Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Erupsi Obat Alergi


2.1.1. Definisi Alergi Obat
Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP), reaksi
obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction) adalah respon obat yang tidak
diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan
rumah sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti
cacat permanen sampai kematian. Alergi obat adalah salah satu jenis adverse drug
reaction yang tidak dapat diprediksi yang mencakup spektrum reaksi
hipersensitivitas yang dimediasi secara imunologis dengan berbagai mekanisme
dan presentasi klinis. Alergi obat menyumbang sekitar 5-10% dari semua adverse
drug reaction (Richard & Fanny, 2011). Alergi obat itu sendiri adalah reaksi
alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian
obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis, dan pengobatan (Budianti, 2015).
The British Society for Allergy and Clinical Immunology (BSACI)
mendefinisikan alergi obat sebagai reaksi apa pun yang disebabkan oleh obat
dengan fitur klinis yang kompatibel dengan mekanisme imunologis (NICE, 2019).
World Allergy Organization (WAO) mendefinisikan alergi obat sebagai reaksi
hipersensitivitas obat yang dimediasi secara imunologis. Mekanisme alergi obat
dapat dimediasi baik IgE atau non-IgE, dengan sebagian besar diwakili oleh reaksi
mediasi sel-T. Banyak pola reaksi kulit telah dilaporkan dalam alergi obat,
termasuk di antaranya, urtikaria, angioedema, jerawat, erupsi bulosa, erupsi obat,
eritema multiforme, lupus erythematosus, fotosensitifitas, psoriasis, purpura,
vaskulitis, pruritus, dan reaksi kulit yang mengancam jiwa seperti sindrom
Stevens-Johnson (SJS), toksik epidermal nekrolisis (TEN), dermatitis eksfoliatif,
dan drug rash with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS) (McKenna dan
Leiferman, 2004).
2.1.2. Epidemiologi Alergi Obat
Adverse Drug Reaction (ADR) adalah masalah perawatan kesehatan utama
dan berkontribusi signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien. ADR
menyumbang 3% hingga 6% dari semua rawat inap di rumah sakit dan terjadi
pada 10% hingga 15% pasien rawat inap. Alergi obat relatif tidak umum,
terhitung kurang dari 10% dari semua ADR. Alergi obat, terjadi pada 1% sampai
2% dari semua rawat inap dan 3% sampai 5% dari pasien rawat inap, tetapi
masing-masing kejadian sebenarnya dari alergi obat di masyarakat, dan di antara
anak-anak dan orang dewasa, tidak diketahui. Banyak anak yang salah didiagnosis
sebagai "alergi" terhadap berbagai obat, terutama antibiotik dan akhirnya
membawa label ini hingga dewasa. Pasien-pasien ini sering dirawat dengan
pengobatan alternatif yang mungkin lebih beracun, kurang efektif dan lebih
mahal, dimana ini pada gilirannya dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas,
mortalitas dan biaya (ekonomi) (WAO, 2014).
Di Inggris, angka kejadian alergi obat pada anak adalah 2,1% dan 39,3%
diantaranya merupakan reaksi yang mengancam jiwa. Bentuk reaksi alergi yang
paling banyak ditemukan adalah reaksi alergi pada kulit. Reaksi yang berat seperti
anafilaksis jarang ditemukan, data epidemiologis di Australia menunjukkan
isidensi anafilaksis pada anak hanya 1:1000 dari kunjungan ke unit gawat darurat.
Di Indonesia, angka kejadian alergi obat yang dilaporkan di rumah sakit pada
umumnya mencapai 20-30%, dengan manifestasi terbanyak pada kulit berupa
urtikaria (Dzuilfikar, 2012).

2.1.3. Etiologi Alergi Obat


1. Antibiotik
Pada anak-anak, kecurigaan alergi beta lactam (BL) adalah alasan
paling umum untuk rujukan ke konsultasi alergi obat. Reaksi obat yang
merugikan pada pasien anak-anak dilaporkan disebabkan oleh 45% oleh
BL dan 23% oleh antibiotik non-BL (Gamboa, 2015).
Makrolida dan sulfonamid juga sering terlibat, tetapi jarang
dikonfirmasi dalam reaksi hipersensitivitas obat pada pediatrik.
Prevalensi ini terkait erat dengan kebiasaan resep yang berbeda di
berbagai negara. Di antara anak-anak, prevalensi alergi makrolida yang
dilaporkan berkisar antara 0,07% hingga 0,7%, dengan sebagian besar
reaksi berupa eksantema kulit ringan. Dugaan alergi terhadap antibiotik
sulfonamide pada anak-anak dilaporkan berkisar antara 0,2% hingga
2,2% untuk kelompok usia yang berbeda dengan pengecualian satu
studi prospektif yang melaporkan insiden ruam terkait antibiotik
sulfonamide sebesar 8,5% di antara anak-anak rawat jalan. Reaksi
hipersensitivitas terhadap kuinolon, vankomisin, aminoglikosida, dan
tetrasiklin jarang dilaporkan, sebagian karena resep obat ini terbatas
pada anak-anak, kecuali pada populasi tertentu, seperti pasien fibrosis
kistik (Ayuso dkk., 2013).
2. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dan Analgetik
Obat NSAID yang paling umum digunakan pada anak-anak adalah
ibuprofen dan parasetamol. Reaksi kulit dan pernapasan adalah
manifestasi yang paling umum. Dalam sebuah penelitian yang
mendaftarkan lebih dari 27.000 anak-anak <2 tahun, dirawat dengan
ibuprofen dan parasetol untuk penyakit demam akut, tidak ada rawat
inap terjadi sekunder untuk anafilaksis akut (Lesko & Mitchell, 1990).
Bahkan, NSAID adalah di antara obat yang paling sering dikaitkan
dengan sindrom Stevens-Johnson (SJS) pada anak-anak (Levi dkk.,
2009).
3. Obat Perioperatif
Studi oleh DeWachter dkk. melaporkan insiden keseluruhan untuk
anafilaksis perioperatif pada populasi pediatrik dari satu dalam 7741
prosedur anestesi. Angka tampaknya lebih tinggi pada populasi tertentu,
seperti pada anak-anak dengan kelainan bawaan, dan telah dilakukan
beberapa intervensi. Berbeda dengan orang dewasa, agen penghambat
neuromuskuler lebih jarang dijadikan penyebab pada anak-anak, dengan
perkiraan insiden pada satu dari 80.000 prosedur anestesi. Anafilaksis
akibat agen induksi jarang terjadi pada anak-anak (Mertes dkk., 2011).
4. Media Radio Kontras
Keseluruhan insiden yang dilaporkan dari reaksi langsung terhadap
media radio kontras nonionik iodinasi intravena pada anak-anak lebih
rendah daripada populasi orang dewasa. Dalam penelitian besar oleh
(Katayama dkk., 1990) reaksi hipersensitivitas obat dengan keterlibatan
kardiovaskular atau pernapasan yang parah telah dilaporkan dengan
insidensi 0,07% untuk media kontras nonionik pada anak-anak berusia
1-19 tahun. Media kontras yang mengandung Gadolinium dikaitkan
dengan reaksi hipersensitivas obat pada 0,04% pasien anak (Prince
dkk., 2011).
5. Obat Kemoterapi
Karboplatin dan asparaginase sering menjadi penyebab alergi obat pada
anak-anak. Hipersensitivitas obat terhadap karboplatin dikaitkan dengan
terapi berulang. Dalam satu ulasan pada anak-anak yang terkena glioma
tingkat rendah, 44 dari 105 anak-anak (42%) mengembangkan
hipersensitivitas terhadap karboplatin (Lafay, 2008). Reaksi
hipersensitivitas terhadap asparaginase telah dilaporkan hingga 40%
dari anak-anak yang diobati. Insidensi tampaknya tergantung pada
berbagai jenis sediaan asparaginase, rejimen yang digunakan, dan rute
pemberian (Pidaparti dan Bostrom, 2012). Selain carboplatin dan
asparaginase, Leucovorin merupakan obat kemoterapi yang bias
memicu hipersensitivitas. Leucovorin merupakan turunan dari asam
folat, digunakan untuk menyelamatkan sel normal dari efek samping
metotreksat. Insiden hipersensitivitas Leucovorin berkisar diantara 12-
17%. Hipersensitivitas dari Leucovorin memicu gejala pada umumnya
seperti eritema pada wajah, urtikaria maupun angioedema.

