Anda di halaman 1dari 6

PENGOBATAN DAN KECACATAN PENYAKIT KUSTA / LEPRA

Oleh :
Dr. Slamet Riyanto, M.Kes

PENGOBATAN DAN KECACATAN PENYAKIT KUSTA / LEPRA

Tujuan Pengobatan
 Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada
penderita tipe Pausebasiler yang berobat lebih dini dan teratur akan
mempercepat sembuh tanpa menimbulkan kecacatan. Akan tetapi pada
penderita yang sudah mengalami kecacatan hanya dapat mencegah cacat yang
lebih lanjut.
 Memutuskan mata rantai penularan dari penderita terutama tipe yang
menular kepada orang lain. Pengobatan kusta ditujukan untuk mematikan kuman
kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit
menjadi berkurang dan akhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber
penularan dari penderita tipe Multibasiler ke orang lain dapat terputus.

Obat-obatan Yang Digunakan


 Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998
menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu :
ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak
dipakai saat ini adalah DDS (Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine dan
rifampizine.
1. DDS (Diamino Diphenyl Suffone)
 Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100
mg/tab, sifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan
kuman Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk
anak-anak 1-2 mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang
timbul adalah : anemia hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur,
sulit tidur hepatitis, alergi terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri
dan Psychosis.

2. Clofazimine atau Lamprene


 Berbentuk kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100
mg/kapsul, sifat bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman
Mycobacterium Leprae dan anti reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan
ialah 50 mg/hari atau selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu.
 Efek samping obat ini adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai
kehitam-hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat distop, gangguan
pencernaan dapat berupa diare dan nyeri pada lambung.

3. Rifampizin
 Berbentuk kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg
dan 600 mg, sifatnya mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid).
Rifampizin merupakan obat kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone)
dengan dosis 10 mg / Kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin
tidak boleh diberikan secara monotheraphy karena dapat memperbesar
terjadinya resistensi, efek sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.

4. Prednison
 Obat ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi.

5. Sulfas Ferrosus
 Obat tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat.

6. Vitamin A
 Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis)
(Depkes RI, 2006).

Obat alternatif lain yaitu :


1. Ofloksasin
 Ofloksasin merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap
mycobacterium leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran
pernafasan lain.

2. Minosiklin
 Termasuk dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi
daripada klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin

3. Klaritomisin
 Merupakan kelompok antibiotika mikrolid dan mempunyai aktifitas
bakteriosidalnya terhadap Mycobacterium pada tikus dan manusia

 Rigimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen


pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai
berikut :
1.Penderita Pausi Basiler (PB) 

a. Penderita Pausi Lesi I diberikan dosis tunggal ROM (Rifampisin Ofloxacin


Minocyclin)
 Dewasa 50-70 kg:  600 mg;  400 mg;  100 mg
 Anak 5-14 tahun:  300 mg;  200mg;  50 mg
1. Obat ditelan di depan petugas.
2. Anak kurang 5 (lima) tahun tidak diberikan ROM.
3. Ibu hamil tidak diberikan ROM. 
 Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT.
 Dalam program ROM tidak dipergunakan, penderita PB lesi satu diobati
dengan regimen PB selama 6 (enam) bulan.

b. Penderita PB lesi 2-5


 Dewasa, pengobatan bulanan : hari pertama (dosis yang diminum di
depan petugas).
1. 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).
2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
 Pengobatan harian : hari ke 2- 28 : 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg, 1
blister untuk 1 bulan.
 Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan.

4. Penderita Multi Basiler (MB)


 Dewasa, pengobatan bulan : hari pertama (dosis yang diminum di depan
petugas).
 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg).
 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg).
 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
 Pengobatan harian : hari ke 2 – 28
1. 1 tablet lamprene 50 mg.
2. 1 tablet dapsone atau DDS 100 mg.
3. 1 blister untuk 1 bulan.

KECACATAN PADA KUSTA


 Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh karena kerusakan fungsi
syaraf tepi baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan
(neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra, mycobacterium leprae menyerang
syaraf tepi sehingga mengakibatkan :
1. Kerusakan Fungsi Sensorik
 Kelainan fungsi sensorik dapat menyebabkan terjadinya kurang atau mati
rasa (anestasia), sehingga pada telapak tangan dan kaki dapat mengakibatkan
luka sampai pada mutilasi absorbsi tulang, sedangkan pada kornea mata dapat
mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah
kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menimbulkan infeksi mata
sampai pada timbulnya kebutaan

2. Kerusakan Fungsi Motorik


 Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah atau lumpuh dan
lama kelamaan terjadi atropi. Hari-hari tangan dan kaki menjadi bengkok (clawa
hand / claw toes) dan akhirnya terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur). Bila
terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot kelompak mata maka mata tidak
dapat dirapatkan (Logophtalmus).
3. Kerusakan fungsi Otonom
 Terjadi gangguan pada kalenjar keringat, kalenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya
dapat pecah-pecah, pada umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak
ditangani secara cepat dan tepat maka akan terjadi cacat tingkat yang lebih berat
atau parah (Depkes RI, 2006).

Usaha Pencegahan Cacat


 Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam usaha pencegahan
kecacatan adalah :
1. Pencatatan data dasar setiap pasien pada waktu registrasi, yang meliputi :
 Pemeriksaan mata.
 Pemeriksaan tangan yang meliputi :
1. Adanya nyeri tekan pada syaraf.
2. Kekuatan otot.
3. Rasa raba.
4. Dan adanya kecacatan yang lainnya.
5. Pemeriksaan pada kaki.
 Pemeriksaan pada kaki tujuannya sama dengan pemeriksaan pada
tangan.

