Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ERYTHEMA NODOSUM LEPROSUM

Di Susun Oleh

DORKAS MAKDALENA BEAY

7120411807

CI LAHAN CI INSTITUSI

(................................) (.................................)

PROGRAM STUDO PROFESI NERS

STIK FAMIKA MAKASSAR 2022


LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR ERYTHEMA NODOSUM LEPROSUL


1. Pengertian
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratosius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Djuanda
Adhi, 2010)
Eritema Nodusum Leprosum (ENL), gejala utama dari reaksi tipe-2
pada kusta, di sebabkan oleh respon imun humoral untuk myobacterium
leprae. Raksi ENL merupakan respon imunologi humoral pada kusta yang
mengarah ke nodul kulit inflamasi yang dapat menyebabkan kerusakan
saraf dan organ, dan dapat terjadi tahun setelah pengobatan antibiotik.
(Voorend CGN, 2013)

2. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah mycobacterium leprae yang
merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat intraseluler, yang
ditemukan oleh G. A Hansen. Cara penularan yang pasti belum diketahui,
tetapi menurut sebagian ahli, kusta menular melalui saluran pernapasan
(inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak
perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain :
a. Patogenitas kuman penyebab
b. Cara penularan
c. Hygiene dan sanitasi
d. Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan
e. Sumber penularan
f. Daya tahan tubuh
3. Klasifikasi
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi multibasiler dan paulibasiler.
a. Multibasiler (MB) = Berarti mengandung banyak basil. Tipenya adalah
BB, BL, dan LL
b. Pausibasiler (PB) = Berarti mengandung sedikit basil. Tipenya adalah
TT, BT, dan I

4. Manifestasi klinik
a. Bercak kulit berbentuk seperti koin dimana pada tempat bercak tersebut
hilangnya atau berkurangnya kemampuan untuk merasakan sensasi
sentuhan, nyeri, panas atau dingin (mati rasa)
b. Hilangnya kemampuan saraf yang terkena infeksi untuk merasakan
sensasi di kulit
c. Lemas dan kelemahan otot
d. Berubahnya kulit menjadi lebih tebal (pada kusta lanjut)
e. Kulit kering
f. Mengalami demam atau panas tinggi
g. Mengalami kerontokan pada alis rambut

5. Patofisiologi
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum
diketahui secara pasti.Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penularannya yang paling sering melalui kulit yang lecet, pada bagian
tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.Setelah
mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah
masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas seluler
(cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas seluler tinggi,
berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berarti
berkembang ke arah lepromatosa.Mycrobacterium leprae berpredileksi di
daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasiyang sedikit. Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada
sel makrofag  disekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel
Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk ke dalam tubuh, maka tubuh
akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagosit.
a. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang
rendah dimana makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan
dapat membelah diri dan dengan bebas merusak jaringan
b. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana
makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman
difagositosis, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian
bersatu membentuk sel, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitar.
Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler
mendadak, sehingga respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae
yang mati dapat meningkat.Keadaan ini ditunjukkan dengan peningkatan
transformasi limfosit.Tetapi sampai sekarang belum diketahui dengan pasti
antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian patologis tersebut dapat
terjadi.Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta
pada tiap penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat
berbeda pula sekalipun tipe lepra sebelum reaksi sama. Determinan
antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan saraf.Derajat penyakit tidak
selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap
pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
daripada intensitas infeksi.Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologis.

6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan
tingkat kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala
sisa.Tingkat keberhasilan terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini
dideteksi dan ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan :
a. Gambaran klinik
Gejala klinik tersebut diantara lain :
1) Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak.
2) Nyeri, dan terdapat pembesaran saraf tepi.
3) Adanya tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik
maupun motorik.
4) Demam dan malaise.
5) Kedua tangan dan kaki membengkak.
6) Munculnya lesi-lesi baru pada kulit.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis adalah sebagai berikut:
1) Laboratorium :
a) Darah rutin: tidak ada kelainan
b) Bakteriologi:
2) Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit
yang meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi
makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi
gambaran sel langerhans.Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis
(kematian jaringan) didalam granulosum.Dimana penyembuhannya
ditandai dengan fibrosis.

