Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Sistem Imunologi Lepra (Kusta)

KELOMPOK
Ayu Angger Putri M.S. 1090951
Niar Royyani 1100089
Elisa Setya Iswati 1100090
Asia Astriana 1100091
Cahya Wulandari 1100043
Widiawati Astutik 1100136
Siti Ani Sadiyah R. 1100116
Nozella Nindya P. 1100119
Gilang Mahaztra 1100042

FAKULTAS FARMASI 2011


UNIVERSITAS SURABAYA
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lepra merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intrasellular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan saraf pusat.

Lepra adalah penyakit menular kronik yang berkembang lambat, disebabkan oleh
Mycobacterium leprae dan ditandai dengan pembentukan lesi granulomatosa atau
neurotropik pada kulit, selaput lendir, saraf, tulang, dan organ-organ dalam.
Manifestasinya berupa gejala-gejala klinis dengan spektrum luas, yang terdiri dari dua
tipe utama, dengan jenis lepromatous pada ujung spektrum dan tuberkuloid di ujung yang
lain: diantara dua tipe ini terdapat tipeborderline, dengan dua sub tipe, borderline
tuberkuloid dan borderlinelepromatous atau disebut juga Hansen’s disease.

Penderita lepra tersebar di seluruh dunia. Jumlah yang tercatat 888.340 orang pada
tahun 1997. Sebenarnya kapan penyakit lepra ini mulai bertumbuh tidak dapat diketahui
dengan pasti, tetapi ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia Tengah kemudian
menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di Indonesia tercatat 33.739 orang
penderita lepra. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India
dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.

ETIOLOGI
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan oleh warganegara
Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sampai sekarang belum dapat
dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan
ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat Gram positif.
Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel
saraf (Schwan cell) dan sistem retikulo endotelial.

Gambaran Imunologi Penyakit Kusta


Imunitas terdapat dalam bentuk alamiah (non spesifik) dan didapat (spesifik).
Imunitas alamiah tergantung pada berbagai keadaan struktural jaringan dan cairan tubuh,
tidak oleh stimulasi antigen asing. Imunitas di dapat tergantung pada kontak antara sel-sel
imun dengan antigen yang bukan merupakan unsur dari jaringan host sendiri. Imunitas
didapat ada dua jenis yaitu humoral dan seluler. Imunitas humoral didasarkan oleh kinerja
gamma globulin serum yang disebut antibodi (imunoglobulin). Imunoglobulin disintesis
oleh leukosit yaitu limphosit B. Imunitas seluler berdasarkan kerja kelompok limphosit
yaitu limfosit T dan makrofag. Pada penyakit kusta, kekebalan dipengaruhi oleh respon
imun seluler (cell mediated immunity / CMI). Variasi atau tipe dalam penyakit kusta
disebabkan oleh variasi dalam kesempurnaan imunitas seluler. Bila seseorang mempunyai
imunitas seluler yang sempurna, tidak akan menderita penyakit kusta walaupun terpapar
Mycobacterium leprae. Orang yang tidak mempunyai imunitas seluler sempurna, bila
menderita kusta akan mendapat salah satu tipe penyakit kusta . Penderita yang
mempunyai imunitas seluler cukup tinggi akan mendapat kusta tipe Tuberkoloid.

Mekanisme Sistem Imunitas Lepra


M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon
imun yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas
infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama,
serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksi
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting
Cell). TCR terikat oleh antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh
molekul MHC pada permukaan APC Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi sel T
sehingga sel T akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan
membantu differensiasi sel T menjadi Th1.
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan
dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis)
dan proliferasi sel B. Selain itu,IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD 8+. Di dalam
fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh
anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi.
Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factor akan terus dihasilkan
dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan
sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar dan membentuk sel gian,
sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epiteloid ini
akan membentuk granuloma.
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 5
akan merusak jaringan. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG dan IgE. IL
5 bertangungjwab atas terjadinya aliran masuk eusinofil pada reaksi fase lambat terhadap
paparan alergen pada rinitis alergi dan asma atopik.

