Anda di halaman 1dari 6

TATALAKSANA KUSTA

1. Tatalaksana farmakologi
Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998, 2012) Pengobatan dengan
MDT disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut
1. Tipe Pausibasilar
Merupakan tipe yang mengandung sedikit kuman dan kusta kering, dengan kusta
PB adalah kusta dengan BTA negative pada kerokan jaringan kulit. Pada pausibasilar
terdapat tipe-tipe I, yaitu TT (tuberculoid), BT (borderline tuberculoid), dan I
(indeterminate).

2. Tipe Multibasilar
Merupakan tipe yang mengandung banyak kuman dan kusta basah, dengan kusta
MB adalah kusta BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB. Pada Multibasilar
terdapat tipe-tipe, yaitu LL (lepromatosa), BL (borderline lepromatosa) dan BB (mid
borderline).
Tabel 1. MDT tipe pausibasilar (PB)
Jenis obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun keterangan
Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan Minum di depan
petugas
Dapson 25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 mg/bulan Minum di depan
petugas

25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah


Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan dalam 6-9 bulan.

Tabel 2. MDT tipe multibasilar (MB)


Jenis obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin 300 mg/bulan 450 mg/bulan 600 mg/bulan Minum di depan
petugas
Dapson 25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 mg/bulan Minum di depan
petugas
Klofazimin 25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah
(Lampren)

100 mg/hari 150 mg/bulan 300 mg/bulan Minum di depan


Petugas

50 mg 2 kali 50 mg setiap 50 mg/hari Minum di rumah


seminggu 2 hari

Lama pengobatan: diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan.

Digunakan tipe multiple drug therapy agar tidak ada resistensi mikroba.
Kemudian penggunaan corticosteroid digunakan untuk mengobati kerusakan saraf akibat
kusta. Prednisolone dipercaya meminimalisir rasa nyeri dan inflamasi akut. Prednisolone
diberikan 40 mg/hari. Rifampisin mampu berikatan dengan beta-subunit RNA
polymerase yang dependan terhadap DNA bakteri sehingga menghabisi sintesis RNA,
sifatnya bakterisidal terhadap mycobacteria.
Untuk klofazimin adabeberapa teori yaitu berperan dalam pembentukan ros
intrasel via redoxcycling. Terutama H2O2 dan superoksida (efek antimikroba). Ada juga
yang berpendapat obat ini berinteraksi dengn membrane fosfolipid bakteri untuk
membentuk lisofosfolipid antimikroba yang merupakan efek destabilisasi membrane.
Mekanisme aksi dapson adalah inhibisi sintesis folat, dihydrofolicacid, dihydropteroate,
synthase 1 dan 2.
Pemakaian regimen MDT-WHO pada pasien dengan keadaan khusus
 Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui. Kusta seringkali mengalami
eksaserbasi pada masa kehamilan, oleh
karena itu MDT harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat-obatan MDT standar
aman dipakai selama masa kehamilan dan menyusui baik untuk ibu maupun bayinya.
Tidak diperlukan perubahan dosis pada MDT. Obat dapat melalui air susu ibu dalam
jumlah kecil, belum ada laporan mengenai efek simpang obat pada bayi kecuali
pewarnaan kulit akibat klofazimin.
 Pengobatan kusta pada pasien yang menderita tuberkulosis (TB) saat yang sama.
 Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif, pengobatan harus
ditujukan untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap diberikan bersamaan dengan
pengobatan MDT untuk kusta.
o Pasien TB yang menderita kusta tipe PB.
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai
dengan jangka waktu pengobatan PB.
o Pasien TB yang menderita kusta tipe MB.
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena rifampisin
sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan
jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai, maka
pengobatan kusta kembali sesuai blister MDT.

Regimen U-MDT untuk kusta pausibasilar dan multibasilar.


Obat ini diberikan pada MH-PB dan MB selama 6 bulan, terdiri atas: rifampisin
600 mg 1 kali/bulan, dapson 100 mg/hari, serta klofazimin 300 mg/bulan pada hari
pertama dilanjutkan dengan 50 mg/hari.8 Regimen ini efektif dan ditoleransi baik untuk
tipe PB tetapi kurang adekuat untuk tipe MB.

Pengobatan kusta dengan regimen alternative


Bila MDT-WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan, antara lain:
 Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin Penyebabnya mungkin
alergi obat, menderita penyakit penyerta hepatitis kronis, atau terinfeksi
dengan kuman yang resisten dengan rifampisin. Pasien dengan kuman
resisten terhadap rifampisin, biasanya resisten juga terhadap DDS. Oleh
sebab itu digunakan regimen berikut. Regimen untuk pasien yang tidak
dapat mengkonsumsi Rifampisin.

Lama pengobatan Jenis Obat Dosis


6 bulan pertama Klofazimin 50 mg/hari
Ditambah 2 dari 3 obat
berikut:
Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari
Klaritromisin 500 mg/hari
Dilanjutkan 18 bulan Klofazimin 50 mg/hari
Dengan ofloksasin 400 mg/hari
ATAU
Minosiklin 100 mg/hari

 Pasien yang menolak klofazimin


Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin
dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau
minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan atau rifampisin 600 mg/bulan,
ofloksasin 400 mg/bulan dan minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan.
 Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS
Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti
sindrom dapson (sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus segera
dihentikan. Tidak ada modifikasi lain untuk pasien MB, sehingga MDT
tetap dilanjutkan tanpa dapson selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien
PB, dapson diganti dengan klofazimin dengan dosis sama dengan MDT
tipe MB selama 6 bulan.
Rawat inap
Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan:
 Efek samping obat berat
 Reaksi reversal atau ENL berat
 Keadaan umum buruk (ulkus, gangren), atau terdapat keterlibatan organ tubuh lain
dan sistemik
 Rencana tindakan operatif.

