Anda di halaman 1dari 12

TUGAS FARMAKOLOGI

MODUL GANGGUAN SENSORIS DAN INTEGUMEN


“VESIKOBULOSA”
Narasumber: drg. Agnes Frethernety, M. Biomed

Oleh: Kelompok 14
Netanya Gloria (203010801001)

Arizal Shaktiantoro (203010801002)

Mutiara Yusfinda (203010801003)

Zahra Sabira (203010801004)

Christy Aggalia (203010801005)

Fransiska Caesaria Silvi R. (203010801006)

Dalia Ranti (203010801007)

Freya Ekklesia Mayesti (203010801008)

Hendrykus Theo Damar W. (203010801009)

Amelia Octyaratno (203010801010)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PALANGKARAYA

2022
DAFTAR ISI

COVER…………………...………………………………………………………. 1

DAFTAR ISI……………………………………………………………………… 2

I. Definisi.................................................................................................................. 3

II. Kriteria Diagnostik..............................................................................................4

Anamnesis…………………………………………………………………….. 4

Pemeriksaan Fisik…………………………………………………………….. 4

Diagnosis Banding…………………………………………………………….4

Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………….4

III. Tata Laksana…………………………………………………………………..5

Pengobatan……………………………………………………………………. 5

Edukasi……………………………………………………………………….10

IV. Prognosis……………………………………………………………………. 10

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………....11

2
I. Definisi

Pemfigus merupakan penyakit autoimun kronik akibat autoantibodi


IgG terhadap desmoglein di intraepidermal. Penyakit ini menyebabkan
terbentuknya bula pada kulit dan membran mukosa.

Terdapat 4 bentuk pemfigus adalah:

1. Pemfigus vulgaris
2. Pemfigus eritematosus
3. Pemfigus foliaseus
4. Pemfigus vegetans

Masih ada beberapa bentuk yang tidak dibicarakan karena langka


ialah pemfigus herpetiformis, pemfigus lgA, dan pemfigus paraneoplastik.
Susunan tersebut sesuai dengan insidensinya. Menurut letak celah
pemfigus dibagi menjadi dua:

a. Di suprabasal adalah pemfigus vulgaris dan variannya pemfigus


vegetans
b. Di stratum granulosum adalah pemfigus foliaseus dan variannya
pemfigus eritematosus

Semua penyakit tersebut memberi gejala yang khas, yakni :


1. Pembentukan bula yang kendur pada kulit yang umumnya terlihat
normal dan mudah pecah.
2. Pada penekanan, bula tersebut meluas (tanda Nikolski positif).
3. Akantolisis selalu positif.
4. Adanya antibodi tipe lgG terhadap antigen interseluler di epidermis
yang dapat ditemukan dalam serum, maupun terikat di epidermis.

3
II. Kriteria Diagnostik

Anamnesis

1. Umumnya terjadi pada usia 40-60 tahun.


2. Umumnya diawali lesi pada membran mukosa mulut berupa erosi
yang terasa nyeri.
3. Perjalanan Klinis Dapat Berulang, sering diperlukan terapi seumur
hidup

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum buruk


2. Erupsi kulit berupa bula kendur yang mudah pecah sehingga cepat
menjadi erosi dan dapat meluas ke seluruh tubuh
3. Predileksi terdapat bula kendur, lentikular sampai numular, di atas
dasar kulit normal atau eritematosa. Isi mula-mula jernih kemudian
menjadi keruh
4. Tanda Nikolsky positif

Diagnosis Banding

1. Dermatitis herpetiformis Duhring


2. Pemfigoid Bulosa

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan histopatologi HE: terdapat bula intraepidermal


suprabasal, akantolisis, row of tombstones.
2. Pemeriksaan immunofluorescence direk: didapatkan deposit IgG dan
C3 di interselular, epidermis baik pada lesi kulit maupun perilesi
(“chicken wire appearance”).
3. Pemeriksaan serologi: kadar IgG di dalam serum meningkat (titer
IgG, autoantibodi terhadap desmoglein 3, biasanya berkorelasi
dengan aktivitas penyakit; oleh karenanya respon klinis dapat
dimonitor dengan titer antibodi).

4
4. Pemeriksaan darah, urin, feses rutin dilakukan. Pada pemberian
kortikosteroid jangka panjang perlu diperiksa fungsi ginjal dan
fungsi hati, kadar gula darah, reduksi urin dan kadar kortisol.