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan
dengan Th1.
Klasifikasi Kusta
Dikenal beberapa jenis klasifikasi kusta, yang sebagian besar di dasarkan pada tingkat
kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Beberapa klasifikasi kusta di
antaranya adalah :
a. Klasifikasi Madrid (1953)
Pada klasifikasi kusta ini penderita kusta di tempatkan pada dua kutub, satu kutub
terdapat kusta tipe tuberculoid (T) dan kutub lain tipe lepromatous (L) . Diantara kedua
tipe ini ada tipe tengah yaitu tipe borderline (B).

b. Klasifikasi Ridley Jopling (1962)


Berdasarkan gambaran imunologis, Ridley dan Jopling membagi tipe kusta menjadi 6
kelas yaitu : intermediate (I), tuberculoidtuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT),
borderlineborderline (BB), borderline lepromatous (BT) dan lepromatous – lepromatous
(LL).

c. Klasifikasi WHO ( 1997 )


Pada pertengahan tahun 1997 WHO Expert Committee menganjurkan klasifikasi kusta
menjadi pausi basiler (PB) lesi tunggal, pausi basiler (PB lesi 2-5) dan multi basiler
(MB). Sekarang untuk pengobatan PB lesi tunggal disamakan dengan PB lesi 2-5. Sesuai
dengan jenis regimen MDT (multi drug therapy) maka penyakit kusta dibagi dalam 2
tipe, yaitu tipe PB dan MB. Klasifikasi WHO (1997) inilah yang diterapkan dalam
program pemberantasan penyakit kusta di Indonesia. 4 Penentuan klasifikasi atau tipe
kusta selengkapnya seperti tabel di bawah ini :

Tabel 4 Penentuan klasifikasi atau tipe kusta


Tanda utama PB MB
Jumlah Lesi 1,5 Lebih dari 5
Penebalan saraf yg disertai Hanya 1 syaraf Lebih dari 1 syaraf
gangguan fungsi
Sediaan Apus BTA positif BTA negatif

Klasifikasi Secara umum :


Lepra tuberkuloid
Lepra tuberkuloid dini sering dimanifestasikan sebagai suatu makula hipopigmentasi,
berbatas jelas dan hipestesi. Kemudian lesi menjadi lebih besar, serta pinggirnya
menonjol dan circirnata atau girata. Terdapat penyebaran ke perifer dan penyembuhan di
bagian tengah. Lesi yang berkembang penuh akan anestesi penuh dan telah kehilangan
organ kulit yang normal (kelenjar keringat dan folikel rambut).
Lesi kelihatannya tunggal atau jumlahnya sedikit dan tidak simetris. Keterlibatan
saraf terjadi dini, dan saraf superfisial yang datang dari lesi ini mungkin membesar. Saraf
perifer yang membesar (khususnya nervus ulnaris, dapa)t diraba dan terlihat membesar,
peroneus, dan auricularis magnus), terutama yang sangat dekat dengan lesi kulit.
Mungkin terdapat nyeri neuritik hebat.
Keterlibatan saraf mengakibatkan atrofi otot, khususnya pada otot-otot kecil tangan.
Kontraktur pada tangan dan kaki sering terjadi. Trauma, khususnya akibat luka bakar dan
serpihan serta akibat tekanan yang berlebihan, mengakibatkan infeksi sekunder pada
tangan dan tukak pelantaris. Selanjutnya, sering ditunggangi resopsi dan kehilangan jari-
jari. Bila nervus fasialis terserang, mungkin terdapat lagoftalmus, keratitis, terpapar dan
ulkus cornea yang mengakibatkan kebutaan.

