Anda di halaman 1dari 8

2.

7 Tingkat Manajemen dan Pengambilan Keputusan


2.7.1 Tingkat Manajemen
Akhmad Subkhi dan Mohammad Jauhar (2013: 154) mengatakan bahwa
tingkatan manajemen sering dikelompokkan menjadi:
1. Manajemen Lini Pertama (first-line management). Tingkatan ini dikenal pula
dengan istilah manajemen operasional, merupakan manajemen tingkatan paling
rendah yang bertugas memimpin dan mengawasi karyawan non-manajerial yang
terlibat dalam proses produksi. Mereka sering disebut penyelia (supervisor),
manajer shift, manajer area, manajer kantor, manajer departemen, atau mandor
(foreman).
2. Manajemen Tingkat Menengah (middle management). Tingkatan ini mencakup
semua manajemen yang berada di antara manajemen lini pertama dan
manajemen puncak dan bertugas sebagai penghubung antara keduanya. Jabatan
yang termasuk manajer menengah di antaranya kepala bagian, pemimpin
proyek, manajer pabrik, atau manajer divisi.
3. Manajemen Puncak (top management). Tingkatan ini dikenal pula dengan
istilah executive officer, yang bertugas untuk merencanakan kegiatan dan
strategi perusahaan secara umum dan mengarahkan jalannya perusahaan.
Contoh top management adalah CEO (Chief Executive Officer), CIO (Chief
Information Officer), dan CFO (Chief Financial Officer.
Berikut keterampilan yang harus dimiliki manajer berdasarkan tingkat
manajemennya (Diadaptasi dari Daft, 2003; Dance, 2011; Katz, 1974):

Gambar 2.7.1 Keterampilan Manajer Berdasarkan Tingkat Manajemennya


Manajer tingkat atas (top manager) harus memiliki keterampilan untuk
membuat konsep, ide, dan gagasan demi kemajuan organisasi (conceptual skills).
Gagasan atau ide serta konsep tersebut kemudian haruslah dijabarkan menjadi suatu

1
rencana kegiatan untuk mewujudkan gagasan atau konsepnya itu. Manajer juga
perlu dilengkapi dengan keterampilan berkomunikasi atau keterampilan
berhubungan dengan orang lain, yang disebut juga keterampilan kemanusiaan.
Keterampilan ini pada umumnya merupakan bekal bagi manajer pada tingkat yang
lebih rendah. Keterampilan teknis ini merupakan kemampuan untuk menjalankan
suatu pekerjaan tertentu, misalnya menggunakan program komputer, memperbaiki
mesin, membuat kursi, akuntansi dan lain-lain.
2.7.2 Pengambilan Keputusan
Sutisna (1985) menjelaskan pengambilan keputusan merupakan memilih
tindakan tertentu antara sejumlah tindakan alternatif yang mungkin. Demikian pula
Drummond (1995) berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan usaha
penciptaan kejadian-kejadian dan pembentukan masa depan. Berdasarkan beberapa
teori proses pengambilan keputusan yang telah dikemukan, Gitosudarmo dan Sudita
(1997) merangkumnya dalam proses yang lebih rinci, sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan.
2. Mengidentifikasi persoalan.
3. Mengembangkan berbagai alternatif solusi.
4. Mengevaluasi alternati solusi
5. Melaksanakan keputusan. Jika salah satu alternatif yang terbaik telah dipilih,
keputusan tersebut harus ditetapkan.
6. Evaluasi. Dilakukan agar apa yang diharapkan dari keputusan tersebut
dapat terealisasi. Evaluasi didasarkan atas sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan.

Adapun proses pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:


a) Keputusan Strategis
Keputusan strategis adalah keputusan yang dibuat oleh manajemen atau
pimpinan yang paling tinggi di dalam organisasi. Keputusan strategis biasanya
dapat dugunakan dalam jangka panjang. Keputusan-keputusan strategis yang
diambil dapat mempengaruhi keputusan operasional karena keputusan strategi
juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dan keinginan seseorang yang memiliki
kekuasaan dalam organisasi.
b) Keputusan Taktis
Keputusan taktis adalah keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya seperti keuangan, teknik , dll. Keputusan taktis ini diambil oleh

2
kepemimpinan manajemen menengah. Keputusan taktis cenderung bersifat
jangka pendek dan sering juga mangandung konsekuensi jangka panjang.
c) Keputusan Operasional
Keputusan operasional dapat diambil oleh manajemen bagian bawah.
Keputusan operasional sangat menentukan efektivitas keputusan strategis yang
diambil oleh para pimpinan suatu perusahaan. Keputusan operasional dapat
dilakukan tanpa meminta pendapat dari pimpinan terlebih dahulu.

