A. Pengertian Kusta
B. Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (sering disebut hansen),
ditemukan oleh GH. A. Hansen (Norwegia) tahun 1987. Mycobacterium leprae
bersifat tahan asam, bentuk batang, ukuran panjang 1-2 mikron, lebar 0.2-0.5
mikron. Hidup dalam jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat ditumbuhkan
dalam media muatan. Mycobacterium merupakan parasit obligat intraselular
V terutama pada makrofag disekitar pembuluh darah superfisial yang
terletak pada dermis atau sel schwan di jaringan saraf.
Faktor resiko tinggi seseorang terkena kusta adalah sebagai berikut;
a. Mereka yang tinggal di daerah endemik edengan kondisi yang buruk seperti
tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi buruk, dan
adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
b. Jenis kelamin, pria memiliki tingkar terkena kusta dua kali lebih tinggi dari
wanita.
c. Umur, Kusta diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun), namun yang terbanyak adalah pada umur
muda dan produktif. Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang oleh
Tarusaraya dkk (1996), dinyatakan bahwa dari 1153 responden diperoleh hasil
bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif 19-55 tahun (76,1%).
d. Penyakit kusta kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas
dan lembap, kemungkinan karena perkembangbiakan bakteri sesuai dengan
iklim tersebut.
e. Faktor kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.
C. Patofisiologi Kusta
Masuknya Mycobacterium leprae sering melalui kulit yang lecet dan mukosa
nasal. Mycobacterium leprae masuk lewat kulit tergantung pada faktor imunitas
seseorang. Bakteri masuk ke dalam tubuh, selanjutnya tubuh bereaksi mengeluarkan
makrofag (berasal dari sel monosit, darah, sel mononuklear, histiosit). Apabila
sistem imun seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra dalam
mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau
menimbulkan lepra dengan tipe Paucibasiler (PB). Apabila SIS rendah, maka
makrofag tidak dapat menghancurkan basil sehingga infeksi menyebar tidak
terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasiler (MB). Sel Schwan pada
jaringan saraf merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium leprae,
berfungsi sebagai eliminator dan sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Gangguan
imunitas tubuh dalam sel Schwan, mengakibatkan bakteri bermigrasi dan
beraktivasi, akibatnya regenerasi sel saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf
yang progresif.
D. Tanda Gejala Kusta
Ada tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang meliputi;
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer (sensorik, motorik, autonom)
3. Ditemukan Mycobacterium leprae
Diganosis klinis dari penyakit kusta menurut WHO sebagai berikut;
1. Tipe Paucibasiler (PB)
a. Lesi kulit (makula datar, papula yang meninggi, nodus)
Terdapat 1-5 lesi, hipopigmentasi/eritema, distribusi tidak simetris,
hilangnya sensasi yang jelas.
b. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang terkena), hanya satu cabang saraf.
2. Tipe Multibasiler (MB)
a. Lesi kulit (makula datar, papula yang meninggi, nodus)
Terdapat lebih dari 5 lesi, distribusi lebih simetris, hilangnya sensari yang
kurang jelas.
b. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang terkena), banyak cabang saraf tepi yang terkena
kelainan.
Obat diminum didepan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil tidak
diberikan ROM. Pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT (Released
From Treatment = berhenti minum obat kusta). Dalam program ROM yang tidak
dipergunakan, penderita satu lesi diobati denga regimen selama 6 bulan.
2. Penderita Paucibaciler (PB) lesi 2-5
Dapson Rifampisin
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesiya masih aktif. Menurut WHO tidak
ada lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment
Cure dan pasien tidak ladi dalam pengawasan.
3. Penderita Multibasiler (MB)
Dapson Rifampisin Klofazimin
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit
b. Nyeri akut b.d proses inflamasi
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap lesi kulit
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur otot dan kaku sendi
3. Intervensi Keperawatan
Rahariyani, Dwi Lutfia. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Ganggauan
Sistem Integumen. Jakarta: ECG.
Hurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Percertakan Mediaction Publising.
Zulkoni, Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.