MDT sebagai berikut:
1) Tenaga;

2) Pengumpulan data;

3) Meninjau kembali semua penderita;


4) Sumber daya operasional;

5) Apakah akan meliputi semua penderita;

6) Pemilihan kelompok yang akan masuk program;


7) Fasilitas untuk pemeriksaan laboratorium;
8) Jumlah obat yang dibutuhkan;

9) Menentukan tempat dan hari pengobatan.

Obat Antikusta Lain

Golongan Fluorokuinolon

Merupakan salah satu jenis obat yang mungkin dapat mempersingkat waktu pengobatan penyakit
kusta. Mekanisme kerja obat golongan ini adalah menghambat enzim DNA girase bakteri,
bersifat bakterisidal dan mempunyai spektrum antibakteri untuk gram negatif dan gram positif.

Beberapa penelitian melaporkan golongan kuinolon yang aktif terhadap M.leprae yaitu
pefloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin tetapi siprofloksasin tidak aktif terhadap M.leprae.
Pefloksasin dan ofloksasin memiliki kemampuan sebagai obat antikusta, tetapi ofloksasin lebih

aktif sehingga perhatian dipusatkan pada ofloksasin. Efek samping yang dilaporkan bersifat
sedang dan jarang. Efek samping yang mungkin ditemukan antara lain nausea, diare dan
73

gangguan saluran cerna serta berbagai gangguan sistem saraf pusat termasuk insomnia, nyeri
kepala, halusinasi, dan kecemasan. Masalah yang serius jarang terjadi dan menghilang jika obat
dihentikan.

Etionamid/Protionamid
Merupakan obat yang bersifat bakterisid terhadap M.leprae tetapi kurang kuat dibandingkan
rifampisin. Dosis yang digunakan 250-500 mg/hari untuk dewasa dan 4-5 mg/kgBB/hari untuk

L
U KP
N P
H
AS

anak-anak. Efek samping yang pernah dilaporkan adalah hepatoksik terutama bila
dikombinasikan dengan rifampisin. Obat ini dapat digunakan bila hasil laboratorium menunjang
dan tidak ada lagi alternatif yang lain.

GolonganTiourea

Yang termasuk golongan ini adalah tiasetazon dan tiambutozin. Tiasetazon merupakan obat yang

murah dan dapat digunakan sebagai obat altematif, hanya dapat terjadi resistensi dalam 1-2 tahun
pengobatan.

MinosiklindanKlaritromisin

Kurang bakterisidalbila dibandingkan dengan rifampisintetapi lebih efektif dibandingkan dengan


dapson dan klofasimin. Membantu mengurangi lamanya pengobatan.

Imunoterapi

Imunoterapisecara klasik berarti imunisasi pasif yaitu penggunaan serum atau gammaglobulin
dalam pengobatan atau pencegahan penyakit infeksi dengan cara memindahkan antibodi yang
dihasilkan secara aktif dari suatu inang kepada inang lain. Ada beberapa vaksin yang potensial
untuk penyakit kusta:
1) Vaksin ICRC

Basil ICRC adalah kelompok mikobakterium yang dapat dibenihkan dari Mycobacterium avium
kompleks intraseluler.

2) Vaksin Mikobakterium w

Mikobakterium w (M.w) adalah mikobakterium avium intracellu lare scrofulaceum complex


mempunyai antigenisitas yang mirip dengan M.leprae.
3) Interleukin-2
74

4) Interferon-gamma (IFN-)
5) Vaksin yang berasal dari M.leprae yang mati
6) Vaksin yang berasal dari M.leprae yang mati dan memberikan reaksi silang dengan M. leprae.
Kontraindikasi penggunaan BCG adalah imunodefisiensi kongenital, infeksi HIV, leukemia,
limfoma, keganasan, dan pasien yangditerapi dengan steroid dan radiasi.

Pencegahan Penyakit Kusta

L
U KP
N P
H
AS

Pencegahan khusus penyakit kusta belum ada. Pada zaman dahulu penderita diisolasi. Cara ini
selain tidak manusiawi, juga menyebabkan leprofobi terus menerus. Cara sekarang lebih efektif

dengan menemukan kasus sedini mungkin dan segera diobati dengan MDT sehingga mengurangi
transmisi penyakit.

Salah satu upaya dalam pemberantasan penyakit menular ini adalah melalui vaksinasi. Para ahli
telah lama berusaha untuk mendapatkan upaya pencegahan penyakit kusta melalui vaksinasi.
Dalam upaya pengembangan vaksin kusta ada 2 pendekatan yaitu:

1. Imunoprofilaksis yang merupakan upaya untuk mendapatkan kekebalan pada orang sehat yang
mempunyai risiko untuk tertular kusta (prophylacticvaccine).

2. Imunoterapi bertujuan untuk memperbaiki sistem imunitas seluler pada penderita kusta

lepromatosa di daerah endemik kusta yang tinggi. Cara ini lebih menguntungkan (therapeutic
vaccine).

Pada penyakit kusta sebenarnya ada 3 tipe vaksin yang potensial untuk penyakit kusta, (1) yang

berasal dari M. leprae mati yang dirangsang untuk imunoprofilaksis, (2) yang berasal dari
M.leprae mati lain yang memberikan reaksi silang dari M.leprae, (3) campuran M.leprae mati

dengan BCG hidup yang dirancang untuk imunoterapi.

Sampai saat ini berbagai penelitian vaksin untuk penyakit kusta, salah satu diantaranya adalah
dengan vaksin BCG, baik itu menggunakan BCG saja maupun dengan menggunakan campuran
BCG dan kuman M.leprae.

Kemoprofilaksis

Apabila saat ini dibutuhkan kemoprofilaksis kusta, penggunaan sulfon tidak lagi tepat karena

aktivitas bakterisidal terlalu lemah dan karena durasi pengobatannya lama, sehingga dapat

menimbulkan masalah pada kepatuhan berobat. Selain itu dapson tidak lagi tepat karena
75

resistensi terhadap obat ini terhadap M. leprae telah menjadi fenomena yang tersebar luas sejak
akhir 1970-an.Dari beberapa penelitian, ada dua prinsip yang yang diusulkan untuk
pengembangan rejimen generasi profilaksis, yaitu:1. pengobatan harus diberikan tidak lebih dari
dosis tunggal, 2. rejimen harus selalu mengandung rifampisin. Dua rejimen yang berbeda barubaru ini telah diuji untuk kemoprofilaksis: ROM, atau ROM dosis tunggal, dan rifampisindosis
25mg/kg berat badan atau 10 mg/kg dosis tunggal.
Oleh karena dosis tunggal ROM tampaknya kurang bersifat bakterisidal dibandingkan dosis

L
U KP
N P
H
AS

tunggal rifampisin. Populasi bakteri kecil dalam sebuah subyek yang terinfeksi subklinis tidak
memerlukan obat pendamping untuk mencegah pemilihanmutan resistan terhadap rifampisin,
selain itu penambahan ofloksasin dan minosiklinterhadap rifampisintidak diperlukan karena

akanmeningkatkan biaya dan resiko efek samping. Oleh karena itu, tampaknya untuk
kemoprofilaksis

cukup

diberikan

rifampisin.

Dalam

sebuah

penelitian

pemberian

kemoprofilaksis rifampisin25 mg/kg BB dosis tunggal di Selatan Pulau Marquesas.

Setelah sepuluh tahun follow-up,disimpulkan bahwa efek perlindungan rifampisinhanya 35-40%.


Sampai saat ini, efektivitas dari dua dosis yang berbeda dari rifampisinsecara tidak langsung
dibandingkan dalam uji klinis yang sama. Sampai ada bukti jelas bahwa 1500 mg dosis tunggal

rifampisinmemiliki efek bakterisidal yang lebih besar. Ternyata rifampisinjuga ditoleransi baik
pada dosis 600 mg. Oleh karena rifampisinharus diberikan untukkemoprofilaksis dalam dosis

600 mg. Sehubungan dengan risiko potensial untuk munculnya resistensi rifampisin,
kemoprofilaksis tersebut diberikan dosis tunggal. Hal ini atas pertimbangan populasi bakteri
yang kecil pada orang yang terinfeksi subklinis tidak mungkin untuk menyertakan suatu mutan
resistan terhadap rifampisindosis tunggal, dan karena itu risiko resistensi rifampisin dapat

diabaikan. Di sisi lain, jika ukuran populasi bakteri lebih besardari yang diharapkan, dan bahkan
termasuk mutan resistan terhadap rifampisin, munculnya resistensi rifampisin sangat tidak

mungkin karena dosis tunggal rifampisintidak cukup untuk memilih mutan resisten, seperti telah

ditunjukkan oleh relaps pasien MB setelah dosis tunggal rifampisin. Keterbatasan


kemoprofilaksis kusta adalah profil epidemiologi kusta yang menunjukkan bahwa untuk

mencegah satu kasus kusta, ratusan atau bahkan ribuan subjek perlu diobati. Apapun rejimen

diterapkan, apabila dicoba untuk menutupi seluruh populasi dengan kemoprofilaksis, biaya
langsung dan tidak langsung akan sangat tinggi dengan kesulitan operasional yang luar biasa,

76

sedangkan hasil akan agak terbatas, sehingga kemoprofilaksis tidak mungkin untuk diterapkan
sebagai metode rutin untuk kontrol kusta.
Jika kemoprofilaksis terbatas hanya untuk sub-populasi beresiko tinggi, yaitu untuk nara kontak
serumah pasien kusta, hanya akan bermanfaat 15% karena kontribusi nara kontak serumah untuk
jumlah total kasus baru pada suatu populasi tidak lebih dari 30% dan kemanjuran profilaksis di
bawah kondisi rutin adalah 50% (ingat bahwa maksimum dicapai kemanjuran profilaksis tidak
lebih dari 75% dalam kondisi ideal). Dengan demikian, dari titik kontrol kusta, membatasi

L
U KP
N P
H
AS

kemoprofilaksis beresiko tinggi pada sub-populasi hanya mewakili kontribusi yang sangat
sederhana. Pada sisi lain, karena kemoprofilaksis telah menunjukkan efek perlindungan yang

signifikan antar individu resiko tinggi, hal ini mungkin memberikan manfaat terhadap individu
dalam situasi resiko yang sangat tinggi. Namun demikian, efek dari kemoprofilaksis

kemungkinan besar tidak berguna dan setelah efek telah berkurang, individu beresiko tinggi
segera kembali terinfeksi dengan M.leprae selama transmisi berlanjut. Oleh karena itu, kasus

indeks dan semua pasien kusta di komunitas lokal harus ditutupi oleh kemoterapi sebelum
kemoprofilaksis dimulai.

Penanggulangan Penyakit Kusta dengan Kehamilan

Usaha-usaha penanggulangan dan penanganan penyakit kusta pada wanita hamil meliputi:
a. Bila belum terjadi reaksi:

- Penyuluhan kesehatan tentang kusta pada ibu.


- Pengawasan penderita selama kehamilan.

- Memberikan pengobatan pada ibu-ibu hamil.


b. Bila terjadi reaksi:

- Segera berikan pengobatan reaksi.

- Bila reaksi berat dan fatal perlu pertimbangan untuk terminasi kehamilan.
c. Tindakan setelah melahirkan:

- Dilakukan pengobatan kusta dan reaksi yang terjadi dan juga perawatan pada masa laktasi yang
lebih intensif.

- Pemisahan bayi perlu dipertimbangkan terutama pada ibu dengan indeks morfologi yang tinggi.
d. Pencegahan terhadap reaksi:

- Ibu dengan riwayat reaksi perlu membatasi dan meng-hindari kehamilan.


77

- Sterilisasi adalah metode yang paling tepat atau menggunakan kontrasepsi dalam rahim.

Cacat Primer
Cacat primer disebabkan langsung oleh aktivitas penyakitnya sendiri yang meliputi kerusakan
akibat respons jaringan terhadap kuman penyebab. Adapun patolofisiologi terjadinya sebagai
berikut: Pada penderita kusta, kuman kuman akan menginvasi aliran darah sehingga
memungkinkan terjadinya penyebaran pada hampir seluruh tubuh. Pada kebanyakan jaringan,

L
U KP
N P
H
AS

kuman ini lebih bersifat simbiose daripada sebagai parasit, sehingga tidak mengakibatkan
kerusakan jaringan tersebut. Hanya pada jaringan tertentu seperti saraf, kuman akan menginvasi

dalam jumlah besar dan akibat respons tubuh terhadap kuman ini justru menyebabkan kerusakan
pada saraf itu sendiri. Kerusakan saraf ini tidak ada hubungannya langsung dengan jumlah atau
banyaknya kuman yang menginvasi saraf tersebut, tetapi yang paling menentukan adalah
intensitas respons seluler dari tubuh terhadap kuman penyebab.
Adapun yang termasuk cacat primer antara lain:

a. Cacat pada fungsi saraf sensorik, misalnya: anestesia, fungsi saraf motorik, misalnya claw
hand, wrist drop, foot drop, claw toes, lagoftalmus.

b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan yang menyebabkan alopesia atau madarosis,

kerusakan glandula sebasea dan sudorifera sehingga menyebabkan kulit menjadi kering dan tidak
elastis.

c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta yang dapat terjadi pada tendon, ligamen,
bola mata, sendi, tulang rawan dan tulang testis.

Pada bentuk tuberkuloid yang tubuh penderitanya mempunyai daya tahan yang cukup tinggi,

setelah kuman kusta difagosit oleh sel schwann, maka sel ini akan berubah menjadi fixed

epitheloid cell. Dengan cara melakukan fusi sel membrannya, maka akan terbentuk langhans
giant cell. Susunan dari epitheloid cell dengan beberapa langhans giant cell dikelilingi oleh sel
limfosit ini disebut sebagai tuberkuloid granuloma.

Adanya infiltrasi tuberkuloid granulomapada saraf ini dan bersama sama dengan reaksi edema

yang terjadi menye-babkan tekanan pada akson dan pembuluh darah pada epineurium. Hal ini
menyebabkan terjadinya kerusakan saraf yang bersifat reversibel atau irreversibel, bergantung

pada derajat dan lamanya iskemi yang ditimbulkan. Pada bentuk lepromatosa yang tubuh

78

penderitanya tidak mempunyai daya tahan sama sekali menyebabkan tidak terjadi infiltrasi
seluler sehingga gangguan fungsi saraf pada permulaannya sangat minimal.
Pada stadium awal, kerusakan saraf yang ditimbulkan terutama pada sensory nerve ending yang
letaknya pada daerah-daerah yang suhunya sedikit lebih rendah daripada suhu tubuh, sedangkan
pada stadium terminal terjadi fibrosis yang diduga akibat reaksi tubuh terhadap kuman kuman
yang telah mati. Pada keadaan ini akhirnya juga akan terjadi anestesi dan paralise seperti pada
bentuk tuberkuloid, hanya lesinya simetris. Pada bentuk borderline, imunitasnya yang tidak stabil

L
U KP
N P
H
AS

merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya reaksi yang pada akhirnya akan mengakibatkan
kerusakan saraf yang lebih luas. Kecacatan primer yang diakibatkan oleh kuman kusta ini secara
langsung dapat mengenai kulit, tulang rawan, tulang, dan kelenjar.

Cacat Sekunder

Cacat sekunder adalah cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakitnya sendiri atau cacat

primer, terutama diakibatkan oleh adanya gangguan saraf (sensoris, motoris dan otonom).
Adapun patofisiologi terjadi cacat sekunder dapat dijelaskan sebagai berikut. Kerusakan pada
saraf meliputi anestesi akibat kerusakan saraf sensoris yang mana anestesi juga akan
memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat menginfeksi

sekunder dengan segala akibatnya, misalnya karena hilangnya rasa nyeri dan rasa suhu, maka
penderita akan gagal menghindar terhadap trauma terutama pada tangan dan kaki. Keadaan ini

pada akhirnya dapat berakibat timbulnya berbagai bentuk luka, meliputi luka bakar, luka iris,
luka memar, distorsi sendi, dan sebagainya. Di samping itu adanya anestesi ini menyebabkan

seseorang individu tidak mampu membedakan antara dirinya dengan badannya, bagian anggota

badan yang sudah mengalami anestesi ini dianggap bukan merupakan bagian dari tubuhnya
sehingga dipelihara dan bahkan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Keadaan ini akan

lebih buruk lagi bila disertai dengan kerusakan saraf motoris dan otonom yang merupakan faktor
predisposisi untuk terjadi infeksi sekunder. Dengan demikian, hal ini akan mempertinggi resiko
timbulnya cacat.

Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menyebabkan gangguan


menggenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Kelumpuhan saraf otonom

menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas berkurang, akibatnya kulit menjadi mudah
retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
79

Kerusakan saraf simpatis akan menyebabkan kegagalan pengeluaran keringat sehingga kulit
menjadi kering, tidak fleksibel dan rapuh. Perubahan struktur kulit di atas menyebabkan mudah
terjadinya fisura atau celah yang merupakan permulaan terjadi ulkus. Proses ini terjadi terutama
pada bagian pinggir sekeliling telapak kaki pada setiap langkah yang dilakukan pada waktu
berjalan kaki akan selalu menghambat kesembuhan fisura tersebut. Hal ini juga akan
menyebabkan gangguan inervasi vaskuler pada kulit dan jaringan subkutan yang berakibat
hilangnya tonus yang diikuti timbulnya statis pembuluh darah kapiler sehingga oksigenisasi

L
U KP
N P
H
AS

berkurang dan kesembuhan luka akan menjadi terhambat. Juga dapat timbul paralisis sehingga
mengakibatkan ketidak seimbangan kerja otot dengan akibat posisi sendi menjadi abnormal

diikuti penempatan tangan dan kaki pada kedudukan stres yang abnormal. Selain paralisis itu
sendiri, hal ini akan menonjolkan dan memperburuk efek anestesi. Peristiwa ini dapat dilihat

pada penderita yang dengan claw hand yaitu apabila memegang sesuatu akan memberikan
tekanan yang berlebihan sehingga pada proses yang berulang ulang akan berakibat timbulnya
luka memar.

Penderita kusta dengan gejala dini belum menderita cacat dan bila segera diobati proses
penyakitnya terhenti dan penyakitnya sembuh tanpa cacat. Cacat kusta dapat dicegah dengan
segera memulai pengobatan sebelum cacat timbul karena kerusakan saraf perifer yang permanen.

Dalam hal ini haruslah dipelajari berapa lamanya penyakit berlangsung tanpa obat atau masa

tanpa obat hingga timbulnya cacat pada penderitanya. Kalau masa tanpa obat dapat diketahui,
maka pencegahan cacat kusta dapat dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan berkala secara
teratur pada anak-anak sekolah dan kontak serumah dengan penderita kusta, yang disesuaikan
frekuensinya dengan masa tanpa obat tersebut.

Kuman kusta sebagai kuman senang di bagian tubuh kita yang dingin yaitu kulit dan saraf tepi.
Tidak semua saraf tepi diserang, tetapi hanya terbatas pada saraf perifer yang letaknya
superfisial, berdekatan dengan tulang, terletak pada celah osteofasial yang rigid, yang

memungkinkan untuk terjadinya konstriksi dan letaknya memungkinkan stretch angulation


strains di mana hal ini terjadi pada cacat yang timbul primer. Atas dasar fakta-fakta ini, maka
diduga penyebab yang mungkin mempengaruhi kerusakan saraf adalah seperti berikut:

1. Pengaruh trauma, yaitu saraf yang letaknya berdekatan dengan tulang memiliki resiko
terhadap trauma dan trauma itu sendiri akan mempermudah berjalannya proses patologis.

80

2. Pengaruh suhu, yaitu jaringan yang letaknya paling dekat dengan kulit mempunyai temperatur
yang lebih rendah daripada jaringan yang di bawahnya, sedangkan kuman
122 penyakit penyakit kusta kusta pendekatan pendekatan pendekatan pendekatan klinis
kusta lebih suka hidup pada jaringan yang suhunya lebih rendah daripada suhu tubuh.
3. Pengaruh konstriksi, seperti halnya pada carpaltunnel syndrome pada penderita yang bukan
kusta disebabkan oleh karena faktor konstriksi ini.
4. Pengaruh stretch angulation strains, seperti halnya n. ulnaris, n. medianus dan n.poplitea

L
U KP
N P
H
AS

lateralis dalam perjalanannya memungkinkan terjadinya stretch ini.


Kerusakan saraf timbul karena reaksi imun, yang pada tipe tuberkoloid karena hipersensitivitas

tipe lambat terhadap antigen M.leprae yang intraneural, sedangkan pada tipe lepromatosa,

kompleks imun memegang peranan penting terutama selama terjadinya ENL. Ada berbagai jalan
masuknya kuman kusta ke dalam saraf antara lain melalui akson pada epidermis atau dermis

bagian superfisial menembus epitel lalu berjalan sepanjang aksoplasma. Kuman kusta ini

difagosit oleh sel perineural lalu ke endoneurium dan sel schwann, dan selama terjadinya
bakteriemia kuman kusta melalui pembuluh endoneural.

Terdapat 7 saraf perifer yang diperiksa untuk diagnosis dan sangat penting untuk pencegahan

timbulnya cacat kusta. Ketujuh saraf yang dimaksud dirinci sebagai berikut:
1. Nervus aurikularis magnus;
2. Nervus ulnaris;

3. Nervus peroneus;

4. Nervus medianus;
5. Nervus radialis;

6. Nervus tibialis posterior;


7. Nervus fasialis.

Pada dasarnya terdapat cacat jiwa yang lebih memberatkan penderitaan penderita kusta daripada

cacat fisiknya. Dalam hal ini ada beberapa tindakan yang perlu diperhatikan, antara lain seperti
berikut:

1. Penemuan dan pengobatan penderita secara dini.


2. Penanganan dan pengobatan reaksi yang baik.

81

3. Penanggulangan neuritis, diikuti dengan latihan fisioterapi.


4. Pengenalan dan perawatan komplikasi reaksikusta.
5. Pemeriksaan bagian tubuh yang sering terserang.
6. Latihan fisioterapi dalam rangka persiapan rehabilitasi medis.
7. Pemeriksaan terhadap penyakit penyakit lain yang menyertainya.
8. Aspek sosial dan ekonomi serta rehabilitasi sosial.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecacatan dan perjalanannya antara lain yang

L
U KP
N P
H
AS

berhubungan dengan penderitanya sendiri, dengan penyakitnya, dan faktor lain. Hal ini akan
dijelaskan secara singkat pada butir berikut:

1. Faktor yang berhubungan dengan penderitanya sendiri

a) Umur: Anak-anak dan dewasa muda, lebih jarang daripada orang tua.
b) Jenis kelamin: Pria lebih sering daripada wanita.

2. Faktor yang berhubungan dengan penyakitnya sendiri


a) Lamanya menderita sakit
b) Tipe penyakitnya

c) Saraf perifer yang diserang


3. Faktor-faktor lain
a) Pengobatan
b) Pekerjaan

c) Intelegens

Kecacatan tangan pada kusta biasanya dimulai dengan anestesi terhadap sentuhan dan sensasi
suhu pada atau dekat batas ulnar pada tangan. Ini dapat meluas dan mengenai daerah n.ulnaris

kulit dan kemudian ke daerah n. radialis dan n. medianus, menyebabkan anestesi daerah sarung
tangan yang tidak tentu yang dapat mengenai daerah proksimal sampai siku atau melebihi.

Anestesi ini dapat lebih dalam lagi sampai hilangnya rasa tusukan jarum dan nyeri kulit,
kemudian beberapa sensasi yang lebih dalam, tetapi pada kasus-kasus yang lanjut penderita

dapat menahan beberapa keadaan rasa pada jari-jari mereka dan dapat merasakan/ menilai
tekanan dan nyeri yang dalam. Paralisis yang sering ditemukan pertama terlihat pada otot-otot
kecil tangan, pada kelompok saraf ulnaris penderita menjadi tidak dapat adduksi jari kecil, dan
kemudian hilangnya kekuatan abduksi dan adduksi pada seluruh jari-jari.
Paralisis yang sering ditemukan:
82

- Semua otot kecil yang ada di tangan, lumbrikalis, interossei dan terutama otot-otot tenar dan
hipotenar.
- Fleksor karpi ulnaris.
- Fleksor profunda untuk jari-jari kecil (jarang).
- Fleksor profunda untuk lingkaran jari (jarang).
Paralisis yang jarang (< 1%):
- Semua ekstensor pada pergelangan.

L
U KP
N P
H
AS

- Ekstensor jari-jari panjang dan ibu jari.


- Abduktor polisis longus.

Otot-otot yang tidak paralisis:

- Fleksor digitorum sublimis, pada semua jari-jari.

- Fleksor profundus, pangkal dan jari-jari panjang.


- Fleksor polisis longus.
- Fleksor karpi radialis.
- Palmaris longus.

- Semua otot di lengan atas dan bahu.

Usaha Pencegahan Cacat

Tujuan umum pencegahan cacat adalah:

a. Mencegah timbulnya cacat pada saat diagnosis kusta ditegakkan dan diobati. Untuk tujuan ini,
diagnosis dan terapi yang rasional perlu ditegakkan dengan cepat dan tepat.
b. Mencegah agar cacat yang telah terjadi tidak menjadi lebih berat.

Langkah pertama: melakukan pencatatan data dasar setiap penderita pada waktu mengisi

registrasi. Untuk itu, telah disediakan lembaran pencatatan pencegahan cacat yang perlu diisi
dengan cermat.

Langkah kedua: mengambil kesimpulan dan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan.


Adapun upaya pencegahan cacat:

a. Pencegahan cacat primer, antara lain:


- Diagnosis dini.

- Pengobatan secara teratur dan adekuat.

- Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis, termasuk silent neuritis.


83

- Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi.


b. Pencegahan cacat sekunder, antara lain:
- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka.
- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untukmencegah terjadinya
kontraktur.
- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhanagar tidak mendapatkan
tekanan yang berlebihan.

L
U KP
N P
H
AS

- Bedah septik untuk mengurangiperluasan infeksi sehingga pada proses penyembuhan tidak
banyak jaringan yang hilang.

84

X.

Reaksi Reversal

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit Reaksi Reversal.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang Reaksi Reversal.

2. Menjelaskan penyebab dari Reaksi Reversal.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Reaksi Reversal


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Reaksi Reversal
5. Menjelaskan diferensial diagnosis Reaksi Reversal.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis Reaksi Reversal


7. Menjelaskan penatalaksanaan Reaksi Reversal.
8. Menjelaskan komplikasi Reaksi Reversal

85

REAKSI REVERSAL
Pat ogenesis

Definisi

Reaksi reversal disebabkan oleh

Reaksi reversal(RR) adalah

peningkatan CMI secara tiba-

episode akut dari penyakit

tiba sebagai respon terhadap

kusta yang disebabkan oleh

antigen dari M.leprae

peningkatan

yang

Gejala Klinis

respon

CMI

L
U KP
N P
H
AS

Triger Fakt or

Bentuk gejala klinis dari RR

Beberapa

meliputi salah satu atau lebih

terhadap kejadian RR, yaitu:

dari gejala berikut ini:

- Peningkatan inflamasi kulit

filariasis, typus abdominalis,

Hist opat ologi

Gambaran

faktor

Infeksi

yaitu

histopatologi

Diagnosis dapat ditegakkan


berdasarkan:

meningkat

- Gambaran klinis

sehingga

dan

malaria,

Diagnosis

terdapat infiltrat limfosit yang

udem

pencetus

terjadi

hiperemi.

- Laboratorium

Reaksi

Reversal

Komplikasi

Terapi

Penatalaksanaan RR terdiri atas 5

Prognosis
Dubia

aspek yang dilaksanakan secara

bersamaan karena kelima aspek


tersebut

sama

pentingnya

dan

mempunyai efek sinergis:

86

Definisi
Reaksi reversal(RR) adalah episode akut dari penyakit kusta yang disebabkan oleh peningkatan
respon CMI terhadap M.leprae yang ditandai dengan lesi pada kulit dan atau gangguan fungsi
saraf.Reaksi reversaldisebut juga reaksi tipe 1, reaksi borderline, reaksi tuberkuloid, reaksi kusta
non lepromatosa. Pada reaksi tipe 1 ini dikenal istilah up-grading dan down-grading. Up-grading
(reversal) apabila menuju ke arah tuberkuloid, sedangkan down-grading apabila menuju ke arah
lepromatosa.

L
U KP
N P
H
AS

Epidemiologi

Prevalensi RR bervariasi antara 8 - 33% dari seluruh penderita kusta, umumnya terjadi

pada penderita kusta tipe borderline. Penderita tipe BB dan BL mempunyai prevalensi lebih
tinggi daripada tipe BT. Prevalensi RR pada penderita BT bervariasi antara 20 - 50%.

Etiopatogenesis

Reaksi reversal disebabkan oleh peningkatan CMI secara tiba-tiba sebagai respon terhadap

antigen dari M.leprae yang dapat diperlihatkan secara in vitro dengan tes transformasi limfosit.

Patogenesa meningkatnya CMI ini tidak diketahui secara pasti.

Menurut Jopling, RR merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi

hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs & Cell. Antigen yang berasal dari produk akibat basil
yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Pada

dasarnya reaksi ini terjadi akibat perubahan keseimbangan antar CMI dan basil. Sehingga
sebagai hasil akhir reaksi ini dapat terjadi up-grading / reversal, apabila menuju ke arah bentuk

tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down-grading bila menuju ke bentuk lepromatosa

(terjadi penurunan SIS). Meskipun secara teoritis RR dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang
subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain. Bentuk BB,
bila terjadi RR akan berubah menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk TT. Sedangkan bila
terjadi down-grading akan berubah menjadi bentuk BL dan dapat ke bentuk LL.
Di samping itu, terdapat beberapa faktor pencetus terhadap kejadian RR, yaitu:
- Infeksi yaitu malaria, filariasis, typus abdominalis, TBC dan lain-lain.
- Stress mental merupakan penyebab yang paling sering.

87

- Trauma seperti operasi.


- Vaksinasi, hamil, melahirkan atau post partum.

Gambaran Klinis
Gambaran klinis RR berupa penambahan atau perluasan lesi yang ada, tetapi bukan nodus,
tanpa atau dengan gejala neuritis dari yang ringan sampai berat.

L
U KP
N P
H
AS

Bentuk gejala klinis dari RR meliputi salah satu atau lebih dari gejala berikut ini:
- Peningkatan inflamasi kulit berupa pembengkakan dan eritem pada lesi kulit tertentu atau
timbul lesi kulit yang baru pada penderita BL dan LL subpolar.

- Inflamasi akut pada batang saraf yang ditandai dengan gejala nyeri, pembesaran saraf dan
hilangnya fungsi sensoris dan atau fungsi motorik sesuai dengan distribusi persarafannya.

- Proses reaksi terjadi kurang dari 6 bulan terakhir dan / atau penurunan fungsi sensorik atau
motorik yang progresif yang tidak disertai nyeri neuritis.

Berdasarkan spektrum dari borderline, maka gambaran klinis yang didapatkan pada tiap tipe
yaitu:

1. Tipe BT

Lesi kulit menjadi luas dan udema. Eritema sering disertai skuama dan kadang-kadang ada
ulserasi. Pada lesi di wajah yang mencakup kelopak mata dan hidung mungkin terdapat udema
konjungtiva, gatal, lakrimasi dan penebalan hidung. Tidak semua lesi mengalami perubahan.

Pada RR timbulnya lesi baru adalah sesuatu yang tidak biasa dan bila lesi baru timbul akan
memberikan karakteristik tuberkuloid yang jelas dengan ciri-ciri tersendiri dan pada tepinya
terdapat infiltrat yang tebal.

Pada saraf yang terlibat akan cepat menjadi udem, nyeri yang hebat dan tenderness. Parestesi
atau nyeri sesuai dengandistribusi saraf sensoris diikuti kehilangan fungsi saraf motorik dengan

cepat. Kerusakan ini dapat permanen jika tidak diterapi dengan cepat. Paralisis yang tiba-tiba

pada neuritis radial dan ulna mempunyai prognosis yang lebih baik daripada kerusakan saraf
fasialis.

2. Tipe BB

Lesi kulit menjadi cepat membesar, eritemadanudem. Terjadi nyeri yang sangat hebat pada lesi,
mungkin nampak lesi-lesi yang baru. Banyak saraf yang terlibat disertai terjadinya penebalan,
88

nyeri dan lunak. Kerusakan saraf yang luas diikuti dengan paresis yang luas pula. Penderita tidak
dapat bergerak oleh karena nyeri dan lemah. Gejala sistemik secara umum yaitu kelemahan,
malaise dan udem generalisata, khususnya pada tangan, kaki, dan wajah.
3. Tipe BL
Lesi kulit meningkat cepat pada ukuran dan batasnya. Lesi menjadi merah, mengkilat dan
kelihatan tegang. Lesi-lesi baru muncul dan akan menjadi infiltrat pada seluruh kulit.Walaupun
banyak saraf periferterlibat, derajat dari infiltrasi sel tidak sebesar pada akhir spektrum ini.

L
U KP
N P
H
AS

Sedikit kemungkinan jadi progresif paralisis. Meskipun ditemukan beberapa penderita


mengalami nyeri, ukuran saraf bertambah besar dan terjadi kerusakan saraf. Gejala sistemik
berupa demam, malaisedan kelemahan yang dapat menjadi berat.

Menurut keadaan reaksi, maka RR dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. Perbedaan
reaksi ringan dan reaksi berat pada RR sebagai berikut:

Histopatologi

Gambaran histopatologi terdapat infiltrat limfosit yang meningkat sehingga terjadi udem dan
hiperemi. Diferensiasi makrofag ke arah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi

gambaran sel Langhans. Penurunan jumlah basil dari IM, bahkan basil kusta sudah tidak

dijumpai lagi.

Laboratorium

1. Darah rutin: tidak ada kelainan.


2. Bakteriologi:
- Indeks bakteri menurun.

89

- Indeks morfologi menurun.


3. Imunologis: tes lepromin.
4. Pemeriksaan histopatologik.
Diagnosis Banding
Pada RR harus dibedakan dengan timbulnya relaps dari perjalanan penyakit kusta. Adapun

L
U KP
N P
H
AS

perbedaan antara keduanya sebagai berikut:

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:


- Gambaran klinis
- Laboratorium

- Histopatologis

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan RR terdiri atas 5 aspek yang dilaksanakan secara bersamaan karena kelima
aspek tersebut sama pentingnya dan mempunyai efek sinergis:

90

1. Mengendalikan neuritis untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur dengan terapi anti
inflamasi yang efektif dan lama;
2. Menghentikan kerusakan pada mata untuk mencegah ke-butaan;
3. Mematikan basil kusta dan menghentikan progresi penyakit;
4. Tindakan fisik untuk mencegah atau memulihkan kontraktur;
5. Analgesi untuk meredakan nyeri.
Penatalaksanaan reaksi reversaldidasarkan pada pengetahuan tentang imunopatologi RR sebagai

L
U KP
N P
H
AS

reaksi hipersensitivitastipe lambat terhadap antigen M.leprae, sehingga pendekatan terapi yang
digunakan adalah dengan mengurangi paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat

penekanan respons CMI. Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti
mikobakteri, terapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat dan
dukungan kesehatan fisik selama fase aktif neuritis. Imobilisasidan tindakan bedah dapat
mencegah dan memulihkan gangguan fungsi saraf.

Pada RR terjadi nekrosis kaseosa M.leprae yang berisi antigen yang terdapat pada jaringan.

Pendekatan terapi tidak hanya tergantung pada derajat dan luasnya lesi tetapi juga pada letak lesi
kulit, dan derajat, bentuk dan letak dari lesi saraf yang biasa muncul secara bersamaan. Lesi kulit
wajah yang terlibat. Lesi saraf menyebabkan defisit neural yang cukup besar dan gangguan saraf

sensoris pada telapak tangan, telapak kaki, dan kornea serta gangguan motorik lain
membutuhkan dengan segera kortikosteroid sistemik dosis tinggi.
Kortikosteroid

Pada penatalaksanaan RR disepakati menggunakan kortikosteroid sebagai dasar pengobatan


RR.Pemberian kortikosteroid direkomendasikan segera setelah ada bukti peningkatan inflamasi
pada lesi kulit atau timbul lesi kulit baru, penurunan fungsi saraf kurang dari enam bulan atau

nyeri atau pembesaran saraf. Lesi pada mata dan neuritis merupakan indikasi mutlak pemberian
kortikosteroid. Dianjurkan memberikan terapi efektif yang lebih dini untuk mencegah kerusakan
saraf permanen. Kortikosteroid mengurangi udem kulit dan udem intraneural, memulihkan
tekanan pada serabut saraf (dekompresi), sehingga membantu pemulihan lesi kulit dan fungsi

saraf dengan cepat dan mengurangi pembentukan skar selama fase penyembuhan. Efek utamanya
adalah menekan pergerakan sel T, sehingga respon inflamasi pada antigen M.leprae di dalam

91

kulit dan saraf terhambat. Rejimen yang direkomendasikan mencerminkan prinsip pengobatan
tersebut, walaupun dosis optimal dan lamanya pengobatan belum terbukti pada uji klinik.
Dosis awal yang digunakan adalah dosis yang dapat menekan dengan cepat inflamasi kulit
dan saraf. Setelah tampak perbaikan lesi kulit dan fungsi saraf, dosis diturunkan secara bertahap
sampai dicapai dosis pemeliharaan yang dapat menekan inflamasi dan dipertahankan sampai
reaksi mulai reda dan pada akhirnya dihentikan.

L
U KP
N P
H
AS

Dosis awal prednison 40 mg sehari cukup berhasil mengendalikan 85% kasus RR. Pada
wanita hamil yang menderita RR diberikan prednison dengan dosis 30 mg sehari. Dosis awal
harus dapat memulihkan nyeri dan pembesaran saraf dalam 24 - 48 jam. Penurunan fungsi saraf

yang berat dan tidak berespon dengan dosis tersebut dapat ditingkatkan menjadi 60 mg 120 (1
mg/kg BB/hari). Bila terjadi perbaikan lesi kulit (pada saraf biasanya terjadi dalam beberapa

hari) dosis diturunkan 5 mg sehari setiap 1-2 minggu sampai dicapai dosis pemeliharaan 20 - 25
mg sehari. Dosis ini dilanjutkan selama beberapa bulan, tergantung pada beratnya reaksi dan tipe

kusta. Dosis pemeliharaan dapat mencegah nyeri saraf rekuren. Selama tahap penghentian obat,

dosis diturunkan 5 mg sehari setiap 2-8 minggu. Selama periode ini reaksi rekuren biasanya

ringan dan terjadi lebih lambat, dosis prednison dinaikkan 10-15 mg diatas dosis sebelumnya
sampai relaps ditekan sempurna dan dipertahankan 5-10 mg diatas dosis saat awal rekuren dan

dipertahankan selama 2-4 bulan sebelum memulai pengurangan lebih lanjut. Penderita tipe BT
membutuhkan pengobatan selama 2-4 bulan, penderita BB 6 - 9 bulan dan tipe BL membutuhkan
terapi 9-24 bulan. Beberapa ahli memberikan pengobatan dengan prednisolon dosis diatas 15-20

mg dan diturunkan bertahap dalam 3 bulan. Hasil pengobatan sangat memuaskan segera setelah
3 bulan, tetapi 3 bulan kemudian sebagian besar penderita rekuren. Terapi penurunan fungsi

saraf akut dengan menggunakan pengobatan standar terbukti efektif, praktis dan fleksibel.
Semakin akut penurunan fungsi saraf semakin baik respon pengobatan. Penderita yang

mengalami penurunan fungsi saraf kurang dari 1 bulan berespon lebih baik dari pada penderita
yang penurunan fungsi sarafnya lebih lama. Pemberian kortikosteroid akan efektif bila diberikan
dalam 6 bulan setelah terjadi penurunan fungsi saraf.

WHO merekomendasikan pemberian kortikosteroid (prednisolon) dosis 40 mg sehari pada


minggu pertama dan kedua, 30 mg sehari pada minggu ketiga dan keempat, 20 mg sehari pada

minggu kelima dan keenam, 15 mg sehari pada minggu ketujuh dan kedelapan, 10 mg sehari
92

pada minggu kesembilan dan kesepuluh, dan 5 mg sehari pada minggu kesebelas dan
keduabelas. Dosis maksimum 1 mg/kgbb/hari. Rejimen tersebut dapat diterapkan pada penderita
kusta tipe BT, sedangkan penderita kusta tipe BB dan tipe BL membutuhkan terapi yang lebih
lama karena dengan pengobatan seperti di atas masih sering terjadi reaksi ulangan. Pada kusta
tipe BL, dibutuhkan terapi 20 minggu dengan cara pemberian yaitu 40 mg sehari selama 2
minggu, 30 mg sehari selama 4 minggu, 20 mg sehari selama 4 minggu, 15 mg sehari selama 4
minggu, 10 mg sehari selama 4 minggu, dan 5 mg sehari selama 2 minggu.

L
U KP
N P
H
AS

Kegagalan pada terapi steroidmungkin disebabkan oleh penderita kusta subgrup yang ditandai
dengan aktivitas immun terus menerus pada lesi. Rejimen standar untuk semua penderita belum

ditemukan, setiap terapi kortikosteroid bersifat individu dengan dosis dan lama terapi ditentukan
oleh respon setiap penderita.

Penderita kusta yang mengalami RR sebelum RFT, terapi MDT dengan dosis dan cara
pemberian yang sama tetap dilanjutkan selama terapi dengan kortikosteroid sedang penderita RR
yang telah RFT diterapi dengan kortikosteroid dan monoterapi kusta dengan dapson atau

klofazimin, karena kortikosteroid menekan respon imun sehingga menyebabkan multiplikasi

basil. Hasil penelitian eksperimental menunjukkan bahwa terapi kortison menurunkan tingkat
lisis mikobakterium pada jaringan makrofag.

Klofazimin

Klofazimindigunakan pada penderita RR yang membutuhkan terapi kortikosteroid dosis tinggi


yang lebih lama, atau timbul efek samping steroid. Dosis yang digunakan biasanya 300 mg
sehari, setelah 2-4 minggu dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis ditingkatkan ke

dosis semula dan dipertahankan selama 2-4 minggu apabila setelahpenurunan dosis tidak
menunjukkan perbaikan gejala klinis. Penurunan dosis yang lebih lambat biasanya akan berhasil

dan kortikosteroid biasanya dihentikan setelah 6-12 bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari

tidak dapat ditoleransi oleh penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan menjadi 100 mg
sehari selama 1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut mengakibatkan kegagalan pengobatan reaksi.
Penggunaan klofazimin pada reaksi reversal masih kontroversial dan tidak bermanfaat pada fase
akut reaksi.

93

Dapson
Dapson dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar menimbulkan efek supressif terhadap
RR. Prevalensi RR selama masa pengobatan penyakit kusta di beberapa negara berkurang setelah
WHO menganjurkan penggunaan MDT yang menggunakan dapson 100 mg sehari. Prevalensi
RR meningkat setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek imunosupresif
dapson. Penderita reaksi dapat diterapi dengan kombinasi dapson dan kortikosteroid, tetapi
apabila setelah beberapa minggu masih membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya

L
U KP
N P
H
AS

dilakukan perubahan terapi dengan mengganti dapson dengan klofazimin.

Azatioprin

Azatioprinbekerja lambat dan hanya dapat digunakan pada pengobatan tahap lanjut karena tidak

mempunyai efek pada udem intra neural. Azatioprin menghambat sintesis asam nukleat, dan
mempunyai efek sangat lambat, tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan vial 100 mg.

Penggunaan azatioprin dapat menimbulkan keracunan berupa leukopenia dan trombositopenia

sehingga dibutuhkan monitoring dan efek tersebut mempengaruhi besarnya dosis pemberian
azatrioprin. Keluhan lain yang sering ditemukan adalah mual dan muntah tetapi tidak membatasi
dosis pemberian obat.

Siklosporin A

Merupakan siklik polipeptida yang berasal dari jamur, menghambat transkripsi IL-2

mRNA sehingga tidak terjadi proliferasi sel T dan respon imun yang diperankan oleh sel T

terhambat. Secara teoritis merupakan obat ideal RR, sebab cyclosporin A bekerja dengan
menekan CD4 sel Thl, tetapisampai sekarang belum diketahui apakah siklosporin A mempunyai
efek yang sama cepatnya dengan kortikosteroid pada udem intraneural. Pengobatan dimulai
dengan dosis 5-10 mg/kgBB dan diturunkan sesuai dengan tingkat penurunan dosis pada
penggunaan kortikosteroid.

Efek samping utama terdiri dari gangguan fungsi ginjal dan toksisitas hepar, sehingga

penggunaannya membutuhkan keseimbangan antara dosis obat dengan efek maksimal imunosupressan. Pada dosis dibawah 5 mg/kgBB efek samping biasanya ringan berupa hipertensi

94

yang mudah dikontrol, dan penurunan filtrasi glomerulus yang mengakibatkan peningkatan
konsentrasi kreatinin plasma yang bersifat reversibel.
Zafirlukas
Zafirlukas merupakan imunomodulator yang telah digunakan untuk pencegahan dan
pengobatan asma. Preparat ini menyebabkan efek antagonistik selektif pada tingkat reseptor
leukotriene cystidinyl. Zafirlukas menghambat produk akhir inflamasi asam arakidonat.
Berdasarkan penelitian, obat ini dapat ditoleransi dengan insiden efek samping sama dengan

L
U KP
N P
H
AS

yang menggunakan plasebo, berupa sakit kepala dan faringitis.


Terapi Tambahan

Pada penatalaksanaan RR sebelum diberikan terapi kortikosteroid, dilakukan pemeriksaan


penderita tentang penyakit infeksi lain yang menyertai reaksi karena penyakit infeksi dapat

memacu timbulnya reaksi selama pengobatan imunosupressif. Selain itu, terapi kortikosteroid
atau terapi imunosupressif lainnya dapat menimbulkan eksaserbasi penyakit strongiloidiasis,

infeksi jamur, osteomyelitis, dan tuberkulosis sehingga diperlukan pengobatan terhadap penyakit
tersebut.

Pembedahan

Selama episode neuritis terdapat peningkatan volume cairan dalam saraf, epineurium menebal

dan jaringan sekitarnya membengkak sehingga tekanan intraneural meningkat. Pem bengkakan
pada saraf juga mengakibatkan aliran darah ke saraf terganggu. Tindakan bedah dilakukan
apabila setelah terapi kortikosteroid selama 48 jam belum tampak pengurangan nyeri atau tidak
terjadi pemulihan fungsi saraf.

Kadang-kadang setelah dilakukan terapi reaksi, beberapa saraf berespon baik dengan terapi

anti reaksi tetapi saraf lain tidak mengalami perbaikan yang mungkin disebabkan oleh udem

venostatik. Pada keadaan demikian dibutuhkan terapi bedah dengan melakukan dekompressi
saraf. Pada saat operasi diberikan terapi kortikosteroid untuk mencegah udem setelah operasi dan

mengurangi skar. Neurolisis dapat memulihkan tekanan terhadap saraf oleh jaringan sekitarnya,
sedang epineurotomi terhadap selaput saraf akan memulihkan tekanan intraneural. Tindakan
bedah dilakukan dalam 10 hari, atau maksimal 2-3 bulan perlangsungan reaksi.

95

Abses dapat diaspirasi dengan menggunakan jarum suntik yang besar, atau dengan insisi
epineural sepanjang aksis saraf. Dengan cara tersebut, abses yang kecil (diameter 2-3 cm) dapat
sembuh spontan. Pada pembengkakan n.ulnaris, dilakukan eksisi epikondilus atau saraf digeser
ke depan epikondilus dan di tanamkan di dalam otot.
Terapi Profilaksis
Croft (1999) melaporkan hasil penelitian pencegahan reaksi terhadap 92 penderita MB yang
diberikan prednisolon20 mg sehari selama 3 bulan dan diturunkan secara bertahap pada bulan

L
U KP
N P
H
AS

ke-4 sehingga pada akhir bulan ke-4 prednisolondihentikan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa prednisolonmempunyai efek pencegahan RR, tetapi sampel yang digunakan pada

penelitian ini masih kecil sehingga masih dibutuhkan penelitian yang menggunakan sampel yang
lebih besar.

96

PENYAKIT KULIT CAUSA VIRUS


I.

Herpes Simpleks

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

L
U KP
N P
H
AS

penyakit Herpes Simpleks.


Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit Herpes Simpleks.
2. Menjelaskan penyebab dari Herpes Simpleks.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Herpes Simpleks


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Herpes Simpleks
5. Menjelaskan diferensial diagnosis Herpes Simpleks.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis Herpes Simpleks


7. Menjelaskan penatalaksanaan Herpes Simpleks.
8. Menjelaskan komplikasi Herpes Simpleks

97

I.

Herpes Simpleks
pertama episode
laten episode rekuren.
Pat ogenesis : episode

Kont ak dgn secret t erinfeksi HSV masuk


penyebaran virus ke saraf sensoris replikasi.

L
U KP
N P
H
AS

Definisi : infeksi yg
disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus (HSV) yg
terdiri virus HSV-1 &
HSV-2

Etiologi : Herpes Simplex


Virus atau (HSV)
/Herpesvirus hominis
gol. Herpesvirus subgrup

Tringger Faktor : umur (15- 30


thn), jumlah pasangan seksual,
preferensi seksual, status
ekonomi sosial yg rendah, ras,
jenis kelamin perempuan &
infeksi HIV.

Gejala Klinis :Herpes orofasial,

herpes genital,
keratokonjungtivitis, herpetic
withlow, herpe neonatal, herpes
lainnya.

HERPES

SIMPLEKS

Hist opat ologi : Balloning


degenerat ion, vesikel

int raepidermal, infilt rasi


sel PM N

Penat alaksanaan : t erapi


suport if, t erapi supresif,

Prognosis :

ant ivirus,konseling,.

Komplikasi

herpetikum,

Eksema

Dubia

Faringitis

Radikuloneuropati,
Ensefalitis,

Hepatitis

Bells Palsy, & Kebutaan

98

Definisi
Herpes simpleks merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Herpes Simplex
Virus (HSV) yang terdiri virus HSV-1 dan HSV-2 dimana infeksi HSV 1 berkaitan
dengan infeksi orofasial dan HSV-2 berkaitan dengan infeksi genitasl. Namun demikian,
infeksi HSV-1 tidak selalu menyerang daerah orofasial saja dan HSV-2 tidak selalu
menyerang daerah genital saja.
Infeksi primer HSV-1 yang biasanya berupa herpes labialis sering muncul pada

L
U KP
N P
H
AS

anak-anak dengan manifestasi infeksi primer berupa stomatitis vesikuler yang bersifat

nyeri. Resiko infeksi HSV-1 meningkat seiring pertambahan umur. Infeksi HSV-2
biasanya berkaitan dengan perilaku seksual

Etiologi

Herpesvirus dibagi menjadi tiga kelompok yakni alpha, beta dan gamma herpes

virinae. Setiap virus mempunyai kapsid ikosahedral dengan diameter 100-110 nm dan
pembungkus dengan tonjolan glikoprotein di permukaannya.

Herpes Simplex Virus atau (HSV) atau Herpesvirus hominis merupakan salah satu

dari golongan Herpesvirus subgrup . virus berukuran medium yang berisi DNA rantai
ganda dan bereplikasi didalam inti sel. Virus ini dapat bersifat laten didalam sel.

Faktor Pencetus

Faktor yang mempengaruhi transmisi HSV-2 adalah umur (15-30 tahun), jumlah

pasangan seksual, preferensi seksual, status ekonomi sosial yang rendah, ras, jenis
kelamin perempuan dan infeksi HIV.

Pada pasien dengan riwayat infeksi HSV-1

sebelumnya, potensi kecenderungan infeksi HSV-2 lebih sedikt dan bila terjadi infeksi
HSV-2 maka infeksi yang muncul tidak parah atau bersifat subklinis.

Pada pasien dengan infeksi HSV pada genital dapat menjadi sumber transmisi utama
penyebaran HIV. Selain itu resistensi asiklovir pada orang dengan HIV juga
memperparah perjalanan panyakit

99

Patogenesis
Perjalanan infeksi HSV digambarkan sebagai episode pertama, episode laten dan
episode rekuren. Masuknya HSV-1 dan HSV-2 diawali dengan kontak dengan sekret
tubuh yang sudah terinfeksi melalui kulit atau membran mukosa. Di dalam sel epidermis,
virus mentranskripsi gen yang digunakan untuk membentuk protein vital yakni protein
Thymidin Kinase (TK) dan enzim DNA-Polymerase. Virus yang saat ini menjadi target
terapi antivirus pada pengobatan infeksi HSV. Dengan adanya dua protein tersebut maka

L
U KP
N P
H
AS

proses perakitan bagian virus lainnya dapat dilakukan.


Tahap berikutnya terjadi penyebaran virus ke saraf sensoris secara retrogade

hingga ke ganglia sel saraf dan memicu terjadinya fase laten. Virus bertahan didalam

ganglia sensoris saraf yang melewati daerah yang terinfeksi. Mekanisme lain HSV untuk

mempertahankan diri pada masa laten adalah dengan cara mengintervensi transpor

molekul CD1d pada antigen presenting cell. Dalam kondisi laten, virus yang telah

menyebar ke serat saraf dapat kembali melakukan replikasi pada sel epidermis kulit

setelah terbebas dari mekanisme imunitas tubuh, sehingga timbul suatu episode rekurensi.
Episode rekuren merupakan suatu episode dimana lesi muncul ditempat awal infeksi.

Gejala Klinis

Herpes Orofasial

Manifestasi yang biasa muncul pada infeksi primer HSV-1 pada anak adalah

ginggivostomatitis akut yang diikuti oleh malaise, sakit kepala, demam, nyeri menelan,

dan pembesaran kelenjar servikal. Lesi lain juga terbentuk berupa vesikel yang nyeri,
stomatitis dan lesi ulkus yang bisa menyebar ke palatum, lidah dan mukosa bukal.
Vesikel tersebut berubah menjadi ulkus dan dapat menyebar ke bibir terutama sepertiga
bibir bagian bawah, hidung, pipi dan dagu dan bertahan sekitar 2 minggu

Pada pasien dengan episode rekuren, lesi yang muncul dapat berbeda dari episode

sebelumnya dan cenderung bervariasi. Pasein dengan immunokompeten biasanya jarang

memiliki lesi rekuren intraoral, namun muncul dengan vesikel kecil dan ulkus pada
ginggiva dan palatum durum anterior. Pasien mengeluhkan rasa panas dan gatal disekitar
lesi.