III. Tata Laksana

Pengobatan

Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif.


Yang sering digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis
prednison bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-
150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi
pemfigus yang berat. Pada dosis tinggi sebaiknya diberikan deksametason
i.m. atau i.v. sesuai dengan ekuivalennya karena lebih praktis.
Keseimbangan cairan dan gangguan elektrolit diperhatikan. Karena
digunakan kortikosteroid dosis tinggi, maka untuk mencegah efek samping
obat tersebut tatalaksananya seperti tercantum pada pengobatan sindrom
Steven Johnson. Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi
baru setelah 5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%.
Kalau telah ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap. Biasanya
setiap 5-7 hari kami turunkan 10-20 mg ekuivalen prednison tergantung
pada respons masing-masing, jadi bersifat individual. Cara yang terbaik
ialah memantau titer antibodi karena antibodi tersebut menunjukkan
keaktifan penyakit, tetapi sayang di bagian kami belum dapat dikerjakan.
Jika titernya stabil, maka penurunan dosis lambat, namun bila titernya
menurun, penurunan dosis lebih cepat.

Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi denyut.


Caranya bermacam macam, yang lazim digunakan ialah dengan
methylprednisolon sodium succinate (solumedrol®), i.v.selama 2-3 jam,
diberikan jam 8 pagi untuk lima hari. Dosis sehari 250-1000 mg (10-20
mg per kg BB), kemudian dilanjutkan dengan kortikosteroid oral
kortikosteroid oral dengan dosis sedang atau rendah. Efek Samping yang
berat pada terapi denyut tersebut antara lain adalah, hipertensi, elektrolit

5
sangat terganggu, infark miokard, aritmia jantung sehingga dapat
menyebabkan kematian mendadak, dan pankreatitis. Jika pemberian
prednison melebihi 40 mg sehari harus disertai antibiotik untuk mencegah
infeksi mencegah infeksi sekunder.

Bila telah tercapai dosis pemeliharaan, untuk mengurangi efek


samping kortikosteroid, obat diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi
hari pukul 8. Alasannya, pada waktu tersebut kadar kortisol dalam darah
paling tinggi. Sebaiknya obat diberikan selang sehari, diharapkan pada
waktu bebas obat tidak terjadi penekanan terhadap kelenjar korteks
adrenal. Keburukannya pada hari bebas obat timbul lesi baru. Sebagian
kecil penderita pemfigus dapat bebas obat, tetapi sebagian besar harus
diberikan dosis pemeliharaan terus menerus.

Pasricha mengobati pemfigus dengan cara kombinasi


deksametason dan siklofosfamid dosis tinggi secara intermiten dengan
hasil baik. Dosis Deksametason 100 mg dilarutkan dalam 5% glukosa
diberikan selama 1 jam i.v, 3 hari berturut-turut. Siklofosfamid diberikan
i.v., 500 mg hanya pada hari I, dilanjutkan per oral 50 mg sehari.
Pemberian Deksametason dengan cara tersebut diulangi setiap 2-4
minggu. Setelah beberapa bulan penyakit tidak relaps lagi, pemberian
deksametason dikurangi menjadi setiap bulan untuk 6-9 bulan. Kemudian
Dihentikan dan pemberian siklofosfamid 50 mg/hari diteruskan. Setelah
kira-kira setahun pengobatan dihentikan dan terjadinya re/aps diamati.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan
dengan ajuvan yang terkuat, yaitu sitostatik. Efek samping kortikosteroid
yang berat atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan
osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebra pars
lumbalis.

Terdapat dua pendapat untuk penggunaan sitostatik sebagai


adjuvant pada pengobatan pemfigus:

1. Sejak awal diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid sistemik.

6
Maksudnya agar dosis kortikosteroid tidak terlampau tinggi sehingga
efek samping lebih sedikit.
2. Sitostatik diberikan, bila :
a. Kortikosteroid sistemik dosis lebih tinggi kurang memberi respons.
b. Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes
mellitus, katarak, dan osteoporosis.
c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti
yang diharapkan.