7. Penatalaksanaan
a. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Jenis-jenis obat kusta:


1) obat primer : dapsone, clofasimin, rifampisin, etionamide,
prothionamide.
2) obat sekunder: INH, streptomycine
Dosis menurut rekomendasi WHO :
1) Kusta Paubacillary (tipe I, BT, TT)
 Dapsone : 1 x 100 mg tiap hari
 Rifampisin : 1 x 600 mg tiap bulan
Ket: Pengobatan harus diberikan 6 bulan berturut-turut atau 6
dosis dalam 9 bulan dan diawasi selam 2 tahun.
2) Kusta Multibacillary (tipe BB, BL, LL)
 Dapsone : 1 x 100 mg tiap bulan
 Rifampisin : 1 x 600 mg tiap hari
 Clofazimine : 1 x 300 mg tiap bulan (hari pertama) kemudian
dilajutkan dengan 1 x 50 mg/hari
Ket : Pengobatan 24 bulan berturut-turut dan diawasi ± 5 tahun
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

b. Terapi Umum
1) Biasakan hidup bersih dan sehat dan tidak lupa untuk selalu cuci
tangan sebelum dan sesudah beraktivitas
2) Makan-makanan yang bergizi seimbang
3) Hindari penularan melalui handuk, pisau cukur, sabun mandi yang
digunakan secara bersamaan
4) Menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua
penderita
8. Phatway
B. Konsep DasarKeperawatan
1. Pengkajian
a) Biodata
Kaji secara lengkap tentang umur, penyakit kusta dapat menyerang
semua usia, jenis kelamin; rasio pria dan wanita 2,3:1,0. Paling sering
terjadi pada daerah dengan sosial-strip ekonomi yang rendah dan
insidennya meningkat pada daerah tropis atau sub tropis. Kaji pula
secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial-
ekonomi, resiko trauma pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan
penderita kusta.
b) Keluhan Utama
Pasien sering datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan
keluhan adanya bercak putih yang tidak terasa atau datang dengan
keluhan kontraktur pada jari-jari.
c) Riwayat Penyakit sekarang
Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi atau
kontraktur tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya, dan
bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan
lainnya. Pada beberapa kasus, ditemukan keluhan, gatal, nyeri, panas
atau rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah menjalani pemeriksaan
laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien pernah
menderita penyakit tersebut sebelumnya. Pernahkah klien memakai
obat kulit yang dioles atau diminum? pada beberapa kasus, reaksi obat
juga dapat menimbulkan perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang
lain. Perlu juga ditanyakan apakah keluhan ini pertama kali dirasakan.
Jika sudah, obat apa yang diminum? Teratur atau tidak?
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Salah satu faktor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan tubuh
yang menurun. Akibatnya, M. Leprae dapat masuk ke daam tubuh. Oleh
karena itu, perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau penyakit lain
yang pernah diderita
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit kusta bukan penyakit turunan, tetapi jika anggota keluarga
atau tetangga menderita penyakit kusta, risiko tinggi tertular sangat
mungkin terjadi. Perlu dikaji adakah anggita keluarga lain yangmenderita
atau memiliki keluhan yang sama, baik yang masih hidup maupun sudah
meninggal.

f) Riwayat Psikososial
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan menjijikan.
Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang ditimbulkan.
Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana konsep diri klien dan respons
masyarakat di sekitar klien.
g) Kebiasaan Sehari-hari
Pada saat melakukan anamnesis tentang pola kebiasaan sehari-
hari, perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan / nutrisi klien. Hal ini
sangat penting karena faktor gizi berkaitan erat dengan sistem imun.
Apabila sudah ada deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan
kemampuan klien dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dapat
terganggu.
h) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus Hansen Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1) Sistem Penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.Pada morbus hansen tipe
II reaksi berat, jika terjadiperadangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alismata akan rontok.
2) Sistem syaraf
a) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/ mati rasa. Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan
dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip
b) Kerusakan fungsi motoric
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/
lumpuh dan lama- lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan
akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).
c) Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
3) System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik ,adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
4) System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2. Diagnosa Keperawatan
a) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier
kulit.
b) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi ENL
c) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang
tidak baik.
d) Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit,
pertahanan tubuh menurun
e) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya imformasi
terhadap perawatan kulit.
f) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta : EGC.

http://scholar.unand.ac.id/13149/2/BAB%20I.pdf#targetText=Eritema%20Nodosum
%20Leprosum%20(ENL)%20adalah,komplek%20(Fitness%2C2002). Diakses pada tanggal 18
September 2019

https://www.academia.edu/31530741/ASKEP_LEPRA Diakses pada tanggal 18 September 2019

Loetfia Dwi Rahariyani ; editor, Eka Anisa Mardella, Monica Ester. 2012. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2012. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. Nanda.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Jogjakarta: Mediaction.

Price, Sylvia. 2011. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Psoses Penyakit Edisi 6.Jakarta : EGC

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2013. Kusta. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

Voorend CGN, post EB. A. Systematic Review on the Epidemological data of Erythema Nodosum
Leprosum a Type 2 Leprosy Reaction, vinetz JM, editor. PloS Negl Trop Dis.2013 Oct
3;7(10):e2440.

Anda mungkin juga menyukai