KORTIKOSTEROID DERMATOLOGI
Pembimbing :
Disusun Oleh :
2020
KATA PENGANTAR
Nadya Lutfi
1. Kortikosteroid Sistemik
a. Pengertian
Kortikosteroid sistemik (KS) banyak dugunakan dalam bidang
dermatologi karena obat tersebm mempunyai efek anti-inflamasi dan
imunosupresi. Sejak KS digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut
sangat menolong pasien. Berbagai penyakit dapat dipersingkat masa
penyembuhannya, bahkan penyakit berat yang dahulu banyak menyebabkan
kematian, misalnya pemfugus, angka kematiannya dapat ditekan berkat
pengobatan dengan KS. Pada bab ini dibicarakan mengenai cara kerja KS,
indikasi, cara penggunaan serta efek samping KS.1
c. Indikasi
Penyakit-penyakit berikut ini merupakan indikasi penggunaan Kortikosteroid
Sistemik :
1. Penyakit vesikobulosa autoimun (pemflgus, pemflgoid bulosa)
2. Reaksi anafilaksis (akibat sengatan, alergi obat)
3. Penyakit jaringan ikat dan gangguan vaskular autolmun (lupus
erltematosus slstemik, dermatomlositis, vaskulitis)
4. Reaksi kusta tipe1
5. Urlikaria yang luas atau rekalsitran dan angioedema
6. Lain-lain: ploderma gangrenosum, sarkoldosis, penyakit Behcet. 1
Sebagai tambahan, KS jangka pendek dapat diberikan pada berbagai
dermatitis yang beral, termasuk dermatitis kontak, dermatitis atopik dan
3
eritroderma. KS juga sering diben'kan pada kasus eritema multlforme dan SSJ-
NET, walaupun belum terbukti keunggulannya melalui uji klinis. 1,2
d. Cara Penggunaan
KS dapat diberikan semra intralesi, oral, intramuskular atau inlravena
bergantung pada penyakit yang akan diobati. Tendapat 3 kelompok KS sesuai
dengan masa keq'anya (lihat tabel 57.1), yang memlliki perbedaan potensi
glukokortikold (GK) dan mineralokortikold (MK), waktu paruh plasma (WPP)
dan waktu paruh blologls (WPB). 1,2
Prednison merupakan KS yang telah lama digunakan. Bila terdapat
gangguan hepar, dlanjurkan untuk menggunakan metilprednlsolon karena
prednison dimetabolisme hepar menjadi metilprednisolon. Pada paslen dengan
hipertensi, gangguan jantung atau keadaan lain dengan masalah retensi garam
Pada tabel 57.2 dicantumkan berbagai penyakit yang dapat diobati dengan KS
serta dosis awalnya, dipilih KS yang memiliki efek mineralokortikoid kedl atau
tidak ada (lihat tabel 57 .1). 1,2
Tabel 57.1 Konsep Farmakologi Kortikosteroid Sistemik.
Jenis KS Dosis Potensi Potensi WPP WPB
Ekuivalen GK MK (menit) (jam)
(mg)
Masa kerja singkat
Kortison 25 0,8 2+ 30-90 8-12
Kortisol 20 1 2+ 60-120 8-12
Masa kerja sedang
Prednison 5 4 1+ 60 24-36
Metilprednison 4 5 0 180 24-36
Triamnisolon 4 5 0 78-188 24-36
Masa kerja panjang
Deksametason 0,75 20-30 0 100-300 36-54
Tabel 57.2 Dosis inisial Kortikosteroid sistemik perhari untuk orang dewasa pada
berbagai dermatosis.