Lepromatosa Leprosy
Lesi-lesi kulit adalah makula, nodulus, plak atau papula. Sering makula
hipopigmentasi. Pinggir lesi tidak jelas, di tengah lesi yang menonjol berindurasi dan
konveks ( bukannya konkaf pada penyakit tuberkuloid). Juga terdapat infiltrasi difus di
antara lesi. Tempat predileksinya pada wajah ( pipi, hidung, alis), telinga, pergelangan
tangan, siku, bokong dan tumit. Keterlibatan dengan infiltrasi serta sedikit atau tanpa
nodulasi dapat berkembang begitu samar, sehingga penyakit ini berlanjut tanpa disadari.
Lazim terjadi hilangnya alis mata, khususnya pada bagian lateral. Lebih lanjut kulit wajah
dan dahi menebal dan berombak ( fasies leonina ), serta daun telinga pendulosa.
Gejala hidung (hidung tersumbat, epistaksis dan napas yang tersumbat) lazim
merupakan gejala dini. Obstruksi hidung total, laringitis dan suara serak begitu sering
ditemukan. Perforasi septum nasi dan hidung yang kolaps mengakibatkan hidung pelana.
Invasi bagian anterior mata menyebabkan keratitis dan iridosiklitis timbul limfa denopati
inguinalis dan axillaris tak nyeri. Pada pria dewasa, infiltrasi dan pembentukan parut
testis menyebabkan sterilitas. Lazim ginekomastia.
Keterlibatan trunkus saraf yang besar kurang menonjol dalam bentuk lepromatosa,
tetapi hiperestesia difus yang melibatkan bagian perifer ekstremitas lazim ditemukan
dalam penyakit yang lanjut.

Lepra borderline
Lesi kulit lepra tuberkuloid ‘Borderline’ umumnya menyerupai penyakit tuberkuloid,
tetapi lebih banyak dan mempunyai batas yang lebih kurang tegas. Keterlibatan badan
saraf tetapi majemuk lebih lazim dari pada dalam penyakit tuberkuloid polar.
Penimgkatan variabelitas penampilan lesi kulit akan khas bagi lepra ‘borderline’ (kadang-
kadang dinamai sebagai lepra “dimorfik” ). Papula dan plak bisa ada bersamaan dengan
besi makula. Anestesi kurang menonjol dibandingkan penyakit tuberkuloid. Penyakit
lepromatosa ‘borderline’ ditandai oleh lesi kulit relatif simetris dan sangat heterogen.
Lobus telinga bisa agak menebal, tetapi alis mata dan daerah hidung terlindung.

GEJALA KLINIS
Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada :

 multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae

 respons imun penderita terhadap kuman M. Leprae

 komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf,
dan membran mukosa.8 Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi
'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen
multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). Penilaian untuk tanda-tanda
fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata.
Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula
hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang
pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi
hipoesthetik. Lesi pada bokong sering sebagai indikasi tipe borderline.
Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra:
 Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi
neuropathy motorik murni dapat juga muncul.
 Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan
peroneal yang lebih sering terlibat
 Neuropathy perifer simetris dapat juga timbul
Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:
 Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang
menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya
kerusakan motoris dan sensoris.
 Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang
diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot
menyusul kelemahan otot)
 Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia
dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf
memendek atau diregangkan
 Lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya
sensoris.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang
terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau
bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.

PENGOBATAN LEPRA

Rifampisin

Rifampisin adalah derivat semisetetik rifamisin B yaitu salah satu kelompok


antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Rifampisin merupakan obat yang sangat
efektif untuk pegobatan tuberkolosis dan sering digunakan bersama isoniazid untuk terapi
tuberkolosis jangka pendek. Efek sampingnya beraneka ragam, tetapi insidensnya rendah
dan jarang sampai menghentikan terapi.

 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja rifampisin dengan jalan menghambat kerja enzim DNA-dependent


RNA polymerase yang mengakibatkan sintesa RNA mikroorganisme dihambat.
Rifampisin memiliki aktivitas sprektum luas terutama pada infeksi mycobactreiium
tuberculosis dan mycobacterium leprae. Untuk mempercepat penyembuhan dan
mencegah resistensi kuman selama pengobatan, rifampisina sebaiknya dikombinasikan
dengan antituberkulosis lain seperti INH atau Etambutol. Resistensi pada penggunaan
rifampisin terjadi apabila terjadi mutasi pada enzim DNA-RNA polimerase.

Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram negatif.
Terhadap kuman gram positif kerjanya tidak sekuat penisilin G, tetapi sedikit lebih kuat
dari eritomisin, linkomisin dan sefalotin. Terhadap kuma gram negatif kerjanya lebih

lemah dari tetrasiklin, kanamisin.

Dapson (Sulfon)

Golongan sulfon merupakan derivate 4-4- diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang
memiliki dapson dan sulfokson yang bermanfaat.