Sitostatik merupakan ajuvan yang terkuat karena bersifat


imunosupresif. Obat sitostatik untuk pemfigus adalah azathioprine,
siklofosfamid, metotreksat, dan mikofenolat mofetil. Obat Yang lazim
digunakan adalah azathioprine karena cukup bermanfaat dan tidak begitu
toksik seperti siklofosfamid. Dosisnya 50-150 mg sehari atau 1.3 mg per
kgBB. Obat-obat sitostatik sebaiknya diberikan, jika dosis prednison
mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis dan bronkopneumonia.
Hendaknya diingat bahwa efek tera-237 peutik azathioprine baru terjadi
setelah 2-4 minggu. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison
diturunkan lebih dahulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara
bertahap. Efek samping antara lain menekan sistem hematopoietik dan
bersifat hepatotoksik.

Siklofosfamid sebenarnya merupakan obat yang paling poten,


tetapi karena efek samping nya berat kurang dianjurkan. Dosisnya 50-100
mg sehari. Efek terapeutik siklofosfamid masih sedikit setelah pemberian
beberapa jam, efek maksimum baru terjadi setelah 6 minggu. Efek
samping yang utama ialah toksisitas saluran kemih berupa sistitis
hemoragik, dapat pula menyebabkan sterilitas. Produksi metabolisme
siklofosfamid yang bersifat sitotoksik diekskresi melalui urin, oleh karena
itu penderita dianjurkan agar banyak minum. Gejala toksik dini pada
vesika urinaria adalah disuria, didapati pada 20% penderita yang mendapat
obat tersebut dalam jangka waktu lama.

Jika mikroskopik terdapat hematuria hendaknya obat dihentikan

7
sementara atau diganti dengan obat sitotoksik yang lain. Obat yang dapat
mencegah terjadinya sistitis hemoragik adalah mesna intravena, dosis 20%
dari dosis siklofosfamid sehari, diberikan tiga kali sehari selang 4 jam,
dosis I diberikan bersama-sama dengan siklofosfamid.

Metotreksat jarang digunakan karena kurang bermanfaat. Dosis 25


per minggu i.m. atau per oral. Cara pengobatan sama seperti pengobatan
untuk psoriasis (lihat bab mengenai psoriasis).

Mikofenolat mofetil dikatakan lebih efektif daripada azathioprine,


sedangkan efek toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2 x 1 g sehari.

Ajuvan lain yang tidak begitu poten adalah yang bersifat anti-
inflamasi yakni emas, diaminodiphenylsulfone (D.D.S), antimalaria, dan
minosiklin. Tentang emas tidak akan diuraikan karena preparatnya tidak
ada di Indonesia. Dosis D.D.S100-300 mg sehari, dicoba dahulu dengan
dosis rendah . Tentang efek samping lihat pengobatan dermatitis
herpetiformis. Antimalaria Yang sering digunakan adalah klorokuin
dengan dosis 2x200mg sehari. Efek samping yang berat adalah retinopati,
dapat terjadi setelah dosis kumulatif 100 g. Tentang pengobatan kombinasi
nikotinamid dan tetrasiklin lihat pengobatan pemfigoid bulosa. Minosiklin
digunakan dengan dosis 2 x 50 mg sehari.

Berdasarkan pertimbangan risk and benefit, D.D.S. lebih sering


digunakan sebagai adjuvan. Meskipun khasiatnya tidak sekuat sitostatik,
namun efek samping jauh lebih sedikit dan hasilnya cukup baik. Dosis 100
mg atau 200mg. Bila digunakan 100 mg tidak perlu dilakukan
pemeriksaan enzim G6PD sebelumnya, karena dosis itu dipakai sebagai
pengobatan lepra, umumnya tanpa efek samping. Tetapi, bila dengan dosis
200 mg harus dilakukan pemeriksaan enzim G6PD. Pengobatan topikal
sebenamya tidak penting dibandingkan dengan pengobatan sistemik. Pada
daerah yang erosif dapat diberikan silversu/fadiazine, yang berfungsi
sebagai antiseptik dan astringen. Pada lesi pemfigus yang sedikit dapat
diobati dengan kortikosteroid secara intralesi (interdermal) dengan

8
triamcinolonacetonid.

1. Prinsip Tatalaksana

● Mengatasi keadaan umum


● Pemantauan efek samping terapi kortikosteroid atau sitostatik
jangka panjang
● Kerjasama dengan bagian penyakit dalam, alergi-imunologi, dan
departemen lain yang terkait.