Nama Penyakit Jenis Kortikosteroid dan dosis per hari
Dermatitis Metilprednisolon 16 – 24 mg dosis terbagi
Erupsi alergi obat ringan Metilprednisolon 24 – 32 mg dosis terbagi
Sindrom Stevens-Johnson – Metilprednisolon 1 – 3 x 62.5 mg dosis terbagi
NET
Eritoderma Metilprednisolon 40 mg – 62,5 mg dosis terbagi
Reaksi lepra Metilprednisolon 24 – 48 mg
Pemfigus vulgaris Metilprednisolon 40 – 125 mg dosis terbagi
Pemfigoid bulosa Metilprednisolon 32 – 62,5 mg dosis terbagi
Pada keadaan parah yang mungkin dapat mengancam jiwa, dosis awal
yang tinggi diberikan untuk menginduksi penyembuhan, kemudian secara
bertahap dosisnya dikurangi sampai dihentikan sama sekali. Masalah utama
adalah bahwa ketika dosis dikurangi penyakit dapat kambuh lagi, terutama bila
pengurangan dosis dilakukan terlalu cepat. Oleh karena itu kecenderungan
yang terjadi adalah meningkatkan dosis pemeliharaan, dan akibatnya pasien
menjadi bergantung pada kortikosteroid. Karena itu dewasa ini diberikan pulse
dose kortikosteroid (misalnya metilprednisolon intravena hingga 1 g selama
tiga hari berturut-turut) untuk menekan reaksi radang aktif, dan pengobatan
untuk jangka yang lebih lama digunakan DMARDs. Selain itu pada anak, jika
tidak mungkin menghentikan pemberian kortikosteroid, pertimbangkan untuk
diberikan selang hari (atau selang seling antara dosis tinggi dengan dosis
rendah); dan pada hari kortikosteroid tidak diberikan atau diberikan dalam
dosis rendah, dapat ditambah AINS.2
e. Efek Samping
Pada umumnya, efek samping pada penggunaan KS meningkat sesuai
dengan peningkatan dosis, lama pengobatan dan frekuensi penggunaan. Namun
osteoporosis dan katarak juga terjadi pada penggunaan KS selang sehari dan
nekrosis avaskuiar dapat timbui pada terapi singkat KS. Berbagai efek samping
KS dapat dilihat pada tabel 57.3. 4
Tabel 57.3 Efek samping penggunaan kortikosteroid sistemik.
Lokasi Macam efek samping
HPA axix Krisis adrenal (atrofi korteks adrenal sehingga tidak dapat
mengatasi stres)
Metabolisme Hiperglikemia, hiperlipidemia, perlemakan hati, katabolisme
protein, perubahan Cuchingoid
Kardiovaskular Kenaikan tekanan darah, gagal jantung
Tulang dan Sendi Gangguan pertumbuhan (anak), osteoporosis, skoliosis,
nekrosis avaskular
Saluran Cerna Tukak lambung, hipersekresi asam lambung, pankreatitis,
ileitis regional, kolitis ulseratif
Otot Miopati panggul / bahu, hipotrofi, fibrosis
Kulit Striae atrofise, hirsutisme, hipotrofi, erupsi akneiformis,
purpura, talangiektasis
Mata Katarak, glaukoma
Darah Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit da limfosit retensi natrium,
hipokalemia
Sistem Imunitas Rentan terhadap infeksi, reaktivasi,
Lain-lain Sindrom Cuching, gangguan menstruasi, pseudotumor
serebri, nyeri kepala, impotensi, hiperhidrosis, flushing,
perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecenderungan
bunuh diri), nafsu makan bertambah
Efek samping lain ialah sindrom Cushing yang terdiri atas muka bulan,
buffalo hump, penebalan lemak supraklavikula, obesitas sentral, strie atrofise.