2.1.4. Faktor Risiko Alergi Obat


Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat
adalah:
1. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa populasi yang sangat muda
dan sangat tua lebih rentan mengalami reaksi adversi obat. Ini
mencerminkan perbedaan terkait usia dalam komposisi tubuh dan
aktivitas jalur metabolisme. Kemampuan hati untuk memetabolisme
obat-obatan tertentu dapat berkurang pada usia sangat muda dan sangat
tua. Volume distribusi obat sangat bervariasi antara bayi, anak, dewasa,
dan pasien lansia. Beberapa faktor risiko, termasuk perbedaan
metabolisisme obat, yang dapat menghasilkan peningkatan kerentanan
terhadap obat tertentu, dapat menjelaskan tingkat keparahan dan
spesifisitas reaksi adversi obat pada anak-anak. Dalam hal ini, beberapa
organ mungkin sangat sensitif terhadap efek samping. Selain itu, proses
perkembangan pada anak-anak mungkin rentan terhadap agen tertentu,
dan sejumlah obat yang digunakan dalam penyakit anak dapat
menghasilkan reasi alergi obat (Morales dkk., 2000).
2. Jenis Kelamin
Wanita dianggap lebih rentan terhadap reaksi alergi obat daripada pria
karena keterlibatan hormonal. Kecenderungan semacam itu dapat
timbul dari perbedaan terkait jenis kelamin dalam paparan obat, dalam
jumlah obat yang diresepkan, dalam farmakologi obat, serta dari
kemungkinan perbedaan dalam cara reaksi adversi obat dirasakan.
Angka kematian secara keseluruhan tidak jauh berbeda di antara jenis
kelamin, tetapi pola kejadiannya tidak, sebagian karena efek
perlindungan estrogen terhadap penyakit jantung sebelum menopause.
Umumnya reaksi adversi obat lebih sering dilaporkan pada wanita
untuk beberapa kelas obat (Montastruc dkk., 2002).
3. Terapi Obat Multipel
Kejadian alergi pada interaksi obat meningkat tajam dengan jumlah
obat yang diminum sehingga polifarmasi dianggap sebagai faktor risiko
(Nguyen dkk., 2006).
4. Penyakit Penyerta
Penanganan obat dapat diubah pada pasien dengan gangguan
metabolisme seperti ginjal atau gangguan hati. Atopi walaupun bukan
faktor risiko utama yang penting tetapi juga telah disebutkan sebagai
faktor predisposisi untuk reaksi adversi obat. Penyakit di mana
memerlukan beberapa pengobatan seringkali terkait dengan
kemungkinan alergi obat yang lebih besar (Guglielmi dkk., 2006).
5. Perbedaan Etnis dan Genetik
Perbedaan genetik etnis atau pola makan dapat meningkatkan risiko
alergi obat. Contohnya termasuk interaksi diet dengan defisiensi
glukosa dehidrogenase 6-fosfat; dan kelebihan zat besi yang dihasilkan
dari memberikan suplemen zat besi kepada pasien anemia ketika
mereka tidak membutuhkannya. Polimorfisme genetik adalah sumber
variasi respons obat dalam tubuh manusia. Erupsi obat alergik
berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan misalnya pada
kasus nekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal ini
berhubungan dengan gen human leukocyte antigen. Diantara para
remaja yang memiliki orang tua dengan riwayat alergi antibiotika,
25,6% remaja tersebut juga memilikialergi obat yang sama (Guglielmi
dkk., 2006).
6. Rekonsiliasi Obat-obatan
Rekonsiliasi obat-obatan mengacu pada pengecekan obat-obatan yang
dikonsumsi oleh pasien, baik yang diresepkan, tanpa resep, obat
tradisional, atau dari sumber lain (Varkey dkk., 2007).
7. Rute administrasi obat
Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih menyebabkan
erupsi alergi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida jarang
digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi pemberian
obat juga berperan dalam timbunya erupsi alergi obat (Guglielmi dkk.,
2006).