 Mekanisme Kerja

Obat ini bekerj dengan menghambat sintesis asam folat. Dapson bersifat
bakteriostatika dan bakterisid terhadap Mycobacterium leprae. Obat ini juga digunakan
untuk pengobatan pneumonia pada penderita AIDS.
Mekanisme kerja sulfon sama dengan sulfonamide. Kedua golongan obat ini
mempunyai spectrum antibakteri yang sama, dan dapat di hambat aktivitasnya oleh
PABA secara bersaing.

Klofazimin (lamprene)

Obat ini merupakan suatu fenazin berbentuk bubuk berwarna coklat kemerahan ,
tidak larut dalam air, dan larut dalam asam lemak. Obat ini bersifat bekterisid dan
mempunyai efek anti inflamasi. Klofazimin merupakan obat alternatif terhafdap dapson
bila ditemukan M.leprae yang resisiten dan dulu digunakan untuk pengobatan infeksi
M.avium pada AIDS.Selain itu efeknya juga sebagai anti radang, mencegah
berkembangnya eritema nodusum lepromatous (ENL), mengobati ulkus kronis pada kulit.
Digunakan sebagai kombinasi untuk pengobatal lepra.

 Mekanisme Kerja

Cara kerjanya tidak diketahui secara pasti cuma diduga mempengaruhi peningkatan
DNA sehingga mempengaruhi pertumbuhan mikrobakterium.
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan
klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologi yang belum jelas itu
akan diterangkan secara imunologik.1
Reaksi ini terbagi atas dua bentuk, yaitu reaksi tipe 1 (reaksi reversal) dan reaksi tipe
2 (ENL). Reaksi tipe 1 dapat ditandai oleh adanya neuritis akut dan atau inflamasi akut
pada kulit. Reaksi ini disebabkan oleh peningkatan respon CMI terdahap M. leprae yang
melibatkan sistem imunologi seluler. Umumnya dijumpai pada penderita kusta tipe non
polar yaitu Borderline Tuberculoid (BT), Borderline Borderline (BB), dan Borderline
Lepromatosa (BL). Gejala klinis reaksi reversal adalah umumnya sebagian atau seluruh
lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi yang baru dalam waktu relatif
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi menjadi makin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat dan lesi lama bertambah luas. Adanya neuritis
akut penting diperhatikan karena sangat menentukan pemberian kortikosteroid.15
Sedangkan reaksi tipe 2 (ENL) melibatkan sistem imunologi humoral, terutama
timbul pada tipe Lepromatosa polar dan dapat juga pada BL, berarti makin tinggi tingkat
multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya ENL.10
Secara imunopatologis ENL berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara
antigen M. leprae + antibodi (IgG, IgM) +komplemenkompleks imun. Hal ini dapat
terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur berarti banyak
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem
koplemen. Pada kulit akan timbul gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan
gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut.1
DAFTAR PUSTAKA

 Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007; 73-88.

 Amiruddin, M Dali. Marwali Harahap. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit


Hipokrates 2000; 260-271.

 Kosasih, A, Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin, Kusta, FK-UI, 1988.

 Murray, Rose Ann dkk. Mycobacterium leprae inhibits Dendritic Cell Activation
and Maturation. Available at : www.jimmunol.org . Cited on March 19th, 2011

 Sridharan R, Lorenzo NZ. Neurophaty of Leprosy. 2007. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview Cited on March 19th,
2011

 Rooitt, ivan.Essensial Immunologi.edisi 8

 Lewis Felisa S, Conologue T, Harrop E. Leprosy : mycobacterial infection. 2008.


Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview Cited on
March 19th, 2011

 Sridharan R, Lorenzo NZ. Leprosy : Neurological infection. 2007. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/1165419-overview Cited on March 19th,
2011
Pertayaan Presentasi Kusta

1. Meylinda (1100030)
Kenapa poliferasi sel B menghasilkan CTL dan CD8+, dan kenapa terjadi lepra di
growth hormone?

2. Try Novia I.M (1100937)


Apa fungsi dari pengaktifan growth factor?

Anda mungkin juga menyukai