2.8 Kemitraan dalam Pengelolaan Organisasi


Menurut Mohr dan Spaeakman (1994), kemitraan adalah hubungan strategik yang
secara sengaja dirancan atau dibangun antara perusahaan perusahaan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, manfaat bersama dan saling kebergantungan yang tinggi.
Melalui kemitraan ini kedua perusahaan dapat mengakses teknologi baru atau pasar
baru, kemampuan untuk menawarkan produk atau jasa yang lebih luas, skala ekonomi
dalam riset atau produksi bersama, dan akses terhadap pengetahuan. Unsur unsur
kemitraan adalah sebagai berikut:
1. Adanya hubungan (kerjasama) antara dua pihak atau lebih.
2. Adanya kesetaraan antara pihak pihak tersebut.
3. Adanya keterbukaan atau kepercayaan (trust relationship).
4. Adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan.
Menurut Beryl Levinger dan Jean Mulroy (2004), ada empat jenis atau tipe
kemitraan yaitu:
1. Potential Partnership, pada jenis kemitraan ini pelaku kemitraan saling peduli satu
sama lain tetapi belum bekerja bersama secara lebih dekat.
2. Nascent Partnership, pelaku kemitraan adalah partner tetapi efisiensi kemitraan
tidak maksimal.
3. Complementary partnership, pada kemitraan ini, partner atau mitra memndapat
keuntungan dan pertambahan pengaruh melalui perhatian yang besar pada ruang
lingkup aktivitas yang tetap dan relative terbatas seperti program delivery dan
resource mobilization.
4. Synergistic partnership, kemitraan jenis ini memberikan mitra keuntungan dan
pengaruh dengan masalah pengembangan sistemik melalui penambahan ruang
lingkup aktivitas baru seperti advokasi dan penelitian.

3
Untuk mengetahui keberhasilan kemitraan diperlukan adanya indikator yang
dapat diukur. Dalam penentuan indikator sebaiknya dipahami prinsip prinsip indikator
yaitu spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan tepat waktu. Berikut adalah
idikatornya:
1. Indikator input
Tolak ukur keberhasilan input dapat diukur dari tiga indikator, yaitu: terbentuknya
tim yang ditandai dengan adanya kesepakatan bersama dalam kemitraan, adanya
sumber dana yang memang diperuntukkan bagi pengembangan kemitraan, adanya
dokumen perencanaan yang telah disepakati.
2. Indikator proses
Tolak ukur keberhasilan proses dapat diukur dari indikator sebagai frekuensi dan
kualitas pertemuan tim sesuai kebutuhan. Hasil evaluasi terhadap proses nilai
berhasil, apabila tolak ukur tersebut terbukti adanya yang dilengkapi dengan
agenda pertemuan, daftar hadir dan notulen hasil pertemuan
3. Indikator output
Tolak ukur keberhasilan output dapat diukur dari indikator sebagai berikut: jumlah
kegiatan yang dikerjakan oleh institusi terkait sesuai dengan kesepakatan peran
masing masing institusi. Hasil evaluasi terhadap output dinilai berhasil, apabila
tolak ukur tersebut terbukti ada
4. Indikator outcome
Tolak ukur keberhasilan outcome adalah menurunnya angka permasalahan yang
terjadi.
2.9 Konsep Perilaku dan Budaya Organisasi
2.9.1 Perilaku Organisasi
Perilaku organisasi adalah studi sistematis dan aplikasi yang cermat dari
pengetahuan tentang bagaimana orang-sebagai individu dan sebagai kelompok-
bertindak dalam organisasi. Ini berusaha untuk mengidentifikasi cara-cara di mana
orang dapat bertindak lebih efektif. Perilaku organisasi adalah disiplin ilmu di mana
sejumlah besar studi penelitian dan pengembangan konseptual terus menambah basis
pengetahuannya. Ini juga merupakan ilmu terapan, di mana informasi tentang praktik
efektif dalam satu organisasi diperluas ke banyak organisasi lainnya (Newstrom,
2007).
Menurut Robbins & Judge (2013: 10), Perilaku organisasi adalah bidang studi
yang menyelidiki dampak yang dimiliki individu, kelompok, dan struktur terhadap
perilaku di dalam organisasi, dengan tujuan menerapkan pengetahuan tersebut untuk