2.1.5. Patogenesis Alergi Obat


Reaksi hipersensitivitas obat dapat disebabkan oleh mekanisme imunologis
dan non-imunologis. Menurut World Allergy Organization, alergi obat merupakan
subkelompok reaksi hipersensitivitas obat secara imunologis yang dimediasi oleh
antibodi spesifik atau limfosit T spesifik. Karena ingatan imunologis, reaksi alergi
obat memiliki risiko yang tinggi untuk muncul pada paparan ulang.
Sebagian besar obat, karena ukurannya yang relatif kecil, tidak dapat
memperoleh respon imun secara independen. Obat-obatan pertama-tama harus
secara kovalen berikatan dengan molekul pembawa yang lebih besar seperti
jaringan atau protein serum untuk bertindak sebagai antigen multivalen lengkap.
Proses ini disebut haptenasi dan obat bertindak sebagai haptens. Respon imun
yang ditimbulkan mungkin humoral (dengan produksi antibodi spesifik), seluler
(dengan generasi sel T spesifik), atau keduanya. Sebagian besar obat tidak reaktif
dalam keadaan asalnya dan harus dikonversi (baik secara enzimatis atau melalui
degradasi spontan) menjadi zat antara reaktif untuk mengikat protein.
Menurut Lee & Thomson (2006), terdapat empat mekanisme imunologis.
Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang
paling banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah
imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan
pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai
antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti
histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan
menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang
paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II
(reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan antara imunoglobulin G dan
imunoglobulin M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem
komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana
antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi
alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang
tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe
lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen (Lee &
Thomson, 2006).
2.1.6. Gambaran Klinis Erupsi Obat Alergi
Erupsi alergi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan
gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu (Hamzah, 2007):
1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis
Erupsi makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi
eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali
terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan
selalu ada gejala pruritus. Bisa terdapat demam, malaise, dan nyeri
sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya
terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, obat anti
inflamasi non steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin.
2. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, terkadang
disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya ialah terjadinya
asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas
pada tempat lesi. Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan
dalam 24 jam. Urtikaria dapat disertai demam, dan gejala-gejala umum,
misalnya malese, nyeri kepala dan vertigo. Angioedema biasanya
terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan
kaki. Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus mendapat
pertolongan segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam
asetilsalisilat, dan obat anti inflamasi non steroid.
3. Fixed drug eruption
Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia. Fixed
drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai.
Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau
lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama, baru hilang, bahkan sering menetap. Lesi
dapat timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya
di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki
sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa erosi yang
kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat.
Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin dan
analgesik.
4. Eritroderma (dermatitits eksfoliativa)
Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai
skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacammacam penyakit
lain di samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit
sistemik temasuk keganasan pada sistem limforetikular (penyakit
Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma karena alergi obat terlihat
eritema tanpa skuama. Skuama baru timbul pada stadium
penyembuhan. Obat-obat yang biasa menyebabkannya ialah
sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak
hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi
tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki,
termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak
sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa
palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya distribusinya
simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis
biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat penyebab ialah
penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non steroid, antidepresan dan
antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang
berbentuk eritema nodosum. Kelainan kulit berupa eritema dan nodus
yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum berupa
demam dan malese. Tempat predileksinya di daerah ekstensor tungkai
bawah. Eritema nodosum dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit
lain misalnya tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang
dianggap sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan
kontrasepsi oral.
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak
alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.
Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan matahari.
Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida,
obat anti inflamasi non steroid, dan griseofulvin.
8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat,
diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus,
hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis kontak. Kelainan
kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit
yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target.
Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi, dan pustul pustul
tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti
deskuamasi selama beberapa hari.
9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa
eritema multiforme, sindrom Steven-Johnson, dan nekrolisis epidermal
toksik.

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat Alergi


Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat alergi adalah dengan
mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan
aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang
didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi (Nayak & Acharjya, 2008):
1. Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu
menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari
adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi pemeriksaan ini tidak
dapat menentukan obat penyebab erupsi.

2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan
menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi penyebab
erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah lengkap (atypical
lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan
erupsi obat alergi dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000
sel/mm menunjukkan erupsi obat alergi yang serius. Level obat dapat
3

terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut. Pengukuran


kadar histamin dan triptase terbukti bermanfaat dalam mengkonfirmasi
reaksi akut yang dimediasi IgE, terutama anafilaksis. Studi terbaru telah
berfokus pada peran potensial dari tes aktivasi basofil (kuantifikasi
aktivasi basofil oleh flow cytometry) dalam diagnosis alergi obat,
karena basofil terlibat dalam reaksi yang dimediasi oleh imun dan yang
tidak dimediasi imun. Meskipun beberapa bukti menunjukkan bahwa
tes ini berguna untuk mengevaluasi kemungkinan alergi terhadap
antibiotik beta-laktam, NSAID dan pelemas otot, studi konfirmasi lebih
lanjut diperlukan sebelum diterima secara luas sebagai alat diagnostic.

3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi


Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat
dipercaya. Uji patch test melibatkan penempatan alergen potensial
(pada konsentrasi yang tidak menyebabkan iritasi) pada pasien selama
48 jam di bawah cakram aluminium, dan kemudian menilai reaksi.
Pengujian patch berguna untuk diagnosis berbagai reaksi kulit tipe
delayed (tipe IV). Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan
pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling membantu
untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus
sesuai dengan etika maupun alasan mediko legalnya. Skin prick test
dapat dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe 1 atau IgE mediated immunity. Selain itu, bias
dilakukan juga tes serum IgE, namun tes ini lebih mahal dan kurang
sensitif dibandingkan dengan tes kulit lainnya.

2.1.7. Diagnosis Alergi Obat


Dasar diagnosis alergi obat adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-
obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari
sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang
biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik
distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul
(Budianti, 2015).
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat
dari jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang
menyertainya. Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan
pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian obat serta
jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus
ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi
terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu
paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten
(Nayak & Acharjta, 2008).

2.1.8. Penatalaksanaan
Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang
dicurigai dan mengatasi gejala klinis yang timbul. Selanjutnya harus dipikirkan
juga upaya pencegahan terjadinya alergi obat kembali.
Tabel 4. Kunci utama tatalaksana alergi obat
1. Menghentikan pemberian obat yang dicurigai menimbulkan alergi
2. Mengatasi reaksi yang terjadi
3. Identifikasi dan mencegah reaksi silang obat
4. Menentukan jenis reaksi dan pengobatannya
5. Apabila memungkinkan tentukan obat alternatif yang dapat diberikan
6. Apabila diperlukan pertimbangkan desensitisasi
Sumber: Mirakian R, dkk; 2008.2
Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit karena biasanya
penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Semua obat yang
diberikan diupayakan dihentikan terlebih dahulu, kecuali obat yang memang perlu
dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikannya dengan
obat lain.

Tatalaksana Urtikaria dan Angioedema


Manifestasi klinis yang ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan
khusus. Untuk pruritus, urtikaria atau angioedema dapat diberikan antihistamin
seperti setirizin, CTM atau difenhidramin, serta anti inflamasi non steroid.
Perawatan lokal untuk manifestasi yang timbul pada kulit segera dilakukan
melalui konsultasi dan kerjasama interdisiplin dengan bagian lain (mata, kulit,
bedah).

Tatalaksana Anafilaksis
Tatalaksana pada manifestasi klinis yang berat seperti anafilaksis meliputi
stabilisasi dan patensi jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian adrenalin, terapi
cairan,pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obatan yang dicurigai
sebagai pemicu terjadinya alergi harus segera dihentikan. Pasien harus diobservasi
dalam ruang resusitasi di Unit Gawat Darurat. Peralatan seperti pulse oxymeter,
monitor tekanan darah non invasif dan EKG digunakan untuk penilaian dan
pemantauan tanda vital pasien. Tanda-tanda edema saluran nafas, bronkospasme
dan syok harus segera dinilai. Penilaian patensi jalan nafas dan pemberian oksigen
Oksigen dapat diberikan dengan sungkup untuk menjaga saturasi oksigen pasien
diatas 92%. Perlu diwaspadai tanda-tanda ancaman obstruksi jalan nafas seperti
stridor yang memburuk, suara serak, takipnea dan wheezing yang progresif. Pada
keadaan ini tindakan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis sering sulit
dilakukan, dan tindakan intervensi bedah untuk membuka saluran nafas melalui
krikotiroidotomi dapat dipertimbangkan.
Pemberian Cairan
Pada keadaan anafilaksis terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan
dapat terjadi kehilangan lebih dari 35% volume darah dalam 10 menit pertama.
Pemasangan jalur intravena harus segera dilakukan dan apabila tidak
memungkinkan maka harus dibuat akses intraosseus. Pada pasien yang mengalami
syok (takikardi, hipotensi atau waktu pengisian kapiler yang melambat) harus
segera mendapatkan resusitasi cairan dengan kristaloid sebanyak 20 ml/kgBB.
Bolus cairan dapat diulang sampai 60 ml/kgBB. Apabila keadaan syok belum
teratasi maka pemberian obat-obat inotropik dapat dipertimbangkan.

Pemberian Adrenalin
Adrenalin merupakan obat pilihan pada tatalaksana akut anafilaksis.
Adrenalin diberikan apabila terdapat tanda-tanda edema saluran afas yang
progresif, bronkospasme, atau hipotensi. Adrenalin bekerja pada reseptor α, β1,
dan β2 adrenergik yang dapat memperbaiki vasodilatsi, edema mukosa dan
bronkospasme yang telah terjadi. Adrenalin melalui reseptor β2 adrenergik dapat
meningkatkan cAMP interselular yang menghambat pelepasan lebih lanjut sel
mast dan basofil, sehingga apabila diberikan dini dapat mengurangi derajat
beratnya reaksi.
Adrenalin diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg/kgBB,
dengan dosis maksimal 0,5 mg intramuskular. Pemberian intramuskular lebih
disukai karena dapat segera dilakukan sebelum akses intravena diperoleh.
Pemberian adrenalin IM tidak boleh ditunda selama menunggu tersedianya akses
vaskular. Kadar puncak epinefrin dalam plasma lebih cepat tercapai dengan
pemberian intramuskular dibandingkan dengan pemberian intravena. Pemberian
adrenalin intramuskular dapat diulang tiap 5 sampai 15 menit selama diperlukan.
Secara praktis, dosis adrenalin intramuskular pada anak adalah 0,3 mg (0,3 ml
larutan adrenalin 1:1000) untuk anak usia 6-12 tahun, 0,15 mg (0,15 ml larutan
adrenalin 1:1000) untuk usia 6 bulan-6 tahun, dan 0,1 mg (0,1 ml larutan
adrenalin
1:1000) untuk bayi usia kurang dari 6 bulan. Pemberian adrenalin intravena
diindikasikan pada kasus syok, obstruksi saluran nafas yang berat, dan
bronkospasme berat. Dosis inisial 0,75-1,5 μg/kgBB dalam 5 menit. Epinefrin
kemudian diberikan dalam infus kontinyu dengan dosis 0,1 μg/kgBB/menit
sampai 1 μg/kgBB/menit (maksimal 10 μg/menit) hingga tekanan darah
stabil.6,13,14
Antihistamin H1 dan H2
Antihistamin diberikan terutama untuk meredakan gejala pada kulit seperti
urtikaria, angioedema ringan dan pruritus dan bukan untuk terapi anafilaksis.
Antihistamin golongan H1 seperti setirizin atau difenhidramin dapat diberikan
untuk meredakan gejala pada kulit seperti urtikaria, pruritus dan angioedema.
Antihistamin golongan H1 tidak memiliki efek dalam meredakan gejala
respiratorik, gastrointestinal atau kardiovaskular pada anafilaksis.
Setirizin memiliki onset kerja yang lebih cepat dibandingkan
difenhidramin, tetapi pada kasus yang disertai dengan muntah, difenhidramin
lebih aman untuk digunakan. Antihistamin golongan H2 seperti ranitidin dapat
diberikan dalam kombinasi dengan antihistamin golongan H1 karene efektifitas
dalam meredakan gejala pada kulit lebih baik jika dibandingkan dengan
penggunaan antihistamin golongan H1 saja.

Kortikosteroid
Belum ada penelitian yang menunjukkan efektivitas pemberian steroid
pada kasus anafilaksis. Kortikosteroid ini biasanya diberikan pada kasus
keterlibatan saluran nafas dan bronkospasme yang berat. Kortikosteroid seperti
prednison dapat diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB per oral (maksimal 75 mg)
atau hidrokortison 1,5-3 mg/kgBB intra vena. Pada kasus yang lebih berat dapat
diberikan metilprednisolon 1 mg/kgBB (maksimal 125 mg).

Obat-obat Inhalasi
Penggunaan obat-obat inhalasi seperti salbutamol dapat diberikan pada
anak yang dating dengan keluhan wheezing dan bronkospasme, atau anak yang
memiliki riwayat penyakit asma. Salbutamol dapat diberikan dengan dosis 5
sampai 10 puffs menggunakan metered dose inhaler(MDI) dan diberikan setiap 20
menit sampai sesak nafas dan wheezing berkurang. Pada bayi yang belum bisa
menggunakan MDI dapat diberikan nebulisasi salbutamol 2,5 mg sampai 5 mg per
dosis. 14
Glukagon
Pada pasien yang memiliki riwayat pengobatan lama dengan beta blocker
dan mengalami syok anafilaksis dapat terjadi hipotensi yang persisten walaupun
telah mendapatkan epinefrin. Pada keadaan ini glukagon dapat diberikan untuk
mengembalikan fungsi kardiovaskular. Glukagon diberikan dengan dosis 20-30
μg/kgBB selama 5 menit (maksimal 1 mg) dilanjutkan dengan infus glukagon
secara kontinyu mulai dari kecepatan 5-15 μg/kgBB/menit.

Tatalaksana Stevens Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis


Terapi suportif merupakan tatalaksana standar pada pasien SJS/TEN.
Pasien yang dating dalam keadaan umum yang berat membutuhkan cairan dan
elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Untuk
mengatasi infeksi, diberikan antibiotik spektrum luas, dan selanjutnya berdasarkan
hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.Pemberian
kortikosteroid sistemik sebagai terapi SJS/TEN masih kontroversial.
Kortikosteroid dapat diberikan parenteral, biasanya dengan deksametason, dosis
awal 1 mg/kgBB, selanjutnya 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam selama 3 hari lalu
diturunkan secara berangsur-angsur dan dapat digantikan dengan prednison per
oral. Antihistamin dapat diberikan bila diperlukan.
Perawatan suportif lainnya dengan perawatan kulit dan mata serta
pemberian antibiotik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin
fisiologis. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan
debridement.