2. Kesimpulan dan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan yang meliputi :


 Menentukan apakah penderita sedang dalam keadaan reaksi berat atau
tidak sehingga perlu diobati dengan prednison atau tidak.
 Mengajarkan cara perawatan diri kepada penderita dengan cacat yang
sudah menetap.
 Penderita yang tidak cacat perlu diberikan penjelasan mengenai resiko
dan tanda-tanda reaksi agar penderita segera lapor ke petugas kesehatan atau
puskesmas terdekat

3.Pelaksanaan program pencegahan cacat


4.Tingkat cacat menurut World Health Organisation

TINGKAT KECACATAN
 Tingkat Mata Telapak Tangan / Kaki
 0: Tidak ada kelainan pada mata Tidak ada anesthesia, tidak ada cacat
yang kelihatan akibat kusta
 1: Ada kelainan pada mata akibat kusta tetapi tidak kelihatan dan visus
sedikit berkurang Ada anesthesia tetapi tidak ada cacat atau kerusakan yang
kelihatan
 2: Ada lagophtalmos, visus sangat terganggu akibat kusta Ada cacat atau
kerusakan yangkelihatannya misalnya : ulkus, jari – jari kiting
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPATUHAN PENGAMBILAN 0BAT

Dukungan keluarga
 Dukungan keluarga adalah dukungan antar keluarga yang bersifat suportif
yang dapat berupa bantuan langsung yang berkesenimbungan dan terus
menerus sepanjang kehidupan (Friedman, 1998). Di dalam suatu keluarga harus
saling mendukung diantara seluruh anggota keluarga, orang yang hidup di
lingkungan yang bersifat supportif kondisi kesehatan jiwa lebih baik daripada
mereka yang hidup tidak adanya dukungan dari keluarga sosial dapat berefek
pada adaptasi kesehatan seseorang (Friedman, 1998).

Usia
 Usia adalah umur individu yang dihitung mulai saat dilahirkan sampai saat
berulang tahun (Elizabeth, 1995). Semakin cukup umur tingkat kematangan
seseorang akan lebih dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi
kedewasaannya. Jika kematangan usia seseorang cukup tinggi maka pola pikir
orang tersebut akan lebih dewasa (Amiruddin, 2006)

Pendidikan
 Tokoh pendidikan abad 20, Langevelt yang dikutip dari Notoatmojo (1993)
mendefinisikan pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan
bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada pendewasaan. Jadi
dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut menuntun manusia untuk berbuat
dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan seseorang
akan bertambah (Amiruddin, 2006).
 Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga
termasuk sebagian petugas kesehatan, hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan atau pengertian masyarakat tentang kusta. Hal tersebut juga
menjadi hambatan yang serius dalam pelaksanaan program pemberantasan
penyakit kusta termasuk juga peran serta masyarakat (Depkes RI, 1995).

Ekonomi
 Sosial ekonomi dapat menggambarkan tingkat kehidupan seseorang
didalam masyarakat. Tingkat ekonomi dapat ditinjau dari kualitas keluarga yaitu
suatu kondisi keluarga yang mencakup aspek pendidikan, kesehatan ekonomi
dan budaya, kemandirian keluarga serta nilai agama merupakan dasar untuk
mencapai keluarga sejahtera. Menurut Hendar dan Kusnaedi (2002) Ekonomi
adalah suatu usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Ada 3 (tiga) tingkatan ekonomi yaitu :
1. Ekonomi Rendah: Adalah suatu kebutuhan yang mencakup
kebutuhan primer saja yaitu : sandang, pangan dan papan.
2. Ekonomi Sedang : Adalah suatu kebutuhan yang mencakup
kebutuhan primer dan sekunder.
3. Ekonomi Tinggi : Suatu kebutuhan yang mencakup kebutuhan
primer, sekunder dan tersier.
 Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga
karena masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena kerusakan pada syaraf besar
yang irreversible di muka dan di ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan
daerah anesthesi yang disertai paralysis dan atropi otot (Juanda, 2000).

REFERENSI
1. Arikunto, Suharsini, (1998) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Rineka Cipta, Jakarta
2. Andrianto Petrus, (1989), Dermanto – Venerologi, EGC, Jakarta
3. Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid III,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
4. Depkes RI, (1995), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit
Kusta, DITJEN PPM & PLP, Jakarta
5. Depkes RI, (1997), Perawatan Kesehatan Masyarakat Petunjuk
Teknis Kesehatan Masyarakat Pada Sasaran Individu dan Keluarga,
Jakarta.
6. Depkes RI, (1999), Buku Pedoman Kusta Nasional Untuk Sentinel
Surveilans, DITJEN PPM & PLP, Jakarta.
7. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Eliminasi Kusta, DITJEN PPM
& PLP, Jakarta.
8. Depkes RI, (2005), Buku Pedoman Nasional Pemberantasan
Penyakit Kusta, Cetakan XVII, DITJEN PPM & PLP, Jakarta
9. Depkes RI, (2006), Model pelatihan Program P2 Kusta Bagi UPK,
DITJEN PPM & PLP, Jakarta.
10. Harahap, Mawardi (2000), Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta.
11. Friedman (1998), Perawatan Keluarga, Jakarta : EGC
12. Notoatmodjo, S, (1993), Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan
2, Rineka Cipta, Jakarta.
13. Nursalam, (2001), Metodologi Riset Keperawatan, Cetakan 1, Info
Medika, Jakarta
14. Nursalam, (2003), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta
15. Suprayitno, (2004), Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam
Praktek , Jakarta : EGC
16. Sutedja Endang dkk, (2003), Kusta, Edisi II Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai