PENDAHULUAN
Obat dapat didefinisikan sebagai suatu substansi kimia atau kombinasi dari
beberapa substansi yang dapat digunakan untuk pemeriksaan, pencegahan
maupun pengobatan dari penyakit ataupun gejala. Selain memberikan manfaat,
obat juga dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan atau yang merugikan
(Adverse Drug Reactions).(1) Keadaan ini cukup sering dijumpai dalam
tatalaksana pasien sehari-hari. Selain obat yang diresepkan dokter, obat yang
dijual bebas, termasuk herbal dan suplemen serta obat topikal dapat pula
menyebabkan reaksi yang merugikan baik ringan hingga mengancam jiwa.(2)
Dalam beberapa kasus, Adverse Drug Reaction (ADRs) merupakan hasil
dari kesalahan manusia (human error). Sebuah studi menyatakan bahwa 0.9%
dari 530 kasus kesalahan pengobatan menyebabkan ADRs.(1) Terdapat dua jenis
ADRs yaitu reaksi tipe A yang dapat diprediksi karena sifat farmakologik
obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat diprediksi dan terjadi pada
populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas.(2)
Kulit menjadi salah satu target yang paling sering untuk terjadinya ADRs.
Erupsi diamati pada 0.1 - 1% dari pasien yang terdaftar dalam uji coba pra-
pemasaran obat-obat sistemik. Pada kasus pengobatan antibiotik dan
antikonvulsan, paling sedikit 1-5% pasien yang menerima obat-obat tersebut
mengalami erupsi kulit.3 Sekitar 2% dari obat-obatan yang menginduksi reaksi
kulit dianggap serius oleh World Health Organization (WHO). Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN), reaksi obat dengan eosinophilia dan gejala sistemik (DRESS)
adalah contoh-contoh reaksi obat yang serius.(3)
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul
terhadap pemberian obat adalah sekitar 2.7% dari 48.000 pasien yang dirawat
pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.3 Adapun manifestasi
yang paling sering timbul yaitu erupsi obat eksantematosa (91.2%), urtikaria
(5.9%), dan vaskulitis (1.4%).(3)
Erupsi obat eksantematosa atau biasa juga disebut erupsi obat morbiliformi
atau makulopapular merupakan bentuk ADRs yang paling sering ditemukan.(3)
Timbul dalam 2-3 minggu setelah konsumsi obat tertentu dengan karakteristik
1
makula eritem dan papul yang menyebar cepat dan konfluens serta biasanya
muncul pertama dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer secara simetris
dan generalisata, dan hampir selalu disertai pruritus.(2,4)
Pada banyak kasus, pasien umumnya menggunakan obat tersebut untuk
pertama kali. Obat-obat yang biasanya menginduksi terjadinya erupsi obat
eksantematosa adalah penisillin, sefalosporin, sulfonamide, dan allopurinol
(dengan insidensi mencapai 50 kasus per 1000 pengguna baru) dan penggunaan
obat antikonvulsan seperti karbamazepin, fenitoin, dan lamotrigin (dengan
insidensi mencapai 100 kasus per 1000 pengguna baru).(5)
Fixed Drug Eruption (FDE) merupakan salah satu erupsi obat yang sering
dijumpai. Fixed Drug Eruptions (FDE) didefinisikan sebagai lesi rekuren pada kulit atau
mukosa setelah paparan berulang umurn kausatif. Pasien FDE biasanya mengeluhkan
gatal atau rasa terbakar, lesi terbatas, makula eritema, patch, atau plak dan biasanya
menjadi hiperpigmentasi setelah sembuh. Predileksi tersering di daerah bibir, tangan dan
genitalia, yang kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama hilang,
bahkan sering menetap. Ciri khas FDE adalah berulang pada predileksi yang sama setelah
pajanan obat penyebab. Obat penyebab yang sering menyebabkan FDE adalah tetrasiklin,
naproxen dan metamizol. 2,9
Penelitian tentang FDE di Taiwan Utara tahun 2012, menunjukkan bahwa obat-
obatan penyebab yang paling sering adalah obat anti-inflamasi non-steroid (12,8%) dan
antibiotik (10,3%). Ekstremitas selain tangan (71,8%) adalah tempat yang paling sering
terkena, diikuti oleh batang tubuh (51,3%), mukosa (38,5%), dan tangan (33,3%). Usia
rata-rata pasien FDE adalah 52,2 tahun.18
II. EPIDEMIOLOGI
Hasil survei prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative
Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul
terhadap pemberian obat adalah sekitar 2.7% dari 48.000 pasien yang dirawat
pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Beberapa jenis erupsi
obat yang sering timbul adalah erupsi obat eksantematosa (91.2%), urtikaria
(5.9%), dan vaskulitis (1,4%).(3)
2
Di Indonesia sendiri, data epidemiologi erupsi obat masih sangat bervariasi.
