PENDAHULUAN
Penyebab paling umum dari eritroderma adalah eksaserbasi dermatosis yang sudah ada
sebelumnya (43,5%), termasuk psoriasis (27,2%), eksim (7,6%), pemfigus foliaceous (6,5%)
dan pityriasis rubra pilaris (2,2%). Diikuti oleh reaksi obat (38%) . Eritroderma yang diinduksi
oleh obat merupakan sekumpulan reaksi hipersentivitas obat yang jarang dan berat, yang
meliputi kulit dan biasanya terjadi beberapa hari atau minggu setelah paparan obat.1
Beberapa penelitian melaporkan variasi insidens eritroderma dari 0,9 sampai dengan
71,0% per 100 ribu pasien. Sebuah studi dari Belanda memperkirakan kejadian eritroderma
tiap tahun adalah 0,9 per 100.000 penduduk. Insiden kejadian lebih banyak pada pasien lakilaki
di bandingkan dengan pasien perempuan, dengan ratio kurang lebih 2:1 hingga 4:1.
Eritroderma akibat erupsi obat lebih sering terjadi pada anak dan dewasa tetapi jarang pada
bayi.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Eritroderma merupakan penyakit sekunder pada kulit yang termasuk dalam kelompok
papulosquamous eruption, dengan karakteristik eritema dan skuama pada lebih dari 90% area
1,2
permukaan tubuh. Beberapa kasus juga berhubungan dengan terjadinya erosi (kehilangan
epidermis dengan dasar epidermal), pengerasan kulit (serous, sanguineous atau pustul), dan
berpotensi terjadi perubahan pada rambut dan kuku. 3 Nama lain dari eritroderma adalah
dermatitis eksfoliatif, pityriasis rubra (Hebra), Wilson Brocq, dan eritem scarlatiniform. 2,3
Eritroderma dapat disebabkan oleh erupsi obat, erupsi obat alergik atau allergic drug
eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat
pemberian obat yang biasanya sistemik. Obat masuk ke dalam tubuh secara sistemik, dapat
melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat kumur,
obat mata, tapal gigi dan obat topical. 2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden eritroderma bervariasi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan antara
0,9 sampai 71,0 kasus eritroderma dari 100.000 penderita rawat jalan dermatologi. Di Belanda
terjadi insiden 0,9 kasus eritroderma dari 100.000 populasi. Berdasarkan penelitian di RS
Militer bagian Dermatologi dari 1 Augustus 2007 - 31 Juli 2008 dilaporkan 50 pasien
terdiagnosis eritroderma, 33 (66%) sudah mengalami penyakit kulit sebelumnya yang sudah
dibuktikan dari riwayat pasien dan didukung dari hasil histopatologi pasien. 3
Penyebab eritroderma juga di laporkan berupa reaksi obat 6 (12%), CTCL 2 (4%) dan
eritroderma idiopatik 9 (18%). Angka kejadian kasus eritroderma pada laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan dengan perbandingan 2:1-4:1. 3
Profil pasien eritroderma di Ruang Rawat Inap Kemuning di RSUD Dr Soetomo pada
tahun 2011-2014. Jumlah keseluruhan pasien eritroderma periode 2011 - 2014 adalah 83
(5,3%) dengan etiologi yang diduga sebagai penyebab eritroderma yang bervariasi. Etiologi
yang diduga menjadi penyebab eritroderma terbanyak adalah akibat erupsi obat 33 (39,7%). 3
2
2.3 ETIOLOGI
Obat yang menyebabkan drug eruption sangat banyak. Namun, sebagian besar drug
eruption adalah karena satu atau lebih obat. Penyebab terjadinya drug eruption meliputi
antibiotic, antiepileptic, dan AINS, meskipun zat lain dan makanan tertentu dapat menjadi
penyebab. 1,3
Kortikosteroid juga dapat menimbulkan drug eruption terhadap beberapa orang yang
hipersensitifitas tehadap obat golongan kortikosteroid contohnya seperti prednisone dan
dexamethasone. 1,3
Efek samping prednison berkisar dari efek samping yang lebih ringan seperti mual,
penambahan berat badan dan sakit kepala hingga komplikasi yang lebih serius seperti toksisitas
janin, reaksi alergi dan tekanan darah tinggi. Efek samping prednison lebih mungkin terjadi
dengan dosis yang lebih besar atau terapi jangka panjang. 1,3
Prednison adalah jenis kortikosteroid yang mengobati berbagai peradangan dan kondisi
terkait sistem kekebalan yang terlalu aktif. Karena prednison berdampak pada sistem
kekebalan tubuh, prednison dapat menyebabkan serangkaian efek samping. Reaksi kulit
terhadap kortikosteroid biasanya reaksi hipersensitivitas (tipe IV). 1,3
Bahkan pada dosis rendah, prednison dapat menyebabkan masalah kulit. Ini termasuk
penipisan kulit, jerawat, hirsutisme (pertumbuhan rambut berlebih), penipisan rambut,
kemerahan pada wajah, tanda seperti garis pada kulit (stria) dan gangguan penyembuhan luka.
3
2.4 FAKTOR RISIKO TIMBULNYA ERUPSI OBAT
Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor
yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta faktor yang
berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan pengobatan
medis yang menyertai).7
1. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, streptokinase,
L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk
menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat- obatan dengan berat molekul rendah
(dibawah 1000 Dalton) merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik. 6
2. Pajanan Obat
Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersensitisasi,
sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitisasi. Aplikasi
topikal menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal
menstimulasi produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang –
kadang IgM. Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons
imunologik spesifik obat, contohnya adalah pada lupus eritematosus yang diinduksi
obat, dosis dan lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian
juga pada anemia hemolitik yang diinduksi penisilin 6,7
4
mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap
agen antimikroba; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7%
mengalami reaksi alergi. 6,7
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya.
Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas.
Sensitisasi silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok
sulfonamid. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi
untuk terjadinya sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi
penisilin memiliki peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap
antimikroba non-β-laktam. Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat. 7
6. Penyakit medis yang menyertai
Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi sistem imun seperti
HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi terjadinya ROA. 5 Hal tersebut terjadi
akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T
supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE. 2 Contoh lain adalah ruam makulopapular
setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi selama infeksi virus Epstein-Barr
dan di antara pasien dengan leukemia limfatik. 6,7
7. Pengobatan medis yang menyertai
Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap obat. 7
2.5 PATOGENESIS
5
Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan sel. Hal
ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai
komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel
sasaran ialah eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga reaksi tipe
ini disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. 5
Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama, obat terikat
secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian mengikat obat dan mengaktivasi
komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks obat-antibodi yang terbentuk, terikat
pada permukaan sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya sefalosporin); ketiga obat
yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun yang mengikat langsung
antigen spesifik jaringan (misalnya α-methyl-dopa). Contoh obat yang menimbulkan reaksi
ini adalah sedormid (sedatif) yang dapat mengikat trombosit dan imunoglobulin yang
terbentuk terhadapnya sehingga menghancurkan trombosit (trombositopenia) dan
menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat mengikat sel darah putih dan mengakibatkan
agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin, penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat
sel darah merah, mengakibatkan anemia hemolitik. 5
3. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi IgG atau
IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. 1 Komplemen yang
teraktivasi kemudian melepaskan berbagai mediator diantaranya enzim-enzim yang dapat
merusak jaringan seperti macrophage chermotatic factor. 1,5 Makrofag dikerahkan ketempat
tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a
dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen
juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan.5
Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi urtikaria,
vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga terlihat pada awal reaksi yang
diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia. 1 Reaksi ini berhubungan dengan kompleks
imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan kaskade
komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a). 8 Selanjutnya terjadi
pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas dan basofil. Reaksi ini lebih sering
disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin. Pada vaskulitis yang diinduksi obat, reaksi
diperkirakan disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan IgG pada endotel pembuluh
kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang diperantarai komplemen. Pada eritema
multiforme, peradangan yang diperantarai kompleks imun mungkin berperan atau
6
metabolisme yang diperantarai IgE yang bertanggung jawab.
4. Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit, APC dan sel
Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit. 1 Limfosit T yang sudah
tersensitisasi mengenali antigen dan 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen
menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition
factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan
kerusakan jaringan. Contoh klasiknya adalah dermatitis kontak alergik. 5
Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV. Reaksi
tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang juga terlibat pada purpura, sindrom
Lyell’s, bulosa, likhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus. Mekanisme tipe IV
bersama-sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed drug eruption, dan eritema
nodosum.5
7
Gambar dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh.
Sumber : Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2015. 6
Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe IV.
Eritroderma dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih dilanjutkan. 2
Eritroderma selain diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan penyakit kulit yang sudah
ada sebelumnya seperti psoriasis, atau berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan
keganasan lainnya.1,5
2.7 DIAGNOSIS
Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit pasien merupakan cara yang paling penting
untuk diagnosis alergi obat. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai
timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasamya. Masalah tersebut lebih
sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.7 Hal-hal yang
perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah:
a). Mencatat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan
8
juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala
alergi obat;
b). Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi;
c). Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya
gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala
alergi obat baru timbul 7 - 10 hari setelah pemakaian pertama;
d). Mencatat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi
obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang,
serta dosis tinggi secara parenteral;
e). Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu;
f). Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama;
g). Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu
jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.7
9
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan
diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini
mencakup perhitungan darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia,
eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah
eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila perhitungan eosinofil
lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat dapat
terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut. 6
3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya.
Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang
dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya
reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan
Eritroderma et causa psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang
terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Selain itu, eritroderma psoriasis
Staphyloccal
Eritroderma ec Drug Steven-Johnson’s Toxic Epidermal
Scalded Skin
Eruption Syndrome Necrolysis
Syndrome
Penyakit sekunder pada Penyakit kulit akut Penyakit kulit Suatu penyakit kulit
kulit yang termasuk dan berat, terdiri dari akut yang ditandai dengan epidermolisis
dalam kelompok erupsi kulit, kelainan dengan yang disebabkan oleh
papulosquamous mukosa, dan lesi pada epidermolisis eksotoksin atau
Definisi eruption, dengan mata. menyeluruh. protein ekstraseluler
karakteristik eritema stafilokokus.
dan skuama pada lebih
dari 90% area
permukaan tubuh.
Belum jelas, adapun Tidak diketahui. Staphylococcus
Penyebab terjadinya faktor pencetus: Diduga ada aureus grup 2 tipe
drug eruption meliputi 1. Infeksi: virus, hubungan dengan faga 52, 53 dan 71.
antibiotic, antiepileptic, jamur, bakteri, dll alergi obat.
Etiologi dan AINS, meskipun 2. Obat: penisilin,
zat lain dan makanan barbiturate, dll
tertentu dapat menjadi 3. Faktor fisik: sinar
penyebab. matahari
Kortikosteroid juga 4. Penyakit kolagen
vaskular
10
dapat sebagai 5. Neoplasma
penyebab. 6. Kehamilan
7. Kontaktan
11
2.9 TATALAKSANA
Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai dan
mengatasi gejala klinis yang timbul. Selanjutnya harus dipikirkan juga upaya pencegahan
terjadinya alergi obat kembali.4,5
Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit karena biasanya penderita
mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Semua obat yang diberikan diupayakan
dihentikan terlebih dahulu, kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai
penyebab reaksi alergi atau menggantikannya dengan obat lain. 4,5
Tatalaksana Anafilaksis
Tatalaksana pada manifestasi klinis yang berat seperti anafilaksis meliputi stabilisasi
dan patensi jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian adrenalin, terapi cairan,pemberian
antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obatan yang dicurigai sebagai pemicu terjadinya alergi
harus segera dihentikan. Pasien harus diobservasi dalam ruang resusitasi di Unit Gawat
Darurat. Peralatan seperti pulse oxymeter, monitor tekanan darah non invasif dan EKG
digunakan untuk penilaian dan pemantauan tanda vital pasien. Tanda-tanda edema saluran
nafas, bronkospasme dan syok harus segera dinilai. 4,5
Oksigen dapat diberikan dengan sungkup untuk menjaga saturasi oksigen pasien
diatas 92%. Perlu diwaspadai tanda-tanda ancaman obstruksi jalan nafas seperti stridor
yang memburuk, suara serak, takipnea dan wheezing yang progresif. Pada keadaan ini tindakan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis sering sulit dilakukan, dan tindakan intervensi
bedah untuk membuka saluran nafas melalui krikotiroidotomi dapat dipertimbangkan. 4,5
12
Pemberian Cairan
Pada keadaan anafilaksis terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan dapat terjadi
kehilangan lebih dari 35% volume darah dalam 10 menit pertama. Pemasangan jalur intravena
harus segera dilakukan dan apabila tidak memungkinkan maka harus dibuat akses
intraosseus. Pada pasien yang mengalami syok (takikardi, hipotensi atau waktu pengisian
kapiler yang melambat) harus segera mendapatkan resusitasi cairan dengankristaloid sebanyak
20 ml/kgBB. Bolus cairan dapat diulang sampai 60 ml/kgBB. Apabila keadaan syok belum
teratasi maka pemberian obat-obat inotropik dapatdipertimbangkan. 4,5
Pemberian Adrenalin
Adrenalin merupakan obat pilihan pada tatalaksana akut anafilaksis. Adrenalin
diberikan apabila terdapat tanda-tanda edema saluran afas yang progresif, bronkospasme, atau
hipotensi. Adrenalin bekerja pada reseptor α, β1, dan β2 adrenergik yang dapat memperbaiki
vasodilatsi, edema mukosa dan bronkospasme yang telah terjadi. Adrenalin melalui reseptor β2
adrenergik dapat meningkatkan cAMP interselular yang menghambat pelepasan lebih lanjut
sel mast dan basofil, sehingga apabila diberikan dini dapat mengurangi derajat beratnya reaksi.
Antihistamin H1 dan H2
Antihistamin diberikan terutama untuk meredakan gejala pada kulit seperti urtikaria,
angioedema ringan dan pruritus dan bukan untuk terapi anafilaksis. Antihistamin golongan H1
seperti setirizin atau difenhidramin dapat diberikan untuk meredakan gejala pada kulit seperti
13
urtikaria, pruritus dan angioedema. Antihistamin golongan H1 tidak memiliki efek dalam
meredakan gejala respiratorik, gastrointestinal atau kardiovaskular pada anafilaksis. Setirizin
memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan difenhidramin, tetapi pada kasus yang
disertai dengan muntah, difenhidramin lebih aman untuk digunakan. Antihistamin golongan
H2 seperti ranitidin dapat diberikan dalam kombinasi dengan antihistamin golongan H1 karena
efektifitas dalam meredakan gejala pada kulit lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan
antihistamin golongan H1 saja. 5
Kortikosteroid
Belum ada penelitian yang menunjukkan efektivitas pemberian steroid pada kasus
anafilaksis. Kortikosteroid ini biasanya diberikan pada kasus keterlibatan saluran nafas dan
bronkospasme yang berat. Kortikosteroid seperti hidrokortison 1,5-3 mg/kgBB intra vena.
Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan metilprednisolon 1 mg/kgBB (maksimal 125 mg).
Obat-obat Inhalasi
Penggunaan obat-obat inhalasi seperti salbutamol dapat diberikan pada anak yang
datang dengan keluhan wheezing dan bronkospasme, atau anak yang memiliki riwayat
penyakit asma. Salbutamol dapat diberikan dengan dosis 5 sampai 10 puffs menggunakan
metered dose inhaler (MDI) dan diberikan setiap 20 menit sampai sesak nafas dan wheezing
berkurang. Pada bayi yang belum bisa menggunakan MDI dapat diberikan nebulisasi
salbutamol 2,5 mg sampai 5 mg per dosis. 5
Pemberian Topikal
Pemberian topikal tergantung dari keadaan lesi, bila terjadi erosi dapat dilakukan
kompres terbuka NaCl 0,9% atau larutan permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa
selama 10-25 menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering. 5
2.10 KOMPLIKASI
Eritroderma secara klinis digambarkan dengan eritema luas, skuama, pruritus dan lesi
primernya biasanya sulit ditentukan. Peradangan kulit yang begitu luas pada eritroderma
merupakan salah satu penyakit yang dapat mengancam jiwa. Risiko ini semakin meningkat bila
diderita oleh penderita dengan usia yang sangat muda atau pada usia lanjut. Pada beberapa
14
penderita, eritroderma dapat ditoleransi dan berada pada kondisi yang kronik. Pengobatan
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya, namun tetap memperhatikan keadaan umum,
seperti keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, memperbaiki hipoalbumin dan anemia, serta
pengendalian infeksi sekunder.8
2.11 PROGNOSIS
Pada umumnya reaksi alergi obat tanpa komplikasi dapat sembuh dengan baik.
Meskipun penghentian obat yang menimbulkan reaksi telah dilakukan, erupsi obat masih dapat
muncul secara lambat atau memburuk dalam beberapa hari. Penghindaran obat tetrtentu
dikemudian hari perlu dilakukan pada pasien dengan riwayat alergi obat. Pasien dan
keluarganya harus mendapatkan informasi tertulis mengenai obat-obatan yang harus dihindari.
Catatan mengenai alergi obat juga harus tercantum dalam rekam medis pasien.7,8
15
BAB III
LAPORAN KASUS
Umur : 11 bulan
MR : 189210
3.2 ANAMNESIS (diberikan oleh ibu kandung pasien) tanggal 01 februari 2022
Seorang pasien perempuan berumur 11 bulan dibawa ke IGD RSUD Mandau dengan :
Keluhan Utama
Ruam kemerahan dan kehitaman bertambah banyak disertai dengan gatal sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit.
Ibu pasien memutuskan untuk menghentikan obat dari klinik 1 dan pindah ke klinik 2
dan diberi obat dexamethasone, CTM, dan vit C, obatnya dipuyer dan diminum 3x1, namun
keluhan bertambah parah bintik bintik tadi pecah membuat lesi basah dan semakin lama timbul
ruam kehitaman seperti kulit kering yang bersisik dan terkelupas hampir keseluruh tubuh.
Pasien rewel, dan sering merasa kesakitan dan perih. Ibu pasien mengatakan kadang
badan pasien terasa panas namun hanya dikompres air hangat dan tidak ada diberi obat demam,
batuk pilek tidak ada, sesak napas tidak ada, mual muntah tidak ada, buang air kecil jumlah
dan warna biasa, buang air besar warna dan konsistensi biasa.
16
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya
Riwayat Persalinan
Lahir spontan, aterm, ditolong oleh bidan.
Saat lahir langsung menangis kuat, berat badan lahir dan panjang badan lahir tidak
diukur.
Tidak ada riwayat kuning atau biru waktu lahir
Riwayat Imunisasi
- BCG : usia 1 bulan, scar (+)
17
Riwayat Pertumbuhan Dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal
Pemeriksaan Sistemik
Torak
Paru : Inspeksi : normochest, simetris kiri = kanan,
Perkusi : sonor
18
Perkusi : batas jantung kanan LSD, atas RIC II, kiri 1 jari medial LMCS
RIC V
Palpasi : hepar tidak teraba , rata dan tajam, lien tak teraba.
Perkusi : timpani
Kulit : Teraba hangat, tampak makula eritema, plak dan makula hiperpigmentasi
serta skuama pada kepala, leher, lengan, dada, dan perut, pada hampir seluruh tubuh, dengan
krusta diatas alis kanan dan kiri, berukuran milier hingga nummular, bentuk tidak beraturan
dan berbatas tegas. Tidak ditemukan lesi pada mukosa mulut dan mukosa vagina.
Status dermatologi:
- Lokasi : seluruh tubuh
- Distribusi : universal
- Bentuk : tidak beraturan
- Susunan : tidak teratur
- Batas : difus
- Ukuran : milier hingga numular
- Efloresensi
Primer : plak, hiperpigmentasi, eritema
Sekunder : berskuama kasar
- Kelainan selaput/mukosa: tidak ada kelainan
Trombosit : 509.000/mm3
Hematokrit : 38,5%
LED :4
19
CRP kuantitatif : <6 mg/dl
Steven-Johnson’s Syndrome
3.7 PROGNOSIS :
3.8 TERAPI
Ivfd D5% ¼ NS 10 tpm
Diet TKTP
Edukasi:
20
o Menghindari menggaruk kulit
o Menjaga kebersihan kulit
o Memenuhi kebutuhan cairan dan diet tinggi protein.
ANJURAN PEMERIKSAAN
- konsul ke bagian kulit
3.9 FOLLOW UP
21
Hari rawatan ke Sedang Sadar 100x 30x 36o C
2
Mata : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik
Kulit : makula eritem (+), makula hiperpigmentasi (+), skuama (+),
ukuran milier hingga numuler
Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ektremitas : teraba hangat
A/ Eritroderma ec. Drug Eruption
P/ Ivfd D5% ¼ NS 10 tpm
Inj. Ranitidine 2x8 mg
Inj. Methylprednisolone 3x10mg
Inj. Pycin 4x250 mg
Vit E minimal 200 iu 1x1 setelah makan
Takana syr 1x2,5 cc
Carmed salp 20% stop
Diet TKTP
Cetirizine drop 2x0,5 ml
CTM 3x0,8 mg
Kompres Nacl 0,9% 3 kali sehari (25 menit setiap sesi)
Hasil konsul dokter spesialis kulit:
Pibaksin cream dan mometason cream dicampur, dioles setelah
kompres Nacl.
04 – 02 – 2022 S/ skuama sudah berkurang, kulit barunya bersih, gatal (-)
O/ KU Kes Nadi Nafas Suhu
Hari rawatan ke Sedang Sadar 100x 30x 36,2o C
3
Mata : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik
Kulit : skuama pada kepala dan wajah sudah bersih, skuama pada badan
sudah berkurang dan hampir bersih.
Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ektremitas : teraba hangat, perfusi baik
A/ Eritroderma ec. Drug Eruption
P/ Infus aff
Inj. Ranitidine 2x8 mg stop
22
Inj. Methylprednisolone 3x10mg stop
Inj. Pycin 4x250 mg stop
Vit E minimal 200 iu 1x1 setelah makan
Takana syr 1x2,5 cc
Carmed salp 20% stop
Cetirizine drop 2x0,5 ml
CTM 3x0,8 mg
Kompres Nacl 0,9% 3 kali sehari (25 menit setiap sesi)
Pibaksin cream dan mometason cream dicampur, dioles setelah
kompres Nacl.
Rencana pulang
23
BAB IV
ANALISA KASUS
4.1 PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien didiagnosis sebagai eritroderma yang disebabkan erupsi obat.
Berdasarkan anamnesis bahwa pasien mengalami keluhan yang awalnya timbul bintik
kemerahan pada leher kemudian setelah mengkonsumsi obat timbul ruam kemerahan dan
kehitaman, disertai kulit seperti bersisik. Proses perjalanan lesi kulit pada pasien tersebut
diawali dengan kemerahan terlokalisir pada kulit leher, kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa eritroderma akibat alergi obat biasanya secara sistemik.
Eritiroderma karakteristik eritema dan skuama pada lebih dari 90% area permukaan tubuh.
Pada eritroderma yang disebabkan erupsi obat, memerlukan anamnesis mengenai onset
terjadinya keluhan kulit. Waktu mulai masuknya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit,
bervariasi dari segera hingga dua minggu. Pasien mengkonsumsi obat dari klinik 1 CTM,
prednison, B6, dan vit C, ibu pasien mengatakan obatnya dipuyer dan diminum 3x1, setelah 2
hari kemudian timbul bintik bintik seperti nanah dan ruam kemerahan pada leher dan menyebar
hampir keseluruh tubuh. Kemudain menghentikan obat dari klinik 1 dan pergi ke klinik 2 diberi
obat dexamethasone, CTM, dan vit C, obatnya dipuyer dan diminum 3x1, namun keluhan
bertambah parah bintik bintik tadi pecah membuat lesi basah dan semakin lama timbul ruam
kehitaman seperti kulit kering yang bersisik hampir keseluruh tubuh. Hal ini sesuai dengan
teori bahwa eritroderma dapat disebabkan oleh obat-obatan.