100

Herpes Genital
Herpes Simpleks Genital biasanya mengenai glans penis pada pria dan pada
perempuan. Herpes simpleks genital biasa terjadi pada vulva atau labia minora, bahkan
hingga ke bokong dan mons pubis dan biasanya sering terjadi mengikuti siklus
menstruasi sehingga menimbulkan rasa nyeri dan mengganggu hubungan seksual.
Gejala lain yang dapat muncul adalah rasa terbakar dan nyeri berkemih.
Discharge urethra dan pembesaran kelenjar limfe ingunal juga dapat muncul disertai

L
U KP
N P
H
AS

eritema dan kumpulan vesikel padat. Gejala sistemik lain yang dapat diperhatikan antara
lain demam, sakit kepala dan myalgia. Radikulomyelitis Herpetik Sakral juga dapat
timbul yang ditandai dengan retensi urin, neuralgia dan konstipasi
Keratoconjunctivitis

Infeksi primer herpes pada mata dapat menimbulkan konjunktivitis berat dan

bahkan purulen, diikuti oleh opasitas dan ulserasi superfisial kornea.

Pada keratokonjunktivitis, infeksi muncul diawali dalam bentuk keratitis marginal

atau ulkus kornea dendritik yang dapat menimbulkan bekas sehingga menganggu
pengelihatan.

Vesikel dapat muncul pada kelopak mata sehingga tampak edema.

Pembesaran kelenjar preaurikular juga biasa ditemukan pada pasien dengan


keratokonjunctivitis.
Herpetic Withlow

Merupakan infeksi herpes yang terjadi pada jari tangan dan biasanya didapatkan

karena menggigit jari atau inokulasi langsung ke tangan pada pasien dengan infeksi
herpes ginggivostomatitis atau kontak seksual.

Lesi yang muncul dapat berupa vesikel

yang nyeri, bulla dan ulserasi. Terkadang sulit dibedakan dengan infeksi piogenik pada
kulit.

Herpes Neonatal

Gejala sistemik yang dapat muncul berupa letargi, kejang, distress nafas bahkan

trombositopenia dan hepatitis.

Kasus herpes neonatal dapat bersifat fatal bila ada

keterlibatan sistem saraf pusat yang ditandai dengan timbulnya gangguan neurologis.
Komplikasi infeksi intrauterin lain yang dapat terjadi yakni abnormalitas meliputi

hipoplasia tungkai, mikrosefalus, mikroftalmus, dan gangguan sistemik seperti


ensefalitis, korioretinitis dan kalsifikasi intraserebral.
101

Herpes Lainnya
Herpes kutaneus dapat ditransfer dari kontak kulit antar atlet olahraga seperti
gulat yang dikenal sebagai herpes gladiatorum dan rugbi (herpes rugbiaforum atau scrum
pox). Pada kasus ini lesi herpes berupa vesikel multipel dapat muncul didada, telinga,
wajah, lengan dan tangan para atlet selama latihan olahraga.

Histopatologi

L
U KP
N P
H
AS

Secara histopatologis, proses yang muncul pada epidermis adalah edema sel epitel

yang disebut sebagai balloning degeneration. Vesikel intraepidermal yang tebal mulai

terbentuk sebagai hasil dari adanya edema intraseluler dan interseluler. Pada daerah
dermis dan epidermis terjadi suatu proses infiltrasi oleh sel polimorfonuklear. Pada sel,
terbentuk badan inklusi yang akan membentuk sel raksasa yang mengandung 2 hingga 15
nukleus yang dideteksi dengan percobaan Tzank.

Terapi

Penatalaksanaan Herpes Genital dan orofasial meliputi:


1. Terapi Antivirus

Pada episode infeksi herpes terutama herpes genital, pemberian antivirus dapat

dilakukan walaupun pada kenyataannya askilovir, famsiklovir dan valasiklovir tidak


seutuhnya mengeradikasi virus, dan lebih berperan efektif dalam mencegah keadaan

yang lebih buruk. Pemberian obat antivirus biasanya diberikan pada 5 hari pertama
episode penyakit atau selama lesi baru terbentuk. Pemberian melalui intravena hanya

diindikasikan bila pasien tidak mampu menelan obat. Pemberian obat topikal tidak
disarankan lagi karena kinerjanya yang tidak seampuh obat oral. Pasien dengan gejala
sistemik dan komplikasi perlu diberikan obat antivirus lebih lama.
2. Terapi suportif

Bilas salin dan penggunaan anestesi topikal seperti lignocaine dapat


direkomendasikan.

3. Konseling
102

Pasien perlu dijelaskan mengenai beberapa isu penting yakni resiko penularan,
tentang kehamilan serta penggunaan alat kontrasepsi.
4. Manajemen Komplikasi
Hal yang perlu menjadi perhatian untuk rawat inap adalah ketika terjadi
komplikasi yakni retensi urin, meningismus, atau infeksi sekunder lainnya serta
komplikasi lain yang dapat membahayakan.
5. Terapi Supresif

L
U KP
N P
H
AS

Biasa diberikan pada pasien dengan frekuensi rekurensi mencapai lebih


dari 6 kali dalam setahun, namun pemberian terapi supresif pada pasien dengan
angka rekurensi yang lebih rendah juga menunjukkan hasil yang memuaskan.

Komplikasi

Komplikasi pada pasien herpes simpleks, biasanya didapatkan :


a. Eksema herpetikum
b. Faringitis

c. Radikuloneuropati
d. Ensefalitis
e. Hepatitis

f. Bells Palsy
g. Kebutaan

Prognosis

Kesembuhan cenderung sulit untuk dicapai, karena rekurensi sangat tinggi.

Semakin berat infeksi primernya cenderung semakin sering rekurensinya Pada herpes
genital, infeksi HSV-1 cenderung kurang rekurensi, dan pria lebih sering rekurensi

dibanding perempuan. Rekurensi cenderung spontan dan sulit diprediksi dan faktor
emosional dapat berpengaruh

103

DAFTAR PUSTAKA
1. Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed.
London: McGraw Hill; 2008. p. 1873-84.
2. Grekin RC, Neuhaus IM, Wei ML. Viral diseases. In: James WD, Berger TD, Elston
DM, editors. Andrew's diseases of the skin: clinical dermatology. 10 ed. Ontario:
Saunders Elsevier; 2006. p. 367-75.

L
U KP
N P
H
AS

3. Madkan V, Sra K, Brantley J, Carrasco D, Mendoza N, Tyring SK. Human herpesvirus.

In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Bolognia dermatology. Madrid: Mosby

Elsevier; 2008. p. 79.1-.16.

4. Doherty CB, Rosen T, Doherty SD. Genital lesions in man and women. In: Kelly AP,

Taylor SC, editors. Dermatology for skin of color. London: McGraw Hill; 2009. p. 3702,94.

104

II.

Herpes Zooster

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit Herpes Zooster.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit Herpes Zooster.
2. Menjelaskan penyebab dari Herpes Zooster.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Herpes Zooster


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Herpes Zooster
5. Menjelaskan diferensial diagnosis Herpes Zooster

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis Herpes Zooster


7. Menjelaskan penatalaksanaan Herpes Zooster.
8. Menjelaskan komplikasi Herpes Zooster

105

II.

Herpes Zoster

Pat ogenesis : virus dorman reaktivasi,

translasi
dan trasnkripsi gen mampu mencapai DNA
virus di nukleus sel mengaktifkan replikasi
virus memproduksi virus yang infeksius.
Virus keluar dari ganglion menginfeksi sel
epitel disekitarnya lesi herpes zoster

Definisi : penyakit infeksi

L
U KP
N P
H
AS

oleh virus varisela zoster


yang menyerang kulit &
mukosa reaktivasi virus
varisela zoster

Gejala Klinis fase pre-eruptif, fase

eruptif akut dan fase kronis


(neuralgia post herpetik).

Etiologi : reaktivasi Virus

varicella-zoster

HERPES

Tringger Faktor usia lanjut,


>60 thn system imun
menurun

Penatalaksanaan:
kortikosteroid,

shingles

antivirus,

(analgetik,

terapi

Prognosis :

topical

(bedak, kompres terbuka, salep


antibiotic)

intraepidermal, akantolisis dan


degenerasi retikuler. edema
& vaskulitis pa underlying
dermis. sel raksasa berinti
banyak dengan karakteristik
perubahan nuclear

terapi

simtomatik
antibiotic),

Hist opat ologi : vesikel

ZOSTER

Bonam

Komplikasi: NPH

HZO ptosis paralitik,

keratitis, skleritis, uveitis,


korioretinitis,

&

neuritis

optik.

106

Definisi
Herpes zoster (shingles) merupakan penyakit infeksi oleh virus varisela zoster
yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster
yang masuk melalui saraf kutan selama episode awal cacar air, kemudian menetap di
ganglion spinalis posteriora. Termasuk penyakit inflamasi neurodermatologik yang
biasanya terlokalisasi pada bagian kulit yang di persarafi oleh saraf sensorik. Penyakit ini
bersifat akut dan self-limiting. Herpes zoster umumnya terjadi pada orang dewasa,

L
U KP
N P
H
AS

terutama orang tua dan individu yang mengalami imunitas tubuh yang kurang. Adapun

faktor penting yang mempengaruhi penyakit ini adalah umur, obat imunosupresif,
limfoma, kelelahan, gangguan emosional, dan terapi radiasi
Etiologi

Varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama, yang disebut sebagai

Virus varicella-zoster. VZV termasuk dalam virus herpes. Virus varisella zoster ini
mengandung kapsid yang berbentuk isokahedral dikelilingi dengan amplop lipid yang

menutupi genom virus, dimana genom ini mengandung molekul linear dari doublestranded DNA. Diameternya 150-200 nm dan memiliki berat molekul sekitar 80 million.
Meskipun virus ini memiliki kesamaan struktural dan fungsional dengan virus herpes
simpleks, namun keduanya memiliki perbedaan dalam representasi, ekspresi, dan
pengaturan gen, sehingga keduanya dapat dibedakan melalui pemeriksaan gen

Faktor Pencetus

Secara klasik herpes zoster dikenal sebagai penyakit orang tua, insidennya

meningkat tajam pada umur di atas 60 tahun tetapi dapat terjadi pada semua umur.
Menurunnya

imunitas seluler pada usia lanjut

merupakan faktor utama penyebab

reaktivasi, dan sering kali dijumpai pada pasien dengan status imun inkompeten.
Diperkirakan antara 10% dan 20% populasi akan mengalami herpes zoster selama
hidupnya

107

Patogenesis
Patogenesis herpes zoster pada umumnya belum diketahui. Pada awalnya virus
mencapai ganglion diduga dengan cara hematogenik, transport neural retrograde atau
keduanya, menjadi laten pada sel ganglion. Virus ini berdiam di ganglion posterior
susunan saraf tepi ganglion kranialis. Selama infeksi varisela primer, virus di dalam darah
akan bereplikasi dalam kelenjar getah bening regional selama 2-4 hari. Viremia sekunder
berkembang setelah siklus kedua replikasi virus dihati, limpa, dan organ lain. Perjalanan

L
U KP
N P
H
AS

virus ke epidermis yang menginvasi sel-sel endotel kapiler sekitar 14-16 hari. Setelah
paparan VZV kemudian perjalanan dari lesi kulit dan mukosa untuk menyerang akar
ganglion dorsalis dimana virus tersebut masih dapat teraktivasi dikemudian hari.

Pada keadaan reaktivasi, translasi dan trasnkripsi gen mampu mencapai DNA

virus di nukleus sel dan mengaktifkan replikasi virus serta memproduksi virus yang

infeksius. Virus tersebut kemudian keluar dari ganglion dan menginfeksi sel epitel

disekitarnya dan membentuk lesi herpes zoster. Kelainan kulit yang timbul memberikan
lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Herpes zoster

menstimulasi sistem imun yang mampu mencegah reaktivasi pada ganglion lainnya serta
reaktivasi klinis berikutnya. Oleh karena itu herpes zoster umumnya hanya menyerang
satu atau sejumlah kecil ganglion serta hanya sekali muncul seumur hidup

Gejala Klinis

Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase pre-eruptif, fase eruptif akut dan

fase kronis (neuralgia post herpetik).


i.

Fase pre-eruptif atau preherpetik neuralgia

Gejala prodromal biasanya nyeri, parestesia, nyeri tekan intermiten atau terus

menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam, terlokalisir, beberapa dermatom atau difus.
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar, malaise, demam, nyeri kepala, gatal dan

limfadenopati. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali dengan prodromal, gejala tersebut
umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3 minggu sebelum muncul lesi kulit.
ii.

Fase eruptif

Erupsi pada kulit diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian
makulopapular muncul secara dermatomal. Lesi kulit yang sering dijumpai adalah vesikel
108

herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. Adapun vesikelvesikel ini terumblikasi dan ruptur sebelum ia menjadi krusta. Hal ini terjadi dalam waktu
2 hingga 3 minggu. Dalam 12-24 jam, lesi tampak jernih, biasanya timbul di tengah plak
eritematosa. Dan dalam masa 2-4 hari, vesikel bersatu, dan setelah 72 jam akan terbentuk
pustul.
iii.

Fase kronis atau fase neuralgia post herpetik


Neuralgia pascaherpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas

L
U KP
N P
H
AS

penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini dapat
berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun tahun dengan gradasi nyeri yang
bervariasi dalam kehidupan sehari hari. Kecenderungan ini dijumpai pada orang yang
mendapat herpes zoster diatas usia 40 tahun

Histopatologi

Biopsi dari lesi herpes zoster menunjukkan gambaran patonogmonik, tetapi

biasanya dilakukan hanya untuk mengetahui gambaran histopatologi lesi atipikal. Biopsi
tidak dapat membedakan HZV dan HSV-1 atau HSV-2 juga terhadap lesi secara
diagnosis klinis.

Secara histopatologis, akan ditemukan vesikel intraepidermal, akantolisis dan

degenerasi retikuler. Terjadi edema dan vaskulitis pada underlying dermis. Dapat

ditemukan juga sel raksasa berinti banyak dengan karakteristik perubahan nuclear.

Terapi

Terapi sistemik

Antivirus

Asiklovir (Zovirax), valasiklovir (Valtrex), and famsiklovir (Famvir) telah

digunakan di United States untuk pengobatan herpes zoster.

Tujuan utama terapi herpes zoster adalah (1) mengurangi ekstensi, durasi, dan

nyeri dan kemerahan pada dermatom utama; (2) mencegah terjadinya penyakit di bagian
tubuh yang lain; (3) mencegah dari terjadinya post-herpetic neuralgia.

109

Pada pasien yang normal, pemberian asiklovir oral (5 dd 800mg sehari selama 7
hari), famsiklovir (3 dd 500mg untuk 7 hari), dan valasiklovir (3 dd 1g sehari selama 7
hari) mampu mempercepat proses penyembuhan lesi dan durasi serta rasa nyeri akut yang
dialami oleh pasien herpes zoster (pasien dengan umur kurang dari 50 tahun) yang
dirawat dalam jangka waktu 72 jam sesudah timbulnya gejala pada kulit.

Kortikosteroid
Kortrikosteroid oral diberikan untuk mengatasi nyeri pada HZ, meskipun suatu

L
U KP
N P
H
AS

percobaan memberikan hasil bahwa kortikosteroid tidak dapat mengurangi nyeri pada

PHN tapi dapat mengurangi keparahan dan durasi pada gejala yang akut. Selain itu,
Indikasi pemberian kortikosteroid ialah untuk sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus
sedini dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah
prednisone dengan dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara

bertahap. Dengan dosis prednisone setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih

baik digabung dengan obat antiviral. Dikatakan penggunaannya untuk mencegah fibrosis
ganglion.

Terapi Asimtomatik

Bila nyeri dapat diberikan analgesia dengan NSAID, misalnya asam mefenamat

500 mg, indometasin 25 mg 3 kali sehari atau ibuprofen 400 mg 3 kali sehari.

Antibiotik bila mengalami infeksi yang merupakan penyebab utama timbulnya jaringan
parut atau keloid.
Terapi topikal

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih vesikel diberikan

bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi

sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan
salep antibiotic

Komplikasi

Neuralgia pascaherpatik dapat timbul pada umur di atas 40 tahun, persentasenya

10-15%. Makin tua penderita makin tinggi presentasenya. Pada penderita tanpa disertai
110

defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi
imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel
sering menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik. Pada herpes zoster oftalmikus dapat
terjadi berbagai komplikasi, di antaranya ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis,
korioretinitis, dan neuritis optik.
Paralisis motoric terdapat pada 1 5% kasus, Dapat terjadi paralisis, misalnya di
muka, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria, dan anus. Umumnya akan

L
U KP
N P
H
AS

sembuh spontan.

Prognosis

Prognosa bagi penyakit herpes zoster umumnya baik. Pada herpes zoster

oftalmikus, prognosis nya bergantung pada tindakan perawatan secara dini.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Straus,SE.Oxman,MN.Schmader KE. Varicella and Herpes zoster. in: Wolff KG, LA.
Katz, SI. Gilchrest, BA. Paller, AS. Leffell,DJ. Fitzpatrick's Dermatology In
General Medicine. 7th ed: Mc Grow Hill; 2008.p.18886-98

2.

Radiono S. Herpes Zoster Pada Kehamilan. In: Daili SI, WB. editor. Infeksi Virus
Herpes. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002. p. 200-2

3.

Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP. Dermatology. 2nd ed. New York: William
Coleman III retains copyright of his original figures in chapter 156; 2008. 3:

4.

Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas

Indonesia; 2007. p.60-1,130-3,382

111

III.

Varicella

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit Varicella.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit Varicella.
2. Menjelaskan penyebab dari Varicella.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Varicella.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Varicella.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis Varicella.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis Varicella.


7. Menjelaskan penatalaksanaan Varicella..
8. Menjelaskan komplikasi Varicella.

112

III.

Varicella
Definisi : infeksi akut

Pat ogenesis : VSV masuk mukosa infeksi

primer oleh virus


varisela zoster (VZV)
yang menyerang kulit
dan mukosa

menginvasi epidermis Virus beredar


dalam leukosit mononuklear, terutama
limfosit lesi kulit

Gejala Klinis : papul eritematosa


Etiologi : varicella zoster

L
U KP
N P
H
AS

vesikel. tetesan embun (tear


drops pustul krusta.

virus (VZV)

Tringger Faktor : umur, suhu

Hist opat ologi : sel-sel

raksasa
berinti banyak dan sel epitel
yang mengandung badan
inklusi intranuklear asidofilik

atau temperatur suatu daerah,


daerah vaksin/ tidak.

VARICELLA

Penatalaksanaan:

antivirus

(Acyclovir, famciclovir, dan

valacyclovir),

(acetaminophen),
(salep antibiotic)

simtomatis

Topikal

Komplikasi: infeksi bakteri


sekunder

pada

kulit

Prognosis :

septikimia infeksi organ

Bonam

lain (pneumonia)

113

Definisi
Varisela berasal dari bahasa Latin, varicella. Di Indonesia penyakit ini dikenal
dengan istilah cacar air, sedangkan di luar negeri terkenal dengan nama chicken-pox
ditandai oleh erupsi yang khas pada kulit berupa papul eritematous, vesikel (tears drops),
pustul lalu berubah menjadi krusta.
Varisela merupakan suatu infeksi akut primer oleh virus varisela zoster (VZV)
yang menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit

L
U KP
N P
H
AS

polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh, umumnya menyerang anak-anak

dan sangat menular, dapat melalui kontak langsung dengan lesi, tetapi terutama melalui
udara (droplet infection).

Etiologi

Penyebabnya adalah virus varicella zoster virus (VZV) dari keluarga herpes virus,

sangat mirip dengan herpes simplex virus. Virus ini mempunyai amplop berbentuk
ikosahedral, dan memiliki DNA berantai ganda yang mengkode lebih dari 70 macam
protein.

Virus ini ditularkan melalui percikan ludah penderita atau melalui benda-benda

yang terkontaminasi oleh cairan dari lepuhan kulit. Penderita bisa menularkan
penyakitnya mulai dari timbulnya gejala sampai lepuhan yang terakhir telah mengering.

Faktor Pencetus

Distribusi dari penyakit ini meliputi seluruh dunia, akan tetapi ada beberapa hal

yang mempengaruhi angka kejadian penyakit ini, misalnya dilihat dari umur, suhu atau

temperatur suatu daerah, serta apakah daerah tersebut belum pernah atau tidak
mendapatkan vaksin varicella. Varicella merupakan penyakit endemik, biasanya terjadi
pada saat musim dingin ataupun musim semi.
Patogenesis

VZV masuk melalui mukosa saluran pernapasan bagian atas dan orofaring.

Multiplikasi pada portal ini merupakan awal penyebaran sejumlah kecil virus melalui
114

darah dan limfatik yang biasanya disebut sebagai viremia primer. Virus ini dibersihkan
oleh sel-sel sistem retikuloendotelial.
Proses infeksi pada tahap inkubasi melibatkan sistem pertahanan tubuh seperti
interferon, natural killer cell dan respon imun spesifik terhadap VZV.2 Pada sebagian
besar individu, replikasi virus terjadi pada hepar, limpa, dan organ lainnya yang akhirnya
menguasai perkembangan pertahanan tubuh, sehingga sekitar 2 minggu setelah infeksi,
viremia jauh lebih besar (sekunder) dan berkaitan dengan munculnya beberapa gejala

L
U KP
N P
H
AS

terkait serta munculnya lesi.2,3


Virus kemudian menginvasi epidermis melalui sel endotel kapiler sekitar 14-16

hari setelah terpapar.3 Lesi kulit muncul berturut-turut, menggambarkan sebuah viremia
siklik. Pada individu normal, hal ini berakhir setelah kurang lebih 3 hari akibat kerja dari
respon imun humoral dan seluler spesifik VZV.

Virus beredar dalam leukosit mononuklear, terutama limfosit. Bahkan pada

varicella tanpa komplikasi, viremia sekunder dapat menginfeksi secara subklinis pada
beberapa organ selain kulit. Respon imun pejamu efektif mengakhiri viremia dan

membatasi perkembangan lesi varicella pada kulit dan organ lainnya. Imunitas humoral
terhadap VZV juga melindungi dari varicella. Orang-orang dengan serum antibodi yang
terdeteksi biasanya tidak sakit setelah terpapar faktor eksogen. Cell-mediated immunity

terhadap VZV juga berkembang selama terpapar varicella.

Gejala Klinis

Gejala klinis dimulai dengan gejala prodormal, yakni demam yang tidak terlalu

tinggi, malese, dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul

eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas

berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian
menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel yang baru
sehingga menimbulkan gambaran polimorfi

115

Penyebaran terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara sentrifugal


ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut dan saluran
nafas bagian atas. Penyakit ini biasanya disertai rasa gatal
Histopatologi
Lesi varicella dan herpes zoster bisa dibedakan dengan pemeriksaan
histopatologi. Adanya sel-sel raksasa berinti banyak dan sel epitel yang mengandung

L
U KP
N P
H
AS

badan inklusi intranuklear asidofilik membedakan lesi kulit yang dihasilkan oleh VZV
dari semua lesi vesikular lain (misalnya, yang disebabkan oleh variola dan poxvirus lain,
dan oleh coxsackie virus dan echoviruses, kecuali yang diproduksi oleh HSV). Sel-sel ini
dapat ditunjukkan dalam Tzanck smears, spesimen dikikis di bagian dasar vesikel awal,

di letakkan pada slide kaca, difiksasi dengan aseton atau metanol, dan diwarnai dengan
hematoxylineosin, Giemsa, Papanicolaou, atau Paragon multiple stain.

Terapi

Acyclovir, famciclovir, dan valacyclovir adalah agen antivirus yang dipercaya

untuk pengobatan infeksi VZV. Terapi antivirus mencegah progresivitas varicella dan
penyebaran viseral dan kompensasi penyebaran untuk respon host.

Pemberian Acetaminofen untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat demam. Topikal
dan antibiotik sistemik dapat diberikan untuk mengatasi superinfeksi bakteri.
Untuk pencegahan infeksi VZV ini ada 3 metode

yanag dapat digunakan.

Pertama, pemberian vaksin varicella yang dilemahkan dianjurkan untuk semua anak

anak dengan umur <1 tahun (sampai umur 12 tahun) yang belum pernah terkena
chickenpox dan untuk orang dewasa yang diketahui seronegative terhadap VZV.

Pendekatan terakhir ialah terapi antivirus, terapi antivirus dapat diberikan sebagai

profilaksis pada individu individu dengan resiko tinggi yang tidak dapat diberikan
vaksin atau yang melebihi 96 jam setelah kontak langsung dengan penderita varicella

116

Terapi Varicella
Pasien

Aturan Pakai

Normal
Bayi

Acyclovir, 500 mg/ml 3x1 selama 10


hari

Anak

Terapi simptomatik atau acyclovir, 20


mg/kgBB selama 5 hari
Acyclovir, 800 mg 5x1 selama 7 hari

L
U KP
N P
H
AS

Remaja, dewasa dan ibu hamil

Acyclovir, 800 mg 5x1 selama 7 hari


atau acyclovir, 10 mg/kgBb IV 3x1
selama 7 hari

Immunocompromised

Mild varicella or mild compromise

Acyclovir, 800 mg PO 5x1 selama 7


hari

Severe varicella or severe

Acyclovir, 1am IV 3x1 selama 7 hari

compromise

Foscarnet, 40 mg/kgBb IV 3x1

Tabel 1. Terapi Varicella

Komplikasi

Pada anak yang normal, varicella jarang berkomplikasi. Komplikasi yang paling

sering adalah infeksi bakteri sekunder pada kulit yang mengalami lesi. Biasanya

staphylococci atau streptococci yang mungkin dapat menyebabkan impetigo, furunkel,


sellulitis, erisipelas dan yang jarang ialah gangren. Infeksi lokal ini sering mengarah ke

pembentukan skar dan yang jarang menyebabkan septikemia dengan infeksi metastasi
dari organ lain.

Pneumonia varicella primer merupakan komplikasi yang utama pada orang

dewasa yang mengalami vericella. Encephalitis sering disertai dengan ataksia pada pasien

yang sehat terjadi dalam kurang dari 1 per 1000 kasus dan pulih secara komplit terjadi
dalam 80%. Komplikasi neurologis lain sangat jarang ditemukan

117

Prognosis
Dengan perawatan yang teliti dan meperhatikan higiene memberi prognosis yang
baik dan jaringan parut yang timbul hanya sedikit.

DAFTAR PUSTAKA
Stephen E S, Michael N O, Kenneth E S. Varicella and Herpes Zoster. In: Wolff

L
U KP
N P
H
AS

1.

K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. USA: McGraw-Hill;
2008. p. 1885-98.

2.

Martin K, Noberta D, Matheus T. Varicella Zoster pada Anak. Medicinus.


2009;3:23-31

3.

Wolf, Klaus and Johnshon, Richard Allen. Varicella Zoster Virus Infection in

Fitzpatricks Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 6th edition. New
York : McGraw Hill. 2009. 831-836.

4.

Kimberlin, David. W and Whitley, Richard. J. M. D. Varicella Zoster Vaccine for


the Prevention of Herpes Zoster. NEJMC. March 29, 2007. 1338-1343.

5.

Handoko RP. Varicella. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, dkk, editor.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.5. Jakarta: FKUI; 2008. P. 115-18.

118

IV.

Moluskum Kontagiosum

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit Moluskum kontagiosum.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menyebutkan tentang penyakit Moluskum kontagiosum.


2. Menjelaskan penyebab dari Moluskum kontagiosum.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya Moluskum kontagiosum


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari Moluskum kontagiosum.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis Moluskum kontagiosum

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis Moluskum kontagiosum


7. Menjelaskan penatalaksanaan Moluskum kontagiosum.
8. Menjelaskan komplikasi Moluskum kontagiosum.

119

IV.