2. Topikal

Topikal kortikosteroid

3. Sistemik

● Terapi lini pertama: kortikosteroid sistemik, dimulai dengan dosis


1 mg/kgBB/hari Tapering dapat dilakukan bila telah terdapat
respon klinis yang baik.
● Pada keadaan klinis yang berat dapat diberikan kortikosteroid
terapi denyut. Cara pemberian kortikosteroid secara terapi denyut
(pulsed therapy): methylprednisolone sodium succinate i.v. selama
2-3 jam, 500-1000 mg. Atau injeksi deksametason atau
methylprednisolone i.v 1 g/hari selama 4-5 hari.
● Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan sebagai steroid
sparing agent: 13 mikofenolat mofetil 2-2,5 g/hari 2 kali sehari,
azathioprine 1-3 mg/kgBB/hari atau 50 mg setiap 12 jam namun
disesuaikan dengan kadar TPMT, siklofosfamid (50-200 mg/hari),
18 dapsone 100 mg/hari, imunoglobulin intravena 1,2-2 g/kgBB
terbagi dalam 3-5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu untuk 1-
34 siklus, Rituximab (0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari dan dapat
diulang sebagai monoterapi setiap 21 hari).

9
Edukasi

1. Menjelaskan kepada pasien dan atau keluarga mengenai penyebab,


terapi dan prognosis penyakit.

2. Memberi edukasi cara merawat lesi kulit yang lepuh.

3. Menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter.

4. Meminimalisir trauma pada kulit karena dapat memperluas lesi

5. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyakit kronis


dan mudah sekali kambuh

6. Menjelaskan kepada pasien mengenai dosis obat dan gejala toksisitas


obat sehingga mereka dapat melaporkan kepada dokter dengan segera

7. Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya perawatan lesi yang


eksudatif

IV. Prognosis

Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada


50% penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian ialah sepsis,
kaheksia, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan
kortikosteroid membuat prognosis lebih baik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Atzmony L, Hodak E, Gdalevich M, Rosenbaum O, Mimouni D. Treatment of


pemphigus vulgaris and pemphigus foliaceus: a systematic review and
meta-analysis. Am J Clin Dermatol. 2014;15:503-15.

Fernandez SR, Alonso AE, Gonzalez JEH, Galy JMM. Practical management of
the most common bullous disease. Actas Dermosifiliogr. 2008;99:441-55

Harman KE, Albert S, Black MM. Guidelines for the management of pemphigus
vulgaris. Br J Dermatol. 2003;149:926-37.

Hofmann S, Jakob T. Bulous autoimmune skin disease. In: Shoenfeld Y, Meroni


PL, editors. The general practice guide to autoimmune diseases.
Berlin:Pabst Science. 2012.h.127-34.

Han A, Zeichner JA. A practical approach to treating autoimmune bullous


disorders with systemic medications. J Clin Aestetic Dermatol.
2009;2:19-28.

Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.

Payne AS, Stanley JR. Pemphigus. In: Wolf K, Goldsmith LA, Kazt SI, Gilchrest
BA. Paller AS Leffel DJ, editors. Fitzpatrick‟s Dematology in general
medicine. Edisi ke-8. New York: Mc Graw-Hill; 2012.h. 586-99.

Ratnam KV, Tan CK. Pemphigus Therapy with Oral Prednisolone Regimens.
International Journal of Dermatology. 1990;29(5):363-8.

Schmidt E, Zillikens D. The diagnosis and treatment of autoimmune blistering


skin diseases. Dtsch Arztebl Int. 2011;108:399-405.

Strowd LC, Taylor SL, Jorizzo JI, Namazi MR. Therapeutic ladder for pemphigus
vulgaris: Emphasis on achieving complete remission. J Am Acad
Dermatol. 2011;64:490-4.

11
Singh S, Evidence-based treatments for pemphigus vulgaris, pemphigus foliaceus,
and bullous pemphigoid: A systematic review. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2011;77(4):456-70.

Shahidi-Dadras M, Karami A, Toosy P, Shafiyan A. Pulse versus Oral


Methylprednisolone Therapy in Pemphigus Vulgaris. Arch Iranian Med.
2007;10(1):1-6.

Toth GG, van de Meer JB, Jonkman MF. Dexamethasone Pulse Therapy in
Pemphigus. JEADV. 2002;16:607-11.

12

Anda mungkin juga menyukai