purpura, dermatosis akneformis, dan hirsutisme. Selain itu juga gangguan
menstruasi, nyeri kepala, pseudotumor serebri, impotensi, hiperhidrosis,
flushing, vertigo, hepatomegali, dan keadaan aterosklerosis dipercepat. Pada
anak memperlambat pertumbuhan. 5
f. Cara Pengobatan
Pada pengobatan dengan K.S. hendaknya jangan lupa mencari
penyebabnya. K.S. yang banyak dipakai ialah prednison karena telah lama
digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan
prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. 6
Pada pendenta dengan hipertensi, gangguan kor, atau keadaan iain yang
retensi garam merupakan masaiah, maka dipilih K.S. yang efek
mineralokortikoidnya sedikit/tidak ada (Bhat tabei 48-2), tenebih-tebih bita
dipedukan dosis K.S. yang tinggi. K.S. yang memberi banyak efek
mineralokortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (iebih daripada
sebulan). Triamsinolon |ebih sering memberi efek samping berupa miopati dan
anoreksia sehingga berat badan menurun. 6
Efek samping yang juga berat ialah osteoporosis yang dapat menyebabkan
fraktur. Pada pamperian K.S. yang diperkirakan long term, misalnya pada
penyakit autoimun hendaknya sejak semula diusahakan pencegahan'nya.
Ponderita dikonsultasikan ke Subbagian Onopedi. Pada wanita saat
menopause dikonsultasikan ke Bagian Kebidanan untuk kemungkinan terapi
hormonal, karena pada masa tersebut rentan mendapat osteoporosis. 6
2. Kortikosteroid Topikal
a. Pendahuluan
Pada tahun 1952 SULZBERGER dan WITTEN memperkenalkan
hidrokortison dan hidrokortison asetat sebagai obat topikal pertama dan
golongan kortikosteroid. Hal ini merupakan kemajuan yang sangat
besar dalam pengobatan penyakit kulit karena kortikosteroid mempunyai
khasiat yang sangat luas yaitu anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti
mitotik, dan vasokontriksi. Pada penyelidikan ternyata bahwa kortison dan
adreno cortico trophic hormone (ACTH) tidak efektif sebagai obat topikal.
Pada perkembangan selanjutnya, pada tahun 1960 diperkenalkan kortikosteroid
yang lebih poten dari pada hidrokortison, yaitu kortikosteroid yang bersenyawa
halogen yang dikenal sebagai fluorinated corticosteroid. Penambahan 1 atom F
pada posisi 6 dan 9 dan satu rantai samping pada posisi 16 dan 17,
menghasilkan bentuk yang mempunyai potensi tinggi. Zat-zat ini pada
konsentrasi 0,025% sampai 0,1% memberikan pengaruh anti inflamasi yang
kuat, yang termasuk golongan ini ialah, antara lain ; betametason, betametason
valerat, betametason benzoat, fluosinolon asetonid dan triamsinolon asetonid.7
d. Kekuatan
Potensi/kekuatan adalah jumlah obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan
efek terapi yang diinginkan. Potensi/kekuatan KT dapat diukur dengan
menghitung daya vasokonstriksi. Daya vasokonstriksi di kulit orang sehat
menjadi dasar klasifikasi potensi. Efek terapi KT pada setiap pasien hasilnya
bervariasi. Keberhasilan terapi tidak hanya bergantung pada kekuatan KT,
tetapi juga dipengaruhi oleh frekuensi dan jumlah obat yang diaplikasikan,
jangka waktu pemberian terapi, dan lokasi anatomi. Terdapat perbe-daan hasil
pengobatan KT walaupun formula generiknya sama atau di satu kelas yang
sama. Setiap nama dagang tertentu meng-gunakan vehikulum yang berbeda.
Bentuk lotion, krim, salep, ataupun gel memberikan hasil berbeda. Konsentrasi
formula juga akan mempengaruhi potensi KT. Sebagai aturan umum, KT
potensi rendah adalah agen paling aman untuk penggunaan jangka panjang,
pada area permukaan besar, pada wajah, atau pada daerah dengan kulit tipis
dan untuk anak-anak. KT yang lebih kuat sangat berguna untuk penyakit yang
parah dan untuk kulit yang lebih tebal di telapak kaki dan telapak tangan. KT
potensi tinggi dan super poten tidak boleh digunakan di selangkangan, wajah,
aksila dan di bawah oklusi, kecuali dalam situasi yang jarang dan untuk durasi
pendek. KT diklasifi kasi-kan menjadi tujuh kelas menurut sistem Amerika
dengan kelas I merupakan super poten dan kelas VII menunjukkan potensi
yang paling rendah. Menurut formularium nasional Inggris, KT dibagi menjadi
empat kelompok sesuai dengan potensinya.9,10
e. Bentuk Sediaan
Pemilihan bentuk sediaan disesuaikan dengan keadaan, di antaranya lokasi
dermatosis. Perhatikan kenyamanan pasien karena dapat mempengaruhi
kepatuhan. Salep bersifat lengket dan berminyak, kurang nyaman bagi pasien.
Salep lebih nyaman digunakan pada lesi hiperkeratotik yang kering dan tebal.
Salep lebih meningkatkan potensi dibandingkan dengan kemasan krim, karena
salep bersifat lebih oklusif. Salep tidak dianjurkan pada daerah intertriginosa
dan pada daerah berambut karena dapat menimbulkan maserasi dan folikulitis.
Krim lebih disukai terutama jika digunakan pada bagian tubuh yang terbuka,
karena tidak tampak berkilat setelah dioleskan. Selain nyaman, krim tidak
iritatif, juga dapat digunakan pada lesi sedikit basah atau lembap dan di daerah
intertriginosa Krim lebih baik untuk efeknya yang nonoklusif dan cepat kering.
Lotion dan gel paling sedikit berminyak dan oklusif dari semua sediaan KT.
Konsistensi lotion lebih ringan, mudah diaplikasikan dan nyaman dipakai di
daerah berambut, misalnya kulit kepala. Vehikulum beralkohol (tingtura) dapat
me-ngeringkan lesi eksudatif, tetapi terkadang ada rasa seperti tersengat.9,10
f. Jumlah
Untuk menghitung jumlah KT yang di-resepkan, sebaiknya menggunakan
ukuran “fi ngertip unit” yang dibuat oleh Long dan Finley. Satu “fi ngertip
unit” setara dengan 0,5 gram krim atau salep (Gambar 1). Ukuran tersebut
berbeda pada orang dewasa dan anak (tabel 3 dan 4).9,10
Pada dewasa dianjurkan pemberian KT poten tidak melebihi 45 gram per
minggu atau KT potensi menengah tidak melebihi 100 gram per minggu.
Pasien dermatitis kronik, misalnya dermatitis atopik, mungkin menggunakan
KT potensi kuat atau KT potensi lebih rendah dalam jumlah berlebihan atau
mengoles KT lebih sering atau memakai emolien. Sebaliknya, terkadang
mereka takut efek samping dan mengoleskan hanya seminggu sekali, sehingga
pemakaian KT di bawah standar dan tidak efektif. Pada laki-laki satu fi ngertip
unit setara dengan 0,5 gram, sedangkan pada perempuan setara dengan 0,4
gram. Bayi dan anak kira-kira 1/4 atau 1/3 nya. Jumlah krim atau salep yang
dibutuhkan per hari dapat dikalkulasi mendekati jumlah yang seharusnya
diresepkan.10
Gambar 1. Fingertip Unit
2 FTU = 1 g
FTU = Fingertip Unit / 1 FTU = 0.5 g of cream or ointment
Contoh: jika seorang perempuan dewasa mengoleskan kedua lengan dan
tangan sekali sehari, dia membutuhkan 3,2 gram per hari (diperlukan 8 fi
ngertip unit x 0,4 gram = 3,2 gram/hari) atau 22,4 gram per minggu. Tube
besar 50 gram kira-kira dapat digunakan untuk 2 minggu, tetapi bila
mengoleskannya 2 kali sehari hanya cukup untuk satu minggu. 10
g. Aplikasi
Pengolesan KT yang dianjurkan adalah 1-2 kali per hari tergantung
dermatosis dan area yang dioles. Pada terapi dermatitis atopik, dianjurkan 1-2
kali/hari. Pengolesan lebih dari 2 kali tidak memberikan perbedaan bermakna,
bahkan dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bila menggunakan potensi sedang
atau kuat, cukup dioleskan 1 kali sehari. Perlu diingat bahwa makin sering
dioleskan makin mudah terjadi takifilaksis. Teknik aplikasi pengolesan KT,
aplikasi sederhana oleskan salep tipis merata, pijat perlahan-lahan. Aplikasi