Moluskum Kontangiosum
Pat ogenesis : belum

Definisi : infeksi virus,

L
U KP
N P
H
AS

jinak yang mengenai kulit


& membran mukosa
anak-anak

jelas diketahui. Virus


pertama memasuki sel keratonosit
peningkatan pergantian sel di lapisan
suprabasal distorsi terbesar badan
moluskum.

Etiologi : infeksi dari

Gejala Klinis : papul berbatas tegas,

virus pox

berbentuk kubah (dome-shaped),


berumbilikasi/delle dgn permukaan
seperti lilin pd bag. sentral,
berwarna seperti daging (fleshy)
berwarna merah muda abu-abu

Tringger Faktor : dermatitis

atopik, penyakit imun,


penekanan pada sistem
imun, HIV/AIDS

Penat alaksanaan

MOLUSKUM
KONTANGI
OSUM

Hist opat ologi : hipertropi

dan
hiperplasti pd epidermis
badan Henderson-Patterson
atau badan Moluskum)

Bedah

Kuretase (Curretage), Pulse

Prognosis :

Dye Laser

Topikal : Cryotheraphy

Komplikasi: Konjungtivitis

Potassium

kronik & keratitis

hydroxide,

Bonam

jika

Cantharidin,

lesinya di daerah kelopak

Tretinoin/Chemical Peeling

mata.

Oral :Cimetidine

sekunder

Infeksi bakteri

120

Definisi
Molluscum contagiosum adalah infeksi virus, jinak yang mengenai kulit dan membran
mukosa dan umumnya mengenai anak-anak. Penyebarannya dapat melalui kontak
langsung dengan infeksi dari host .Molluscum contagiosum disebabkan oleh virus DNA
dari kelompok poxvirus.

Etiologi

L
U KP
N P
H
AS

Molluscum contagiosum merupakan hasil infeksi dari virus pox. Virus Molluscum
contagiosum merupakan virus DNA beruntai ganda yang berukuran panjang 200-300 nm.
Membran bagian luar dan dalam dikelilingi oleh nukleoid berbentuk seperti halter

(dumbbell-shaped nucleoid). Genomnya adalah DNA duplex linear dengan taksiran berat
120-200 megadalton

Faktor Pencetus

Infeksi Molluscum contagiosum paling sering ditemukan pada anak-anak, orang

dewasa yang sexual aktif, dan orang-orang dengan imunodefisiensi. Molluscum

contagiosum sering ditemukan pada daerah yang padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Selain itu,

Faktor presdiposisi mencakup dermatitis atopik, penyakit imun,

penekanan pada sistem imun, HIV/AIDS.


Patogenesis

Patogenesis lesinya belum jelas diketahui. Virus pertama memasuki sel

keratonosit dan menyebabkan peningkatan pergantian sel di lapisan suprabasal. Dalam

lapisan sel, penurunan mitosis meningkatkan sintesis DNA virus. Proliferasi seluler
menghasilkan pertumbuhan epidermis yang berlobul yang menekan papila sampai
muncul sebagai septa fibrous diantara lobul, yang berbentuk seperti pear-shaped dengan
apex yang cenderung naik.

Lapisan basal tetap utuh. Sel-sel di inti lesi menunjukkan distorsi terbesar dan

pada akhirnya dihancurkan, kemudian muncul sebagai hialin (tubuh moluskum) dengan

diameter 25m, massa yang mengandung sitoplasmia virus. Organisme ini ada dalam
jumlah besar dalam rongga, yang muncul di dekat permukaan di tengah lesi yang sedang
121

berkembang. Perubahan inflamasi pada dermis tidak ada atau hanya ringan saja. Namun
dalam luka jangka panjang, bisa berupa infiltrat granulomatosa kronis. Ini menunjukkan
bahwa respons peradangan bisa disebabkan oleh perubahan dalam dermis yang berisi
papul.

Gejala Klinis
Pada sebagian besar pasien gejalanya asimptomatik atau hanya mengeluhkan

L
U KP
N P
H
AS

gatal ringan saja. Lesi yang timbul berawal dari papul kecil yang membesar sampai

ukuran 3-6mm dan jarang berukuran sampai 3 cm, keadaan ini disebut moluskum raksasa
(giant molluscum) pada penderita dengan imunodefisiensi.

Lesi klinisnya berupa papul yang berbatas tegas, berbentuk kubah (dome-

shaped), berumbilikasi/delle dengan permukaan seperti lilin pada bagian sentral,

berwarna seperti daging (fleshy) tapi dapat juga berwarna merah muda sampai abu-abu.

Lesinya bisa berupa lesi yang mengkilap, putih atau merah muda. Lesi-lesi tersebut
bertumbuh dengan diameter 0,5cm. Pada tengahnya biasanya mengandung seperti keju

(umbilicated papule).Terletak di atas dasar kulit berwarna kemerahan dan terkadang


timbul reaksi eksematosa di sekitar lesi. Lesi yang timbul bisa pecah secara spontan
disertai dengan atau tanpa inflamasi.

Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi di daerah epidermis dapat ditemukan badan

moluskum yang mengandung partikel virus. Ditemukan adanya hipertropi dan hiperplasti
dari epidermis. Di atas penampakan normal lapisan basal berupa lobul-lobul dari sel-sel

epidermal yang mengandung badan inklusi intrasitoplasmik positif Feulgen (badan


Henderson-Patterson atau badan Moluskum) yang merupakan khas dari suatu Molluscum
contagiosum. Badan inklusi ini, yang mengandung partikel-partikel virus, sel-sel yang
terinfeksi meningkat dalam ukuran dan bergerak kearah permukaan.
Terapi

Karena penyakit ini biasanya sembuh sendiri dan lesi sembuh tanpa sikatriks jika
tidak ada infeksi sekunder, ada yang menganjurkan untuk tidak melakukan terapi apapun.
122

Kebanyakan lesi sembuh sendiri dalam durasi 2-9 bulan, tapi ada juga yang berlangsung
selama bertahun-tahun, khususnya pada individu dengan imunokompresi.
Dapat dilakukan tindakan seperti:
Bedah

Kuretase (Curretage)
Kuretase merupakan salah satu pilihan pengobatan yang memiliki kentungan

L
U KP
N P
H
AS

yakni menyediakan spesimen jaringan untuk menegaskan diagnosis. Kerugiannya


yakni ada peningkatan perubahan pigmen postinflamasi setelah kuretase dan
prosedurnya tidak bersih (dari perdarahan lokal) dan memberi rasa tidak nyaman.

Pulse Dye Laser

Penggunaan terapi sangat baik ditoleransi tanpa sikatriks atau anomali pigmen.

Lesi sembuh tanpa sikatriks dalam 2 minggu. Studi menunjukkan 96%-99% lesi

sembuh dalam sekali pengobatan. Walaupun efektif, tapi kekurangannya ialah


biayanya lebih mahal dari pilihan lainnya.

Topikal

Cryotheraphy

Krioterapi untuk moluskum kontagiosum efisien dan tidak menyakitkan seperti

pada kuret, praktis, harganya cocok dan hasil kosmetiknya bagus. Setiap lesi harus
dibekukan dengan nitrogen cair lewat usapan kapas selama 6-10 detik. Dapat diulang
dengan interval 3 minggu sepanjang dibutuhkan.

Potassium hydroxide

Dalam suatu solusi KOH 10% diaplikasikan topikal pada lesi dua kali sehari.

Pengobatan tidak dilanjutkan jika ada respon inflamasi atau ulkus superfisial.

Resolusi muncul rata-rata dalam 30 hari. Sikatriks hipertrofik dan perubahan


pigmentasi merupakan efek samping.

Cantharidin

Cantharidin merupakan terapi yang aman dan efektif. Setetes cantharidin

(cantharidin 0.7%) diaplikasikan pada permukaan lesi.. Akan muncul rasa panas,
nyeri, eritema atau pruritus. Cantharidin merupakan pengobatan pilihan pada pasien

123

muda dan merupakan suatu inhibitor fosfodiesterase. Substansi ini harus dibilas
dalam 2-6 jam.

Tretinoin/Chemical Peeling
Ketika pengobatan di rumah diinginkan, terapi topikal dekstrutif termasuk derivat
vitamin A, alfa hidroksi (lactic) dan asam beta hidroksi.. Sedikit eritema pada tempat
lesi merupakan efek samping

Oral
Cimetidine

L
U KP
N P
H
AS

Agen oral dapat meningkatkan sistem imun untuk menyingkirkan virus Moluskum

Kontagiosum.. Cimetidin merupakan antagonis reseptor H2. Dalam suatu studi


diberikan dosis 40mg/kg/hari selama 2 bulan.

Komplikasi

Pada beberapa pasien, gejalanya asimtomatik, dan kadang-kadang terdapat gatal

pada pasien dengan dermatitis atopi. Dapat terjadi Konjungtivitis kronik dan keratitis
jika lesinya di daerah kelopak mata. Infeksi bakteri sekunder dapat terjadi jika pasien
sering menggores daerah lesi

Prognosis

Dengan menghilangkan semua lesi yang ada, penyakit ini tidak atau jarang

residif. Pada individu sehat, Molluscum contagiosum dapat sembuh sendiri. Pada individu

dengan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus), Molluscum contagiosum selalu

rekurens bahkan dengan terapi agresif menghasilkan kecacatan kosmetik yang signifikan,
khususnya lesi di wajah.
Diagnosis Banding.

Diagnosis banding dari molluscum contagiosum adalah :

1. Verucca vulgaris : Tidak ditemukan umbilikasi di tengah lesi, tidak berbentuk kubah,
permukaan yang irregular serta bisa didapatkan pada telapak tangan maupun kaki

124

2. Herpes simplex : Lesi mengalami umbilikasi lebih cepat dibandingkan pada


molluscum contagiosum. Jika ruptur akan meninggalkan krusta membentuk ulkus
dangkal yang nyeri.
3. Varicella : Didapatkan blister dan vesikel. Tapi ada perubahan yang cepat dari papul
menjadi vesikel yang berumbilikasi, pecah dan menjadi krusta.
4. Folliculitis : Seperti halnya pada verucca tidak ditemukan umbilikasi selanjutnya
karena proses peradangan terjadi di folikel rambut maka didapatkan rambut yang

L
U KP
N P
H
AS

menonjol di tengah pustul atau papul.


5. Cutaneous cryptococcosis : Lebih sering terjadi pada pasien dengan AIDS yang jika

dikonfirmasi dengan pemeriksaan sitologik akan menunjukkan adanya gambaran


budding yeasts pada lesi.

6. Basal cell carcinoma : Tidak dalam bentuk multipel seperti halnya molluscum.

DAFTAR PUSTAKA

1. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic Dermatitis (Atopic Eczema). In: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill;2008. p.1911-3
2. Djuanda Adhi, et al. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbitan
FKUI; 2007. p. 112; 114-5; 381.
3. Kelly AP, Taylor SC. Dermatology for Skin of Color. New York: Mac Graw Hill Medical;
2009. p.395-6.
4. Friedmann PS, Ardern-Jones MR, Holden CA. Atopic Dermatitis. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of dermatology 7th edition. London: Wiley-Blackwell;
2004. p.25.11-25.14.
5. Arenas R, Estrada R. Topical Dermatology. USA: Landes Bioscience Vademecum; 2001.
p.280-2.

125

V.

Kondiloma Akuminata

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit kondiloma akuminata.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menyebutkan tentang penyakit kondiloma akuminata.


2. Menjelaskan penyebab dari kondiloma akuminata.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya kondiloma akuminata


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari kondiloma akuminata.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis kondiloma akuminata

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis kondiloma akuminata


7. Menjelaskan penatalaksanaan kondiloma akuminata.
8. Menjelaskan komplikasi kondiloma akuminata.

126

V.

Kondiloma Akuminata

menembus kulit
mikroabrasi pd mukosa fase laten produksi
virus DNA, capsid dan partikel dimulai Sel tuan
rumah menjadi infeksius dari struktur koilosit atipik
KA berkembang.

Pat ogenesis : Invasinya

Definisi : bentuk

proliferasi benign pd
kulit & mukosa

L
U KP
N P
H
AS

Gejala Klinis : tumor dgn permukaan

licin,

verukosa,

berlobus

dpt

menyerupai kembang kol (cauliflower),


filiform, atau seperti plak. Warnanya
warna kulit di sekitarnya / berwarna

Etiologi : Human

kemerahan hiperpigmentasi.

papillomavirus (HPV) :
HPV tipe 6 dan 11

KONDILOM A

AKUM INATA :

Hist opat ologi : hyperkeratosis,

hipergranulosis, & koilositosis pd


stratum spinosum serta akantosis
ireguler yang meluas ke tengah.
Infiltrat mononuklear yang sedikit
terlihat pada dermis.

Genit al Wart s

Tringger Faktor : Faktor

kebersihan/higiene
Lingkungan yg lembab &
basah

Penatalaksanaan:

Kemoterapi

(podofilin, as.trikloroasetat, 5-

Prognosis :

FU), Imunoterapi (interferon,

Imiquimod 5%), Bedah (B.

Komplikasi:

Skalpel, listrik, Beku, Laser.

displasia, Transformasi ke arah

Perubahan

malignansi
Penularan

Bonam

genitourinaria,

ke

bayi

atau

pasangan seksual

127

Definisi
Kondiloma akuminata atau genital warts merupakan bentuk proliferasi benign
dari kulit dan mukosa yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus. Infeksi virus
subklinis dapat berlangsung cukup lama atau dapat tumbuh dan membentuk massa yang
besar dan menetap selama beberapa bulan atau tahun. Virus ini tidak menampakkan
gejala maupun tanda akut dari perjalanan penyakit melainkan terjadinya ekspansi lokal

L
U KP
N P
H
AS

dan perlahan dari sel epitel.

Etiologi

Penyebab kondiloma akuminata adalah HPV yaitu virus DNA yang tergolong

dalam bentuk virus papova. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 100 tipe HPV, namun

tidak seluruhnya dapat menyebabkan kondiloma akuminata. HPV tipe 6 dan 11 diketahui
sebagai penyebab dari kondiloma akuminata,

Infeksi HPV dapat ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual oleh

karena itu termasuk PMS atau secara tidak langsung melalui kamar mandi umum, kolam
renang, dan lain-lain, bisa juga secara autoinokulasi.

Faktor Pencetus

Faktor kebersihan/higiene memegang peranan penting untuk timbulnya penyakit

ini. Lingkungan yang lembab dan basah mempermudah timbulnya penyakit. Penderita
dengan kondiloma akuminata sering sekali memiliki infeksi kelamin yang lain seperti

kandidiasis, trikomoniasis, dan infeksi genital nonspesifik. Transmisi HPV tergantung


kepada beberapa faktor, yaitu lokasi lesi, kuantitas virus yang ada, dan keadaan

imunologi individu yang terkontaminasi virus ini. Pasien dengan cell-mediated immunity
yang rendah lebih rentan terhadap infeksi HPV

Patogenesis

Infeksi HPV dapat berlangsung bertahun-tahun dalam fase dorman dan menjadi

infeksius secara intermittent. Semua tipe HPV bereplikasi dalam sel nukleus host. Infeksi
HPV terjadi melalui inokulasi virus ke dalam epidermis melalui defek pada epitel.
128

Maserasi pada kulit diduga merupakan faktor predisposisi yang cukup penting dalam
penyakit ini.
Lapisan sel basal dari epidermis merupakan tempat yang diinvasi oleh HPV.
Invasinya menembus kulit dan menyebabkan mikroabrasi pada mukosa. Fase laten virus
dimulai dengan tidak adanya tanda dan gejala yang dapat berlangsung sebulan bahkan
setahun. Setelah fase laten, produksi virus DNA, capsid dan partikel dimulai. Sel dari
tuan rumah menjadi infeksius dari struktur koilosit atipik dari kondiloma akuminata

L
U KP
N P
H
AS

(morphologic atypical koilocytosis of condiloma acuminate) berkembang. Lamanya


inkubasi sejak pertama kali terpapar virus sekitar 3 minggu sampai 8 bulan atau dapat
lebih lama.

Gejala Klinis

Penyakit ini memiliki predileksi terutama pada daerah lipatan yang lembab,

misalnya di daerah genitalia eksterna. Pada laki-laki, tempat pedileksinya di perineum


dan sekitar anus, sulkus koronarius, glans penis, muara uretra eksterna, korpus dan
pangkal penis. Sedangkan pada perempuan, di daerah vulva dan sekitarnya, introitus

vagina, kadang-kadang pada porsio uteri. Lesi juga dapat ditemukan pada daerah

perianal, baik pada laki-laki maupun perempuan, terutama mereka yang memiliki riwayat
anal intercourse.

Gambaran effluoresensi yang didapatkan yaitu tumor dengan permukaan licin,

verukosa, atau berlobus dapat menyerupai kembang kol (cauliflower), filiform, atau
seperti plak. Warnanya dapat serupa dengan warna kulit di sekitarnya, atau berwarna
kemerahan hingga hiperpigmentasi.

Terdapat 4 tipe morfologi pada kondiloma akuminata, yaitu: serupa kembang kol

(cauli flower-like), papular wart, keratotik wart, dan papul datar (flat top papule).
Kelainan kulit berupa vegetasi yang bertangkai dan berwarna kemerahan kalau masih
baru, jika telah lama agak kehitaman. Jika timbul infeksi sekunder warna kemerahan
akan berubah menjadi keabu-abuan dan berbau tidak enak.

129

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk menegakkan diagnosis kondiloma
akuminata. Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu
mengarahkan diagnosis.
1.

Acetowhitening
Dapat menentukan adanya infeksi HPV pada serviks dan daerah anus.
Acetowhitening pada lesi eksternal genital tidak spesifik untuk kondiloma Dengan

L
U KP
N P
H
AS

meneteskan asam asetat 5 % ke lesi dan didiamkan selama 5 menit. Setelah itu,
dengan menggunakan kolposkopi atau kaca pembesar 10 x untuk melihat papul putih

pada lesi yang ditetesi asam asetat 5%. Suatu penampilan putih berkilau merupakan
fokus epitel yang hyperplasia.

2.

Papsmear

Pemeriksaan ini kurang sensitif dan spesifik untuk kondiloma, Pemeriksaan ini tetap
dianjurkan dilakukan oleh para wanita sekali setahun untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya kanker serviks, yang juga dapat disebabkan oleh infeksi HPV.3

3.

Dermatopatologi

Biopsi diindikasikan misalnya pada diagnosis yang belum pasti, lesi yang

tidak berespon terhadap terapi standar, lesi yang memburuk selama terapi, dan pada
pasien imunokompromais.

Histopatologi

Perubahan kondiloma akuminata terlihat sebagai hyperkeratosis, hipergranulosis,

dan koilositosis pada stratum spinosum serta akantosis ireguler yang meluas ke tengah.
Infiltrat mononuklear yang sedikit terlihat pada dermis.7 Gambaran yang dominan berupa

akantosis dan papillomatosis, lapisan tanduk juga mengalami parakeratosis tetapi tidak
terlalu menebal. Proses epidermal terjadi menyeluruh dengan batas bawah yang tegas.

Bisa pula didapatkan banyak sel bervakuol dalam lapisan atas malpighi, tetapi terbatas
dalam distribusi dan tidak dijumpai pada semua bagian.

130

4. Deteksi DNA HPV


Adanya DNA HPV dan tipe HPV spesifik dapat ditentukan melalui pemeriksaan
apusan dan biopsi dengan hibridisasi in situ. Dapat juga dengan mikroskop elektron
namun tidak efektif untuk tipe tertentu dengan jumlah partikel virus yang sedikit.
5. Serologi
Terjadinya genital warts adalah pertanda praktek seksual yang tidak aman. Tes
serologi sifilis dapat dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya infeksi lain

L
U KP
N P
H
AS

yang menyertai.

Penatalaksanaan

A. Penatalaksanaan umum

Sebelum pengobatan dimulai sebaiknya dicari kemungkinan adanya PMS lain

sehingga penyakit tersebut diobati terlebih dahulu. Begitu pula bila ditemukan penyakit

lain yang menurunkan sistem imun. Pasangan seksual juga diperiksa dan diobati.
Sementara itu sebaiknya hubungan seksual dihindari sementara waktu atau menggunakan
pelindung seperti kondom, serta menjaga kebersihan genital untuk mencegah infeksi.
B. Penatalaksanaan khusus
1. Kemoterapi
a. Podofilin

Obat ini efektif terhadap lesi yang masih dini, merupakan agen sitotoksik yang

bekerja dengan menghambat mitosis pada metafase, menimbulkan nekrosis pada epitel
yang sedang berproliferasi, dan menyebabkan vasospasme lokal. Yang digunakan
adalah tingtur podofilin 25%.
b. Asam trikloroasetat

Digunakan larutan dengan konsentrasi 50%, dioleskan sekali seminggu dan

dicuci setelah 4 jam. Merupakan suatu bahan yang bersifat kaustik dan menyebabkan
koagulasi protein dan desikasi yang akhirnya menyebabkan nekrosis pada lapisan
superfisial

c. 5-fluorourasil

Dalam bentuk krim 5% dapat diberikan dua kali seminggu untuk terapi

kondiloma intraurethral dan sebagai alternatif untuk terapi destruktif pada neoplasia
131

intraepitelial pada genital eksterna. Akan tetapi penggunaannya perlu dibatasi oleh
adanya efek samping inflamasi.
2. Imunoterapi
a. Interferon
Merupakan suatu famili glikoprotein dengan efek anti virus, antiproliferatif dan
immunomodulator. Pemberian interferon dalam bentuk injeksi intramuskuler, subkutan,
intralesi, dan topikal dalam bentuk krim. Jika suatu sel diberi interferon, maka sel itu

L
U KP
N P
H
AS

akan mengembangkan kekebalan terhadap virus.


b. Imiquimod krim 5%

obat sintetik yang dapat meningkatkan respon imun dengan cara kerja mempengaruhi

respon imun alamiah dan respon imun seluler dengan diperantarai oleh IFN- dan TNF-

yang menunjukkan aktivitas antivirus secara tidak langsung pada HPV. Digunakan
sebelum tidur, 3 kali seminggu selama 16 minggu. Daerah yang diberi krim dibersihkan
dengan sabun dan air setelah 6-10 jam pemakaian.

3. Tindakan Bedah
a. Bedah skalpel

Telah dilaporkan bahwa hanya dengan bedah skalpel saja tingkat keberhasilan

mencapai 35-72% . Tingkat keberhasilan yang cukup tinggi dan sedikit yang mengalami
rekuren.

b. Bedah listrik

Prosedur ini cukup efektif digunakan khususnya untuk lesi yang relatif sedikit.

c. Bedah beku (N2 cair, N2O cair)

Cara ini sederhana dilakukan dan tidak menggunakan bahan kimiawi atau anastesi

lokal, dan jarang ditemukan adanya komplikasi. Teknik ini dapat menyingkirkan lesi
tanpa menimbulkan skar/parut dan perubahan pigmentasi yang minimal atau tidak ada
sama sekali.

d. Bedah laser (CO2 laser)

Keuntungan dari penggunaan laser CO2 ini adalah karena dapat digunakan pada

daerah yang cukup luas tanpa menimbulkan skar, striktur, ataupun penyempitan lumen.
132

Metode ini cenderung mengeliminasi virus dan mempercepat penyembuhan dengan


pembentukan skar /parut yang sangat minimal.

Komplikasi

Perubahan displasia terhadap daerah di sekitarnya

Transformasi ke arah malignansi genitourinaria

Penularan ke bayi atau pasangan seksual

L
U KP
N P
H
AS

Prognosis

Walaupun sering mengalami residif, prognosisnya cukup baik. Perbaikan spontan

dapat terjadi pada 10-30% pasien dalam 3 bulan dan berkaitan dengan respon imun

seluler individu. Setelah regresi, infeksi subklinis dapat menetap seumur hidup.
Rekurensi dapat terjadi, baik pada individu dengan respon imun yang normal maupun

pada mereka dengan imunodefisiensi. Rekurensi lebih sering terjadi akibat reaktivasi dari
infeksi subklinis dari pada reinfeksi dari pasangan seksual. Jika dibiarkan tanpa mendapat
terapi, lesi yang ada dapat membaik, menetap, atau berkembang menjadi suatu keganasan

Diagnosis Banding

1. Veruka vulgaris : vegetasi yang tidak bertangkai, kering dan berwarna abu-abu
atau sama dengan warna kulit.3

2.

Kondiloma latum : Sifilis stadium II, klinis berupa plakat yang erosif, ditemukan
banyak Spirochaeta pallidum. Lesi berupa papul dengan permukaan lebih halus

dan bentuk lebih bulat daripada kondiloma akuminata. Klinis juga seperti
keganasan tetapi histopatologisnya memberikan gambaran jinak dengan penetrasi
sampai di dermis

3. Karsinoma sel skuamosa : vegetasi yang seperti kembang kol, mudah berdarah
dan berbau.

4. Moluskum kontangiosum: papul miliar (1-2 mm) atau nodul (5-10 mm), berwarna

putih seperti lilin atau sewarna dengan kulit. Bulat, oval, hemisferis atau

133

berbentuk kubah yang kemudian di tengahnya terdapat lekukan jika dipijat akan
tampak keluar massa yang berwarna putih seperti nasi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

L
U KP
N P
H
AS

2.

Egelkrout E, Galloway D. The biology of genital human papillomaviruses. In: Holmes K,


Sparling P, Stamm W, Piot P, Wasserheit J, Corey L, Cohen M, Watts D, editors.
Sexually transmitted diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
Faharuddin AD, Adriani A, Tabri F. Kondiloma akuminata. In: Amiruddin MD, editor.
Penyakit menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2004. p. 199-210
Androphy EJ, Lowy D. Warts. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, .Leffel DJ, editors. Fitzpatrick,s Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York:
McGraw-Hill; 2008. p. 1914-23
Wolf R, Davidovici B. Treatment of genital warts: Facts and controversies. Clinics in
Dermatology2010;28:546-8.

3.

4.

134

VI.

Veruka Vulgaris

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit veruka vulgaris.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


9. Menyebutkan tentang penyakit veruka vulgaris.
10. Menjelaskan penyebab dari veruka vulgaris.

11. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya veruka vulgaris


12. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari veruka vulgaris.
13. Menjelaskan diferensial diagnosis veruka vulgaris

14. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis veruka vulgaris
15. Menjelaskan penatalaksanaan veruka vulgaris.
16. Menjelaskan komplikasi veruka vulgaris.

135

VI.

Veruka Vulgaris

Pat ogenesis : virus

Definisi : proliferasi

benigna pd kulit yg
disebabkan oleh infeksi
papillomavirus

memasuki sel epitel basal


yang mengalami proliferasi infeksi &
induksi

L
U KP
N P
H
AS

Gejala Klinis : papul dgn permukaan

yang kasar & hiperkeratosis.


Warna lesi dapat menyerupai
warna kulit di sekitarnya, coklat /
abu-abu.

Etiologi : Human

papillomavirus (HPV)

VERUKA

Tringger Faktor : trauma,

menggigit & mengisap


kuku, serta menggaruk
Maserasi pd kulit

VULGARIS :
common wart :
kutil

Penatalaksanaan:
sitodestruktif,

antivirus,

bedah,

& pemendekan sitoplasma


kasar seperti granula
keratohialin dengan berbagai
bentuk & ukuran pd lap.
Granul.

