Anda di halaman 1dari 15

KORTIKOSTEROID SISTEMIK DAN TOPIKAL

3.1. KORTIKOSTEROID SISTEMIK



3.1.1 Pendahuluan

Kortikosteroid sistemik banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat
tersebut mempunyai efek imunosupresan dan antiinflamasi. Sejak kortikosteroid digunakan
dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong penderita. Berbagai penyakit yang
dahulu lama penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit berat yang
dahulu dapat menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan
berkat pengobatan dengan kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens Johnson yang berat
dan nekrolisis epidermal toksik.

3.1.2 Cara Pengobatan

Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular,
intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan keparahan penyakit. Pada
suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena efek samping seperti pada alopesia
areata, kortikosteroid yang diberikan adalah kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial dose yang digunakan
untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika
digunakan kurang dan 3 4 minggu, kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis
yang paling kecil dengan masa keija yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk
meminimal efek samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan
terjadi umpan balik yang maksimal dari sekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari
kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal sehingga dosis
rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam han sebelum tidur dapat digunakan
untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne maupun birsustisme.


Pada pengobatan dengan kortikosteroid hendaknya jangan lupa mencari penyebabnya.
Kortikosteroid yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama digunakan dan
harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednison
dimetabolisme dihepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi, gangguan kor,
atau keadaan lain yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih kortikosteroid yang
efek kortikosteroidnya sedikit/tidak ada, lebih-lebih bila diperlukan dosis kortikosteroid yang
tinggi.
Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralokortikoid jangan dipakai pada
pemberian jangka panjang (lebih dan pada sebulan). Triamsinolon lebih sering memberi efek
samping berupa miopati dan anoreksia sehingga berat badan menurun. Pada penyakit berat
dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis dan sindroma steven johnson harus
diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Biasanya yang digunakan yaitu deksametason
i.v karena lebih praktis. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan
diganti dengan tablet prednison.
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami
perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya tidak mengalami
eksaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi
supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau
dosis prednison meebihi 5 mg per han dan kalau lebih dan sebulan. Pada sindrom putus obat
terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jarang melebihi 39C.
Pada pengobatan penyakit autoimun diperlukan kortikosteroid dalam jangka waktu
yang lama dan dicani dosis pemelihanaan. Dosis pemeliharaan ditentukan dengan
menurunkan dosisnya berangsur-angsur. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar
adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi han
(jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian
dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya,
pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih
rendah danipada dosis pada han pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya
diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang
seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan
berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan
selang sehari.
Terjadinya efek samping tergantung pada dosis, lama pengobatan dan macam
kortikosterid. Pada pengobatan jangka pendek (beberapa hari / minggu) umumnya tidak
terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya pada pengobatan jangka panjang (beberapa
bulan / tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadinya efek tersebut, yaitu:
1. Diet tinggi protein dan rendah garam.
2. Pemberian KC1 3x500 mg sehari untuk orang dewasa, jika terjadi defisiensi
Kalium
3. Obat anabolik
4. ACTH diberikan 4 minggu sekali, yang biasanya diberikan ialah ACTH sintetik,
yaitu synacthen depot sebanyak 1 mg (100 IU), pada pemberian kortikosteroid
dosis tinggi dapat diberikan seminggu sekali.
5. Antibiotik perlu diberikan, jika dosis prednison melebihi 40 mg sehari
6. Antasida

3.1.3 Efek Samping

Tabel 2. Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.

Tempat Macam efek samping
1 Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
2 Otot Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu
3 Susunan saraf pusat Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah.
4 Tulang Osteoporosis, fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur
tulang panjang.
5 Kulit Hirsutisme, hipotropi, striae atrofise, dermatosis akneiformis,
purpura,



6 Mata Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
7 Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
8 Pembuluh darah Kenaikan tekanan darah
9 Kelenjar adrenal bagian
kortek
Atrofi, tidak bisa melawan stres
10 Metabolisme protein, Kebilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia, gula
KH dan lemak meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
11 Elektrolit Retensi Na/air, kehilangan kalium.(astenia, paralisis,
tetani, aritmia kor)
12 Sistem immunitas Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Th herpes simplek,.
dan keganasan dapat timbul

Efek samping pada tulang terjadi umumnya pada manula dan wanita saat menopause.
Efek samping lain adalah sindrom Cushing yang terdiri atas moon face, buffalo hump,
penebalan lemak suprakavikula, obesitas sentral, striae atrofise, purpura, dermatosis
akneformis dan hirsustisme. Selain itu juga gangguan menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor
serebri, impotensi, hiperhidrosis, flushing, vertigo, hepatomegali dan keadaan ateroskierosis
dipercepat. Pada anak memperlambat pertumbuhan.

Tabel 3. Mengenal lama kerja, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen, dan
potensi
mineralokortikoid
Keteragan:
Masa paruh biologik kortikostreroid
Kerja singkat : 8-12 jam
Kerja sedang : 12-36 jam
Kerja lama : 36-72 jam

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan
deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan
Macam Kortikosteroid Potensi glukokortikoid Dosis ekuivalen (mg) Potensi mineralokortikoid
1. Kerja singkat
a. Hidrokortison
b. Kortison

1
0,8

20,0
25,0

2+
2+
2. Kerjasedang
a. Meprednison
b. Metilprednisolon
c. Prednisolon
d. Prednison
e. Triamsinolon

4-5
5
4
4
5

4,0
4,0
5,0
5,0
4,0

0
0
1+
1+
0
3. Kerjalama
a. Betametason
b. Deksametason
c. Parametason

20-30
20-30
10

0,60
0,75
2,0

0
0
0
kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan
(potensi) dan yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan
deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan
kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam.
Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.

3.1.4 Monitor

Dasar evaluasi yang digunakan sebelum dilakukan pengobatan kortikosteroid untuk
mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat personal dan keluarga dengan
perhatian khusus kepada penderita yang memiliki predisposisi diabetes, hipertensi,
hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang terpengaruh dengan pengobatan steroid.
Tekanan darah dan berat badan harusrus tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka
lama perlu dilakukan pemeriksaan mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan
menggunakan computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dual-energy x
ray absorptiometry (DEXA).
Sedangakan selama penggunaan kortikosteroid tetap perlu dilakukan evaluasi
diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi, nyeri abdomen, demam,
gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan glukokortikoid dosis besar mempunyai
kemungkinan terjadi efek yang serius terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan
tekanan darah tetap selalu di monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol,
dan trigliserida tetap diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus
darah yang menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan
terjadinya katarak dan glaukoma

Tabel 4. Berikut hal - ha1 yang perlu di monitor selama penggunaan
glukokortikoid
jangka panjang

No Efek samping Monitor
1 Hipertensi Tekanan darah
2 Berat badan meningkat Berat badan
3 Reaktivasi infeksi PPD, (12 han setelah pemakaian prednison)
4 Abnormalitas metabolik Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita diabetes
dan hiperlipidemia)
5 Osteoporosis Densitas tulang
6 Mata
Katarak
Glaukoma

Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12 bulan)
Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan ke
enam)
7 Ulkus peptik Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau proton
pump inhibitor
8 Supresi kelenjar adrenal Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum kortisol
pada jam 8 pagi sebelum tapering off.


Pada pengobatan jangka panjang harus waspada terhadap efek samping, hendaknya
diperiksa tensi, berat badan (seminggu sekali), EKG (sebulan sekali) terutama pada usia di
atas 40 tahun, dan pemeriksaan laboratorium: Hb, jumlah leukosit, hitung jenis, LED, urin
lengkap, kadar Na dan K dalam darah, gula darah (seminggu sekali), foto toraks, apakah ada
tuberkulosis paru (3 bulan sekali).
Efek samping yang juga berat ialah osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur.
Pada pemberian kortikosteroid yang jangka panjang, misalnya pada penyakit autoimun
hendaknya sejak semula diusahakan pencegahannya. Penderita dikonsultasikan ke sub bagian
ortopedi. Pada wanita saat menopouse dikonsultasikan ke bagian kebidanan untuk
kemungkinan terapi hormonal, karena pada masa tersebut rentan mendapat osteoporosis.

3.1.5 Indikasi Dan Dosis

Indikasi kortikosteroid ialah dermatosis alergik atau yang dianggap mempunyai dasar
alergik, Pada tabel dibawah lni dicantumkan berbagai penyakit yang dapat diobati dengan
kortikosteroid serta dosisnya.
Tabel 5. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari














Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman,
tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak
disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan,
dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.

3.2. KORTIKOSTEROID TOPIKAL
3.2.1. Pendahuluan

Pada tahun 1952 SULZBERGER dan WITTEN memperkenalkan hidrokortison dan
hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dan golongan kortikosteroid. Hal im
merupakan kemajuan yang sangat besar dalam pengobatan penyakit kulit karena
kortikosteroid mempunyai khasiat yang sangat luas yaitu anti inflamasi, anti alergi, anti
pruritus, anti mitotik, dan vasokontriksi. Pada penyelidikan ternyata bahwa kortison dan
adreno cortico trophic hormone (ACTH) tidak efektif sebagai obat topikal.
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3xl0 mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SSJ berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritroderma Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
LED Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x 10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan kortikosteroid yang
lebih poten dari pada hidrokortison, yaitu kortikosteroid yang bersenyawa halogen yang
dikenal sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F pada posisi 6 dan 9 dan
satu rantai samping pada posisi 16 dan 17, menghasilkan bentuk yang mempunyai potensi
tinggi. Zat-zat ini pada konsentrasi 0,025% sampai 0,1% memberikan pengaruh anti inflamasi
yang kuat, yang termasuk golongan ini ialah, antara lain ; betametason, betametason valerat,
betametason benzoat, fluosinolon asetonid dan triamsinolon asetonid.

3.2.2 Penggolongan

Kortikosteroid topikal bagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya berdasarkan anti
inflamasi dan anti mitotik, Golongan 1 yang paling kuat daya anti inflamasi dan anti
mitotiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

Tabel 6. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi kilnis:
Kiasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment
Diprolene AF cream
Psorcon ointment
Temovate ointment
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment
Ultravate cream
0,05% betamethason dipropionate

0,05% diflorasone diacetate
0,05% clobetasol propionate


0,05% halobetasol propionate

Golongan II: (potensi tmggi)

Cyclocort ointment
Diprosone ointment
Elocon ointment
Florone ointment
Halog ointment
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment
Lidex cream
0,1% ameinonide
0,05% betamethasoiie dipropionate
0,01% mometasone fuorate
0,05% diflorasone diacetate
0,01% halcinonide


0,05% fluocinonide

Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment
Maxivate cream
Topicort ointment
Topicort cream
Topicort gel


0,05% diflorasone diacetate
0,05% betamethasone dipropionate

0,25% desoximetasone

0,05% desoximetasone
Golongan III: (potensi finggi)

Aristocort A ointment
Cultivate ointment
Cyclocort cream
Cyclocort lotion
Diprosone cream
Flurone cream
Lidex E cream
Maxiflor cream
Maxivate lotion
Topicort LP cream
Valisone ointment
0,1% triamcinolone acetonide
0,005% fluticasone propionate
0,1 amcinonide

0,05% betamethasone dipropionate
0,05% diflorosone diacetate
0,05% fluocmomde
0,05% diflorosone diacetate
0,05% betamethasone dipropionate
0,05% desoxitnetasone
0,01% betamethasone valerate

Golongan IV: (potensi medium) Aristocort omtment
Cordran ointment
Elocon cream
Elocon lotion
Kenalog ointment
Kenalog cream
Synalar ointment
Westcort ointment
0,1% traamcinolone acetomde
0,05% flurandrenolide
0,1% mometasone furoate

0,1% triamcinolone acetonide

0,025% fluocinolone acetonide
0,2% hydrocortisone valerate
Golongan V: (potensi medium) Cordran cream
Cutivate cream
Dermatop cream
Diprosone lotion
Kenalog lotion
0,05% flurandrenolide
0,05% fluticasone propionate
0,1% prednicarbate
0,05% betamethasone dipropionate
0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment
Locoid cream
Synalar cream
Tridesilon ointment
Valisone cream
Westcort cream
0,1% hydrocortisone butyrate

0,025% fluocinolone acetonide
0,05% desonide
0,1% betamethasone valerate
0,2% hydrocortisone valerate
Golongan VI: (potensi medium) Aclovate ointment
Aclovate cream
Aristocort cream
Desowen cream
Kenalog cream
Kenalog lotion
Locoid solution
Synalar cream
Synalar solution
Tridesilon cream
Valisone lotion
0,05% aclometasone

0,1% triamcinolone acetonide
0,05% desonide
0,025% triamcinolone acetonide

0,1% hydrocortisone butyrate
0,01% fluocinolone acetonide

0,05% desonide
0,1% betamethasone valerate

Golongan VII: Potensi lemah) Obat topical dengan
hidrokortison,
dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone


3.2.3 Penggunaan Klinik

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatjf dan
supresjf terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada
kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan
usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada
dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan
kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai
dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar
kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus
eritematosus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika
diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema
fikstum. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit
kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan
secara sistemik.
Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati.
Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping
terhadap pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu
yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit
bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum,
kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat
sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi
secara sempurna Pada bayi prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka
penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi
steroid topikal meningkat. Selain itu, pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering,
waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan
perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering
digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (SOP). Percobaan pada
hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan
abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek
pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi
di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang
besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan
memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester
pertama dengan bibir sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate
saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan
pada saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan
hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan
kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah
steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang
menyusui.
Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata
dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/ hari, sedangkan dosis
dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang
sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid
sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.

3.2.4 Indikasi

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit (MARKS 1985). Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid topikal
bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan
kausal.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal ialah psoriasis, dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis
numularis, dermatitis stasis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa dan dermatitis
solaris (fotodermatitis).
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus eritematosus diskoid, psoriasis
ditelapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipoidika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare,
sarkoidosis. liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid intralesi ialah keloid, jaringan parut
hipertrofik, alopesia areata, akne berkista, prurigo nodularis, morfea, dermatitis dengan
likenifikasi, liken amiloidosis, dan vitiligo sebagian responsif).
Disamping kortikosteroid topikal tersebut ada pula kortikosteroid yang disuntikan intralesi,
misalnya triamsinolon asetonid.

3.2.5 Pemilihan Jenis Kortikosteroid Topikal

Pada saat memilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan
harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu jenis
penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas atau tidaknya
lesi, dalam atau dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan umur
penderita.
Steroid topikal terdiri dan berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis. Salep
(ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi
seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis
ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung
pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan
dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum komeum sehingga meningkatkan penyerapan
dan potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim meniiliki komposisi yang
bervaniasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya
hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara
kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan
bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion
(bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin
sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim. Lotion terdiri dan agents yang membantu
melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdini dan air, alkohol dan propylene glycol. Gel komponen
solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel
memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada
pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara
kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien.

3.2.6 Aplikasi KIinis
a. Cara aplikasi
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3x/hari sampai penyakit tersebut
sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah
menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang
berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya akan
menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
b. Lama pemakaian steroid topikal
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dan 4-6 minggu untuk
steroid potensi lemah dan tidak lebih dan 2 minggu untuk potensi kuat.

3.2.7 Efek Samping

Efek samping terjadi bila:
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan
2. Penggunaan kortikosteroid topilcal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan secara okiusif
Harus diingat bahwa makin tinggi potensi kortikosteroid topikal, makin cepat terjadinya efek
samping. Gejala efek samping:
1. Atrofi
2. Strie atrofise
3. Telengiektasis
4. Purpura
5. Dermatosis akneiformis
6. Hipertrikosis setempat
7. Hipopigmentasi
8. Dermatitis perioral
9. Menghambat penyembuhan ulkus
10. Infeksi mudah terjadi dan meluas
11. Gambaran kilnis penyakit infeksi menjadi kabur

Dermatofitosis yang diobati dengan kortikosteroid topikal gambaran klinisnya menjadi tidak
khas karena efek anti inflamasinya. Pinggir yang eritematosa dan berbatas tegas menjadi
kabur dan meluas dikenal sebagai tinea incognito.

3.2.8 Pencegahan Efek Samping

Efek sampmg sistemik jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah
jangan melebihi 30 gram sehari .
Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya dipakai kortikosteroid topikal yang lemah.
Pada kelainan akut dipakai pula kortikosteroid topikal yang lemah. Pada kelainan subakut
digunakan kortikosteroid topikal sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid
topikal kuat. Bila telah membaik pengolesan dikurangi, yang semula dua kali sehari menjadi
sehari sekali atau diganti dengan kortikosteroid topikal sedang/lemah untuk mencegah efek
samping.
Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan
pemakaiannya terbatas pada lesi yang resisten.
Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan kortikosteroid topikal
lemah / sedang. kortikosteroid topikal jangan digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi
mikotik, infeksi virus, dan skabies.
Di sekitar mata hendaknya berhati-bati untuk menghindari timbulnya glaukoma dan
katarak. Terapi intralesi dibatasi I mg pada satu tempat, sedangkan dosis maksimum perkali
10mg.

Anda mungkin juga menyukai