oklusi baik digunakan untuk lesi kering, hiperkeratotik, dan likenifikasi. Lesi
sebaiknya dibersihkan dengan air dan sabun, kemudian oles KT dan tutup
dengan pembungkus plastik (kedap air), bebat atau fiksasi dengan selotip agar
tidak bergeser. Biarkan tertutup selama 2-8 jam, oklusi dianjurkan saat malam
hari atau menjelang tidur.10
h. Lama Pemakaian
Pemakaian KT jangka panjang dapat menyebabkan efek takifi laksis, yaitu
pe-nurunan respons efek vasokonstriksi (kulit toleran terhadap efek
vasokonstriksi). Takifilaksis dapat terjadi 4 hari setelah pemakaian KT potensi
sedang-kuat 3 kali sehari di wajah, leher, tengkuk, intertrigi-nosa, atau pada
pemakaian secara oklusi. Efek takifilaksis menghilang setelah KT dihentikan
selama 4 hari. KT golongan sangat poten atau poten sebaiknya di-gunakan
tidak lebih dari 2 minggu. Bila di-gunakan jangka panjang, turunkan potensi
perlahan-lahan, turunkan ke potensi yang lebih rendah setelah digunakan 1
minggu, kemudian hentikan. Penghentian tiba-tiba potensi kuat menyebabkan
rebound symptoms (dermatosis menjadi lebih buruk). Cara menghindari efek
rebound dan memperlambat kekambuhan penyakit kulit kronis adalah dengan
pemberian intermiten. Pada psoriasis dapat diberikan KT golongan sangat
poten selama 1 minggupenuh lalu dihentikan selama 1 minggu, kemudian
dilanjutkan kembali sampai lesi terkontrol. Cara lain adalah dengan meng-
oleskan KT selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu atau diberikan 2 kali
dalam 1 minggu. Pada dermatitis atopik terapi KT dapat diberikan selama 2
hari berturut-turut setiap minggu. Pada pemakaian KT golongan II dan VI,
dianjurkan pemakaian 2 kali/hari dan lama pemberian 2-4 minggu. Bila
respons adekuat tidak tercapai dalam 4-7 hari, segera pilih KT golongan lain.11
i. Pelembap
Dalam tatalaksana dermatitis atopik, pe-makaian KT dianjurkan bersama-
sama dengan emolien atau pelembap dengan interval beberapa menit di antara
peng-olesan kedua obat tersebut. Sampai sekarang masih diperdebatkan dan
tidak ada panduan pasti mana yang lebih dahulu digunakan. Secara rasional
obat oles topikal lebih efektif bila dipakai setelah pelembap. Terdapat
anggapan bahwa jika dioleskan setelah pelembap, KT dapat mengalami difusi
dan menyebar ke area yang tidak memerlukan KT.11,12
j. Kombinasi
Pemakaian KT kombinasi (campuran KT dengan antimikroba atau
antijamur dalam 1 kemasan) dibolehkan dengan alasan ter-tentu dan hanya
digunakan dalam waktu singkat, yaitu 1-2 minggu. Efek yang diinginkan
adalah mengatasi infl amasi terlebih dahulu, kemudian dihentikan dan
dilanjutkan dengan obat antijamur. Kombinasi KT dengan antimikroba di-
berikan dalam 1 minggu, kemudian dilanjutkan dengan kortikosteroid saja.
Akan tetapi, terdapat anggapan bahwa pemberian preparat kombinasi KT
dengan antimikroba atau antijamur berdampak menyuburkan tumbuhnya
mikroba dan jamur.2,8,11 Kemasan kombinasi yang sering dijumpai adalah KT
dengan antijamur seperti clioquinol, chloroquinaldol 1-3%, dan nistatin.
