Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

REAKSI OBAT YANG TIDAK DIINGINKAN

REAKSI HIPERSENSITIVITAS

DISUSUN OLEH

KELOMPOK III

SITTI SYARIFAH M DINA FITRIANA

ARNI ARIES YULIATI

INDAH CAHYANI TINI SYAMSUDDIN

KHUSNUL KHATIMAH IIN FATIMAH AHMAD

MUH. IKRAM HASBI AZIZAH ZULFIAH

ANDI ADRIANI ANDI IKA ANDHINI

FALMIATI WIWIN MEGAH PUSPITA

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat limpahan rahmat-Nya lah makalah Reaksi Obat Yang Tidak

Diinginkan : Reaksi Hipersensitivitas ini dapat terangkum sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan oleh Bapak/Ibu Dosen Mata Kuliah Farmasi

Klinik.

Tak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-

pihak yang telah membantu baik sumbangsih pikiran maupun materi

sehingga tersusunnya makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat

menjadi sumber informasi ataupun sebagai media pembelajaran dan

pengetahuan bagi orang lain.

Kami menyadari bahwa makalah ini tak luput dari kesalahan, untuk

itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun.

Sekian dan Terima Kasih

Makassar, 20 Maret 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk

eksplorasi atau mengubah keadaan fisiologik atau patologik dengan

tujuan mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat untuk diagnosis,

terapi, maupun profilaksis.

Konsekuensi penggunaan obat-obat baru untuk kepentingan

diagnosis dan pengobatan penyakit adalah peningkatan insiden reaksi

obat yang tidak diinginkan, yang dapat menambah morbiditas dan bahkan

mortalitas. Reaksi obat yang tidak diinginkan terjadi sampai 20% pada

pasien rawat inap dan sampai 25% pada pasien rawat jalan di Rumah

Sakit. Studi telah menemukan bahwa sekitar 6% dari semua rumah sakit

terjadireaksi obat yang tidak diinginkan.

Reaksi hipersensitivitas adalah salah satu bentuk reaksi obat yang

tidak diinginkan yang dihasilkan dari respon imunologik terhadap obat

atau metabolitnya. Reaksi hipersensitivitas merupakan masalah utama

yang dapat timbul akibat pemberian obat. Reaksi alergi atau

hipersensitivitas terjadi sekitar sepertiga dari semua reaksi obat yang yang

tidak diinginkan dan dapat mempengaruhi 10% sampai 15% dari pasien

rawat inap. Dalam salah satu penelitian terhadap lebih dari 36.000 pasien

rawat inap, 731 efek samping telah diidentifikasi, dengan 1% menjadi

reaksi alergi parah yang mengancam nyawa.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Reaksi obat yang tidak diinginkan didefinisikan oleh WHO


sebagai respon terhadap obat yang berbahaya dan tidak diharapkan,
serta terjadi pada dosis normal pada penggunaan sebagai profilaksis,
diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.
Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi
dari sistem imun yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal
mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem imun melindungi
tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai
tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi,
limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen dalam sistem
imun yang berfungsi sebagai pelindung yang normal pada sistem
imun.
Reaksi alergi adalah bagian dari reaksi obat yang tidak
diinginkan. Salah satu klasifikasi reaksi obat yang tidak diinginkan
dibagi menjadi :
Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diperkirakan atau diprediksi,
umum terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan aksi
farmakologi obat misalnya toksisitas obat, efek samping, dan
interaksi obat, serta dapat terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A
terjadi sekitar 80% dari kasus-kasus reaksi obat yang tidak
diinginkan.
Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi atau
tak terduga, jarang terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering
tidak berhubungan dengan farmakologi obat, biasanya
berhubungan dengan respon sistem imum atau perbedaan genetik
pada individu yang rentan. Sekitar 25-30% reaksi tipe B merupakan
reaksi alergi obat. Reaksi tipe B meliputi intoleransi obat (efek
farmakologi yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis rendah
atau subterapeutik dan tidak berhubungan dengan kelainan pada
metabolisme, ekskresi, atau bioavailabilitas obat), reaksi
idiosinkrasi (efek tak terduga yang sering disebabkan oleh kelainan
pada metabolisme, ekskresi, atau bioavailabilitas), alergi atau
reaksi hipersensitivitas (hipersensitivitas yang melibatkan imun),
dan reaksi pseudoalergik (reaksi hipersensitivitas yang tidak
melibatkan imun, juga dikenal sebagai reaksi anafilaktoid). Dalam
kelompok ini, alergi obat atau hipersensitivitas obat adalah reaksi
obat yang tidak diinginkan yang diperantarai imunologi.
Reaksi tipe C adalah efek samping kronis yang berkaitan dengan
durasi terapi, misalnya supresi adrenal dari kortikosteroid
Reaksi tipe D adalah efek samping yang jarang terjadi, onsetnya
tertunda dan biasanya terkait dengan dosis seperti karsinogenisitas
B. Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko dapat mempengaruhi timbulnya reaksi
alergi, yaitu faktor yang berhubungan dengan obat dan pengobatan
(sifat obat, dosis, frekuensi, dan rute pemberian obat), serta faktor
yang berhubungan dengan pasien (usia dan jenis kelamin, genetik,
reaksi obat sebelumnya, penyakit yang menyertai).
1. Sifat Obat
Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya
antiserum, kimopapain, streptokinase, L-asparaginase dan insulin,
merupakan antigen kompleks yang potensial untuk menyebabkan
sensitisasi pada pasien. Obat-obatan dengan berat molekul
dibawah 1000 dalton merupakan imunogen lemah atau tidak
imunogenik. Kebanyakan obat merupakan molekul kecil (<1000
Da) dan tidak dapat menstimulasi respon imun.

2. Dosis, Frekuensi, dan Rute Pemberian Obat


Rute pemberian penting dalam hal resiko sensitisasi dan
reaksi alergi pada individu yang sebelumnya rentan. Pemberian
obat secara topikal umumnya memiliki resiko terbesar untuk
tersensitisasi, kemudian diikuti oleh rute subkutan, intramuskular,
dan oral. Sedangkan rute intravena merupakan rute pemberian
dengan sensitisasi paling kecil. Namun, pada individu yang sudah
rentan terhadap obat tertentu, resiko reaksi alergi terhadap obat
paling besar jika diberikan secara IV dan paling kecil ketika
diberikan secara oral. Pemberian oral atau nasal menstimulasi
produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang
kadang IgM.
Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada
perkembangan respons imunologik spesifik obat. Pada lupus
eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan lamanya pengobatan
hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia
hemolitik yang diinduksi penisilin membutuhkan konsentrasi obat
yang tinggi dan berkelanjutan. Dosis profilaksis tunggal antibiotika
kurang mensensitisasi dibandingkan dengan pengobatan
parenteral lama dengan dosis tinggi. Frekuensi pemberian obat
dapat berdampak sensitisasi. Biasanya pemberian obat lebih
memicu reaksi alergi, apabila interval pengobatan semakin lama,
maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.
3. Usia dan Jenis Kelamin
Umumnya anak-anak lebih sedikit tersensitisasi oleh obat
dibandingkan dengan orang dewasa, mungkin karena usia muda
dikaitkan dengan paparan obat kumulatif yang lebih sedikit.
Walaupun demikian reaksi alergi obat yang serius dapat juga terjadi
pada anak-anak. Bayi dan usia lanjut jarang mengalami alergi obat,
dan walaupun terjadi lebih ringan, hal tersebut dikaitkan dengan
irnaturitas atau involusi sistem imun. Ruam yang terjadi akibat
infeksi virus pada anak- anak dapat dikelirukan dengan anggapan
bahwa hal tersebut terjadi akibat pemberian antibiotika sebagai
pengobatan.
Untuk jenis kelamin, wanita lebih beresiko mengalami reaksi
alergi dibandingkan dengan pria (sampai 2,3: 1), meskipun hal ini
dapat bervariasi daritipe reaksi, obat, usia pasien, dan keadaan.
4. Genetik
Reaksi alergi obat hanya terjadi pada sebagian kecil pasien
yang mendapat pengobatan. Banyak faktor, baik genetik dan
lingkungan, yang dapat berperan untuk berkembangnya suatu
reaksi alergi. Pasien dengan riwayat rhinitis alergi, asma, atau
dermatitis atopik yang mengalami reaksi obat sistemik cenderung
bereaksi lebih parah dibandingkan yang lain. Insiden keluarga dari
reaksi alergi, meskipun jarang terjadi, telah dilaporkan. Misalnya,
eritema yang beraneka ragam digambarkan diantara 3 dari 5
bersaudara diobati dengan thiabendazole. Contoh lain, misalnya
seseorang yang orangtuanya rentan terhadap reaksi alergi
terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap
antimikroba sedangkan seseorang dengan orangtua tanpa reaksi
alergi, hanya 1,7% mengalami reaksi alergi.
Kecenderungan etnis untuk alergi obat juga semakin dikenal.
Pasien berkulit putih lebih mungkin untuk mengalami reaksi
hipersensitivitas terhadap abacavir dibandingkan pasien dengan
kulit tidak putih, dan pasien kulit hitam lebih rentan terhadap
angioedema dari inhibitor ACE dibandingkan kelompok etnis lain.
Kemampuan pasien untuk memetabolisme obat juga
dipengaruhi oleh genetiknya dan dapat mempengaruhi timbulnya
reaksi alergi. Proses asetilasi diperlukan untuk metabolisme
beberapa obat, misalnya sulfonamid, INH, dapson, hidralazin,
prokainamid, dan klonazepan. Asetilase obat-obatan tersebut
dikatalisis oleh enzim N-asetiltransferase (NAT). Fenotipe utama
yang telah diketahui adalah asetilator lambat dan asetilator cepat.
Pasien yang secara genetik merupakan asetilator lambat beresiko
untuk hipersensitivitas sulfonamide dan juga lebih mungkin untuk
mengembangkan antinuklear antibodi (ANA) dan gejala sistemik
lupus eritematosus (SLE) ketika diobati dengan procainamide atau
hydralazine. Obat penginduksi lupus dapat dianggap sebagai reaksi
alergi karena hubungannya dengan respon imun, yang dibuktikan
dengan peningkatan ANA.
Penurunan kapasitas N-acetilasi merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya reaksi alergi obat yang serius.
Kapasitas N-acetilasi yang rendah mengakibatkan peningkatan
konsentrasi tertentu obat dalam serum dan penurunan
detoksifikasi, hal ini terlihat pada pasien Sindrom Stevens Johnson
(SSJ) dan Nekrosis Epidermal Toksik (NET).
5. Reaksi Obat Sebelumnya
Faktor resiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi
terhadap obat sebelumnya. Riwayat reaksi alergi terhadap obat
dipertimbangkan untuk pengobatan, atau salah satu
immunokimiayang serupa, adalah faktor resiko yang paling dapat
diandalkan untuk pengembangan reaksi alergi berikutnya. Contoh
yang biasa ditemui adalah pasien dengan riwayat reaksi alergi yang
parah terhadap penisilin, diantaranya semua senyawa yang
berhubungan dengan struktur penisilin harus dihindari, dan
diantaranya kemungkinan reaksi hipersensitivitas harus
dipertimbangkan ketika menggunakan antibiotik -laktam lainnya.
6. Penyakit yang Menyertai
Meskipun gen jelas berperan dalam reaksi hipersensitivitas,
faktor lingkungan (misalnya, penyakit penyerta) juga terlibat.
Misalnya, kejadian ruam makulopapular dengan terapi ampicilin
secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan infeksi virus
Epstein-Barr (misalnya, infeksi mononucleosis), leukemia limfositik,
atau gout. Infeksi virus herpes atau virus Epstein-Barr juga telah
dikaitkan dengan sindrom DRESS (Drug Reaction with Eosinophilia
and Systemic Symptom); dan terjadinya reaksi
trimetoprimsulfametoksazol pada pasien yang positif HIV sekitar 10
kali lipat lebih tinggi daripada populasi yang negative HIV. Penyakit
hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme atau eliminasi
metabolit reaktif obat, dan meningkatkan resiko respon alergi.
C. Obat Sebagai Alergen Dan Klasifikasi Imunologis
Berdasarkan Gel dan Coombs, reaksi alergi obat terdiri dari 4 tipe
Tabel 1. Klasifikasi Imunologis Reaksi Alergi terhadap Obat
Kelas Manifestasi Klinis
Antibodi Mekanisme
Imunologis Umum