4
meningkatkan efektivitas organisasi. Kajian perilaku organisasi berfokus pada tiga
tingkat analisis yaitu :
1. Analisis tingkat individual. Mengkaji berbagai faktor pribadi yang menentukan
dan mendasari perilaku seseorang dalam bekerja mencapai tujuan organisasi.
Faktor pribadi meliputi: ciri biografis, kepribadian, sikap, persepsi, motivasi.
2. Analisis tingkat kelompok. Mengkaji berbagai faktor proses kelompok yang
menentukan dan mendasari perilaku kelompok dan interaksi individual dalam
bekerja mencapai tujuan organisasi. Faktor proses kelompok ini diantaranya
meliputi : pembentukan kelompok dan tim kerja, kepemimpinan, komunikasi,
konflik serta kekuasaan dan politik.
3. Analisis tingkat organisasional. Mengkaji berbagai faktor proses keorganisasian
yang menentukan dan mendasari perilaku individual dan perilaku kelompok
serta interaksinya dalam bekerja mencapai tujuan organisasi. Faktor proses
keorganisasian ini meliputi : rancangan struktur organisasi, budaya organisasi,
praktek manajemen sumber daya manusia dan perubahan organisasi.
Tujuan Prilaku Organisasi Robbins dan Judge (2013: 25):
1. Meningkatkan keahlian individu
2. Pemberdayaan karyawan/ anggota organisasi
3. Sebagai stimulus untuk inovasi dan perubahan
4. Memperluas jaringan organisasi
5. Membantu karyawan menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan
kehidupan kerja
6. Meningkatkan prilaku positif sesuai dengan etika organisasi dan etika
2.9.2 Budaya Organisasi
Menurut Edgar Shein dalam Luthan, (2011: 72), Budaya organisasi sebagai
pola asumsi dasar - diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh kelompok
tertentu karena ia belajar mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal
- yang telah bekerja cukup baik untuk dianggap bernilai dan oleh karena itu
diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami,
memikirkan, dan merasakan sehubungan dengan masalah tersebut. Budaya
organisasi adalah bidang studi yang menyelidiki dampak individu, kelompok, dan
struktur terhadap perilaku dalam organisasi, dengan tujuan menerapkan pengetahuan
tersebut untuk meningkatkan efektivitas organisasi.(Robbins and Judge, 2017).

5
Robbins dan Judge (2013:516) mengemukakan lima fungsi budaya dalam
organisasi, yaitu:
1. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan lain.
2. Budaya memberikan rasa identitas ke anggota-anggota organisasi.
3. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu daripada kepentingan
diri pribadi seseorang.
4. Budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial.
5. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme
pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Luthans (2013:72), mengatakan budaya organisasi memiliki sejumlah
karakteristik penting sebagai berikut :
1. Keteraturan perilaku yang teramati. Ketika peserta organisasi berinteraksi
dengan orang lain berhubungan dengan rasa hormat dan sopan.
2. Norma. Beerupa standar perilaku
3. Nilai dominan. Ada beberapa nilai utama yang dianjurkan oleh organisasi
contoh tipikal adalah kualitas produk yang tinggi, dan low absenteism.
4. Filsafat. Ada kebijakan yang mengemukakan keyakinan organisasi tentang
bagaimana caranya karyawan dan/atau pelanggan harus diperlakukan.
5. Aturan. Ada pedoman ketat terkait untuk bergaul dalam organisasi.
6. Iklim organisasi. Ini adalah keseluruhan "perasaan" yang disampaikan secara
fisik, tata letak, cara peserta berinteraksi, dan cara anggota organisasi
melakukan diri mereka dengan pelanggan atau orang lain.
Cameron dan Quinn (1999) telah membedakan empat jenis budaya organisasi
berdasarkan kerangka nilai bersaing, yaitu : 1) the clan culture, 2) the adhocracy
culture, 3) the market culture dan 4) the hierarchy culture. Organisasi dengan budaya
“clan” (kelompok keluarga besar) memiliki karakteristik kerja tim, program
keterlibatan pegawai, dan komitmen korporat kepada para pegawai. Organisasi
dengan budaya “adhocracy” (sementara) mendorong para pegawai untuk inovatif,
kreatif, mengambil resiko dan mengantisipasi masa depan. Tugas utama manajemen
adalah membantu atau memupuk perkembangan kewirausahaan dan kreativitas.
Organisasi dengan budaya “market” (pasar) memiliki fokus utamanya pada
transakasi dengan konstituan eksternal (seperti pemasok, pelanggan, pemegang
lisensi, pemerintah dan lain-lain) untuk menciptakan keuanggulan kompetitif.
Organisasi dengan budaya ”hierarchy” (tingkatan kewenangan) memiliki ciri

6
formalisasi dan terstruktur untuk bekerja. Garis wewenang pengambilan keputusan
yang jelas, peraturan dan prosedur standar.
Robbins dan Judge (2013: 519) mengatakan terdapat tiga hal yang berperan
penting dalam mempertahankan budaya organisasi :
1. Kecocokan karyawan dengan nilai-nilai budaya organisasi perusahaan.
2. Tindakan dan perilaku manajemen puncak sangat berpengaruh terhadap budaya
organisasi. Para bawahan dan eksekutif senior menjadikan manajemen puncak
sebagai standard dan acuan dalam mereka berperilaku dalam organisasi serta
memantapkan norma-norma yang terkait.
3. Perusahaan wajib memberikan sosialisasi dan doktrinisasi kepada karyawan
lama ataupun karyawan baru.

7
DAFTAR PUSTAKA

Newstrom, J.W., 2007. Organizational behavior: Human Behavior at Work, 12th ed.
McGraw-Hill Irwin, New York.
Robbins, P, Stephen. Judge, A, Timothy. 2011. Organizational Behavior, Prentice Hall, New
Jersey
Robbins, P, Stephen. 2011. Organizational Behavior, Prentice Hall, Pearson
Tewel Bernhard.2017. Prilaku Organisasi. CV Patra Media Grafindo Bandung

Anda mungkin juga menyukai