2. Tatalaksana non farmakologi


Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ialah agar penderita kusta
dapat kembali ke masyarakat sebagai manusia yang produktif dan berguna, melalui
layanan rehabilitasi medik berupa terapi fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan
prosthesis, perawatan luka, supporting psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai.
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi adalah:
 Konseling, membantu pasien agar menyadari potensi yang dimiliki dan
memanfaatkan potensi mentalnya seoptimal mungkin untuk meningkatkan
kualitas penyesuaian baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Konseling juga diberikan dengan tujuan untuk mengurangi tingkat antisosial
pasien kusta dengan disabilitas.
 Edukasi Kesehatan, memberikan informasi kesehatan kepada pasien mengenai
penyakit kusta: penyebab, pengobatan, hendaya, dan disabilitas yang terjadi serta
pencegahan disabilitas. Memberikan informasi mengenaipenggunaan alat
pelindung diri dalam melakukan aktivitas pekerjaan di rumah maupun di tempat
kerja.
 Pemberian Terapi, latihan Terapi latihan merupakan strategi yang paling penting
dan mendasar dalam tatalaksana rehabilitasi medik. Terapi latihan dapat dicapai
dengan latihan setiap hari, dengan perhatian khusus yaitu cegah latihan atau
berhenti latihan jika terdapat luka atau lesi pecahpecah pada tangan dan kaki.
Kulit harus kuat untuk meregang selama latihan. Terapi Latihan terhadap pasien
dapat berupa latihan lingkup gerak sendi, latihan peregangan, latihan penguatan
dan massage baik menggunakan alat ataupun tanpa alat. Latihan dapat dilakukan
secara pasif maupun aktif.
a) Latihan Aktif: Pasien menggunakan ototnya yang lemah untuk latihan. Hal
ini mencegah kontraktur dan menguatkan otot yang lemah.
b) Latihan Pasif: Pasien dibantu untuk menggerakkan bagian yang paralisis
secara pasif untuk mencegah terbentuknya kontraktur.

Kemudian ada okupasi, bentuk kegiatan yang dilatih yaitu aktifitas sehari-hari
berupa: perawatan diri, berpakaian, berhias, mobilisasi, transfer, mengurus rumah tangga,
produktifitas (pekerjaan), pemanfaatan waktu luang (leisure). Memberikan alat bantu
beraktivitas (adaptive devices) untuk ke 2 tangan yang mengalami disabilitas. Dengan
target terapi antara lain :
 Perbaikan fungsi fisik, peningkatan lingkup gerak sendi, kekuatan otot dan
koordinasi. Bentuk kegiatan latihan disesuaian dengan pekerjaan atau hobi dari
pasien.
 Pasien kusta mampu latih dalam merawat diri sendiri dalam kehidupan sehari-
hari.
 Pasien kusta mampu menggunakan adaptive devices sederhana
 Meningkatkan toleransi dalam bekerja dan mengembangkan kemampuan yang
sudah ada sebagaimana tujuan dari terapi vokasional pasien.
 Mampu mengatur penempatan pekerjaan untuk meminimalisasi kerugian produksi

Lalu ada pemberian ortosis pada penderita kusta berupa ortosis untuk anggota gerak
atas dan bawah dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seperti splint tangan dan kaki,
splint knuckelbender, AFO (ankle foot orthosis) hingga alas kaki/sepatu khusus. Tujuan
pemberian splint meliputi :
 Memposisikan bagian tubuh atau sendi dengan tepat sesuai dengan posisi
anatomis (contoh: untuk sendi tangan yang berpotensi mengalami kontraktur)
 Memberikan topangan, proteksi dan imobilisasi tendon atau sendi yang terganggu
(contoh: pada kaki yang mengalami drop foot)
 Membantu mengurangi nyeri dan edema pada pasien
 Memberikan proteksi pada grafts/flap (pasca rekonstruksi) yang baru terpasang
 Memposisikan sendi yang kontraktur atau bagian tubuh yang mengalami
deformitas
 Menjaga dan meningkatkan posisi dalam pergerakan. Dalam pemasangan splint
diperlukan monitor dan evaluasi untuk melihat kondisi kulit dan penekanan saraf
pada sekitar sendi

Pemberian prostesis pada penderita diperlukan pada anggota gerak atas dan bawah
apabila telah dilakukan amputasi dengan tujuan untuk membantu ambulasi. Juga prostesis
jari-jari dan tangan pada pasien mutilasi, untuk membantu fungsional dan kosmesis
sehingga menambah self esteem dan kualitas hidup pasien.

Pemberian alas kaki, sendal hingga sepatu khusus dilakukan untuk menghindari
terjadinya luka lebih lanjut pada pedis, dimana terjadi gangguan sensibilitas hingga di
perifer. Dibuat secara customize dari bahan khusus, sesuai preskripsi dokter Sp.KFR.
Sepatu atau sandal khusus juga diberikan jika terjadi drop foot, di adjust dengan memakai
spring di bagian depan sepatu/sendal, sehingga membantu gerakan foot clearance pasien
saat berjalan.

Daftar pustaka

Utama, d.H. (2016). ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN (7.ed). (S.
Dr.dr. Sri Linuwih SW Menaldi, Ed) Jakarta: Fakultas Kedokteran
Indonesia.

Dr. dr. Sandra Widaty, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV (2017). Panduan


praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin Indonesia. (S. F. Prof.
Dr. dr Hardayanto Soebono, Ed) Jakarta: PERHIMPUNAN DOKTER
SPESIALIS KULIT DAN KELAMIN INDONESIA.

Anda mungkin juga menyukai