Prognosis :

bahan

kemoterapiutik,

Hist opat ologi : hipergranulosis

terapi

dan

Komplikasi: Kutil Benigna

Bonam

Maligna

imunoterapi.

136

Definisi
Veruka vulgaris atau common wart atau kutil adalah proliferasi benigna pada kulit
yang disebabkan oleh infeksi papillomavirus. Terutama terdapat pada anak-anak dan
dewasa muda, tetapi dapat terjadi pada semua umur.
Etiologi
Human papillomavirus (HPV) adalah virus DNA double stranded, non enveloped,

L
U KP
N P
H
AS

yang telah ditemukan dengan lebih dari 100 genotipe. Human papillomavirus cenderung
menyerang bagian tubuh tertentu berdasarkan tipenya. Walaupun begitu, kutil oleh

infeksi HPV dapat terjadi pada bagian tubuh mana pun. Virus ini menyebabkan infeksi
pada kulit dan mukosa yang bervariasi luas dan jinak.

Faktor Pencetus

Faktor predisposisi dapat berupa trauma, menggigit dan mengisap kuku, serta

menggaruk. Maserasi pada kulit juga merupakan faktor predisposisi yang penting

Patogenesis

Infeksi dan induksi proliferasi dimulai ketika virus memasuki sel epitel basal yang

mengalami proliferasi. Lapisan ini normalnya tidak dapat ditembus virus karena adanya

sawar mekanik dari lapisan sel yang berdiferensiasi. Sehingga, infeksi membutuhkan
abrasi atau trauma pada epitel untuk dapat mencapai lapisan basal kulit.

Reseptor yang memediasi perikatan virus dengan epitel sel belum dapat

diidentifikasi, tapi perikatan ini bergantung pada protein mayor kapsid L1 dan permukaan

sel heparin sulfat dibutuhkan untuk infeksi in vitro. Ketika virus telah berikatan, L2
minor mungkin dapat meningkatkan infeksi dengan berikatan secara spesifik dengan
protein permukaan sel dan memfasilitasi masuknya virus.
Gejala Klinis

Lesi veruka vulgaris berbentuk papul dengan permukaan yang kasar dan

hiperkeratosis. Warna lesi dapat menyerupai warna kulit di sekitarnya, coklat atau abuabu. Sebagian besar mengenai jari-jari, punggung tangan, dan beberapa tempat yang
137

mudah terkena trauma seperti lutut, siku, tapi dapat mengenai daerah tubuh lain. Lesi
berukuran mulai dari yang kurang dari 1 mm sampai yang berukuran lebih dari 1 cm.

Histopatologi

Veruka vulgaris berbatas tegas dengan kulit disekitarnya, dengan karakter lesi
papillomatosis yang tinggi miring menyerupai kubah gereja yang diselubungi orto dan

L
U KP
N P
H
AS

parakeratosis
Pada pemeriksaan ditemukan hipergranulosis dan pemendekan sitoplasma kasar

seperti granula keratohialin dengan berbagai bentuk dan ukuran pada lapisan granul.

Koilositosis khas ditemukan dibawah lapisan granular. Dermis papillar mendasari


pemendekan rete ridges menunjukkan peningkatan vaskularisasi, dengan beberapa

kapiler mengalami trombosis. Trombosis ini menunjukkan titik hitam yang terlihat pada
pemeriksaan fisik, khususnya pada kutil yang sudah terkelupas.

Terapi

Sebenarnya sebagian veruka dapat mengalami involusi (sembuh) spontan dalam

masa 1 atau 2 tahun. Terapi pada veruka vulgaris bergantung pada umur, penyebaran dan

lamanya lesi, status imunologis pasien, serta pilihan pasien sendiri. Veruka vulgaris yang

muncul pada anak tidak memerlukan pengobatan khusus karena biasanya dapat regresi
sendiri. Modalitas terapi pada veruka vulgaris dapat digolongkan menjadi lima
pendekatan umum, yaitu sitodestruktif, bahan kemoterapiutik, terapi antivirus, bedah, dan
imunoterapi.

Metode sitodestruktif atau ablatif termasuk didalamnya yaitu cryotherapy, asam

salisilat, electrosurgery, kuretase, eksisi, dan laser

Bahan kemoterapi yang biasa

digunakan untuk menghilangkan kutil adalah podophyllin dan 5-florourasil

Algoritma penanganan baiknya dimulai dengan yang tidak menimbulkan nyeri,

membutuhkan biaya yang minimal, dan metode yang tidak membutuhkan waktu lama.

Berbagai macam terapi lokal untuk veruka dapat digunakan. Asam salisilat dan
cryotherapy adalah penanganan paling sering digunakan untuk veruka vulgaris. Preparat
138

asam salisilat topikal, cryotherapy, dan elektrokauter merupakan metode yang sangat
baik digunakan sebagai terapi awal.

Komplikasi
Pada beberapa penelitian, kutil benigna dapat menjadi maligna.

Prognosis

L
U KP
N P
H
AS

Pada pasien dengan sistem imun yang baik, HPV kutaneus dapat sembuh spontan
tanpa terapi. Estimasi waktu yang dibutuhkan untuk resolusi secara alami bermacammacam. Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa dua per tiga kasus dapat mengalami
resolusi dalam dua tahun, namun penelitian lain mengatakan kutil dapat sembuh lebih

cepat. Pada pasien dengan sistem imun yang terganggu, HPV kutaneus dapat sangat
resisten terhadap semua terapi

DAFTAR PUSTAKA
1.

Androphy EJ, Lowy DR. Warts. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Levvell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. 7th ed. USA: Mc Graw Hill Companies; 2008. p. 1914-60.

2.

Pandurengan K, Natarajan R, Chidambaram R, Sowmya TK. Giant Verruca


Vulgaris-Rare Presentation. The Internet Journal of Dermatology. 2011;8.

3.

Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffith C. Human Papillomavirus.

Rook's

Textbook of Dermatology 7th ed. UK: Blackwall; 2004. p. 25.37-25.53.

4.

Guerra-Tapia A, Gonzlez-Guerra E, Rodrguez-Cerdeira C. Common Clinical


Manifestations of Human Papilloma Virus (HPV) Infection. Bentham Open. 2009

139

PENYAKIT KULIT CAUSA JAMUR


I.

Pitiriasis Versikolor

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

L
U KP
N P
H
AS

penyakit pitiriasis versikolor.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit pitiriasis versikolor.
2. Menjelaskan penyebab dari pitiriasis versikolor.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya pitiriasis versikolor


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari pitiriasis versikolor.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis pitiriasis versikolor

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis pitiriasis versikolor


7. Menjelaskan penatalaksanaan pitiriasis versikolor.
8. Menjelaskan komplikasi pitiriasis versikolor.

140

I.

Pitiriasis Versikolor

PATOGENESIS
Perubahan keseimbangan hospes
dan ragi sebagai flora normal ragi
menjadi bent uk miselial yang
pat ogenik

L
U KP
N P
H
AS

GEJALA KLINIS
M akula hipopigmentasi/
hiperpigment asi dengan skuamasi.
Rasa gat al ringan.
Predileksi: bagian at as dada, meluas
ke lengan at as, perut , t ungkai at as
dan baw ah

DEFINISI
Infeksi kulit oleh ragi lipofilik genus
malassezia

HISTOPATOLOGI
-Hist oPA: organism pada st r korneum
-Lampu w ood: kuning muda
-KOH: meat ball & spaghet t i
-Kult ur t idak diagnost ik

FAKTOR PENCETUS
-Fakt or lingkungan: kelembaban
-Fakt or individual: genet ik, penyakit ,
malnut risi

ETIOLOGI
Genus M alassezia (M . furfur dan M .
globosa)

PITIRIASIS VERSIKOLOR

TERAPI
Topikal: gol azol bent uk krim, sampo
ket okonazol, sampo selenium sulfide
Sist emik: Ket okonazol 200 mg/ hari
selama 7-10 hari, It rakonazol 200
mg/ hari selama 5-7 hari

PROGNOSIS
Baik, namun angka kekambuhan
t inggi

KOM PLIKASI
Gejala sisa berupa hipopigment asi
yang akan menghilang perlahan.

141

PITIRIASIS VERSIKOLOR
DEFINISI
Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi pada kulit yang disebabkan oleh ragi lipofilik
genus Malassezia. (1, 2)

FAKTOR PENCETUS
Faktor pencetus penyakit ini adalah keadaan yang mempengaruhi keseimbangan hospes

L
U KP
N P
H
AS

dan ragi, yaitu faktor lingkungan dan suseptibilitas individual. Faktor lingkungan diantarana

adalah kelembaban kulit, sedangkan faktor individual adalah kecenderungan genetik atau adanya
penyakit yang mendasari atau keadaan malnutrisi.(1)

ETIOLOGI

Pitiriasis versikolor disebabkan oleh genus Malassezia yang merupakan flora normal

kulit. Spesies yang sering menyebabkan penyakit ini adalah M. furfur dan M. globosa.(1, 3)

PATOGENESIS

Sebagian besar kasus PV terjadi akibat aktivasi Malassezia pada tubuh penderita sendiri,

namun dapat pula ditularkan antar individu. Kondisi pathogen terjadi apabila terdapat perubahan

keseimbangan hubungan antara hospes dan ragi sebagai flora normal kulit. Pada kondisi tertentu,
ragi ini akan berkembang menjadi bentuk miselial yang lebih patogenik.(1)

GEJALA KLINIS

Predileksi PV terutama pada bagian atas dada dan dapat meluas sampai ke lengan atas,

leher dan perut atau tungkai atas dan bawah. Dapat pula dijumpai lesi pada lipatan aksila,
inguinal, atau kulit wajah dan kepala.

Keluhan penderita umumnya berupa munculnya bercak berwarna putih (hipopigmentasi)

atau kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal yang ringan yang dapat dirasakan terutama

saat berkeringat. Ukuran bercak dapat bervariasi tergantung lama sakit dan luas lesi. Pada lesi
baru sering dijumpai bentuk makula skuamosa folikular.

Untuk melihat adanya skuamasi dapat dilakukan secara sederhana dengan garukan kuku
(finger nail sign).(1-3)
142

HISTOPATOLOGI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Gambaran histopatologis tampak adanya organime pada stratum korneum, dan umumnya
tidak mencapai dermis.(3) Pada pemeriksaan lampu Wood menunjukkan adanya fluoresensi
berwarna kuning muda pada lesi yang bersisik. Pemeriksaan mikroskopis dengan KOH
menunjukkan adanya sel ragi bulat berdinding tebal dengan miselium kasar dan terputus-putus
sehingga memberikan gambaran berupa meat ball dan spaghetti. Pembuktian dengan kultur tidak

L
U KP
N P
H
AS

bersifat diagnostik karena Malassezia merupakan flora normal kulit.(1, 2)

TERAPI

1. Topikal

Ditujukan untuk penderita dengan lesi minimal. Dapat diberikan obat golongan azol
(ketokonazol, bifonazol, tiokonazol) dalam bentuk krim yang diaplikasikan selama 2-3 minggu.

Pada lesi yang lebih luas dapat diberikan ketokonazol 2% dalam bentuk sampo, sampo selenium
sulfide 1,8%. Dapat pula diberikan solusio sodium tiosulfat 20% namun menimbulkan bau yang
kurang sedap dan dapat timbul efek iritasi.
2. Sistemik

Dapat digunakan ketokonazol atau itrakonazol. Dosis ketokonazol dapat diberikan 200 mg/hari
selama 7-10 hari atau dosis tunggal 400 mg. Itrakonazol diberikan pada kasus kambuhan atau
tidak berespon terhadap pengobatan lain, yang diberikan dengan dosis 200 mg/hari selama 5-7
hari.(1-3)

KOMPLIKASI

Walaupun sudah mengalami kesembuhan secara mikroskopis, dapat menyisakan gejala

berupa hipopigmentasi yang akan menghilang secara perlahan.(1)

PROGNOSIS

Prognosis PV umumnya baik, namun angka kekambuhannya tinggi, oleh sebab itu perlu

dilakukan pengobatan ulang setiap kali kambuh.(1)

143

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

L
U KP
N P
H
AS

3.

Radiono S. Pitiriasis versikolor. In: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,


Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2004. p. 19-23.
Siregar RS. Penyakit jamur kulit. 2 ed. Siregar RS, editor. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2005.
Janik MP, Hefferman MP. Yeast infections: candidiasis and tinea (pityriasis) versicolor.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7 ed. New York: The McGraw Hill
Medical; 2008. p. 1828-30.

144

II.

Tinea Kapitis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit tinea kapitis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit tinea kapitis
2. Menjelaskan penyebab dari tinea kapitis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya tinea kapitis


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari tinea kapitis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis tinea kapitis

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis tinea kapitis


7. Menjelaskan penatalaksanaan tinea kapitis.
8. Menjelaskan komplikasi tinea kapitis

145

II. TINEA KAPITIS


PATOGENESIS
Enzim kerat inase pada jamur
Kerat olit ik pada rambut
Invasi dermat ofit perifolikuler st r
korneum hifa t umbuh rangkaian
spora

DEFINISI
Infeksi jamur pada kulit dan rambut

kepala, alis, dan bulu mat a

L
U KP
N P
H
AS

GEJALA KLINIS
Tipe non inflamasi
Tipe inflamasi
Tipe Black dot
Tinea favosa

FAKTOR PENCETUS
Kebersihan buruk, penduduk padat ,
sosial ekonomi rendahi

HISTOPATOLOGI
-Hist oPA: infilt rat perifolikular pada
dermis
-Lampu w ood: fluoresensi (+)
-KOH
-Kult ur unt uk isolasi spesies
penyebab

ETIOLOGI
-Trichophyt on sp dan M icrosporum sp
-Berdasarkan t empat penghasil spora:
ekt ot riks dan endot riks

TINEA KAPITIS

TERAPI
Topikal: sampo ket okonazol 2% at au
selenium sulfide 2,5%
Sist emik: Griseofulvin 10-15
mg/ kgBB, ket okonazol 3,3-6,6
mg/ kgBB, it rakonazol 3-5 mg/ kgBB,
t erbinafin 3-6 mg/ kgBB, flukonazole

PROGNOSIS
Dapat sembuh sempurna bila fakt or
predisposisi dihilangkan

KOM PLIKASI
Infeksi sekunder oleh bakt eri dan
alopesia menet ap

146

DEFINISI
Tinea kapitis adalah infeksi jamur pada kulit dan rambut kepala, alis mata, dan bulu mata
yang disebabkan spesies Microsporum dan Trichophyton.(4)

FAKTOR PENCETUS
Transmisi penularan meningkat pada kebersihan yang buruk, penduduk yang padat dan
status ekonomi yang rendah.

(5, 6)

Jamur pada tinea kapitis umumnya berasal dari sisir rambut,

L
U KP
N P
H
AS

topi, sarung bantal, mainan dan kursi teater. Bahkan setelah rambut gugur, organisme infeksi
masih bisa menular selama lebih dari satu tahun. Tinea kapitis sulit diberantas karena kariernya
bersifat asimtomatik.(5)

ETIOLOGI

Tinea kapitis disebabkan oleh spesies Trichophyton Sp. dan Microsporum Sp.

Penyebabnya berbeda berdasarkan letak geografis. Di Amerika Serikat paling banyak disebabkan

oleh Trichophyton tonsurans dan Microsporum canis. Di Eropa, Amerika Selatan, Australia,
Asia, dan Afrika Utara umumnya disebabkan oleh M. canis dan T. violaceum. Berdasarkan
tempat menghasilkan spora, jamur penyebab tinea kapitis dibagi menjadi dua, yaitu ektotriks dan
endotriks.(4)

PATOGENESIS

Jamur penyebab tinea kapitis secara invivo hidup pada keratin pada bagian rambut yang

telah mati. Jamur tersebut menyebabkan keratolitik yang disebabkan oleh enzim keratinase,
namun sebaliknya terdapat pula beberapa jamur yang menghasilkan keratinase yang tidak
menyebabkan tinea kapitis. Penjelasan yang pasti mengenai hal ini masih belum diketahui secara
pasti.

Insiden tinea kapitis yang lebih banyak terjadi pada usia prapubertas disebabkan oleh

karena menurunnya asam lemak dalam sebum. Infeksi diawali dari dengan invasi dermatofit

melalui perifolikuler stratum korneum, kemudian hifa tumbuh kedalam folikel dan berkembang
dengan membentuk rangkaian spora dan berhenti pada pertemuan antar sel yang memiliki inti
dan mempunyai keratin tebal. Pada ujung hifa dijumpai bagian luar intrapilari hifa membelah

membentuk rantai spora ektotrik, disebut juga Adamsons Fringe. Selama pertumbuhan rambut,
147

jamur ikut tumbuh ke arah batang rambut yang akan menyebabkan patahnya rambut dan terjadi
alopesia.(4)

GEJALA KLINIS
Gambaran klinis tinea kapitis beraneka ragam, tergantung pada jenis invasi rambut,
tingkat perlawanan tubuh dan derajat respon peradangan. Gatal bervariasi dari ringan sampai
berat. Pada semua jenis tinea kapitis, gambaran klinis utama sebagian rambut rontok disertai

L
U KP
N P
H
AS

peradangan.(7)
Tipe Non-Inflamasi atau Epidemik

Tipe Non-Inflamasi merupakan tipe yang paling sering terjadi dan disebabkan oleh

organisme antropofilik ektotriks seperti M.audouinii atau M.canis. Inflamasi yang terjadi pada
tipe ini minimal. Rambut pada tempat yang terkena menjadi berwarna abu-abu dan tidak
bercahaya karana adanya artrokonidia dan patah beberapa milimeter di atas kulit kepala. Kadang

disertai kerontokan rambut yang tidak disadari. Lesi pada tipe ini berbatas tegas, dikelilingi
hiperkeratosis berskuama pada daereh alopesia, dan rambut patah (grey patch type).
Gambarannya seperti ladang gandum. Rambut yang tersisa dan skuama menunjukkan
fluoresensi hijau pada pemeriksaan lampu Wood. Lesi umumnya terjadi di daerah oksiput.(5)

Tipe Inflamasi

Tipe ini umumnya disebabkan golongan zoofilik dan geofilik, dengan contoh tersering

M.canis dan M.gypseum. Inflamasi yang terjadi disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap

infeksi. Spektrum inflamasi yang terjadi bervariasi dari pustular folikulitis sampai kerion.
Inflamasi ini sering menyebabkan alopesia sikatrikal. Lesi inflamasi umumnya gatal, kadang
disertai nyeri, limfadenopati servikal posterior, demam, dan lesi lain pada kulit glabrosa.(5)
Tipe Black dot

Tipe ini disebabkan oleh organisme antropofilik endotriks, T.tonsurans dan

T.violaceum. Ini merupakan bentuk tinea kapitis yang paling sedikit inflamasinya, dan dapat

disertai kerontokan rambut. Apabila terjadi kerontokan, rambut patah tepat pada kulit kepala
meninggalkan gambaran bintik hitam pada daerah alopesia. Terdapat skuama difus, dan

inflamasi yang terjadi bervariasi mulai dari minimal sampai folikultis pustular atau lesi seperti
furunkel sampai kerion. Area yang terkena biasanya multipel atau poligonal dengan batas yang
kurang jelas. Uumnya masih terdapat rambut normal di daerah alopesia.(5)
148

Tinea Favosa
Tinea Favosa atau favus merupakan infeksi dermatofit pada kulit kepala, kulit glabrosa
dan atau kuku yang disertai oleh krusta kuning tebal (skutula) di dalam folikel rambut yang dapat
menyebabkan alopesia sikatrikal. Kelainan di kepala dimulai dengan bintik bintik kecil di
bawah kulit yang berwarna merah kekuningan dan berkembang menjadi krusta yang berbentuk
cawan (skutula), serta memberi bau busuk seperti bau tikus mousy odor. Skutula dapat
mencapai diameter 1 cm, menutupi rambut disekelilingnya, dan kemudian bergabung dengan

L
U KP
N P
H
AS

skutula lainnya sehingga menjadi besar.(4, 5)

HISTOPATOLOGI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan lesi pada kepala dengan menggunakan lampu Wood dapat

menampilkan fluoresen pteridin dari beberapa pathogen. Rambut yang berfluoresensi harus

dipilih untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sangatlah penting untuk mengetahui bahwa orgsanisme
ektotriks seperti M. Canis dan M. Audinii akan berfluoresensi pada pemeriksaan lampu wood,
namun organisme endotriks seperti T. tonsurans tidak akan berfluoresensi.(5)

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan larutan KOH 10-20%. Bahan diambil dari

kerokan kulit kepala dan pencabutan rambut kepala. Beberaapa klinisi menggunakan pengecatan

Swartz-Lamkin, PAS, atau Chlorazol Black E untuk mengidentifikasi jamur lebih cepat.(4) Pada
pemeriksaan mikroskop akan nampak 2 kemungkinan pola gambaran infeksi:(5)

1. Ektotrik-kecil atau antrokonidia besar membentuk lapisan pada sekekliling batang


rambut.

2. Antrokonidia-endotrik berada di dalam batang rambut.

Gambaran histopatologis pada dermis tampak adanya infiltrat perifolikular berupa

histiosit, limfosit, eosinofil, dan sel plasma.(5)

Kultur bertujuan untuk menentukan spesies dermatofit penyebab tinea kapitis. Media

kultur yang biasa dipakai adalah agar Sabourauds. Jamur akan tumbuh dalam 5-14 hari.

Pertumbuhan jamur dapat dilihat dengan adanya perubahan warna dari kuning ke merah yang
mulai setelah 24-48 jam, dan jelas dibaca pada hari ke 3-7.(4)
TERAPI

149

Pengobatan yang paling efektif adalah pengobatan oral, walaupun saat ini cukup banyak obat
topikal dari derivate imidazol yang mempunyai efek fungistatik.
1. Griseovulfin.
Aman dan dapat ditoleransi dengan baik untuk anak. Dosisnya apabila digunakan dalam bentuk
ultramicrosize adalah dosis tunggal 10-15 mg/kgBB, sedangkan microsize 15-25 mg/kgBB.
Griseofulvin diberikan bersamaan dengan makanan yang mengandung lemak. Lama pengobatan
tergantung keadaan klinis dan mikologik, minimal 6-8 minggu sampai 3-4 bulan.

L
U KP
N P
H
AS

2. Ketokonazol
Efektif pada tinea kapitis yang terutam disebabkan oleh Trichophyton dan kurang efektif apabila
disebabkan oleh M. canis.Dosis yang diberikan adalah 3,3-6,6 mg/kgBB selama 3-6 minggu.
Ketokonazol bersifat hepatotoksik.
3. Itrakonazol

Diberikan dengan dosis 3-5 mg/kgBB atau 100 mg/hari selama 5 minggu. Dapat pula diberikan

dengan dosis denyut. Itrakonazol sangat efektif untuk tinea kapitis baik spesies Microsporum
maupun Trichophyton.
4. Flukonazol

Efektif untuk tinea kapitis. Pemberiannya tidak bergantung dari makanan, relative aman dan
ditoleransi dengan baik
5. Terbinafin

Dosis 62,5-250 mg/hari selama 6 minggu, atau 3-6 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Efek

sampingnya dapat berupa gangguan gastrointestinal, pusing, urtikaria, reaksi morbili, sakit
kepala, hilangnya rasa pengecap, pansitopenia.
6. Topikal

Dapat diberikan sampo ketokonazol 2% atau selenium sulfide 2,5% yang diaplikasikan
3x/minggu dan didiamkan pada kulit kepala sedikitnya 5 menit.(4)

KOMPLIKASI

Dapat terjadi alopesia menetap dan infeksi bakteri.(4)

150

PROGNOSIS
Perjalanan penyakit pada dermatofitosis pada umumnya dipengaruhi oleh bentuk klinik
dan penyebab penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit dapat dihilangkan,
umumnya penyakit ini dapat sembuh dengan sempurna.(2)

DAFTAR PUSTAKA
Radiono S. Pitiriasis versikolor. In: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2004. p. 19-23.
Siregar RS. Penyakit jamur kulit. 2 ed. Siregar RS, editor. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2005.
Janik MP, Hefferman MP. Yeast infections: candidiasis and tinea (pityriasis) versicolor. In:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. 7 ed. New York: The McGraw Hill Medical; 2008. p.
1828-30.
Nasution MA, Muis K, Rusmawardiana. Tinea kapitis. In: Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FK Universitas Indonesia; 2004. p. 24-30.
Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, onychomycosis,
Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: The Mc Graw
Hill Medical; 2008. p. 1806-13.
Ameen M. Epidemiology of superficial fungal infection. Clinics in Dermatology 2010;28:197201.
Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rooks Textbook of Dermatology. 10 ed. USA: Blackwell Publishing; 2010. p. 31.27-31.0.
S TSR, Subakir, Buditjahjono S. Tinea pedis et manum. In: Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi Sl, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2004. p. 40-7.

L
U KP
N P
H
AS

1.

2.
3.

4.

5.

6.

7.
8.

151

III.

Tinea Korporis dan Kruris

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit tinea korporis dan kruris.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit tinea korporis dan kruris
2. Menjelaskan penyebab dari tinea korporis dan kruris.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya tinea korporis dan kruris


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari tinea korporis dan kruris.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis tinea korporis dan kruris

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis tinea korporis dan kruris
7. Menjelaskan penatalaksanaan tinea korporis dan kruris.
8. Menjelaskan komplikasi tinea korporis dan kruris

152

III.

TINEA KORPORIS DAN KRURIS

PATOGENESIS
Kont ak dengan individu/ binat ang
t erinfeksi, benda
T.kruris: maserasi & oklusi kulit lipat
paha meningkat kan suhu
mudah infeksi penjalaran

DEFINISI
-T.korporis: infeksi dermat ofit pada
badan, t ungkai, lengan, kecuali lipat
paha, t angan, kaki.
-T.kruris: pada pubis dan sela paha

GEJALA KLINIS
Gat al
Lesi bulat polisiklik, batas t egas,
t epi meninggi, bagian t engah t ampak
menyembuh
Varian T.korporis: T.
imbrikat a(lingkaran konsent ris)

L
U KP
N P
H
AS

FAKTOR PENCETUS
Suhu panas dan kelembaban

HISTOPATOLOGI
-KOH10% hifa bercabang dan
art rospora
-Kult ur unt uk isolasi spesies
penyebab

ETIOLOGI
-T.Korporis: M . canis,T.verrucosum, E.
Floccosum, T.rubrum
-T.kruris: E.floccosum, T.rubrum,
T.ment agrophyt es

TINEA KORPORIS DAN KRURIS

TERAPI
Topikal: krim imiazol at au alilamin
hingga 2 minggu stelah lesi sembuh
Sist emik: Griseofulvin 500-1000
mg/ hari, ket okonazol 200 mg/ hari,
it rakonazol 100 mg/ hari, t erbinafin
250 mg/ hari

PROGNOSIS
Baik dengan menghilangkan fakt r
predisposisi
Berespon baik t erhadap t erapi t opikal
(kesembuhan t inggi)

KOM PLIKASI
Penjalaran infeksi meluas

153

TINEA KORPORIS DAN TINEA KRURIS

DEFINISI
Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofit pada badan, tungkai, dan lengan, tapi
tidak termasuk lipat paha, tangan, dan kaki. Sedangkan tinea kruris pada daerah pubis dan sela
paha.(1)

L
U KP
N P
H
AS

FAKTOR PENCETUS

Berbagai keadaan yang menyebabkan timbulnya suhu panas dan kelembaban merupakan

faktor pencetus penyakit ini.(1,2)

ETIOLOGI

Tinea korporis dapat disebabkan oleh M. canis, T. verrucosum, E. floccosum, atau T.

rubrum. Jamur dermatofit yang sering ditemukan pada tinea kruris adalah E. floccosum, T.
rubrum, dan T. mentagrophytes.(1,3)

PATOGENESIS

Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang

terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabotan, dan

sebagainya. Pada tinea kruris umumnya terjadi pada pria . Maserasi dan oklusi kulit lipat paha
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit akan memudahkan infeksi, selain itu dapat
pula terjadi akibat penjalaran infeksi pada bagian tubuh lain.(1)

GEJALA KLINIS

Tinea korporis dapat mengenai bagian tubuh manapun dan lebih sering terjadi pada

bagian yang terbuka. Keluhannya berupa gatal. Lesi bentuk bulat, girata, maupun polisiklik

dengan batas yang tegas, dan pada bagian tepi tampak tanda radang yang lebih aktif dengan
bagian tengah yang cenderung menyembuh. Beberapa varian tinea korporis diantaranya tinea
imbrikata berupa lesi dengan lingkaran konsentris yang disebabkan oleh T. concentricum.

154

Pada tinea kruris tampak lesi berbatas tegas dengan tepi meninggi berupa papulovesikel
yang eritematosa dan bagian tengah yang tampak menyembuh. Lokasi adalah pada area
genitokrural dan sisi medial paha atas.

HISTOPATOLOGI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan mikroskopis sediaan langsung dengan KOH 10% akan menunjukkan hifa
bercabang atau artrospora yang khas pada infeksi jamur dermatofita. Kultur dilakukan untuk

L
U KP
N P
H
AS

mengisolasi spesies jamur penyebab.(1)

TERAPI

1. Topikal

Dapat digunakan preparat imidazol dan alilamin yang dioleskan pagi dan sore selama 2-4
minggu dan dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi hingga sekurang-kurangnya 2 minggu
setelah lesi menyembuh.
2. Sistemik

Griseofulvin microsize 500-1000 mg/hari selama 2-6 minggu, ketokonazol 200 mg/hari selama 4

minggu, itrakonazol 100 mg/hari selama 2 minggu atau 200 mg/hari selama 1 minggu, dan
terbinafin 250 mg/hari selama 1-2 minggu.

KOMPLIKASI

Dapat terjadi penjalaran infeksi menjadi lebih luas

PROGNOSIS

Baik dengan menghilangkan faktor predisposisi dan penanganan yang tepat. Dikatakan

bahwa dengan pemberian terapi topikal memberikan angka keerhasilan yang tinggi (70-100%).(1)

155

DAFTAR PUSTAKA
1. Goedadi M, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In: Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2004. p. 31-39.
2. Siregar RS. Penyakit jamur kulit. 2 ed. Siregar RS, editor. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2005.

L
U KP
N P
H
AS

3. Janik MP, Hefferman MP. Yeast infections: candidiasis and tinea (pityriasis) versicolor.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7 ed. New York: The McGraw Hill
Medical; 2008. p. 1828-30.

156

IV.

Tinea Pedis dan Manus

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit tinea pedis dan manus.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit tinea pedis dan manus.

2. Menjelaskan penyebab dari tinea tinea pedis dan manus.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya tinea pedis dan manus


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari tinea pedis dan manus.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis tinea pedis dan manus

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis tinea pedis dan manus
7. Menjelaskan penatalaksanaan tinea pedis dan manus
8. Menjelaskan komplikasi tinea pedis dan manus

157

IV.

TINEA PEDIS DAN MANUS

PATOGENESIS
Infeksi ringan simpleks
Infeksi campuran dengan bakt eri
kompleks
Tinea manus sering dihubungkan
dengan t .pedis

DEFINISI
-T.pedis: infeksi dermat ofit pada kaki,
t erut ama sela jari dan t elapak kaki
-T.manus: infeksi ermat ofit pada
t angan, palmar dan int erdigit alis

GEJALA KLINIS
Gat al
T.pedis: t ipe int erdigit alis, t ipe
vesicular subakut , t ipe
papuloskuamosa hiperkerat ot ik
menahun
T.manus: Tipe dishidrot ik dan
hiperkerat ot ik

L
U KP
N P
H
AS

FAKTOR PENCETUS
Keringat dan inflamasi sebelumnya
(dermat it is kont ak)
Pekerjaan basah: t ukng cuci, pet ani,
t ent ara, perenang

HISTOPATOLOGI
-Hist oPA: akantosis, hyperkerat osis,
infilt rat perivaskular, spongiosis,
parakerat osis, vesikulasi
-KOH10% hifa bercabang dan
art rospora
-Kult ur unt uk isolasi spesies
penyebab

ETIOLOGI
-T.Pedis: T.rubrumT.
ment agrophyt es, E. floccosum
-T.manus: E.floccosum, T.rubrum,
T.ment agrophyt es, M . canis, T.
verrucosum, M .gypseum

TINEA PEDIS DAN MANUS

TERAPI
Fase peradangan: kompres/ rendam
PK at au NaCl
Topikal: krim imidazol at au salep
w hit field, bedak ant ijamur pada kaki
Sist emik: it rakonazol 2x200 mg,
t erbinafin 250 mg/ hariflukonazol 150
mg/ minggu

PROGNOSIS
T.pedis:Persist ensi dan eksaserbasi
T.manus: t ipe dishidrot ik remisi dan
eksaserbasi, t ipe kronik t idak dapat
sembuh spont an

KOM PLIKASI
Infeksi bakt eri erisipelas

TINEA PEDIS
158

DEFINISI
Tinea pedis adalah infeksi dermatofit pada kaki, yang terutama terjadi pada sela jari dan
telapak kaki.(2, 8)
FAKTOR PENCETUS

L
U KP
N P
H
AS

Penyakit ini sering mengenai orang yang kerja di tempat basah, seperti tukang cuci,
petani, atau harus mengenakan sepatu tertutup setiap hari seperti tentara. Juga sering ditemukan
pada individu yang sering berenang.(8)
ETIOLOGI

Tinea pedis disebabkan oleh T. rubrum, sedangkan bentuk interdigitalis disebabkan oleh

T. mentagrophytes, dan E. floccosum.(5, 8)


PATOGENESIS

Infeksi dermatofit yang ringan disebut dermatofitosis simpleks dapat timbul pada sela

jarikarena lingkungan yang tertutup. Infeksi jamur akan merusak sratum korneum sehingga
memudahkan tumbuhnya bakteri dan terjadi maserasi, rasa gatal, dan bau busuk pada daerah
tersebut. Infeksi campuran dermatofit dengan bakteri disebut juga dermatofitosis kompleks.(8)
GEJALA KLINIS

Beberapa tipe klinis dari tinea pedis antara lain:

1. Tipe interdigitalis. Merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, dimana kelainannya
berupa maserasi pada sela jari 4 dan 5. Kulit tampak putih, dapat terbentuk fisura, dan baunya
tidak enak. Lesi ini dapat meluas ke bawah jari dan telapak kaki.
159

2. Tipe vesicular subakut. Bentuk ini ditandai dengan beberapa vesikel, vesikopustulosa, dan
dapat terbentuk bula. Umumnya terjadi di telapak kaki dan jarang terjadi di tumit. Timbul akibat
perluasan tipe interdigitalis. Tampak vesikel atau bula yang terletak agak dalam di bawah kulit
dan disertai rasa gatal yang hebat. Bila vesikel pecah akan meninggalkan bekas melingkar yang
disebut koloret. Bila terjadi infeksi sekunder dapat terjadi erysipelas.

L
U KP
N P
H
AS

3. Tipe papuloskuamosa hiperkeratotik menahun. Sering terjadi di tumit, telapak kaki, dan lateral
kaki. Lesi berupa bercak dan skuama putih agak mengkilat, melekat, dan relative tidak
meradang. Apabila lesi mengenai seluruh kaki dan simetris disebut juga moccasin foot. (2, 8)
HISTOPATOLOGI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambaran histopatologis berupa akantosis, hyperkeratosis, dan infiltrat perivaskular pada

dermis. Pada bentuk vesikobulosa tampak adanya spongiosis, parakeratosis, dan vesikulasi
intraepithelial.(5) Dapat dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH dan dilakukan

kultur. Namun berbeda dengan tinea korporis atau kruris, diagnosis tinea pedis lebih sulit
ditegakkan karena sering tidak ditemukan jamur. (8)
TERAPI

Pada fase peradangan akut dapat dilakukan kompres atau rendam dengan larutan kalium

permanganate 1:5000 atau larutan karbonas natricus. Pengobatan topikal dapat diberikan
golongan imidazol maupun salep whitfield tergantung pada tipe dan keparahan lesi. Dapat pula

diaplikasikan bedak antijamur yang ditabur pada kaki untuk mengurangi pertumbuhan jamur.(8)

Sistemik dapat diberikan terbinafin 250 mg/hari, atau itrakonazol 200 mg dua kali sehari, atau
flukonazol 150 mg per minggu.(5)

160

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi campuran dengan bakteri dan apabila terjadi
infeksi yang berat dapat terjadi erysipelas.(8)
PROGNOSIS

L
U KP
N P
H
AS

Sering terjadi persistensi dan eksaserbasi bila terdapat infeksi subklinis T.


mentagrophytes var interdigitale.(8)
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

3.

Siregar RS. Penyakit jamur kulit. 2 ed. Siregar RS, editor. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2005.
S TSR, Subakir, Buditjahjono S. Tinea pedis et manum. In: Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi Sl, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2004. p. 40-7.
Verma S, Heffernan MP. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, onychomycosis,
Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: The
Mc Graw Hill Medical; 2008. p. 1806-13.

161

V.

Onikomikosis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit onikomikosis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit onikomikosis..
2. Menjelaskan penyebab dari onikomikosis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya onikomikosis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari onikomikosis..
5. Menjelaskan diferensial diagnosis onikomikosis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis onikomikosis.


7. Menjelaskan penatalaksanaan onikomikosis.
8. Menjelaskan komplikasi onikomikosis

162

V.

ONIKOMIKOSIS

PATOGENESIS
Fakt or predisposes mudah t erjadi
onikomikosis
Jamur menyerang melalui beberapa
rut e
Candida dari t r digest ivus

L
U KP
N P
H
AS

GEJALA KLINIS
Gat al
Tipe Onikomikosis subungual
dist al/ lat eral
Tipe Onikomikosis superfisialis put ih
Tipe onikomikosis subungual
proksimal
Tipe onikomikosis dist ropik t ot al
Onikomikosis kandida

DEFINISI
-Kelainan kuku disebabkan infeksi
dermat ofit , ragi, dan kapang

HISTOPATOLOGI
-Hist oPA: akantosis, hyperkerat osis,
infilt rat perivaskular, spongiosis,
parakerat osis, vesikulasi
-KOH10% hifa bercabang dan
art rospora
-Kult ur unt uk isolasi spesies
penyebab

FAKTOR PENCETUS
Akibat penjalaran T.pedis,
imunokompromais, diabet es melit us

ETIOLOGI
-T.rubrum, T.ment agrophyt es,
Epidermophyt on, Candida sp,
aspergilus sp, Fusarium Sp

ONIKOMIKOSIS

TERAPI
Topikal: krim dan solusio t idak
efekt if, siklopiroks cat kuku,
amorolfin 5% cat kuku, bifonazolurea
Sist emik: Flukonazol, it rakonazol,
t erbinafin
Pembedahan

PROGNOSIS
Penyulit : t ipe kuku yang t umbuh
lambat dan t ebal, st at us
imunokompromais

KOM PLIKASI
St adium lanjut dapat merusak seluruh
kuku dist rofik tot al

163

ONIKOMIKOSIS
DEFINISI
Onikomikosis adalah satu kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur dematofita,
ragi (yeasts) dan kapang (moulds). Penyakit ini bersifat menahun dan sangat resisten terhadap
pengobatan(1,2)

FAKTOR PENCETUS

L
U KP
N P
H
AS

Onikomikosis kadang-kadang muncul sebagai akibat tinea pedis, dengan karakteristik

onikolisis dan penebalan, perubahan warna (putih, kuning, coklat, dam hitam), rapuh, dan kuku
kekurangan nutrisi. Onikomikosis pada

kuku

kaki dapat menyebabkan nyeri dan sebagai

predisposisi infeksi sekunder bakteri dan ulserasi pada dasar kuku. Komplikasi ini banyak terjadi
pada individu dengan immunocompromised dan diabetes(3,4).

ETIOLOGI

Dermatofit penyebab onikomikosis yang paling sering ditemukan adalah T. rubrum, T.

mentagrophytes, dan Epidermophyton. Golongan non dermatofita yang sering menjadi penyebab
adalah Candida sp, Aspergillus sp, Fusarium sp.(5)

PATOGENESIS

Faktor-faktor predisposisi yang telah disebutkan akan memudahkan terjadinya

onikomikosis. Jamur menyerang melalui beberapa rute yang akan memberikan gambaran klinis

berbeda, dan pada stadium lanjut seluruh kuku akan rusak. Kelainan kuku kaki dapat berawal
dari tinea pedis atau langsung pada kuku. Pada penyebab Candida dapat terjadi endogen dari

traktus digestivus sebagai flora komensal.(5)

GEJALA KLINIS

Keluhan utama berupa kerusakan kuku. Kuku menjadi suram, dan rapuh, dapat dimulai dari arah

distal (perimarginal) atau proksimal. Bagian yang bebas tampak menebal(2). Terdapat beberapa
tipe tinea unguium :

164

1) Onikomikosis Subungual Distal/Lateral


Jamur menyerang bantalan kuku di bawah lempeng kuku melalui hiponikium dan
bergerak ke arah proksimal. Invasi juga dapat dari lateral (onikomikosis subungual
distal dan lateral atau OSDL). Gambaran klinis ditandai oleh Perubahan warna
kekuningan yang menyebar sampai lapisan kuku. Setelah itu, hiperkeratosis subungual
menjadi prominent dan menyebar hingga ke dalam kuku. Secara berangsur-angsur kuku
menjadi rapuh dan terpisah dari dasarnya menyebabkan pengumpulan keratin

L
U KP
N P
H
AS

subungual. bentuk ini umumnya disebabkan T.rubrum, selain oleh T.mentagrophytes


var.interdigitale. Kuku tangan dan kaki memberikan panampakan yang sama. Kuku

kaki biasanya lebih sering dibanding kuku tangan. Kuku kaki pertama dan kelima yang
terinfeksi tersering. Keterlibatan kuku tangan biasanya unilateral. Jika mengenai kuku
tangan, pada umumnya denga pola dua kaki dan satu tangan

2) Onikomikosis superficial putih (leukonikia trikofita)

Kelainan ini juga jarang ditemui; terjadi bila jamur menginvasi langsung lapisan

superfisial lempeng kuku. Klinis ditandai bercak-bercak putih keruh berbatas tegas yang

dapat berkonfluensi. Kuku menjadi kasar, lunak, dan rapuh. Letak sangat superfisial dan
mudah hilang. Penyebab tersering adalah T. mentagrophytes. Lebih sering pada kuku
jari kaki

3) Onikomikosis subungual proksimal

Infeksi dimulai dari lipat kuku proksimal, melalui kutikula dan masuk ke kuku yang

baru terbentuk, selanjutnya bergerak ke arah distal. Kelainan berupa hiperkeratosis dan

onikolisis proksimal, serta destruksi lempeng kuku proksimal. Bentuk ini merupakan

bentuk paling jarang dijumpai, tetapi umum ditemukan pada penderita AIDS. Penyebab
biasanya T. rubrum

4) Onikomikosis Distropik Total

Onikomikosis distropik total pada umumnya, kondisi sekunder dari onikomikosis


subungual distal/lateral atau onikomikosis subungual proksimal yang tidak diatasi.
Gambaran klinis berupa kuku menebal, opak, kuku kuning-coklat dan menjadi hancur

5) Onikomikosis Kandida (True Candida Onychomycosis)

Onikomikosis kandida jarang dan terjadi secara primer pada pasien imunosupresed

sebagai kandidiasis mukokutaneus kronik. Candida pada kuku kondisi normal tidak
165

dapat secara efisien menyerang keratin kuku. Candida terjadi sebagai infeksi sekunder.
Gambaran klinis berupa kuku menebal dan hancur dan inflamasi jaringan periungual
dengan pseudoclubbing.(4,5)
HISTOPATOLOGI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran histopatologis tampak spongiosis dan fokal parakeratosis serta respon
inflamasi minimal pada dermis. Pada onikomikosis superficial putih tampak organism pada
dosal kuku. Pada onikomikosis kandida tampak pseudohifa disepanjang lempeng kuku, kutikula,

L
U KP
N P
H
AS

stratum granulosum, dan stratum spinosum dan hiponikia stratum korneum.(4) Dapat dilakukan
pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 20-30% dan kultur untuk menentukan spesies jamur
penyebabnya.(5)
TERAPI

1. Topikal

Dapat digunakan bifonazol-urea dalam bentuk salap, amorolfin 5% dalam bentuk cat kuku, dan

sikropiroksolamin dalam bentuk cat kuku. Obat topikal dalam bentuk krim dan solusio sulit
penetrasi ke dalam kuku, sehingga tidak efektif utnuk pengobatan onikomikosis.
2. Sistemik

Griseofulvin bukan merupakan obat pilihan karena angka kesembuhannya yang rendah dan
angka kekambuhannya yang tinggi. Lebih dipilih obat sistemik generasi baru seperti flukonazol

(100 mg/hari atau 150 mg/minggu), itrakonazol (200 mg/hari atau dosis denyut 400 mg/hari
selama seminggu tiap bulan dalam 2-3 bulan), terbinafin (250 mg/hari secara kontinyu 3 bulan)
3. Pembedahan

Dapat dipertimbangkan bila kelainan hanya pada 1-2 kuku, atau ada kontraindikasi terhadap
pengobatan sistemik,dan pada keadaan pathogen yang resisten terhadap obat.
KOMPLIKASI

Pada stadium yang lanjut sdapat merusak seluruh kuku hingga mengakibatkan gambaran

distrofik total.

PROGNOSIS

Satu dari lima kasus onikomikosis tidak member respon yang baik terhadap pengobatan

yang optimal. Pada beberapa kasus yaitu pada tipe kuku tertentu misalnya pertumbuhan kuku

yang lambat dan tebal juga merupakan penyult, selain fktor predisposisi utama yaitu keadaan
imunokompromais.(5)
166

DAFTAR PUSTAKA
4. Rich Phoebe. Infection causes of nail disorders. An Atlas of Disease of The Nail. New
York-Washington DC:-Parthenon Publishing.2005. p61-9
5. Siregar RS. Penyakit jamur kulit. 2 ed. Siregar RS, editor. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC; 2005.
6. Tullio V, Banche G, Panzone M et al. Tinea pedis and tinea unguim in a 7 years old
child. JMM(2007),56,p.1122-3

L
U KP
N P
H
AS

7. Janik MP, Hefferman MP. Yeast infections: candidiasis and tinea (pityriasis) versicolor.
In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7 ed. New York: The McGraw Hill
Medical; 2008. p. 1828-30.
8. Bramono K. Onikomikosis. In: Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit
FKUI; 2004. p. 48-57.

167

VI.

Kromoblastomikosis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

L
U KP
N P
H
AS

penyakit kromoblastomikosis.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit kromoblastomikosis.
2. Menjelaskan penyebab dari kromoblastomikosis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya kromoblastomikosis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari kromoblastomikosis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis kromoblastomikosis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis kromoblastomikosis.


7. Menjelaskan penatalaksanaan kromoblastomikosis.
8. Menjelaskan komplikasi kromoblastomikosis.

168

VI.

KROMOBLASTOMIKOSIS
Definisi
Penyakit
jamur
yang
biasnya
mengenai kaki, t angan, dan bokong.

Gejala Klinis
Nodul nodul verukosa

Fakt orPencet us
Trauma minor

L
U KP
N P
H
AS

Pat ogenesis
Tidakdiket ahui

Et iologi

Hist opat ologi


Hiperkerat osis, hiperplasia
pseudoepit eliomatosa dan
granuloma di dermis

Phialophora verrucosa, Fonsacea


pedrosoi, Foncasea compactum,
dan Cladosporium carrionii

KROMOBLASTOMIKOSIS

Terapi
Pembedahan, ant i jamur,

Komplikasi
Elefant iasis

Prognosis
Bonam

169

KROMOBLASTOMIKOSIS

DEFINISI
Penyakit jamur yang biasnya mengenai kaki, tangan, dan bokong.

FAKTOR PENCETUS

L
U KP
N P
H
AS

Jamur masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka pada kulit, secara kontak langsung.

ETIOLOGI

Phialophora verrucosa, Fonsacea pedrosoi, Foncasea compactum, dan Cladosporium carrionii.

PATOGENESIS
Tidak diketahui

GEJALA KLINIS

Pembengkakan berupa pembentukan nodul-nodul pada tempat luka atau aberasi kulit. Mula-mula

lesi in tidak nyeri dn selanjutnya nodul-nodul ini berkembang menyerupai jaringan ikat dengan
permukaan verukosa dan menyerupai kembang kol. Oleh karena terjadi fibrosis yang verukosa
dapat menyebabkan penyumbatan aliran limfe sehingga terjadi elephantiasis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan langsung, bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit atau biopsy

jaringan subkutis. Pada pemeriksaan KOH 10% dapat ditemukan hifa berseptum tidak
bercabang berwarna coklat.

2. Pembiakan, bahan biakan diambil dari kerokan kulit atau biopsi jaringan. Sesudah 2-3
minggu, tumbuh koloni berwarna coklat tua sampai hijau tua.

3. Histopatologi. Gambaran histopatologis kromoblastomikosis menyerupai sporotrikosis,


dengan hiperkeratosis, hiperplasia pseudoepiteliomatosa dan granuloma di dermis bagian

atas dan tengah.Sebagian besar granuloma merupakan tipe tuberkuloid, walaupun


biasanya terdapat beberapa granuloma supuratifa. Biasanya tampak mikroabses

intraepidermal. Tampak sel-sel inflamasi kronis dan kadang-kadang beberapa eosinofil,


170

di dermis bagian atas. Sel bulat, dinding tebal, berwarna coklat keemasan (badan
sklerotik, sel muriform, badan medlar) berdiameter 5-12 m dapat terlihat dalam sel
raksasa dan terdapat pada mikroabses intraepidermal.
PENGOBATAN
Pengobatankromoblastomikosis

sangat sulit.Respon terhadapantijamuroralsangat terbatas.

Antijamur yang efektif yaitu itrakonazol 200-400 mg/hari selama 12 bulan dan terbinafin 500
mg/hari selama 6-12 bulan,Pembedahanmasih merupakanpilihan terbaikuntuk penanganan
Elektrodesikasi,dancryosurgeryefektif

pada

stadium

awal.Hipertermi

L
U KP
N P
H
AS

kromomikosis.

lokaldapatmengurangisecara substansialperluasan lesi.


PROGNOSIS

Biasanya baik bila pengobatan diberikan secara adekuat


KOMPLIKASI
Elefantiassi

REFERENSI

1. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rook's textbook of dermatology London: Willey Blackwell; 2010. p. 1728-31
2. Siregar RS. Penyakit Jamur Kulit. Jakarta: EGC; 2005.
3. Hay RJ. Deep fungal infections. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. New York:
McGraw Hill; 2012. p. 2312-28.

171

VII.

Misetoma

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit misetoma.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit misetoma.
2. Menjelaskan penyebab dari misetoma.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya misetoma.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari misetoma.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis misetoma.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis misetoma.


7. Menjelaskan penatalaksanaan misetoma.
8. Menjelaskan komplikasi misetoma.

172

VII.

MISETOMA
Definisi
Infeksijamurkronikpadajaringan di
baw ahkulit , yang
dapat meluassampaikefasiadant ulangt ulang

GejalaKlinis
Pembengkakan, sinus,
dangranul

Fakt orPencet us
Trauma minor

L
U KP
N P
H
AS

Pat ogenesis
Tidakdiket ahui

Et iologi
Akt inomikot ikgenus akt inomises,
nokardia, danst reptomises
Eumikot ikspesiesmadurella,
eleskeria, sefalosporium, fialofora,
dangenus kurfularia

Hist opat ologi


Grain di
bagiant engahdaerahsupura
si

MISETOMA

Terapi
Akt inomikot ikant ibiot ik
Eumikot ik ant i
jamurdanpembedahan

Komplikasi
Pembesaran KGB

Prognosis
Dubia

173

MISETOMA

DEFINISI
Infeksi jamur kronik pada jaringan di bawah kulit, yang dapat meluas sampai ke fasia dan tulangtulang menimbulkan kelainan-kelainan berupa pembengkakan kruris disertai deformitas dari
alat-alat yang diserang.

L
U KP
N P
H
AS

FAKTOR PENCETUS
Infeksi dimulai dari trauma minor sehingga kebanyakan lesi berlokasi di kaki dan tungkai bawah,
tetapi dapat pula terjadi di bagian tubuh lainnya. Penggunaan sepatu terbuka atau kebiasaan tidak

menggunakan alas kaki saat bekerja meningkatkan resiko terjadinya trauma pada kaki dan
tungkai.

ETIOLOGI

1. Misetoma aktinomikotik, penyebabnya terdiri dari genus aktinomises, nokardia, dan


streptomises

2. Misetoma eumikotik, penyebabnya terdiri dari beberapa genus, yaitu spesies madurella,
eleskeria, sefalosporium, fialofora, dan beberapa genus kurfularia

PATOGENESIS

Patogenesis eumisetoma tidak sepenuhnya diketahui. Agen yang menghasilkan eumisetoma


hidup saprofit di tanah yang kemudian masuk ke dalam kulit dan jaringan subkutis melalui

trauma. Sebagai pertahanan pertama, fagosit, terutama netrofil memusnahkan invasi

mikroorganis memelalui ingesti dan intra fagolisosom. Kegagalan mobilisasi aktif respon fagosit
pada awal terjadinya infeksi merupakan alasan bertahannya jamur selama beberapa waktu dalam

granul untuk berkembang. Beberapa jamur eumisetoma menghasilkan komponen ekstraseluler


yang dapat mencegah obat-obatan, antibodi, dan enzim mencapai jamur dalam jaringan.

174

GEJALA KLINIS
Benjolan-benjolan keras pada kaki, tangan, atau lutut yang berwarna merah atau coklat dengan
beberapa muara fistel, yang mengeluarkan secret purulent mengandung granul, dan deformitas
kaki dan tangan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Preparat basah dari sekret yang keluar dari fistel. Ambil sedikit-sedikit sekret (1-2 tetes)

L
U KP
N P
H
AS

letakkan di atas gelas objek dan tambahkan 1-2 tetes KOH 10-20%. Tutup dengan gelas
penutup, panaskan dengan hati-hati. Kemudian lihat di bawah mikroskop. Didapatkan
elemen jamur berupa spora-spora atau klamido spora dengan besar 0,5-2 m dan hifa
berseptum dengan diameter 2-4 m.

2. Pembiakan, sekret yang dikumpulkan dicuci terlebih dahulu dengan air steril atau air
garam faal, dan butir-butir dihancurkan. Selanjutnya, bahan ini ditanam dalam media
sabaroud dekstrose agar dan disimpan pada 25-30oC. Bila ada jamur, akan tumbuh koloni

jamur, dan dapat ditentukan penyebab etiloginya berdasarkan sifat-sifat koloni yang
tumbuh, sifat-sifat spora yang khas, dan sifat-sifat hifa serta miseliumnya.

3. Histopatologi, jaringan yang terkena infeksi dapat diwarnai dengan pewarnaan


hematoksilin-eosin atau periodic acid Schiff (PAS). Pada pemeriksaan histopatologis
tampak adanya reaksi inflamasi kronis dengan abses neutrofil, sel raksasa yang tersebar
dan fibrosis. Grain (50-250 m) ditemukan pada bagian tengah daerah supurasi dan

dalam granuloma supuratif di subkutis. Disekeliling daerah supurasi bisa terlihat palisade
histiosit, di luar infiltrate inflamasi campuran dan fibrosis progresif. Tepi eosinofilik
menyerupai fenomena Splendore-Hoeppli yang ditemukan disekeliling parasit, kadang
tampak di sekeliling grain.

PENGOBATAN

Untuk jenis misetoma aktinomikotik dapat diobati dengan penisilin prokain dosis tinggi 2,4 juta

unit sampai 2 mega unit. Etiologinya genus nokardia yang diobati dengan preparat sulfa, seperti
sulfadiasin 3-8 gram per hari diberikan selama 2-4 minggu.

175

Pengobatan misetoma eumikotik sangat sulit dan dapat dicoba dengan amfoterisin B
intravena. Pengobatan dengan turunan azol, seperti itrakonazol 400 mg/hari dan flusitosin 2
g/hari selama 1-2 bulan memberi hasil yang baik.

KOMPLIKASI
Kelenjar-kelenjar getah bening regional dapat membesar.

L
U KP
N P
H
AS

PROGNOSIS
Tergantung dari tingkat perjalanan penyakit dan hasil pengobatan dengan kemoterapi.

Pada tingkat permulaan prognosis baik, tetapi pada tingkat yang lanjut dan berat perlu diambil
tindakan amputasi.

REFERENSI

1. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rook's textbook of dermatology London: Willey Blackwell; 2010. p. 1728-31
2. Siregar RS. PenyakitJamurKulit. Jakarta: EGC; 2005.
3. Welsh O, Vera-Cabrera L, Salinas-Carmona MC. Mycetoma. ClinDermatol 2007;25:195-202.

176

VIII.

Sporotrikosis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit sporotrikosis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit sporotrikosis.
2. Menjelaskan penyebab dari sporotrikosis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya sporotrikosis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari sporotrikosis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis sporotrikosis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis sporotrikosis.


7. Menjelaskan penatalaksanaan sporotrikosis.
8. Menjelaskan komplikasi sporotrikosis.

177

VIII.

SPOROTRIKOSIS
Definisi
Infeksijamurkronikpadajaringan di
baw ahkulit , yang
dapat meluassampaikeorgan dalam

GejalaKlinis
Nodul yang
mengikut ialiranlimfe

Fakt orPencet us
Trauma minor

L
U KP
N P
H
AS

Pat ogenesis
Tidakdiket ahui

Et iologi

Hist opat ologi


Cigar Bodies

Sporothrixschenkii

SPOROTRIKOSIS

Terapi
Ant i jamur, Kaliumiodida

Komplikasi
Penyebaranke organ dalam

Prognosis
Bonam

178

SPOROTRIKOSIS

DEFINISI
Penyakit jamur kronik yang disebabkan oleh Sporothrix schenkii, yaitu suatu jamur yang bersifat
dimorfik.

FAKTOR PENCETUS

L
U KP
N P
H
AS

Jamur masuk ke dalam tubuh melalui luka-luka akibat kecelakaan atau luka di kulit akibat
garukan.

ETIOLOGI

Sporothrix schenckii,berbentuk miseliumpada suhu25Cdanberbentukragi pada suhu 37C.

PATOGENESIS
Tidak diketahui

GEJALA KLINIS

Penyakit ini dimulai dengan lesi berbentuk nodul di bawah kulit pada tempat pertama kontak dan

selanjutnya menjadi ulkus yang disebut sporotrichisis chancre. Kadang-kadang nodul dan ulkus
ini dapat sembuh sempurna sebelum menyebar luas. Masa inkubasi penyakit ini bervariasi dari

beberapa minggu sampai beberapa bulan. Bila penyakit tidak sembuh sendiri dalam beberapa

minggu, penyakit ini dapat menyebar melalui saluran limfa pada tempat yang terinfeksi, disertai
pengerasan saluran limfanya. Bentuk ini disebut sporotrikosis limfangitis kutis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

4. Pemeriksaan langsung, elemen jamur dari sekret ulkus sulit ditemukan karena bentuknya
yang sangat kecil dan jumlahnya yang sangat sedikit. Sel-sel tampak berupa sel-sel yang

agak memanjang menyerupai cerutu dengan ukuran 3-8m dan tumbuh mengadakan
tunas.

179

5. Pembiakan lebih baik diaspirasi dari kelenjar limfe atau dari ulkus yang dibiakkan dalam
SDA. Koloni akan tampak berwarna krem sampai coklat, menyerupai selaput basah yang
dapat dilihat stelah dibiakkan selama 1-2 minggu.
6. Histopatologi. Pada bentuk lokalisata biasanya tampak hiperplasia pseudoepiteliomatosa
dengan beberapa hiperkeratosis dan fokal parakeratosis diatasnya. Beberapa tipe
granuloma dapat ditemukan pada dermis, antara lain tuberkuloid, histiositik dan
granuloma supuratif. Sel raksasa berinti banyak bisa terdapat pada bagian tepi granuloma

L
U KP
N P
H
AS

dan beberapa diantaranya merupakan tipe badan asing. Mikroabses intraepidermal jarang
terjadi.Pada bentuk limfangitik, nodul inflamasi terdapat pada dermis bagian bawah dan

biasanya tidak terdapat perubahan pada epidermis. Sering terdapat infiltrat inflamasi yang

lebih difus, dan granuloma sebagian besar tipe supuratif. Abses yang menyatu dapat

terjadi.Sporotriks dapat muncul pada jaringan sebagai bentuk menyerupai jamur


berdiameter 2-8 m, atau sebagai sel terelongasi (cigar bodies) 2-10 m atau sebagai

hifa.Gambaran khas yang didapatkan adalah sporothrix asteroid yaitu bentuk jamur

(blastospora) dikelilingi oleh eosinofilik, benda hialin, ray-like processes yang sedikit

melebar dari inti. Material hialin sangat sedikit diwarnai dengan PAS. Material ini

menunjukkan deposit kompleks imun pada permukaan sel jamur. Bagian sentral jamur
diwarnai dengan antibodi anti-Sporothrix tetapi ray-like processes yang eosinofilik
disekitarnya tidak.

PENGOBATAN

Itrakonazolmenjadi

drug

lokalisata,dengantingkat

of

choice

untukpengobatansporotrikosislimfakutaneusdan

keberhasilan90%-100%

berdasarkanpercobaan

pengobatan100-

200mgperhari. Terapi dilanjutkan hingga lesi menyembuh dan biasanya membutuhkan waktu 3
sampai 6 bulan.Flukonazoladalahpengobatan lini keduauntuksporotrikosis, digunakan dengan
dosis 400 mg/hari jika penderita tidak bisamentolerir itrakonazol. Larutan jenuh kalium iodida
(potassium iodida) telahdigunakan sejak awal tahun 1900. Meskipun mekanismetidak diketahui,

agen ini adalahstandar pengobatan untuk sporotrikosis limfokutaneus sampai beberapa tahun
terakhir. Pemberian dimulai dengan 5-10 tetes 3 kali sehari, dinaikkan tiap minggu dan

ditingkatkan dengan 40-50 tetes 3 kali sehari. Sering terjadi efek samping seperti nausea, ruam,

rasa metal, demam dan pembengkakan kelenjar saliva. Larutan jenuh kalium iodida telah
180

digunakan sebagai pengobatanuntuk anak-anak pada dosis 50 mg atau 1 tetes3 kali sehari,
sampai maksimal 500 mg atau 10 tetes3 kali sehari.

PROGNOSIS
Umumnya baik bila pengobatan diberikan secara adekuat

KOMPLIKASI

L
U KP
N P
H
AS

Jamur selanjutnya dapat menyebar ke tempat-tempat yang lebih jauh melalui saluran limfa dan
dapat sampai ke alat lain, seperti paru-paru, susunan saraf pusat, dan saluran pencernaan. Di
tempat inilah timbul nodul atau ulkus yang disebut bentuk sporotrikosis diseminata.

REFERENSI

1. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors.
Rook's textbook of dermatology London: Willey Blackwell; 2010. p. 1728-31
2. Siregar RS. Penyakit Jamur Kulit. Jakarta: EGC; 2005.
3. Hay RJ. Deep fungal infections. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. New York: McGraw
Hill; 2012. p. 2312-28.

181

IX.

Kandidiasis Kutis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit kandidiasis kutis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit kandidiasis kutis.
2. Menjelaskan penyebab dari kandidiasis kutis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya kandidiasis kutis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari kandidiasis kutis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis kandidiasis kutis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis kandidiasis kutis.


7. Menjelaskan penatalaksanaan kandidiasis kutis.
8. Menjelaskan komplikasi kandidiasis kutis.

182

IX.

KANDIDIASIS KUTIS

PATOGENESIS

1. Mekanisme non imun


2. Mekanisme imun seluler
dan humoral

DEFINISI:
Kandidiasis
suatu infeksi
primer atau sekunder jamur yang
disebabkan
oleh jamur genus
Candida
terutama
Candida
albicans (C. albicans).

GEJALA KLINIS

L
U KP
N P
H
AS

Kandidiasis intertriginosa

Aksila, inframame, umbilicus, Lipatan gluteal,


genitokrural dan interdigital, dapat juga mengenai
daerah retroaurikuler, lipatan perut dan glans penis (
balanoposistis)
Makula eritem, batas tegas, sering terjadi erosi/
maserasi/ basah, skuama kolerat. Pd tepi lesi papul
dan skuama, lesi-lesi satelit berupa vesikel atau
pustul kecil.
Pada penyakit yang kronik , terdapat papul-papul,
likenifikasi, hiperpigmentasi dan skuama
Gatal yang hebat, kdg rasa panas

FAKTOR PREDISPOSISI

HISTOPATOLOGI

Gambaran histopatologis kandidiasis


superficial dapat meradang akut
menyerupai reaksi radang akut
terdapat radang akut,
terdapat
mikroabses
yang
berisi
sel
mononuclear dengan infiltrasi limfosit
pada dermis bagian atas. Dengan
pewarnaan
hematosiklin
eosisn
tampak adanya blastospora dan
pseudohifa dalam stratum korneum
yang akan lebih jelas dengan
pewarnaan khusus seperti PAS, perakmethenamin Gomori
Pada granuloma kandida ditemuakan
papillomatous, hyperkeratosis, pada
dermis terdapat infiltrasi pada
limfosist, granulosit, sel plasma dan
sel raksasa berinti banyak
Pada kandidiasis yang invasive ,
biasanya ditemukan hifa, hal ini
menunjukkan adanya hifa berkaitan
dengan virulensi jamur
Pada lesi kulit kandidiasis diseminata
ditemukan ragi dalam pembuluh darah

KANDIDIASIS

Kelembapan tinggi
Hiperhidrosis
oklusi kulit dan folikel
rambut
kontrasepsi oral
Pemakaian antibiotik dan
kortikosteroid sistemik,
diabetes mellitus.

ETIOLOGI

KUTIS

PENGOBATAN

kombinasi
steroid
dengan
antifungal
Bedak nistatin 100.000 IU//gr
Krim imidazol ( mikonazol 2%,
ketokonazol 2%, klotromazol
2%, ekonazol, sulkonazol )
Krim allilamin,Krim terbinafin,
Krim amorofin
Sistemik ; flukonazol oral ( 50
mg/ hari atau 150 mg/ minggu),
itrakonazol ( 100 atau 200
mg/hari ), ketokonazol ( 200 mg/
hari) , terbinafin ( 125 atau 250
mg/ hari bid)

C. albicans 70-80 kasus.


Spesies kandida lainnya: C.
glabrata, C. parapsilosis, C.
Krusei, C. Tropicalis, C.
pseudotropicalis, C.
stellatoidea, C. guilliermondii,
C.kefyr, C. zeyloinoides, C.
viswanathi, C. lusitanie, C.
dubliensis dan lain-lain

PROGNOSIS

Umumnya baik bergantung


pada berat ringannya faktor
predisposisi

183

KANDIDIASIS KUTIS

DEFINISI
Kandidiasis merupakan suatu infeksi primer atau sekunder jamur yang disebabkan oleh jamur genus
Candida terutama Candida albicans (C. albicans). Penyakit ini data berjalan akut subakut dan kronis,
terlokalisir pada kulit , mulut , tenggorokan, kulit kepala, vagina, jari, kuku bronki paru-paru dan saluran
pernapasan dan dapat pula sistemik mengenai endokardium, meningen sampai septicemia. Kandida ini
tidak menyerang rambut.

L
U KP
N P
H
AS

KLASIFIKASI

Kandidiasis kutis terdiri dari :


1.
2.
3.
4.

Kandidiasis intertriginosa dan kandidiasis generalisata


Paronikia
Diaper disease
Granuloma kandida

Rippon (1988) membagi kandidiasis selengkapanya sebagai berikut


I.

II.

Penyakit infeksi
A. Kandidiasis mukokutan
1. Pada mulut : thrush, glositis, stomatitis,chellitis, parleche
2. Vaginitis dan balanitis
3. Pada brokus dan paru-paru
4. Pada saluran pencernaan : esophagus, usus dan perianal
5. Kandidiasis mukokutan kronik
B. Kandidiasis kutan
1. Intertriginosa dan kandidiasis generalisata
2. Paronikia dan onikomikosis
3. Diaper disease ( kandidiasis popok)
4. Granuloma kandida
C. Kandidiasis sistemik
1. Traktus urinarius
2. Endokarditis
3. Meningitis
4. Septikemia
5. Kandidiasis iatrogenic
6. Kandidiasis disseminate
Reaksi alergi :
1. Kandidid (levurid)
2. Ekzema
3. Asma
4. Gastritis

184

Sedangkan Matsumoto (1996) membagi kandidiasis kutis sebagai berikut


Kandidiasis oral
1. Kandidiasis pseudomembran akut
2. Kandidiasis oral atrofik akut
3. Kandidiasis hiperplastik kronik
4. Kandidiasis atrofik kronik
5. Angular cheliitis (parleche)
6. Median rhomboid glossitis, black hairy tongue
II. Kandidiasis mukosa genitalia
1. Vulvovaginitis kandida
2. Balanitis kandida
III. Kandidiasis mukosa genitalia
1. Kandidiasis intertriginosa
2. Kandidiasis folikular/ folikulitis kandidnda
3. Paronikia dan onikomikosis
4. Kandidiasis congenital
5. Kandidiasis popok/ diaper ( nappy) candidosis
6. Kandidiasis mukokutan kronik
IV. Deep Candididosis of the skin
1. Selulitis kandida
2. Panikulitis kandidaasi kulit
3. Manifestsi kulit pada kandidiasis diseminata

L
U KP
N P
H
AS

I.

FAKTOR PENCETUS

Faktor predisposisi dihubungkan dengan kelembapan tinggi, kelembapan, hiperhidrosis, oklusi kulit dan
folikel rambut, kontrasepsi oral, antibiotik dan kortikosteroid sistemik, diabetes melllitus dan
imunosuppressif.
ETIOLOGI

Penyebabnya terutama C. albicans merupakan salah satu kelompok heterogen yang berada dimana saja
dengan bentuk hifa sejati, pseudohifa, dan budding yeast yang terjadi pada 70-80 kasus. Penyebab
lainnya C. glabrata, C. parapsilosis, C. Krusei, C. Tropicalis, C. pseudotropicalis, C. stellatoidea, C.
guilliermondii, C.kefyr, C. zeyloinoides, C. viswanathi, C. lusitanie, C. dubliensis dan lain-lain

PATOGENESIS

Manifestasi klinis kandidiasis merupakan hasil interaksi antara patogenesitas kandida dengan mekanisme
pertahan tuan rumah yang berkaitan dengan factor predisosisi. Pathogenesis penyakit dan bagaimanaa
meknisme pertahana tuan rumah terhadap kandida belum sepenuhnya dimengerti, namun pada dasarrnya
terdapat dua mekanisme patogenesis terjadinya kandidiasis, yaitu :

185

L
U KP
N P
H
AS

1. Mekanisme non imun


Fungsi pertahanan stratum korneum : kulit dengan deskuamasi dan ploriferasi teratu merupakan
sawar yang efektif melwan kandida. Kerusakan mekanis sawar ini atau adanya oklusi akan
mempfasilitasi terjadinya infeksi
Adanya lipid permukaan kulit akan menghambat pertumbuhan kandida
Adanya interaksi antara kandida dengan flora normal kulit lainnya akan mengakibatkan persaingan
dalam mendapatkan tempat untuk melekat pada epitel.
Beberapa mikroorganisme diduga mengeluarkan zat yang bersifat toksik terhadap oertumbuhan
kandida, walaupun zat tersebut belum berhasil diisolasi
2. Mekanisme imun seluler dan humoral
Tahap pertama timbulnya kulit dan mukosa adalah menempelnya kandda pada sel epitel disebabkan
adanya interaksi antara glikoprotein permukaan kandida dengan sel epitel.
Kemudian kandida mengeluarkan zat keratinolitik ( fospolipase) yang mneghidrolisis fosfolipid
membrane sel epitel. Bentuk pseudohifa kandida juga memepermudah invasi jamur ke jaringan
Dalam jaringan kandida mengeluarkafaktor kemotaktik neutrofil, yang akan menimbulkan reaksi
radang akut. Lapusan luar kandda yang mengandung mannoprotein, bersifat antigenic sehingga akan
mengaktivasi komplemen dan merangasang terbentuknya immunoglobulin. Antibodi disini tidak jelas
peranannya sebagai mekanisme pertahanan tubuh tuan rumah. Imunoglobulin malah dapat
membentuk kompleks antigen-antibodi di permukaan sel kandida, yang dapat melindungi kandida
dari funsi imunitas tuan rumah. Selain itu kandida juga akan mengeluarkan zat yang toksik terhadap
neutrofil

GEJALA KLINIS

Lokasi yang paling sering terkena pada lipatan kulit, darerah intertriginosa, dimana daerah ini merupakan
tempat yang lebih lembab dan panas.

a. Kandidiasis intertriginosa
Mengenai daerah lipatan kulit, terutama aksila, inframame, umbilicus. Lipatan gluteal, genitokrural
dan interdigital; dapat juga mengenai daerah retroaurikuler, lipatan perut dan glans penis (
balanoposistis)
Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil kemudian meluas, beberapa vesikel/ pustule superficial
berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, macula eritem, batas tegas, sering terjadi erosi/ maserasi/ basah,
ditemuakn skuama kolerat. Pada bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan skuama.
Disekuelilingya terdapat lesi-lesi satelit berupa vesikel atau pustul kecil.
Pada penyakit yang kronik , terdapat papul-papul, likenifikasi, hiperpigmentasi dan skuama
Kelainan pada kuli menimbulkan keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti
terbakar
Pada sela jari disebut erosion interdigitalis blastomycetica atau kanddiasis interdigitalis. Banyak
terdapat di daerah tropis terutama mengenai orang-orang yang dalam pekerjaan sering berkontak
dengan air .
Pada sela jari tampak eritem, terkelupas dan terjadi maserasi . Dapat ditemukan ;fisura. Pada bentuk
yang kronik \, kulit sela jari menebal, lembab dan berwarna putih . Sering disertai dengan infeksi pada
telapak dan sisi lateral kaki.

186

b. Kandidiasis kutis congenital


Merupakan infeksi yang terjadi pada bayi lahir, yaitu pada usia 12-24 jam pertama kehidupan
Sumber infeksi berasal dari kandidiasis vulvovaginal ibu yang menular pada saat bayi dilahirkan
Daerah yang terkena terutama badan bagian atas, telapak tangan dan telapak kaki
Lesi multiple berupa makulopapular kemerahan (pink), kemudian menjadi vesikel dan pustule diikuti
deskuamasi
Pada bayi premature dengan berat badan lahir < 1000 gr, lesi dapat berpa deskuamasi luas sampai
erosi dan meningkatkan ririsko kematian

L
U KP
N P
H
AS

HISTOPATOLOGI
-

Gambaran histopatologis kandidiasis superficial dapat meradang akut menyerupai reaksi radang akut
terdapat radang akut, terdapat mikroabses yang berisi sel mononuclear dengan infiltrasi limfosit pada
dermis bagian atas. Dengan pewarnaan hematosiklin eosisn tampak adanya blastospora dan
pseudohifa dalam stratum korneum yang akan lebih jelas dengan pewarnaan khusus seperti PAS,
perak-methenamin Gomori
Pada granuloma kandida ditemuakan papillomatous, hyperkeratosis, pada dermis terdapat infiltrasi
pada limfosist, granulosit, sel plasma dan sel raksasa berinti banyak
Pada kandidiasis yang invasive , biasanya ditemukan hifa, hal ini menunjukkan adanya hifa berkaitan
dengan virulensi jamur
Pada lesi kulit kandidiasis diseminata ditemukan ragi dalam pembuluh darah dan dermis
Sel ragi berbentuk agak lonjong dengan ukuran 3-6 mikron

TERAPI
Umum
-

Menagulangi faktor-faktor predisposisi


Menjaga kelembapan kulit
Mengurangi kontak dengan air
Berpakaian yang nyaman, tidak sempit dan terbuat dari bahan ;yang menyerap keringat

Kandidiasis intertriginosa
-

Untuk mengeringkan lesi yang basah dapat digunakan obat kompres dengan larutan kalium
permanganas 1/50000 atau larutan burowi 20-30 menit beberapa kali sehari
Dalam keadaan akut dapat digunakan kombinasi steroid dengan antifungal, digunakan 2x/ hari.
Kombinasi obat ini akan mengurangi gata; nyeri atau rasa terbakar . Selanjutnya digunakan antifungal
saja sampai lesi sembuh
Obat dalam bentuk lotion sering menyegat ( stinging), kecuali lotion mikonazol-nitrat
Bedak nistatin 100.000 IU//gr
Krim imidazol ( mikonazol 2%, ketikonazol 2%, klotromazol 2%, ekonazol, sulkonazol )
Krim allilamin
Krim terbinafin
Krim amorofin
187

Bila luas dapat diberikan obat sistemik ; flukonazol oral ( 50 mg/ hari atau 150 mg/ minggu),
itrakonazol ( 100 atau 200 mg/hari ), ketokonazol ( 200 mg/ hari) , terbinafin ( 125 atau 250 mg/ hari
bid)

PROGNOSIS
Umumnya baik bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi

DAFTAR PUSTAKA

L
U KP
N P
H
AS

1. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection : Candidiasis and Tinea ( pytiriaisis versicolor). In:
Wolf K, Golsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Piller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in Generl Medicine. New York Mc. Graw Hill Medical 2008. p. 225-32
2. Ramali RM. Kandidiasis kutan dan mukokutan. Budimulja U, Kuswadji, Bramono K,
Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. Dermatomikosis superficial. Jakarta. Kelompok studi
dermatomikosis Indonesia.

188

X.

Paronikia

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit paronikia.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit paronikia.
2. Menjelaskan penyebab dari paronikia.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya paronikia.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari paronikia.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis paronikia.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis paronikia.


7. Menjelaskan penatalaksanaan paronikia.
8. Menjelaskan komplikasi paronikia.

189

X.

PARONIKIA

PATOGENESIS

DEFINISI:

Paronikia akut inflamasi pada lipatan

Paronikia

kuku yang ditandai dengan adanya eritem ,

reaksi

peradangan yang mengenai kulit

bengkak dan nyeri dan dapat meluas sampai


ke lipatan

suatu

dan jaringan sekitar kuku.

kuku bagian proksimal dan

L
U KP
N P
H
AS

GEJALA KLINIS

Paronikia akut Inflamasi pada lipatan kuku

yang ditandai dengan adanya eritem , bengkak dan

FAKTOR PREDISPOSISI

nyeri dan dapat meluas sampai ke lipatan kuku

Gigitan maupun isapan jempol

bagian proksimal dan eponychium.

pada anakanak, serta trauma yang

Paronikia kronik lipatan kuku lateral dan


proksimal

berhubungan

dari

risiko

pekerjaan.

menunjukkan eritema dan edema,

kutikula hilang dan bentuk ventral dari lipatan


kuku proksimal menyebar dari lempeng kuku.

ETIOLOGI

PENANGANAN

PARONIKIA

Kombinasi

perawatan

dapat

dilakukan

dengan

cara

menghindar

factor

pencetus,

Staphyloccocus aureus

Pseudomonas

Candida albicans

perawatan serta obat-obatan

Steroid poten dalam jangka


waktu

yang singkat,

beberapa

kasus

disuntikkan

dalam

dapat

Triamsinolon

asetonide (2,5 mg/ml)

Topikal Imidazole kandida

Antibiotik sistemik dan topical

Insisi dapat dilakukan kecuali


pada kondisi akut.

PROGNOSIS

Umumnya baik bergantung


pada berat ringannya faktor
predisposisi
190

PARONIKIA

DEFINISI
Paronikia merupakan suatu reaksi peradangan yang mengenai kulit dan jaringan sekitar
kuku.

L
U KP
N P
H
AS

PATOGENESIS
Pada paronikia akut akibat adanya maserasi menyebabkan pemisahan lempeng kuku dari

epinokium, akibat adanya celah ini mengakibatkan kontaminasi bakteri atau jamur.

Paronikia akut paling sering diakibatkan oleh infeksi bakteri, umumnya Staphylococcus aureus atau

Pseudomonas aeruginosa, sedangkan Paronikia kronis disebab oleh jamur Candida albicans

FAKTOR PREDISPOSISI

Adapun faktor pencetus terjadinya paronikia , antara lain : gigitan maupun isapan jempol

pada anakanak, serta trauma yang berhubungan dari risiko pekerjaan.


ETIOLOGI
-

Staphyloccocus aureus

Pseudomonas

Candida albicans

GEJALA KLINIK

Paronikia akut merupakan inflamasi pada lipatan kuku yang ditandai dengan adanya eritem ,

bengkak dan nyeri dan dapat meluas sampai ke lipatan kuku bagian proksimal dan eponychium.
Infeksi dapat meluas lebih dalam dan membentuk felon.

Felon merupakan Infeksi Jaringan lunak pada daerah phalanx distal, dihubungkan dengan
infeksi tertutup pada kompartemen ganda yang dihasilkan oleh septa fibrosa antara kulit dan
periosteum. Adanya riwayat trauma tusuk . Onsetnya cepat dan berat. Nyeri, eritema, dan
191

terbentuk abses. abses bisa pecah di daerah pulp . Dapat berkomplikasi menjadi

osteitis,

osteomielitis pada phalanx distal. Akibat infeksi ini menyebabkan ketegangan mikrovaskuler,
nekrosis hingga terbentuk abses.
Infeksi pseudomonas pada lempeng kuku merupakan infeksi Pseudomonas aeruginosa yang
tidak menginfeksi bagian kuku tetapi dapat tumbuh dibawah permukaan dari kuku yang
mengalami onikolosis , sama seperti paronikia kronik yang tampak sebagai disklorasi kehijauan.
Penang ana dapat berupa debridement serta perawatan dari penyebab yang mendasari onikolisis/

L
U KP
N P
H
AS

paronikia .