Pada suatu penelitian didapatkan angka kejadian erupsi obat sebesar 2.15% dari
seluruh pasien di bagian kulit. Angka kejadian erupsi obat dibagian rawat inap
menunjukkan adanya variasi dengan kisaran 1-3% hingga 10-15%. Pada
penelitian lain di RSUD Dr. Soetomo Surabaya bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, selama kurun waktu 3 tahun, mulai 1 Januari 2009 sampai 31 Desember
2011 ditemukan sebanyak 184 pasien (6.5%) dari 2.828 pasien rawat inap
mengalami erupsi obat.(6)
Berdasarkan penelitian lain di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama kurun waktu 3 tahun, didapatkan bahwa
penyakit erupsi obat paling sering terjadi pada wanita dibanding laki-laki dengan
persentasi wanita sebanyak 58.2% dan laki-laki sebanyak 41.2% dan terbanyak
pada kelompok umur 25-44 tahun serta paling sedikit pada kelompok umur 1-4
tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya paparan obat pada usia dewasa
muda.(7)
3
Gold salts (10-20%)
Reaksi kulit terhadap obat dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu
mekanisme non-imunologik atau imunologik.(2) Mekanisme non-imunologik
meliputi overdosis, efek samping farmakologis, toksisitas kumulatif, toksisitas
yang tertunda, interaksi obat, perubahan metabolisme, dan eksaserbasi penyakit.
Sedangkan erupsi obat idiosinkratik merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi
dan tidak dapat dijelaskan atas dasar sifat farmakologi obat. Untuk beberapa
reaksi ini, mekanisme imunologi diduga sebagai penyebabnya disertai bukti yang
mendukung. Metabolit reaktif obat dapat berikatan secara kovalen dengan protein,
dan protein yang diubah, dianggap asing, sehingga akan menginduksi respon
imun.(10)
Erupsi obat yang sering adalah reaksi hipersensitivitas dengan
mekanisme imunologi yang mendasari. Obat atau metabolitnya dapat bertindak
sebagai hapten yang menginduksi respon sel-mediasi atau respon humoral
tertentu.(3)
4
Reaksi hipersensitivitas berdasarkan klasifikasi Gell-Coombs terbagi empat
yaitu, reaksi hipersensitivitas tipe I (IgE-dependent) seperti urtikaria, angioedema
dan anafilaksis, reaksi hipersensitivitas tipe II (reaksi sitotoksik) seperti petechiae
sekunder akibat trombositopenia yang diinduksi oleh obat, reaksi hipersensitivitas
tipe III (kompleks antigen-antibodi) seperti vaskulitis, serum sickness dan tipe
urtikaria tertentu, dan reaksi hipersensitivitas tipe IV (Possible delayed-type)
seperti erupsi eksantematosa, fixed and lichenoid drug eruptions, serta Sindrom
Stevens-Johnson (SJS) dan TEN.(3)
Obat-obatan yang menginduksi ADR dapat menciptakan reaksi yang
dimediasi imun melalui beberapa mekanisme. Kebanyakan obat perlu
dimetabolisme menjadi bentuk yang lebih aktif atau lebih imunogenik untuk
mengikat protein dan menyebabkan reaksi imunologi. Metabolit obat juga bisa
menjadi toksik bagi sel, sehingga menyebabkan kerusakan sel secara langsung.
Metabolisme ini terjadi pada sistem sitokrom P450 di hati.(11)
5
oleh sel Langerhans bersama dengan sinyal inflamasi menyebabkan maturasi sel
Langerhans. Maturasi sel Langerhans ini melepaskan sinyal langsung ke limfo
nodus, dimana sel Langerhans mempresentasi antigen ke sel T dan dapat berikatan
secara kovalen atau non-kovalen ke kompleks MHC II-peptida (major
histocompatibility). Ikatan dengan reseptor sel T akan mengeluarkan sinyal berupa
CD80/CD38 yang menghasilkan ekspansi klonal sel T reaktif-xnobiotik, yang
berperan dalam mempresentasi alergen.(3,12)
Sel T CD4+ dan CD8+ memiliki aktivitas sitotoksik yang dapat
menyebabkan kematian keratinosit. Sel CD4+ Th1 mengaktifkan makrofag yang
berperan sebagai sel efektor.13 Sel CD4+ Th1 melepas sitokin (IFN-ˠ) yang
mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi serta kematian sel.(3,12)
Erupsi obat secara klasik dimulai pada hari ke-7 hingga 14 setelah
pemberian obat baru dan bahkan dapat terjadi beberapa hari setelah obat
dihentikan. Namun, erupsi dapat berkembang lebih cepat, terutama dalam kasus-
kasus yang tidak disengaja. Lesi dimulai sebagai makula eritematosa yang
kadang-kadang menjadi sedikit teraba dengan distribusi yang biasanya simetris.
Erupsi dimulai pada truncus dan ekstremitas atas yang semakin konfluen.
Biasanya berbentuk polimorfik dengan morbiliformis atau kadang-kadang lesi
urtikaria pada ekstremitas, area konfluen pada thoraks, dan lesi purpura pada
pergelangan kaki dan kaki. Pada selaput lendir biasanya tidak didapatkan lesi.
Pruritus dan demam ringan sering muncul. Erupsi itu mungkin skarlatiniformis
pada trunkus. Erupsi menghilang secara spontan setelah satu atau dua minggu
tanpa komplikasi dan / atau gejala sisa.(3)
Fixed Drug Eruption adalah suatu bentuk klasik dari hipersensitif tipe lambat
yang berkaitan dengan sel T CD8+. Biasanya lesi FDE muncul kurang lebih 2 jam
setelah pemberian obat kauskatik. Pada beberapa penelitian berpendapat bahwa sel mast
di epidermis akan teraktivasi dan melepaskan sel T CD8+ setelah pemberian obat
kauskatik.
Sel CD8+T intraepidermal yang berkumpul pada lesi Fixed Drug Erupsion (FDE)
memiliki peran yang besar dalam kerusakan jaringan yang lokalisir. Lesi FDE yang sudah
lama ditandai dengan jumlah sel CD8+T intraepidermal yang signifikan bersamaan
6
dengan fenotipe effektor-memori yang bersusun sejajar dengan sisi epidermal di
dermoepidermal junction. Limfosit T yang menetap di lesi kulit ini berperan dalam
memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama.
Pada umumnya jumlah sel T yang dapat ditemukan di epidermis sedikit. Namun
sel T dapat meningkat pada tempat yang menjadi port de entry terhadap infeksi. Dalam
berpindah ke daerah infeksi seperti daerah mukosa. Sering ditemukan lesi FDE mulanya
muncul pada daerah yang sebelumnya pernah luka, seperti luka bakar atau gigitan
serangga.
Kerusakan jaringan terjadi akibat dari aktivasi sel T CD8+ intraepidermal yang
mematikan keratinosit sekeliling dan melepaskan jumlah sitokin yang banyak seperti
IFNy. Sitokin atau molekul adhesive yang nonspesifik mempresentasikan sel T CD4+,
CD8+ dan neutrofil ke sel jaringan yang khusus tanpa ada antigen terhadap sel jaringan
7
erupsinya bersifat general. Lesi purpurik, terutama pada kaki dan stomatitis
erosive mungkin terjadi.(1)
(A) (B)
(11)
Gambar A. Erupsi obat eksantematosa: ampisilin (antibiotik)
Gambar B. Sindrom hipersensitivitas obat: fenitoin. Simetris, merah terang, erupsi
eksantematosa, konfluen dibeberapa tempat; pasien memiliki limfadenopati terkait.(11)
8
eksantisme virus dan infeksi bakteri. Riwayat yang didapatkan harus mencakup
catatan semua resep dan obat tanpa resep, termasuk tanggal pemberian dan dosis.
Kecuali pasien telah mengalaminya selama seminggu atau lebih dari 1 bulan.
Pasien harus ditanya tentang paparan dan reaksi obat sebelumnya. Diagnosis
ACDR yang tepat merupakan kunci dalam penilaian pasien sebelum melakukan
perawatan atau rekomendasi apa pun. Diagnosis ini kadang-kadang bisa sangat
sulit untuk ditetapkan, karena erupsi obat pada kulit dapat sangat mirip dengan
penyakit kulit umum lainnya. Selain itu, jika pasien menggunakan beberapa obat,
identifikasi obat penyebab akan sangat rumit. Oleh karena itu, pendekatan rasional
dan terorganisir sangat dianjurkan.(8,13)
9
dengan Nekrolisis Epidermal Toksik. FDE biasanya ditemukan pada genitalia dan
di daerah perianal, meskipun lesi juga dapat terjadi di mana saja di permukaan
kulit. Beberapa pasien mungkin mengeluh terbakar atau rasa tersengat, selain itu
pasien juga dapat mengalami demam, malaise, dan gejala sakit perut. FDE dapat
terjadi mulai dari 30 menit hingga 8-16 jam setelah mengkonsumsi obat. Setelah
fase akut awal yang berlangsung berhari-hari sampai berminggu-minggu maka
lesi hiperpigmentasi berwarna keabu-abuan atau abu-abu dapat terjadi. 2
Fixed drug eruption juga dapat juga terjadi pada vulva. Obat-obat yang
terlibat seperti asetamin, hidroklorotiazid, obat anti-inflamasi nonsteroid,
kontrasepsi oral, obat sulfa, penisilin, tetrasiklin, allopurinol, barbiturat, dan
furosemid. Lesi paling sering terletak di vestibulum atau pada membran mukus
pada labio minora atau labia mayora medial. Tidak seperti plak biasa, bulat,
edematous yang biasa terlihat pada kulit yang mengalami keratinisasi, erosi FDE
pada vulva sering tampak tidak teratur. Seringkali ada satu atau beberapa lesi
tipikal yang tampak.2
A. Doksisiklin
Doksisiklin adalah antibiotik broad-spectrum yang sering digunakan pada
infeksi saluran pernapasan, infeksi intra abdominal, infeksi kulit dan jaringan
lunak, infeksi menular seksual dan sebagai profilaksis malaria. Efek samping
umum dari doksisiklin adalah kelainan gastrointestinal, gangguan hati, gangguan
ginjal, perubahan warna gigi, anemia hemolitik, fototoksisitas dan ruam kulit.20
Doksisiklin merupakan salah satu penyebab FDE klasik (macula/patch).
Doksisiklin jarang menyebabkan FDE bullosa non generalisata/generalisata.
Namun dalam beberapa laporan kasus di India, didapatkan penggunaan
doksisiklin menyebabkan FDE tipe bullosa generalisata, yang juga melibatkan
daerah mukosa.21
10
(A) (B)
20
Gambar A Lesi bulla multiple
Gambar B. Patch eritem dengan bulla pada daerah dada dan ekstremitas atas. 20
B. Cefixime
Cefixime merupakan antibiotik broad-spectrum golongan sefalosporin generasi
III. Telah dilapokan dalam studi kasus di Turki, penggunaan cefixime menyebabkan FDE
dengan gambaran patch di daerah ekstremitas atas dan bawah serta daerah abdomen. 2
Gambar A gambaran patch di daerah atas lateral dari fossa poplitea kiri
Gambar B gambaran patch di daerah bawah umbilicus
Gambar C gambaran patch di daerah paha kanan medial
11
C. Carbamazepine
Dalam penelitian yang dilakukan Sgaiher Naima et all, dilaporkan pada tahun
2006 ditemukan kasus FDE dengan CBZ sebagai pengobatan kausatifnya Pada pasien
tersebut, FDE muncul 4 tahun setelah awal pengobatannya. Sebenarnya, periode yang
diperlukan untuk sensitisasi masing-masing pasien bervariasi tergantung keadaan dan
pertahanan tubuhnya. Namun rata-rata berkisar dari beberapa minggu hingga beberapa
tahun.23
Telah dilaporkan kasus seorang wanita 24 tahun, yang didiagnosis dengan penyakit
Lafora sejak usia 20 tahun. Dalam pengobatannya pasien mengkonsumsi Sodium Valproate,
levomepromazine, lorazepam dan CBZ sejak 4 tahun. Pemeriksaan kulit menunjukkan plak
hiperpigmentasi yang simetris pada palmar dan dorsal ekstremitas atas dan bawah serta ada
riwayat lesi hiperpigmentasi selama dua minggu pada kedua tangan dan kakinya dan lesi erosif
ringan pada mukosa bibir bawah. Pasien mengeluh gatal dan sensasi terbakar pada lesi. Karena
CBZ telah dicurigai menimbulkan efek samping timbulnya lesi pada kulit pasien, kemudian
pasien diberi emolien untuk meredakan lesinya. Namun meninggalkan plak yang memudar.23
Gambar FDE pada mukosa oral dengan lesi erosif ringan pada mukosa bibir bagian bawah.23
12
Gambar Plak yang memudar setelah dua minggu berhenti mengkonsumsi Carbamazepine23
CBZ juga merupakan obat yang banyak digunakan dalam pengobatan epilepsi
dan trigeminal neuralgia. Dilaporkan seorang wanita 71 tahun memiliki riwayat lesi
eritematosa sejak 24 jam pada tungkai bawahnya. Pasien mengeluh gatal dan ada sensasi
terbakar pada lesi. Kondisi umumnya baik. Satu jam sebelum, pasien meenggunakan
tablet CBZ 100 mg untuk menghilangkan keluhan neuralgia trigeminal yang
dirasakannya. Pasien tidak mengonsumsi obat lain. 24
Pada pemeriksaan kulit menunjukkan adanya enam plak berbatas tegas,
simetris, berwarna merah kecoklatan pada paha, lutut, dan dorsal kaki. Jumlah sel darah
normal. Pasien hanya diobati dengan emolien untuk meredakan pruritusnya. Erupsi
meningkat dalam 1 minggu dan meninggalkan plak coklat-pigment yang memudar
perlahan. Tiga bulan kemudian, dilakukan tes patch pada punggungnya dengan CBZ
0,1%, dan 1% dalam air suling dan petrolatum. Patch tesebut dilepas setelah 2 hari, dan
pembacaan dilakukan pada 2 dan 4 hari setelahnya. Semua hasil menunjukkan negatif. 24
Pada penelitian yang dilakukan D. Shuttleworth dan R.A.C Graham Brown
dilaporkan anak laki-laki berusia 4 tahun yang menderita epilepsi petit mal dan epilepsi
mioklonik, yang keduanya refrakter terhadap pengobatan dengan carbamazepine, 200 mg
setiap hari. Dia tidak menggunakan obat lain saat CBZ. Pada pemeriksaan kulit
didapatkan lesi bulosa pada dorsal jari-jari dan lesi serupa pada bibir bawah (Gambar 4
dan 5). Dengan pertimpangan respon baik yang diperoleh setelah menggunakan CBZ, tes
provokasi dengan carbamazepine dilakukan. Dalam 2 hari setelah dilakukan tes
carbamazepine, pasien mengeluh timbul lesi identik yang serupa pada tempat yang
sama.25
13
Gambar Tampak Bulla pada digiti 3 dan 4 dengan dasar eritematosa pada punggung dorsa.
Terdapat juga bercak eritem pada tenar eminens.25
Reaksi kulit akibat carbamazepine terjadi pada sekitar 2% pasien yang obati
dengan CBZ. Reaksi yang paling umum terdiri dari erupsi maculopapular, morbilliform,
urtikaria, vesikuler dan eritematosa. Reaksi yang lebih parah, seperti dermatitis eksfoliatif
dan sindrom Stevens-Johnson, jarang terjadi. Mengingat meluasnya penggunaan
carbamazepine, kemungkinan obat ini sebagai salah satu penyebab fixed erupsi obat tetap
harus diperhatikan.25
D. Penicillin
Penicillin yang ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 ini
merupakan obat yang sangat umum di gunakan oleh masyarakat, sehingga menyebabkan
FDE akibat penggunaan berulang obat tersebut. Penicillin dapat memberikan gambaran
klinis berupa2 ;
14
i. Urtika
Urtika merupakan suatu reaksi vaskuler pada kulit yang ditandai dengan
timbulnya eritem disertai edema setempat pada kulit dengan ukuran yang
bervariasi. Predikleksi dapat diseluruh tubuh. Keluhan umumnya gatal dan panas
pada tempat lesi.
ii. Edema
Angioedema muncul berupa pembengkakan subkutan dan submucosa (
sering pada daerah wajah ) biasanya terjadi di daerah bibir , kelopak mata,
genitalia eksterna, tangan dan kaki. Angioedema pada glottis menyebabkan
asfiksia, sehingga dibutuhkan penanganan segera.