Sedangkan, dengan antimikroba adalah neomisin, natamisin, garamisin, dan
asam fusidat 2%.11,12,21
k. Efek Samping
Efek samping, baik lokal maupun sistemik, lebih sering terjadi pada bayi
dan anak, pada pemakaian KT jangka panjang, potensi kuat, dan pada
pengolesan lesi yang luas.11,12
n. Reaksi Hipersensitivitas
Dermatitis kontak akibat KT umumnya jarang terjadi. Prevalensi
diperkirakan 0,2-6%, umumnya lebih sering disebabkan oleh KT non-fl
uorinated. Perlu diperhatikan respons KT kurang memuaskan bila terdapat
infeksi yang tidak terdiagnosis. Dermatitis kronik sulit diatasi, karena adanya
fenomena adiksi terhadap KT. Perlu dibedakan antara reaksi hipersensitif
terhadap KT atau reaksi hipersensitif terhadap vehikulum atau bahan pengawet;
pembuktian dapat dengan uji tempel. Vehikulum yang berpotensi
menyebabkan alergi di antaranya adalah propilen glikol, sorbitan sesquoleate,
lanolin, paraben, formaldehid, dan pewangi.13,14,15,20
o. Mengoptimalkan Penggunaan
1. Memilih KT dan vehikulum yang tepat sesuai indikasi dermatosis.
Mulailah dengan potensi ringan, terutama untuk lesi di wajah,
2. kelopak mata, intertriginosa, fl eksural, skrotum, dan untuk area yang luas.
3. Menggunakan potensi KT yang sesuai untuk mencapai pengendalian
penyakit. Makin kuat potensi, makin kuat daya infl amasi, dan
antiproliferasi.
4. Turunkan potensi KT atau kurangi frekuensi aplikasi setelah hasil yang
me-muaskan dicapai. Turunkan perlahan-lahan sampai remisi terkontrol
lengkap.
5. KT poten atau sangat poten dengan teknik oklusi lebih bermanfaat pada
6. lesi kronik ditandai hiperkeratosis dan likenifi kasi.
7. Hati-hati meresepkan KT, terutama untuk anak, orang tua, wanita hamil
dan menyusui.
8. Waspada terhadap efek samping dan segera hentikan bila terjadi.
9. Bila tidak ada indikasi hindari meng-gunakan preparat kombinasi KT
dengan antimikroba dan antijamur.
10. Menghindari penggunaan KT untuk ruam yang tidak terdiagnosis karena
akan mengaburkan diagnosis.15,18,19
p. Monografi
1. ALKLOMETASON DIPROPIONAT
Indikasi:
kelainan radang kulit seperti eksim.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1 - 2 kali sehari.
2. BEKLOMETASON DIPROPIONAT
Indikasi:
kelainan radang kulit yang berat seperti eksim yang tidak memberi respons
pada kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan: dioleskan tipis 1-2 kali sehari.
3. BETAMETASON DIPROPIONAT
Indikasi:
psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas. Pemberian lebih dari 100 g
per minggu dari sediaan 0,1% menimbulkan penekanan adrenal.
Kontraindikasi:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari.
4. DESOKSIMETASON
Indikasi:
Radang akut yang berat, kelainan kulit alergis dan kronis; psoriasis, lihat
keterangan di atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari.
5. DIFLUKORTOLON VALERAT
Indikasi:
radang kulit yang hebat seperti eksim yang tidak menunjukkan respons
dengan kortikosteroid kurang kuat, kekuatan tinggi (0,3%) pengobatan
jangka pendek untuk eksaserbasi yang hebat; psoriasis, lihat keterangan di
atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas; tidak lebih dari 60 g dari
sediaan 0.3% dioleskan per minggu.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis 1-2 kali sehari hingga 4 minggu (sediaan 0,1%) atau 2
minggu (sediaan 0,3%), kurangi kekuatan menurut respon.
6. ESTER BETAMETASON
Indikasi:
kelainan radang kulit yang berat seperti eksim tidak menunjukkan respons
pada kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas. Pemberian lebih dari 100 g
per minggu dari sediaan 0,1% menimbulkan penekanan adrenal.