Paronikia kandida merupakan infeksi Candida albicans dari bagian kuku, sering muncul pada
jari-jari. Candida dapat menyebabkan onikolisis distal dan lateral, khususnya pada pasien
diabetes. Invasi pada lempeng kuku biasanya muncul hanya pada pasien immunocompromise ,
contoh kandidiasis mukokutaneus kronik ataupun pada pasien HIV.

Paronikia kronik merupakan gangguan inflamasi kronik pada lipatan kuku proksimal yang

muncul pada seseorang yang sering berada di lingkungan basah, Kerusakan kutikula akibat

trauma minor yang berulang , yang diikuti iritasi dan berlanjut menjadi kerusakan pada lipatan
kuku. Pada anak-anak , paronikia muncul akibat mengisap jempol. Selama perjalanan menjadi

paronikia kronik , lipatan kuku lateral dan proksimal menunjukkan eritem dan edema, kutikula
hilang dan bentuk ventral dari lipatan kuku proksimal menyebar dari lempeng kuku.
TERAPI
-

Kombinasi perawatan dapat dilakukan dengan cara menghindar factor pencetus,


perawaatan serta obat-obatan

Menjaga tangan agar tetap lembab dengan memakai emolien

Menghindari manikur pada lipatan kuku proksimal

Terapi topikal yang dapat diberikan


-

Steroid poten dalam jangka waktu yang singkat, dalam beberapa kasus dapat

disuntikkan Triamsinolon asetonide (2,5 mg/ml)

- Topikal Imidazole dapat diberikan untuk mengobati kandida

- Antibiotik sistemik dan topical dapat diberikan untuk kasus infeksi bakteri,
- Insisi dapat dilakukan kecuali pada kondisi akut.
192

PROGNOSIS
Umumnya baik bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi

DAFTAR PUSTAKA
1. Tosti A, Pirracini BM. Biology of Nails and Nail disorder Fitzpatrick's Dermatology in
Generl Medicine. New York Mc. Graw Hill Medical 2008. p. 783-6

L
U KP
N P
H
AS

2. Berker DAR, Baran R. Disorder of Nail. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,


editors. Rooks Textbook of Dermatology2010.p65.1

193

PENYAKIT KULIT KAUSA PARASIT


I.

Skabies

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan

L
U KP
N P
H
AS

penyakit skabies.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit skabies..
2. Menjelaskan penyebab dari skabies.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya skabies.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari skabies.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis skabies.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis skabies.


7. Menjelaskan penatalaksanaan skabies.
8. Menjelaskan komplikasi skabies.

194

Skabies
Pat ogenesis:

Definisi:

Tungau skabies, akibat garukan. Penularan


dapat terjadi karena bersalaman / bergandengan
tangan yang lama sehingga, menyebabkan
kuman skabies berpindah ke lain tangan,

penyakit kulit yang di sebabkan infestasi


dan sensitasi terhadap sarcoptei scabei var,
hominis dan produknya

Triger Faktor:

L
U KP
N P
H
AS

Gejala Klinis:
-

-sosial ekonomi yang rendah

Pruritus nokturna,
menyerang manusia secara
berkelompok
Adanya terowongan
Menemukan tungau pd mikroskop

- higiene buruk
-perkembangan dermografik serta ekologi.

Etiologi:

Histopatolgi

Sarcoptes scabiei var hominis

Skabies

Terapi:
1.
2.

Komplikasi:

sulfur prespit at um 4-20%

Infeksi sekunder

Emulsi benzil-benzoas 20-

Limfangit is

25%

sept ikemia

3.

gameksan 1%

4.

Krot amit on 10%

Prognosis:

Baik.

Definisi
5.
Permet rin, dengan kadar 5 %
195

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan infestasi dan sensitasi terhadap sarcoptei
scabei var, hominis dan produknya.
Faktor pencetus
Beberapa faktor dapat menunjang perkembangan penyakit antara lain: sosial ekonomi
yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan

L
U KP
N P
H
AS

diagnosis, perkembangan dermografik serta ekologi.

Etiologi

Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, super

family Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var hominis.

Tungau skabies memiliki empat pasang kaki dengan ukuran 0,3 mm. Oleh karena itu

tidak mudah terlihat tungau dengan mata telanjang, tungau tidak bisa terbang atau melompat.

Secara morfologik merupakan tungau yang kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung

dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata,
ukurannya yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang

jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4
pasang kaki , 2 pasang kaki depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada

betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan pasangan kaki ke tiga berakhir dengan
rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat

Siklus hidup tungau ini terjadi setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi diatas kulit

yaitu 2 minggu setelah tumbuh dewasa, yang jantan akan mati, kadang bisa hidup beberapa hari

dalam terowongan yang di gali oleh betina. Tungau betina yang telah di buahi menggali
terowongan dalam stratum korneum dalam waktu 20 menit, dengan kecepatan 2-3 milimeter

sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari mencapai jumlah 40 atau 50. Tungau
betina ini dapat hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan
menjai larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, namun
dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk , jantan
dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa

196

memerlukan waktu antara 8-12 hari, namun hidup secara keseluruhannya yaitu selama 30-hari
siklus hidup pada epidermis.
Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Penularan dapat terjadi karena bersalaman atau bergandengan
tangan yang lama sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kuman skabies

L
U KP
N P
H
AS

berpindah ke lain tangan, kuman skabies dapat menyebabkan bintil (papul, gelembung berisi air,
vesikel dan kudis) pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi

terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi.

Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul,vesikel, urtikaria
dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.

Gejala klinis

Ada 4 tanda cardinal :

1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini
lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan
yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun

mengalami infestasi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai
pembawa (carrier).

3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau
keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok dengan rata-rata panjang 1 cm, pada ujung

terowongan ini ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya

menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lainlain). Tempat predileksinya biasanya merupakan

tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian

volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong,

197

genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan
telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih
stadium hidup tungau ini.

Pengobatan
1. Belerang endap (sulfur prespitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep dan krim,

L
U KP
N P
H
AS

tidak efektif pada stadium telur. Penggunaanya tidak boleh kurang dari 3 hari. Dapat
dipakai pada bayi berumur 2 tahun

2. Emulsi benzil-benzoas 20-25%, efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam
3 kali. Sering menimbulkan iritasi, kadang semakin gatal bila dipakai

3. Gamma benzena heksa klorida (gameksan), kadarnya 1% dalam krim atau losio,

termasuk obat pilihan karena efektif untuk semua stadium, mudah digunakkan dan jarang

iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak umur di bawah 6 tahun dan wanita hamil
karena dapattoksik terhadap sususnan saraf pusat.

4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio, mempunyai duaefek sebagai antiskabies dan
antigatal.

5. Permetrin, dengan kadar 5 % dalam krim, kurang toksik dibandingkan gameksan,


aplikasinya hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam, bila sembuh diulangi setelah
seminggu. Obat ini tidak dianjurkanpada bayi dibawah umur kurang dari 2 bulan.

Komplikasi

Infeksi sekunder adalah komplikasi yang umum terjadi, dan biasanya respon yang baik

terhadap baik pengobatan topikal atau oral antibiotik, tergantung pada luasnya pioderma.
Namun, limfangitis dan septikemia bisa berkembang, terutama di skabies berkrusta.

Prognosis

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta syarat pengobatan dan

menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat diberantas dan memberikan prognosis
yang baik.

198

Daftar pustaka
1. Stone S,P. Goldfarb J.N . Bacelieri. R.E. Scabies, Other Mites, and Pediculosis In: Wolff k,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine. 7 ed. New York: McGraw-Hill, 2008, p.2067-2070.
2. Handoko R.P. Skabies. In Ilmu penyakit kulit dan Kelamin. Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S,
Editors. 5 ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.p.118-121
3. Daili E.S, Menaldi S.L, Wisnu I.M. scabies. In : penyakit kulit yang umum di Indonesia. Penerbit

L
U KP
N P
H
AS

pt medical multimedia Indonesia. Jakarta. 2005. p. 72.


4. Hicks M.I ,Elston D.M . Scabies. J Dermatologic Therapy, Vol. 22, 2009, 279292.

199

II.

Creeping Eruption

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit creeping eruption.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit creeping eruption.
2. Menjelaskan penyebab dari creeping eruption.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya creeping eruption


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari creeping eruption.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis creeping eruption.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis creeping eruption.


7. Menjelaskan penatalaksanaan creeping eruption
8. Menjelaskan komplikasi creeping eruption.

200

CREEPING ERUPTION
Pat ogenesis:

Definisi:

Nematode hidup dalam hospes, ovum terdapat pada kotoran


binatang dank arena kelembaban berubah menjadi larva yang
mampu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini tinggal di
kulit berjalan jalan sepanjang dermoepidermal, setelah
beberapa jam atau hari akan timbul gejala klinis

Merupakan
kelainan
kulit
dengan
peradangan berbentuk linier atau berkelokkelok, menimbul dan progresif.

L
U KP
N P
H
AS

Triger Faktor:

Gejala Klinis:

- higinitas yang buruk

Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa


larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau
hari. Papul merah ini selanjutnya menjalar seperti benang
berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan
membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa
cm. rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari.

- sering berjalan tanpa alas kaki/ yang


sering berhubungan dengan tanah
- suhu yang lembab.

Histopatolgi

Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma


caninum

Etiologi:

CREEPING ERUPTION

Terapi:
6.

Komplikasi:

Tiabendazole 50 mg/ kg

Prognosis:

Baik.

BB/ hari,sehari 2 kali

7.

Solusio t iabendazole dalam


DM SO

8.

Albendazole , dosis sehari 400

Definisi
mg
9.

C02 snow (dry ice)

10. Ne liquid

201

Definisi
Merupakan kelainan kulit dengan peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul
dan progresif.
Faktor pencetus
Beberapa faktor dapat menunjang perkembangan penyakit antara lain: hyginitas yang buruk
yaitu sering berjalan tanpa alas kaki, atau yang sering berhubungan dengan tanah, dan suhu yang

L
U KP
N P
H
AS

lembab.

Etiologi

Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing yaitu

Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Selain itu dapat pula di sebabkan oleh larva
dari beberapa jenis lalat , misalnya castrophilus dan cattle fly.
Patogenesis

Ancylostoma braziliense adalah penyebab paling umum. Penetrasi larva cacing tambang

pada kulit menghasilkan penyakit serupa termasuk A.Caninum, Uncinaria Stentochepala dan

Bunostomium

phlebotomium (cacing tambang ternak). A. Caninum menyebabkan enteritis

eosinofilik juga sebagai penyakit kulit. Kucing dan anjing adalah host untuk A. ceylanicum dan
A. caninum. Manusia adalah host yang memperoleh parasit dari lingkungan yang terkontaminasi
dengan feses hewan. Larva infektif mungkin tetap viable dalam tanah selama beberapa minggu.

Larva menembus kulit manusia dan bermigrasi sampai beberapa sentimeter sehari, biasanya
antara stratum germinativum dan stratum korneum. Ini menginduksi inflamasi eosinofilik.
Kebanyakan larva mampu menjalani perkembangan lebih lanjut atau untuk menyerang jaringan
yang lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai berbulan-bulan.

Nematode hidup dalam hospes, ovum terdapat pada kotoran binatang dank arena

kelembaban berubah menjadi larva yang mampu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini

tinggal di kulit berjalan jalan sepanjang dermoepidermal, setelah beberapa jam atau hari akan
timbul gejala kulit.

202

Gejala klinis
Waktu dari terpapar untuk timbulnya gejala biasanya beberapa hari ( 1 sampai 6 hari).
Perubahan pada kulit adalahmerupakan Temuan yang paling menonjol. Masuknya larva ke kulit
biasanya disertai dengan rasa gatal dan panas. Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti
bentuk yang khas, yakn I lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter
2-3 mm dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa
larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Papul merah ini selanjutnya

L
U KP
N P
H
AS

menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk

terowngan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam
hari.

Predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong dan paha, juga pada baian

tubuh dimana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada.
Pengobatan
-

Tiabendazole 50 mg/kg BB/hari,sehari 2 kali, dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh
dapat di ulang setelah bebrapa hari.

Solusio tiabendazole dalam DMSO, dengan onklusi 24-48 jam

Albendazole , dosis sehari 400 mg sebagai dosis tunggal, diberikan 3 hari berturut-turut

C02 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 sampai 1, dua hari berturut-turut.

Ne liquid

Prognosis

Prognosis baik , bila higiene di perhatikan

203

Daftar pustaka
1. Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Creeping eruption In:
Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: McGraw-Hill, 2008, p.2061.
2. Aisah S. Creeping eruption. In Ilmu penyakit kulit dan Kelamin. Djuanda A, Hamzah M, Aisyah
S, Editors. 5 ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.p.112-123
3. Daili E.S, Menaldi S.L, Wisnu I.M. scabies. In : penyakit kulit yang umum di Indonesia. Penerbit

L
U KP
N P
H
AS

pt medical multimedia Indonesia. Jakarta. 2005. p. 71.

204

III.

Pedikulosis Kapitis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit pedikulosis kapitis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit pedikulosis kapitis.
2. Menjelaskan penyebab dari pedikulosis kapitis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya pedikulosis kapitis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari pedikulosis kapitis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis pedikulosis kapitis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis pedikulosis kapitis.


7. Menjelaskan penatalaksanaan pedikulosis kapitis.
8. Menjelaskan komplikasi pedikulosis kapitis.

205

PEDIKULOSIS KAPITIS

Pat ogenesis:

Definisi:

Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk


menghilangkan rasa gatal. Gatal tersebut timbul karena
pengaruh liur dan ekskreta dari kutu yang dimasukkan ke
dalam kulit waktu mengisap darah

Merupakan infeksi kulit dan rambut kepala


yang disebabkan oleh pediculus humanus
var. capitis.

Triger Faktor:

L
U KP
N P
H
AS

Gejala Klinis:

- Kondisi higiene yang tidak baik,

gatal, terutama pada daerah oksiput dan temporal serta


dapat meluas ke seluruh kepala, erosi, ekskoriasi, dan
infeksi sekunder seperti pus dan krusta. Bila infeksi
sekundernya berat, rambut akan menggumpal

- jarang membersihkan rambut


- rambut yang relatif susah dibersihkan
(rambut yang sangat panjng pda wanita).

Etiologi:

Histopatolgi

pediculus humanus var. capitis.

PEDIKULOSIS KAPITIS

Terapi:

1.
2.

malathion 0,5% atau 1% dalam


bentuk losio atau spray
benzil benzoate 25%

Komplikasi:

Prognosis:

infeksi sekunder

Baik.

Definisi

206

Merupakan infeksi kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh pediculus humanus var.
capitis.
Faktor pencetus
Kondisi higiene yang tidak baik, misalnya jarang membersihkan rambut atau rambut yang
relative susah dibersihkan (rambut yang sangat panjng pda wanita).

L
U KP
N P
H
AS

Etiologi
pediculus humanus var. capitis.
Patogenesis

seekor kutu dewasa adalah 1 sampai 2 mm, yang memanjang, pipih dorsoventral, dan

bersayap. Kutu memiliki tiga pasang cakar kaki yang telah disesuaikan untuk menangkap rambut
dan dapat melakukan perjalanan hingga 23 cm per menit. Larva kutu, disebut nimfa atau instar,

tampak seperti miniatur kutu dewasa. Seekor kutu dewasa harus mengambil darah sebelum
kopulasi. Seekor

kutu

betina dapat menghasilkan 5 sampai 10 telur sehari selama masa

hidupnya dari 30 hari. kutu biasanya bertahan hidup hanya 1 sampai 2 hari dari kulit kepala,
meskipun di bawah kondisi yang menguntungkan bertahan hidup hingga empat hari jauh dari
kulit kepala .

Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk menghilangkan rasa gatal.

Gatal tersebut timbul karena pengaruh liur dan ekskreta dari kutu yang dimasukkan ke dalam
kulit waktu mengisap darah.
Gejala klinis

Pedikulosis

kapitis

biasanya

terbatas

pada

kulit

kepala

dengan

telur

kutu

paling sering ditemukan di daerah oksipital dan retroauricular. Meskipun pasien dapat tanpa

gejala, namun gejala yang paling umum adalah gatal dengan melihat seringnya anak-anak
menggaruk kepala mereka, terutama pada daerah oksiput dan temporal serta dapat meluas ke
seluruh kepala. Kemudian karena garukkan, terjadi erosi, ekskoriasi, dan infeksi sekunder seperti

pus dan krusta. Bila infeksi sekundernya berat, rambut akan menggumpal disebabkan oleh

207

banyaknya pus dan krusta dan disertai pembesaran kelenjar getah bening regional (oksiput dan
retroaurikuler). Pada keadaan tersebut kepala memberikan bau yang busuk.
Pruritus diyakini hasil dari reaksi hipersensitivitas terhadap air liur diproduksi oleh
seekor kutu dewasa selama makan. Feces dari seekor kutu dewasa juga dianggap berkontribusi.
kadang dapat menjadi krusta hemoragik kecil hal ini menunjukkan bahwa seekor kutu dewasa
telah mengambil makanan berupa darah. Telur kutu hidup di dekat ke kulit kepala karena telur
sangat bergantung pada kehangatan dan kelembaban inkubasi. Dengan demikian jarak telur kutu

L
U KP
N P
H
AS

tersebut dari kulit kepala sepanjang batang rambut adalah bukti durasi kutu
Pengobatan

Pengobatan bertujuan memusnahkan kutu dan telur serta mengobati infeksi sekunder.

Pengobatan terbaik dengan malathion 0,5% atau 1% dalam bentuk losio atau spray. Di

Indonesia, obat yang mudah didapat adalah gameksan % dioleskan dan didiamkan 12 jam lalu

dicuci dan disisir dengan serit. Dapat diulang seminggu kemudian. Pilihan lain adalah emulsi

benzil benzoate 25% dipakai dengan cara yang sama. Pada keadaan infeksi sekunder yang berat
dapat diobati dengan antibiotik sistemik dan topikal.
komplikasi

infeksi sekunder dapat terjadi, terutama karena ekskoriasi


Prognosis

Prognosis baik bila higiene diperhatikan .


Daftar pustaka

1. Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. pediculosis capitis. In:
Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: McGraw-Hill, 2008, p.2071-2073.

2. Handoko R.P. pedikulosisi kapitis. In Ilmu penyakit kulit dan Kelamin. Djuanda A, Hamzah M,
Aisyah S, Editors. 5 ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.p.116-117

3. Daili E.S, Menaldi S.L, Wisnu I.M. scabies. In : penyakit kulit yang umum di Indonesia. Penerbit
pt medical multimedia Indonesia. Jakarta. 2005. p. 73.

208

IV.

Pedikulosis Korporis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit pedikulosis korporis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit pedikulosis korporis.
2. Menjelaskan penyebab dari pedikulosis korporis..

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya pedikulosis korporis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari pedikulosis korporis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis pedikulosis korporis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis pedikulosis korporis.


7. Menjelaskan penatalaksanaan pedikulosis korporis.
8. Menjelaskan komplikasi pedikulosis korporis.

209

PEDIKULOSIS KORPORIS
Pat ogenesis:

Definisi:

Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk


menghilangkan rasa gatal . rasa gatal ini disebabkan
Karena pengaruh liur dan ekskreta ari kutu pada waktu
mengisap darah

Merupakan infeksi kulit yang disebabkan


oleh pediculus humanus var.corporis.
.

L
U KP
N P
H
AS

Triger Faktor:

Gejala Klinis:

Kondisi higiene yang tidak buruk, jarang

kelainan berupa bekas-bekas garukan pada badan, karena


gatal baru berkurang dengan garukan yang lebih intensif,
pembesaran kelenjar getah bening regional.

mandi atau jarang mengganti dan mencuci


pakaian.

Etiologi:

Histopatolgi

pediculus humanus var.corporis.

PEDIKULOSIS
KORPORIS

Terapi:

3.
4.
5.

Krim gameksan 1%

Komplikasi:

Prognosis:

infeksi sekunder

Baik.

Benzyl benzoat e 25% dan


bubuk malat hion 2%
ant ibiot ik sist emik dan t opikal
unt uk infeksi sekunder

210

Definisi
Merupakan infeksi kulit yang disebabkan oleh pediculus humanus var.corporis.
Faktor pencetus
Kondisi higiene yang tidak buruk, jarang mandi atau jarang mengganti dan mencuci pakaian.
Etiologi

L
U KP
N P
H
AS

pediculus humanus var.corporis mempunyai 2 jenis kelamin yaitu jantan dan betina, dengan
ukuran 1,2-4,2 mm dan lebar kira-kira setengah panjangnya, sedangkan yang jantan lebih kecil.
Siklus hidup kutu ini sama dengan yang ditemukan pada kepala.
Patogenesis

Siklus hidup dari tubuh seekor kutu dewasa rata-rata 18 hari, dan selama ini waktu seekor

kutu dewasa betina dapat memproduksi 270 sampai 300 ovum. Kutu biasanya ditularkan oleh

pakaian atau tempat tidur yang terkontaminasi. Tubuh kutu tersebut dapat bertahan hidup di
lapisan pakaian tanpa memakan darah hingga 3 hari. Setelah terpapar, jika tidak mencuci akan
memungkinkan infestasi untuk kutu tersebut bertahan hidup.

Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk menghilangkan rasa gatal .

rasa gatal ini disebabkan Karena pengaruh liur dan ekskreta ari kutu pada waktu mengisap darah.
Gejala klinis

Umumnya hanya di temukan kelainan berupa bekas-bekas garukan pada badan, karena

gatal baru berkurang dengan garukan yang lebih intensif. Kadang-kdang timbul infeksi sekunder
dengan pembesaran kelenjar getah bening regional.

Pengobatan
-

Krim gameksan 1% yang dioleskan tipis di seluruh tubuhdan didiamkan 24 jam, setelah itu
penderita disuruh mandi. Jika masih belum sembuh di ulang 4 hari kemudian.

Benzyl benzoate 25% dan bubuk malathion 2%


211

Pakaian direbus dan disetrika, sehingga dapat membunuh telur dan kutu.

Jika terdapat infeksi sekunder di obati dengan antibiotic secara sistemik dan topical.

Komplikasi
Ekskoriasi dapat menyebabkan infeksi sekunder dengan S. aureus, S. Pyogenes.
Prognosis

L
U KP
N P
H
AS

Prognosis baik dengan menjaga higiene. namun jika tidak di obati pedikulosis korporis dapat
bertahan selama bertahun-tahun

Daftar pustaka

1. Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Pediculosis corporis In:
Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: McGraw-Hill, 2008, p.2073.

2. Handoko R.P. pedikulosis korporis. In Ilmu penyakit kulit dan Kelamin. Djuanda A, Hamzah M,
Aisyah S, Editors. 5 ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.p.117- 118

212

V.

Pedikulosis Pubis

Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang penyebab,
patomekanisme, tanda-tanda/gejala, cara diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan cara pencegahan
penyakit pedikulosis pubis.

L
U KP
N P
H
AS

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat :


1. Menyebutkan tentang penyakit pedikulosis pubis.
2. Menjelaskan penyebab dari pedikulosis pubis.

3. Menjelaskan tentang patomekanisme penyebab terjadinya pedikulosis pubis.


4. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala dari pedikulosis pubis.
5. Menjelaskan diferensial diagnosis pedikulosis pubis.

6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis pedikulosis pubis.


7. Menjelaskan penatalaksanaan pedikulosis pubis.
8. Menjelaskan komplikasi pedikulosis pubis.

213

PEDIKULOSIS (PITHIRIASIS) PUBIS


Patogenesis

Definisi

Pedikulosis pubis memiliki panjang berkisar


0,8-1,2 mm. Dengan memanfaatkan tepi
gerigi pada capit pertama, kutu pubis ini
dapat untuk berkembang hingga 10 cm / hari.

Merupakan infeksi Phthirus pubis pada


rambut di daerah pubis dan sekitarnya

L
U KP
N P
H
AS

Triger Faktor

Gejala Klinis

higiene yang t idak buruk,


jarang mandi

bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau


kebiruan yang disebut sebagai makula
serulae, Black dot

Etiologi

Histopatologi

Phthirus pubis

PEDIKULOSIS

(PHITHIRIASIS) PUBIS

Terapi

Komplikasi

Prognosis

krim gameksan 1% at au benzyl

infeksi sekunder

Baik

benzoat e 25%

214

Definisi
Merupakan infeksi Phthirus pubis pada rambut di daerah pubis dan sekitarnya
Faktor pencetus
Kondisi higiene yang buruk, jarang mandi .
Etiologi

L
U KP
N P
H
AS

Phthirus pubis
Patogenesis

Pedikulosis pubis memiliki panjang berkisar 0,8-1,2 mm. Dengan memanfaatkan tepi

gerigi pada capit pertama, kutu pubis ini dapat untuk berkembang hingga 10 cm / hari. Seekor
kutu dewasa ini paling sering ditemukan di rambut kemaluan, paha, batang, dan daerah perianal

juga dapat terlibat. Kadang-kadang, jenggot, kumis, dan bahkan bulu mata mungkin terlibat.
Infestasi dari bulu mata dan pinggiran kulit kepala terjadi terutama pada anak-anak, mungkin

akibat dari kontak dengan orang tua yang penuh dengan kutu. Kutu pubis memiliki umur 2
minggu, dan selama waktu tersebut kutu betina dapat memproduksi sekitar 25 telur. Seekor
kutu dewasa dapat bertahan hidup jauh dari host manusia hingga 36 jam. Gejala gatal yang
ditimbulkan sama dengan proses pada pedikulosis lainnya .
Gejala klinis

Gejala yang utama adalah gatal di daerh pubis dan di sekitarnya. Gatal ini dapat meluas

sampai ke daerah abdomen dan dada, disitu di jumpai bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau

kebiruan yang disebut sebagai makula serulae. Kutu ini dapat dilihat dengan mata biasa dan

susah untuk dilepaskan karena kepalanya di msukkan ke dalam muara folikel rambut. Gejala

lainnya adalah black dot, yaitu adanya bercak-bercak hitam yang tampak jelas pada celana dalam

berwarna putih yang dilihat oleh penderita pada waktu bangun tidur. Bercak hitam ini merupakan
krusta berasal dari darahsering diinterprestasikkan salah sebagai hematuria. Kadang kadang
terjadi infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah bening regional.

215

Pengobatan
Pengobatannya sama dengan pengobatan pedikulosis korporis, yaitu : krim gameksan 1%
atau benzyl benzoate 25% yang di oleskan dan didiamkan selama 24 jam. Pengobatan di ulangi 4
hari kemudian jika belum sembuh. Sebaiknya rambut kelamin dicukur ,pakaian dalam direbus
atau diseterika, jika memiliki mitra seksual , maka mitra seksual pun harus diperiksa dan diobati
bila perlu.

L
U KP
N P
H
AS

Komplikasi
Ekskoriasi dapat terjadi infeksi sekunder, sehingga dapat menyebabkan limfadenitis lokal dan
demam.

Prognosis

Baik. Namun jika Tidak diobati, pedikulosis pubis dapat bertahan selama bertahun-tahun.
Daftar pustaka

1. Wolff k, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Pediculosis pubis In: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7 ed. New York: McGraw-Hill, 2008, p.2074.

2. Handoko R.P. pedikulosis pubis. In Ilmu penyakit kulit dan Kelamin. Djuanda A, Hamzah M,
Aisyah S, Editors. 5 ed. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.p.118-119

3. Daili E.S, Menaldi S.L, Wisnu I.M. Pedikulosis pubis In : penyakit kulit yang umum di
Indonesia. Penerbit pt medical multimedia Indonesia. Jakarta. 2005. p. 74.

216

Anda mungkin juga menyukai