E. Cetrizine
Salah satu kasus di India dengan FDE yang diinduksi oleh obat levocetirizine.
Manifestasi muncul setelah 8 jam pemberian levocetirizine dengan gambaran makula
eritomatosa pada leher dan lengan bawah. Dilaporkan juga bahwa senyawa yang mirip
dengan levocetirizine yakni hydroxyzine juga dapat menghasilkan reaksi yang sama
akibat reaksi silang antarobat tersebut.26
15
Gambar Makula eritomatosa pada leher dan lengan bawah
Kasus lain di India dengan gambaran serupa yakni makula eritematosa pada
punggung bawah dan kedua ekstremitas atas disertai dengan pruritus. Lesi awalnya
timbul pada lengan 3 jam setelah mengonsumsi levoceitirzine muncul pada bagian
punggung muncul sejak 2 hari setelahnya. Pasien diberi obat tersebut dengan diagnosis
Rhinitis. Pasien tidak memiliki riwayat asupan obat obatan yang lain termasuk obat
herbal selama 4 minggu terakhir.27
Gambar Makula eritematosa pada punggung bawah dan kedua ekstremitas atas
16
Gambar Plak eritematosa pada lengan kiri
F. Allopurinol
Studi retrospektif di Portugal menemukan bahwa selama 20 tahun terakhir
ditemukan 52 kasus dengan manifestasi klinis FDE yang dilakukan patch test. Salah satu
yang sering dicurigai menimbulkan FDE adalah allopurinol. Setelah dilakukan patch test
allopurinol menunjukkan lesi pada dada yakni multipel makula eritematosa berukuran
numuler.30
17
Gambar Lesi awal saat pasien mengonsumsi allopurinol (A), lesi setelah dilakukan tes
provokasi oral (B)
V. DIAGNOSIS
Langkah pertama pendekatan diagnosis FDE adalah mencurigai terdapat
reaksi hipersensivitas terhadap obat yang dikonsumsi obat sebelumnya oleh
pasien. Kecurigaan tersebut didukung oleh bukti riwayat konsumsi pada saat
anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan
penunjang. Hal yang sering menjadi penyulit adalah bila pasien mendapatkan
lebih dari satu jenis obat. Langkah yang penting diperhatikan adalah dengan
mengumpulkan data klinis secara sistematis dari anamnesis, manifestasi klinis dan
morfologi lesi seperti progresivitas lesi dan predileksinya, serta gejala prodromal
berupa demam,nyeri menelan, dan bengkak di wajah. Data medikasi pasien saat
ini, termasuk penggunaan obat herbal dan suplemen. Riwayat alergi obat
sebelumnya. Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang bereaksi silang
dalam 8 minggu terakhir. Perhatikan kronologis reaksi obat: tanda dan gejala serta
hasil laboratorium. Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi hipersensivitas.
Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunakan. Urutkan berdasarkan
obat yang paling berpotensi menyebabkan alergi berdasarkan data publikasi.
Hentikan dan subtitusi semua obat yang memiliki hubungan temporal yang kuat.
Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab seperti prick test, patch
test, dan apabila uji kulit negatif, dapat dilakukan provokasi oral dengan dosis
yang dinaikkan perlahan (bila tidak ada kontraindikasi).7
18
Drug provocation test dengan obat yang dicurigai mungkin mendukung
dalam penegakan diagnosis. Drug provocation test merupakan pemeriksaan baku
emas untuk memastikan penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya
untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis
yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat
penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah
muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin ditimbulkannya maka
uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih.19
Patch test pada tempat lesi sebelumnya dapat memberikan hasil positif
pada 43% pasien. Patch test merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi
anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan
mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan. Secara
teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang
ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif
maupun segera sesudahnya. Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel
sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda. 19
Hasil Prick test dan intradermal skin test memberikan hasil positif pada
24% dan 67% pasien. Erupsi yang dipicu oleh makanan juga dapat terjadi dan
harus dipertimbangkan.19
V. DIAGNOSIS BANDING
Measles (Rubeola) merupakan ruam berupa morbiliformis (measles-like),
keadaan yang digunakan untuk mendeskripsikan erupsi obat eksantematosa, dan
biasanya terasa gatal. Berbeda dengan erupsi obat lainnya, ruam biasanya mulai
muncul di kepala dan leher dan menyebar dengan cepat. Beberapa hari setelah
onset biasanya diserta demam, batuk, Koriza, dan konjungtivitis. Terdapat white
spots pada mukosa bibir (Koplik’s spot) yang membantu menegakkan diagnosis.