2.1.9. Prognosis
Pada umumnya reaksi alergi obat tanpa komplikasi dapat sembuh dengan
baik. Meskipun penghentian obat yang menimbulkan reaksi telah dilakukan,
erupsi obat masih dapat muncul secara lambat atau memburuk dalam beberapa
hari Penghindaran obat tetrtentu dikemudian hari perlu dilakukan pada pasien
dengan riwayat alergi obat. Pasien dan keluarganya harus mendapatkan informasi
tertulis mengenai obat-obatan yang harus dihindari. Catatan mengenai alergi obat
juga harus tercantum dalam rekam medis pasien
DAFTAR PUSTAKA
Gamboa PM. The epidemiology of drug allergy-related consultations in Spanish
Allergology services: Alergologica-2005. J Investig Allergol Clin Immunol
2015;19 (Suppl 2):45–50.
Ayuso P, Blanca-Lopez N, Dona I, Torres MJ, Gueant-Rodriguez RM, Canto G et
al. Advanced phenotyping in hypersensitivity drug reactions to NSAIDs.
Clin Exp Allergy 2013;43:1097–1109.
Lesko SM, Mitchell AA. The safety of acetaminophen and ibuprofen among chil-
dren younger than two years old. Pediatrics 1999;104:e39.
Levi N, Bastuji-Garin S, Mockenhaupt M, Roujeau JC, Flahault A, Kelly JP et al.
Medications as risk factors of Stevens- Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis in children: a pooled analysis. Pediatrics
2009;123:e297–e304.
Mertes PM, Alla F, Trechot P, Auroy Y, Jougla E. Anaphylaxis during anesthesia
in France: an 8-year national survey. J Allergy Clin Immunol
2011;128:366–373.
Dewachter P, Mouton-Faivre C. [Allergic risk during paediatric anaesthesia]. Ann
Fr Anesth Reanim 2010;29:215–226.
Katayama H, Yamaguchi K, Kozuka T, Takashima T, Seez P, Matsuura K. Ad-
verse reactions to ionic and nonionic con- trast media. A report from the
Japanese Committee on the Safety of Contrast Media. Radiology
1990;175:621–628.
Prince MR, Zhang H, Zou Z, Staron RB, Brill PW. Incidence of immediate
gadolin- ium contrast media reactions. AJR Am J Roentgenol
2011;196:W138–W143.
Lafay-Cousin L, Sung L, Carret AS, Hukin J, Wilson B, Johnston DL et al.
Carbo- platin hypersensitivity reaction in pediatric patients with low-grade
glioma: a Canadian Pediatric Brain Tumor Consortium experi- ence.
Cancer 2008;112:892–899.
Pidaparti M, Bostrom B. Comparison of allergic reactions to pegasparaginase
given intravenously versus intramuscularly. Pedi- atr Blood Cancer
2012;59:436–439.
Morales-Olivas FJ, Martinez-Mir I, Ferrer JM, Rubio E, Palop V. Adverse drug
reactions in children reported by means of the yellow card in Spain. J Clin
Epidemiol 2000; 53: 1076-1080.
Montastruc JL, Lapeyre-Mestre M, Bagheri H, Fooladi A. Gender differences in
adverse drug reactions: analysis of spontaneous reports to a Regional
Pharmacovigilance Centre in France. Fundam Clin Pharmacol 2002; 16:
343-346.
Nguyen JK, Fouts MM, Kotabe SE, Lo E. Polypharmacy as a risk factor for
adverse drug reactions in geriatric nursing home residents. Am J Geriatr
Pharmacother 2006; 4: 36-41.
Guglielmi L, Guglielmi P, Demoly P. Drug hypersensitivity: epidemiology and
risk factors. Curr Pharm Des 2006; 12: 3309- 3312.
Varkey P, Cunningham J, O'Meara J, Bonacci R, Desai N, Sheeler R.
Multidisciplinary approach to inpatient medication reconciliation in an
academic setting. Am J Health Syst Pharm 2007; 64: 850-854.
McKenna JK, Leiferman KM. Dermatologic drug reactions. Immunol Allergy
Clin North Am. 2004;24:399–423. IV.
Budianti, W.K, 2015. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 190-195.
National Institute for Health Carre and Excellence (NICE), 2016. Drug allergy:
diagnosis and management. pp: 5-7,1.
Richard Warringtondan Fanny Silviu-Dan. 2011. Drug allergy. Allergy, asthma,
and clinical immunology : official journal of the Canadian Society of
Allergy and Clinical Immunology. 7 (1).
Nayak, S. & Acharjya, B., 2008. Adverse Cutaneus Drug Reactions. Indian
Journal of Dermatology, Venereology and Leprology, 53 (1): 2-8.
Hamzah, M., 2007. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 154-158.
Lee, A., and Thomson, J., 2006. Drug-induced Kkin. In: Adverse Drug Reactions
2nd edition. ISBN: Pharmaceutical Press, 125-156.

Anda mungkin juga menyukai