Kontraindikasi:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat pada hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari.
7. FLUOKORTOLON
Indikasi:
kelainan radang kulit yang berat seperti eksim yang tidak menunjukan
respons terhadap kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat
keterangan di atas.
Peringatan:
lihat pada Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat pada Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat pada Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari, kurangi kekuatan sesuai dengan respon.
8. FLUOSINOLON ASETONID
Indikasi:
kelainan radang kulit seperti eksim, psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehari, kurangi kekuatan sesuai respon.
9. FLUTIKASON PROPIONAT
Indikasi:
kelainan radang kulit seperti dermatitis dan eksim, yang tidak
menunjukkan respon terhadap kortikosteroid yang kurang kuat.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis krim 1 kali sehari atau salep 2 kali sehari.
10. HALSINONID
Indikasi:
pengobatan jangka pendek hanya untuk kelainan radang kulit yang resisten
seperti eksim yang membandel tidak menunjukkan respons terhadap
kortikosteroid yang kurang kuat; psoriasis, lihat keterangan di atas.
Peringatan:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Kontraindikasi:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Efek Samping:
lihat Hidrokortison dan keterangan di atas.
Penggunaan:
oleskan tipis 1-2 kali sehari.
11. HIDROKORTISON
Indikasi:
radang kulit ringan seperti eksim, ruam popok.
Peringatan:
lihat keterangan di bawah; juga hindarkan penggunaan jangka panjang
pada bayi dan anak-anak (hati-hati pada dermatoses pada bayi termasuk
ruam popok yang sedapat mungkin pengobatan harus dibatasi 5-7 hari)
hindarkan penggunaan jangka lama pada wajah (dan hindarkan dari mata);
kortikosteroid yang lebih kuat tidak boleh diberikan pada bayi di bawah 1
tahun (lihat keterangan di atas).
PSORIASIS. Risiko dari kortikosteroid yang lebih kuat pada psoriasis
antara lain kemungkinan kambuhnya, berkembangnya psoriasis pustuler,
toksisitas lokal dan sistemik.
Kontraindikasi:
luka kulit akibat bakteri, jamur atau viral yang tak diobati; rosacea (jerawat
rosacea) perioral dermatitis; tidak dianjurkan untuk akne vulgaris
(kontraindikasi khususnya untuk kortikosteroid lebih kuat).
Efek Samping:
lihat keterangan di atas.
Penggunaan:
dioleskan tipis 1-2 kali sehariBila krim atau salep hidrokortison diresepkan
dan tak ada kekuatan disebutkan, harus diberikan kekuatan 1%.
4. Breathnach SM, Smith CH, Chalmers RJG, Hay RJ. Systemic therapy.
Dalam : Bums T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C penyunting. Rook’s
Textbook of dermatology. Edisi ke-8. West Sussex: Wiley Blackwell
Publishing Ltd; 2010. h.74.2-4.
12. Valencia IC, Kerdel FA. Topical corticosteroids. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Co Inc;
2012. p. 2659-65.
13. Topical Steroids Potency Ranking table {highest to lowest}. Available from:
http://www.dermnetnz.org/treatments/topical-steroids.html.
14. Hengge UR, Ruzicka T, Schwartz RA, Cork MJ. Adverse effect of topical
glucocorticosteroids. J Am Acad Dermatol. 2006; 54(1): 5.
15. Finlay AY, Edwards PH, Harding KG. “Fingertip unit” in dermatology.
Lancet. 1989; II: 155.
16. Long CC, Finlay AY. The fingertip unit: A new practical measure. Clin
Exper Dermatol. 1991; 16: 444-6.
17. Long CC, Mills CM, Finlay AY. A practical guide to topical therapy in
children. Br J Dermatol. 1998: 138: 293-6.
18. Hamzah M. Dermatoterapi. In: Djuanda A, ed. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p.
342-52.
19. Djuanda A. Pengobatan dengan kortikosteroid sistemik dalam bidang
dermatovenereologi. In: Djuanda A, ed. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. p. 339-41.