Ruam tipikal atau atipikal dapat muncul pada orang dewasa yang pernah
mendapatkan vaksinasi, namun hanya pada orang tua, vaksin mati atau vaksinasi
tidak selesai.(15)
19
Rubella menunjukkan gejala yang biasanya lebih ringan daripada rubeola,
dengan ruam yang sama dan membaik dalam 3-4 hari. Ruam biasanya disertai
dengan demam, adenopati, dan arthralgia.(15)
Roseola infantum (exanthem subitum) pada anak-anak ditandai dengan suhu
tinggi 3-5 hari; biasanya membaik seiring dengan onset ruam, berwarna merah
muda, erupsi jangka pendek. HPV 6 adalah penyebab paling sering. Pada dewasa
disertai adenopati servikal, dengan berbagai macam ruam dan demam kurang
lebih 1 bulan. Ruam biasanya mulai muncul di dada dan menyebar ke wajah dan
ekstremitas.(15)
Eritem infektiosum (fifth disease) pada anak-anak, demam (ditandai slapped
cheeks) selama 2-4 hari sebelum muncul ruam generalisata, yang mulai muncul
pada ekstremitas proksimal dan menyebar secara sentral dan perifer. Pada dewasa,
arthralgia dapat muncul selama berminggu-minggu, dan demam prominen. Ruam
memiliki pola livedo. Keterlibatan wajah prominen pada dewasa lebih sedikit
dibandingkan pada anak-anak. Penyakit ini disebabkan oleh parvovirus B19.(15)
Infeksi mononukleosis, pada remaja dan dewasa, ruam biasanya berkaitan
dengan pemberian aminopenisilin, dengan onset 3 hari setelah pemberian (onset
yang lebih cepat daripada onset erupsi obat pada umumnya). Ruam tidak muncul
pada pemberian ulang aminopenisilin setelah sembuh.(15)
Acute graft-versus-host disease nampak gejala berupa ruam secara tipikal
muncul dalam 2-4 minggu setelah transplantasi. Bersifat sangat gatal. Jika meluas
secara generalisata, ruam sering sulit untuk dibedakan secara klinis dengan erupsi
obat eksantematosa.(15)
Serokonversi HIV akut dengan gejala berupa ruam yang memiliki onset
akut 1-6 minggu setelah infeksi yang biasanya disertai dengan demam, malaise,
myalgia, arthralgia, dan limfadenopati. Ruam eksantematosa yang simetris
melibatkan wajah, palmar, dan plantar. Ulkus tipe aphthosus dapat terjadi pada
oris dan genital.(15)
Drug Induced Hypersensitivity Syndrome (DIHS) merupakan reaksi obat
terkait hipersensitivitas sistemik khususnya pada eosinophil. Insiden terjadinya
erupsi lebih banyak pada obat-obatan golongan antikonvulsan seperti fenitoin,
karbamazepin, dan fenobarbital. Effloresensi yang muncul berupa vesikel, bulla,
20
pustule serta eritroderma dan purpura pada wajah dan ekstremitas. Biasanya
terjadi pembesaran kelenjar limfa, terkadang dapat dijumpai artralgia bahkan
artritis. 24
Pemfigoid Bullosa (Tipe Vesikuler) merupakan penyakit yang bersifat
kronik, lesi dapat muncul berbulan-bulan bahkan menahun, dengan kemungkinan
remisi dan eksaserbasi secara spontan
Selulitis merupakan peradangan non nekrotik pada kulit dan jaringan
subkutan yang biasanya disebabkan oleh infeksi akut. 4 tanda khas infeksi yakni
eritema, nyeri, bengkak, dan peningkatan suhu pada lesi.
VI. TERAPI
Penanganan medis awal pada erupsi obat eksantematosa adalah dengan
menghentikan obat penyebab. Umurn penyebab harus dihentikan jika
memungkinkkan. Dalam kasus di mana tidak mungkin untuk melakukan hal
tersebut, seperti antibiotik yang sangat penting untuk rejimen obat, pengobatan
simtomatik dan suportif sambil terus terapi obat adalah pilihan yang tepat.(16)
Mendalami riwayat pasien dan membuat bagan obat mungkin diperlukan
dalam membantu mengidentifikasi obat penyebab keluhan. Pasien dan keluarga
harus menyadari bahwa ini adalah reaksi seumur hidup dan dapat berulang dengan
obat yang sama, atau dengan obat dari kelas struktur yang sama. Dalam kasus di
mana obat penyebab keluhan tidak dapat dihentikan, diskusi harus diadakan
mengenai risiko dan manfaat dari obat ini, baik dengan dokter kulit dan tim
subspesialis yang bersangkutan. Dalam hal ini, ruam akan memburuk sebelum
akhirnya menjadi lebih baik dan sembuh. Pasien harus dibuat sadar bahwa
pruritus dan eritema mungkin parah.(16)
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada kondisi alergi obat sistemik,
kortikosteroid diharapkan mampu meningkatkan kinerja steroid endogen untuk
menurunkan respon inflamasi. Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah
tablet prednisone (1 tablet = 5 mg atau 10 mg) dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari.