Obat yang dicurigai dapat menyebabkan eritroderma pada pasien adalah prednisone dan
dexamethasone, efek samping prednison lebih mungkin terjadi dengan dosis yang lebih besar
atau terapi jangka panjang. Karena prednison berdampak pada sistem kekebalan tubuh,
prednison dapat menyebabkan serangkaian efek samping. Reaksi kulit terhadap kortikosteroid
biasanya reaksi hipersensitivitas (tipe IV). Dexamethasone dapat melemahkan sistem
kekebalan tubuh, sehingga memudahkan terkena infeksi atau memperburuk infeksi yang sudah
atau baru saja dialami. Penggunaan jangka Panjang dalam dosis tinggi dapat menyebabkan
penipisan kulit, ruam kulit.
Mekanisme terjadinya drug eruption pada pasien adalah reaksi hipersensitivitas (tipe
IV), rekasi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit, APC dan sel Langerhans
yang mempresentasikan antigen kepada limfosit. Limfosit T yang sudah tersensitisasi
24
mengenali antigen dan 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pembebasan
serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation
factor. Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan kulit pasien tampak makula eritem dan
makula hiperpigmentasi serta skuama pada kepala, leher, lengan, dada, dan perut, pada hampir
seluruh tubuh, dengan krusta diatas alis kanan dan kiri, berukuran milier hingga nummular,
bentuk tidak beraturan dan berbatas tegas. Tidak ditemukan lesi pada mukosa mulut dan
mukosa vagina. Hal ini sesuai dengan teori bahwa eritoderma ec drug eruption terdapatnya
eritema universal yang biasanya disertai skuama. Erupsi berupa eritema diseluruh tubuh diikuti
deskuamasi.
Untuk diagnosa banding drug eruption pada penyakit lainnya, seperti steven-Johnson’s
syndrome dan toxic epidermal necrolysis. Pada seperti steven-johnson’s syndrome merupakan
penyakit kulit akut dan berat, terdiri dari erupsi kulit, kelainan mukosa, dan lesi pada mata.
25
Gejala bermula di mukosa mulut, di susul mukosa mata, genitalia, sehingga membentuk trias:
stomatitis, konjungtivitis, urethritis. Kelainan disekitar lubang badan berupa erosi, eksoriasi
dan perdarahan. Lokalisasi biasanya generalisata, kecuali pada kepala yang berambut.
Sedangkan pada kasus ini tidak mukosa mata dan mukosa mulut dan mukosa kelamin pasien
tidak terdapat lesi, hal ini dapat menyingkirkan diagnosa penyakit pasien untuk steven-
Johnson’s syndrome.
Pada penyakit syndrome dan toxic epidermal necrolysis juga dapat disingkirkan karena
gejala yang dialami penyakit syndrome dan toxic epidermal necrolysis adalah Penderita tampak
sakit berat dengan demam tinggi dan kesadaran menurun. Lesi kulit berupa eritema menyeluruh
yang diikuti vesikel dan bula dalam jumlah banyak. Pada wajah timbul erosi dan eskoriasi
dengan lokalisasi generalisata. Sedangkan pada kasus ini pasien tidak ada mengeluhkan demam
tinggi maupun penurnan kesadaran, dan tidak terdapat bula serta eskoriasi pada kulit pasien.
Diagnosa banding dengan penyakit Staphyloccal Scalded Skin Syndrome, penyakit ini
sangat mirip TEN, tetapi SSSS memberikan gejala demam mendadak, serta menimbulkan
skuamasi yang lebar dalam bentuk lembaran-lembaran, penyakit ini disebabkan oleh
Staphylococcus aureus grup 2 tipe faga 52, 53 dan 71. Effloresensi terdapat vesikel dan bula
ukuran numular-plakat, disertai krusta dalam lembaran-lembaran. gambaran lesi biasanya
anular. Sedangkan pada pasien didapatkan plak, eritema, hiperpigmentasi dan skuama, tidak
terdapat bula.
Tujuan talaksana eritroderma adalah mempertahankan keseimbangan cairan serta
elektrolit dan mencegah infeksi, serta suportif, dan harus segera dimulai begitu diagnosisnya
ditegakan. Pasien harus dirawat di rumah sakit dan harus tirah baring. Suhu kamar yang
nyaman harus dipertahankan karena pasien tidak memiliki kontrol termolegulasi yang normal
sebagai akibat dari fluktuasi suhu karena vasodilatasi dan kehilangan cairan lewat evaporasi.
Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dipertahankan karena terjadinya kehilangan air dan
protein yang cukup besar dari permukaan kulit. Tatalaksan yang diberikan kepada pasien sesuai
dengan teori diberikan cairan ivfd D% ¼ NS 10 tpm dan pasien dirawat dirumah sakit.
Pada hari petama pasien diberikan carmed salep, obat ini digunakan untuk mengobati
masalah Hiperkeratosis, kekeringan pada iktiosis dan kondisi sejenis yang ditandai oleh kulit
kering, kasar, dan bersisik. Setelah konsul dengan dokter spesialis kulit carmed salep di stop
dan pasien diberikan pibaksin cream dan mometason cream dicampur, dioleskan secara tipis
pada lesi, hal ini sesuai teori bahwa pibaksin cream dan mometason cream dapat digunakan
untuk mengatasi sejumlah masalah kulit seperti eksim, psoriasis, alergi, dan ruam. Obat ini
26
tergolong kortikosteroid berkekuatan sedang. Ketika dioleskan pada kulit,
kandungan mometasone furoate mampu mengurangi pembengkakan, gatal, dan kemerahan
pada kulit.
Pada pasien diberikan cetirizine drop 2x0,5 ml, hal ini sesuai teori pemberian
antihistamin ditujukan untuk mengatasi pruritus. Pasien diberikan inj. Pycin 4x250 mg, hal ini
sesuai teori antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi pada tubuh pasien
Pada kasus ini pasien juga diberikan vitamin E, Ada banyak manfaat vitamin E untuk
kulit, mulai dari mengurangi peradangan, membantu pembentukan kolagen, hingga
meningkatkan kelembapan dan elastisitas kulit. Manfaat ini didapat karena vitamin E yang
dikonsumsi akan diserap oleh lapisan epidermis kulit dan digunakan untuk
memperbaiki kulit yang mengalami kerusakan.
Pasien diberikan takana syrup, Takana sirup merupakan suplemen yang mengandung
ekstrak curcuma, vitamin A, dan vitamin lainnya. Digunakan untuk mencegah defisiensi
vitamin sekaligus meningkatkan nafsu makan anak.
Pasien juga dilakukan kompres Nacl 0,9% 3 kali sehari (25 menit setiap sesi), hal ini
sesuai dengan teori bahwa bila terjadi erosi dapat dilakukan kompres terbuka NaCl 0,9% atau
larutan permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-25 menit. Kompres
dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering.
Edukasi yang diberikan meliputi menghentikan obat yang diduga menyebabkan
penyakit yang diderita/pemicu, menghindari menggaruk kulit, memberikan penjelasan pada
keluarga pasien mengenai penyakit yang diderita, menjaga kebersihan kulit, memenuhi
kebutuhan cairan dan diet tinggi protein.
27
Setelah melewati perawatan tiga hari dirumah sakit, keluhan kulit pasien seperti
eritema, plak, makula hiperpigmentasi dan skuama pada pasien sudah sangat berkurang, dan
hanya tinggal sedikit bekas-bekas skuama, pasien juga sudah tidak rewel, dan tidak merasa
gatal pada kulitnya. Karena kondisi pasien sudah membaik pasien boleh dipulangkan, dan obat
pulang pasien Vit E minimal 200 iu 1x1 setelah makan Takana syr 1x2,5 cc, Cetirizine drop
2x0,5 ml, CTM 3x0,8 mg, kompres Nacl 0,9% 3 kali sehari (25 menit setiap sesi), Pibaksin
cream dan mometason cream dicampur, dioles setelah kompres Nacl. Anjuran untuk kontrol
ke poli tujuh hari kemudian.
4.2 KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
3. Yacoub MR, Berti A, Campochiaro C, Tombetti E, Ramirez GA, Nico A, et al. Drug
induced exfoliative dermatitis: State of the art. Clin Mol Allergy 2016;14
4. Hamzah M. Erupsi Obat Alergi. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aishah S, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Cetakan ketiga. Jakarta : FK UI ; 2017 h 154-
8.
5. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 2015
29