Penanganan selanjutnya adalah dengan penggunaan kortikosteroid Topikal
Potensi Sedang-Tinggi. Steroid topikal potensi sedang atau tinggi (seperti
triamsinolon asetonid 0.1%, fluosinonid 0.05%, betametason diproprionat 0.05%
21
atau klobetasol 0.05%) dapat membantu meringankan pruritus. Krim atau lotion
berguna untuk area permukaan yang luas. Potensi steroid topikal yang lebih
rendah, seperti hidrokortison 2.5% atau desonida 0.05%, dapat diberikan untuk
wajah dan daerah lipatan. Pasien harus diperingatkan untuk tidak menggunakan
steroid topikal yang kuat pada wajah atau di lipatan.(16)
Penanganan ketiga adalah dengan pemberian antihistamin. Antihistamin
juga berguna ketika gatal parah. Golongan antihistamin terbagi 2 yaitu, golongan
antihistamin generasi pertama (H1) dan generasi kedua (H2). Umurn-umurn ini
adalah anti reseptor H1 dan memblokir pelepasan histamin, dapat memberikan
pengobatan gejala pruritus dan membantu memperbaiki erupsi.(14). Contohnya
Dyphenhydramine, Loratadine, atau Cetrizine.31
Generasi pertama H1
Chlorpheniramine 2-, 4-, 8-, 12-mg Dewasa: 4 mg tid, qid; 8–12 mg Gangguan Hepar
tablet bid
2 mg/5 mL sirup Umur 6–11 tahun: 2 mg q4–6h
Cyproheptadine 4-mg tablet Dewasa: 4 mg tid, qid Gangguan Hepar
2 mg/5 mL sirup Umur 7–14 tahun: 4 mg bid, tid
22
Generasi kedua
Antihistamine H1
A crivastinea 8-mg tablet Dewasa: 8 mg tid Gangguan Ginjal
A zelastine 2-mg tablet Dewasa: 2–4 mg bid Gangguan Ginjal dan
Umur 6–12 tahun: 1–2 mg bid hepar
2 semprot/nostril bid
Cetirizine 0.1% nasal spray Umur ≥6 tahun: 5–10 mg qd Gangguan Ginjal dan
5-, 10-mg tablet Umur 2–6 tahun: 5 mg qd hepar
5 mg/mL sirup Umur 6 bulan–2 tahun: 2.5 mg
qd
D esloratadine 2.5-, 5-mg tablet Umur ≥12 tahun: 5 mg qd Gangguan Ginjal dan
5 mg/mL sirup Umur 6–12 tahun: 2.5 mg qd hepar
Umur 1–6 tahun: 1.25 mg qd
Umur 6–12 bulan: 1 mg qd
E bastineb 10-mg tablet Umur ≥6 tahun: 10–20 mg qd Gangguan Ginjal
Umur 6–12 tahun: 5 mg qd
Umur 2–5 tahun: 2.5 mg qd
F exofenadine 30-, 60-, 120-, 180- Umur ≥12 tahun: 60 mg qd, bid; Gangguan Ginjal
mg tablet 120–180 mg qd
Umur 6–12 tahun: 30 mg qd, bid
Umur ≥6 tahun: 5 mg qd
L evocetirizine 5-mg tablet Umur ≥6 tahun: 10 mg qd Gangguan Ginjal dan
L oratadine 10-mg tablet Umur 2–9 tahun: 5 mg qd hepar
5 mg/mL suspension
10-mg tablet Dewasa: 10 mg qd Hepar
Mizolastineb Gangguan Gangguan Ginjal dan
hepar
23
Cimetidine 100-, 200-, 300-, Dewasa: 400–800 mg bid Gangguan Ginjal dan
400-, 800-mg hepar
tablet
300 mg/5 mL sirup
200 mg/20 mL sirup
Ranitidine 75-, 150-, 300-mg Dewasa: 75–150 mg bid
tablet Anak: 5–10 mg/kg/hari dibagi Gangguan Ginjal
15 mg/mL sirup dalam 2 dosis
150-mg granules
Famotidine 10-, 20-, 40-mg Dewasa: 20–40 mg bid
tablet Umur 1–16 tahun: 1 mg/kg/hari Gangguan Ginjal
40 mg/5 mL sirup dibagi dalam 2 dosis, maks 40
mg bid
Nizatidine 150-, 300-mg Umur ≥12 tahun: 150 mg qd, bid Gangguan Ginjal
capsule
15-mg/5-mL sirup
24
VIII. KESIMPULAN
Erupsi obat eksantematosa merupakan bentuk ADRs yang paling sering
ditemukan. Etiologi erupsi obat eksantematosa yang paling sering adalah
ampisilin, NSAID, sulfonamid, dan tetrasiklin.
Gejala mulai timbul dalam 2-3 minggu setelah konsumsi obat tertentu
dengan karakteristik makula eritem dan papul yang menyebar cepat dan konfluens
serta biasanya muncul pertama dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer
secara simetris dan generalisata, dan hampir selalu disertai pruritus. Patogenesis
sebagian besar erupsi obat tidak dipahami.
Aspek penting dalam mendiagnosis erupsi obat eksantematosa yaitu
kecurigaan tinggi mengenai kemungkinan ACDR dan mengidentifikasi obat yang
dapat memengaruhi untuk memudahkan dalam menentukan penatalaksanaannya.
Pengobatan simtomatik dan suportif yang diberikan pada pasien erupsi obat
eksantematosa meliputi, menghentikan pemberian obat pencetus, memberikan
kortikosteroid topikal potensi sedang-berat dan memberi antihistamin. Apabila
obat penyebab erupsi obat telah dapat dipastikan maka sebaiknya penderita
diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta
golongannya). Prognosis erupsi obat dipengaruhi oleh berat ringannya manifestasi
klinis. Pada umumnya prognosis cukup baik, terutama bila obat penyebab pasti
segera diketahui dan dihentikan pemakaiannya.
Sedangkan untuk Fixed Drug eruption, ada beberapa golongan obat yang
dicurigai dapat menginduksi terjadinya Fixed Drug Eruption, lima diantaranya
merupakan penyebab tersering, yaitu dosisiklin, cefixime, carbamazepine,
penisilin,Levocetrizin, dan Allopurinol, berikut adalah predileksi dan effloresensi yang
dapat ditemukan:
25
Tabel 9.1
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Drug Reactions. In: Rook’s
Textbook of Dermatology. 8th ed. Inggris: Wiley Blackwell; 2010. p. 75.1-
75.22.
2. Menaldi S. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th
ed. Jakarta: Badan Penertbit FKUI; 2016. p. 193.
3. Revuz J, Allanore L. Drug Reactions. In: Bolognia Dermatology. 2nd ed.
Spanyol: Mosby Elsevier; 2008. p. 301.
4. Rahmanisa S, Suarsyaf H. Exanthematous Drug Eruption pada Pria Usia 45
Tahun. JAU. 4(1):33–6.
5. Stern R. Exanthematous Drug Eruptions. NEJM. 366(36):2492–501.
6. Purwanti S, Hidayat T. Penelitian Retrospektif Erupsi Kulit Akibat Obat di
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Saiful Anwar
Malang. FKUBJ. 2016;43(3):99–104.
7. Anggraini D, Prakoeswa C. Penatalaksanaan Pasien Erupsi Obat di
Instalasi Rawat Inap (IRNA) Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo Surabaya: Studi Retrospektif. JUnair. 27(1):1–8.
8. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th
ed. Jakarta: Badan Penertbit FKUI; 2010. p. 154–8.
9. Wolff K, Johnson R, Saavedra A. Cutaneous Reactions to Drugs. In:
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Amerika
Serikat: Mc Graw Hill Education; 2013. p. 488–94.
10. James W, Berger T, Elston D. Drug Reactions. In: Andrew’s Diseases of
the Skin Clinical Dermatology. 11th ed. Inggris: Saunders Elsevier; 2011.
p. 116.
11. Shear N, Knowles S. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. Amerika Serikat: Mc Graw Hill
Education; 2013. p. 488–94.
12. Svensson C. Biotransformation of Drugs in Human Skin. DMD J.
2014;37(2):247–53.
13. Nayak S, Acharjya B. Adverse Cutaneous Drug Reaction. IJD.
2016;53(1):2–8.
27
14. Blume J. Drug Eruptions. In: Medscape. 2013.
15. Robert S. Exanthematous drug eruptions. NEJM. 2012;366:2492–501.
16. Burgin S. Morbilliform drug eruptions (exanthematous drug eruption;
maculopapular drug eruption, “drug rash”). In: Decision Support in
Medicine, LLC [Internet]. 2017. Available from:
www.dermatologyadvisor.com/dermatology/morbilliform-drug-eruptions-
exanthematous-drug-eruption-maculopapular-drug-eruption-drug-
rash/article/691586
17. Thong B, Vervloet D. Drug allergies. In: Wold Allergy [Internet]. 2014.
Available from:
http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/drugalle
rgy/
18. Lee, C.H. et al. Fixed-drug eruption: A retrospective study in a single referral
center in northern Taiwan. Dermatologica Sinica 30 (2012): 11-15
19. Keumala Budianti, Windy. Erupsi Obat Alergik. Ilmu penyakit kulit dan kelamin,
edisi ke-7. Jakarta: Badan penerbit FKUI. 2016
20. Nitya, S., et al. Doxycycline induced generalized bullous fixed drug eruption – A
case report. J Young Pharm. 2013 Dec; 5(4): 195–196.
21. Podder I., et al. Doxycycline induced generalized bullous fixed drug eruption.
Indian J Dermatol. 2016 Jan-Feb; 61(1): 128.
22. Celik, IK., et al. Fixed Drug Eruption Related to Cefixime in an Adolescent Case.
J Allergy Clin Immunol Pract. 2018 Sep - Oct;6(5):1742-174
23. Naima, Sghaier et al. Fixed drug eruption caused by carbamazepine in a patient
with Lafora Body Disease. In: Journal pharmacology and clinical toxicology.
Taher Sfar Universitary Hospital, University of Monastir, Mahdia. 2017
24. Argilla, D et al. Carbamazepine-induced fixed drug eruption. Hospital
Universitario Infanta Cristina Munksgaard. 2013
25. Shuttleworth, D et al. Fixed drug eruption due to carbamazepine in clinical and
Experimental Dermatology; 2013. P 424-426
26. Gopal S, et al. Case report: Cetirizine-Induced Fixed Drug Eruption. Sri
Venkateshwaraa Medical College Hospital and Research Centre, Puducherry,
India. 2018
27. Kupta LK, et al. Fixed Drug Eruption to Levocetirizine and Cetirizine. Indian
28
Journal of Dermatology. 2014
28. Ragukhumar S, Ravikumar. Fixed drug eruption to cetirizine – role of patch
testing. ndian Journal of Clinical and Experimental Dermatology, India.2016
29. Andrade P, et al. Patch testing in fixed drug eruptions–a 20-year review.
Department of Dermatology and Venereology, Coimbra University Hospital,
3000-075 Coimbra, Portugal. 2011
30. Lee HJ, et al. Fixed Drug Eruption Due to Allopurinol: Positive Oral
Provocation. Department of Dermatology, Seoul St. Mary’s Hospital,
College of Medicine, The Catholic University of Korea, Seoul, Korea.
2011
31. Ayanlowo OO. Fixed drug eruption at a dermatology clinic in Lagos, Nigeria. J
Clin Sci 2015;12:108-12.
29