Tipe I IgE Obat/alergen berikatan dengan antibodi Urtikaria,


(reaksi cepat) IgE pada permukaan sel mast/ bronkospasme,
basofil, yang mengakibatkan anafilaksis
pelepasan mediator

Tipe II IgG Reaksi Sel K/ makrofag dengan obat : Anemia hemolitik


(reaksi obat berikatan dengan antibody pada
sitotoksik) permukaan sel, membentuk kompleks
antigen antibodi menyebabkan
aktifnya komplemen (C2-C9)
IgM Reaksi kompleks imun : obat Granulositopenia
berinteraksi dengan antibodi pada
sirkulasi darah, membentuk kompleks
dan mengakibatkan hancurnya sel
darah merah (hanya reaksi
- hematologi) Trombositopenia
Reaksi autoimun : obat menyebabkan
produksi autoantibodi terhadap
trombosit

Tipe III IgG Sama seperti reaksi kompleks imun tipe Penyakit serum,
(kompleks II (reaksi non hematologi) vasculitis
imun)

Tipe IVa-d - Interaksi limfosit T dengan antigen obat Dermatitis, alergi


(sel yang kronik, rhinitis,
diperantai) maculopapular
exanthema

Tipe I : Reaksi Hipersensitif


Reaksi hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan
tubuh dimana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi
secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik
(antigenik). Reaksi tipe I biasanya dimediasi oleh imunoglobulin IgE.
Terdapat 2 mekanisme yang mungkin terjadi pada reaksi alergi tipe I,
yaitu :

a. Respon tubuh saat pertama kali terjadi paparan alergen. Alergen


yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel B dan
memproduksi IgE. IgE kemudian melekat pada permukaan sel mast
dan akan mengikat alergen. Ikatan sel mast, IgE dan allergen
menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator
kimia (gambar 2B)
b. Respon tubuh pada paparan antigen berikutnya. Alergen langsung
melekat/ terikat pada IgE yang berada di permukaan sel mast/
basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar alergen
sehingga IgE telah terbentuk. Ikatan ini menyebabkan pelepasan
beberapa mediator kimia termasuk histamin, tryptase, leukotrien,
prostaglandin, dan sitokin (gambar 2A)
Reaksi tipe I diperoleh beberapa minggu setelah adanya
paparan antigen, namun pada beberapa kasus reaksi tipe I dapat
diperoleh dalam beberapa menit sebagai akibat dari reaksi antibodi
dalam tubuh. Selain itu, reaksi tipe I juga dapat terjadi pada sejumlah
kecil pemberian obat yang berulang. Reaksi tersebut dapat terjadi
pada organ tunggal atau mempengaruhi beberapa sistem organ
lainnya. Reaksi yang parah timbul seperti pruritus dan urtikaria,
bronkospasme, gangguan pernapasan, edema, dan kematian.
Anafilaksis imun adalah contoh umum dari reaksi tipe I. Reaksi yang
secara klinis menyerupai anafilaksis, tetapi tidak melibatkan mediator
imunologi (antibodi), yang disebut reaksi anafilaktoid.
Tipe II : Reaksi Sitotoksik
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan
kerusakan pada sel tubuh karena antibodi melawan/ menyerang
secara langsung antigen yang berada pada permukaan sel. Reaksi
sitotoksik melibatkan IgG atau IgM dan dapat terjadi dengan beberapa
mekanisme yang berbeda (Tabel 1).
a. Reaksi Sel K/ makrofag dengan obat/ alergen : obat berikatan
dengan antibodi yang berada pada permukaan sel, membentuk
kompleks antigen antibodi menyebabkan aktifnya komplemen (C2-
C9) yang mengakibatkan kerusakan pada sel.

b. Reaksi kompleks imun : obat/alergen berinteraksi dengan antibodi


yang berada pada permukaan sel K, dan akan melekat pada
permukaan sel darah merah. Kompleks ini mengaktifkan
komplemen dan mengakibatkan hancurnya sel darah merah (hanya
reaksi hematologi)
Umumnya reaksi sitotoksik menyebabkan anemia hemolitik,
trombositopenia, dan granulositopenia. Anemia hemolitik karena
pemberian Penicillin adalah salah stu contoh yang paling umum terkait
reaksi sitotoksik obat. Reaksi ini biasanya muncul setelah 7 hari terapi
dosis tinggi.
Terapi yang dapat diberikan pada reaksi hipersensitivitas tipe II
adalah immunosupressan atau kortikosteroid (prednisolon).
Tipe III : Reaksi Kompleks Yang Diperantarai Imun
Merupakan reaksi alergi yang dapat terjadi karena adanya
kumpulan kompleks antigen antibodi pada jaringan yang
mengakibatkan aktivasi komplemen dan terjadi kerusakan sel. Reaksi
tipe III ini menyebabkan demam, urtikaria, arthralgia, dan limfadenopati
7 sampai 21 hari setelah paparan alergen.

Adanya kompleks antigen antibodi di jaringan, menyebabkan


aktifnya komplemen. Kompleks ini mengaktifkan basofil sel mast dan
mengeluarkan histamin, leukotrien dan menyebabkan inflamasi.
Type IV : Reaksi Lambat (Cell-Mediated Reactions)
Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten seperti makrofag
dan sel T. Seperti terlihat pada gambit makrofag mengikat alergen
pada permukaan sel dan akan mentransfer alergen tersebut pada sel
T, sehingga sel T akan mengeluarkan interleukin (mediator kimia) yang
menyebabkan timbulnya berbagai gejala.

Gejala klinis yang timbul pada reaksi tipe IV ini dikaitkan dengan
perbedaan pelepasan sitokin dan jenis sel T. Misalnya, reaksi
hipersensitivitas yang melibatkan sel T helper tipe 1 melibatkan
interleukin 2 (IL-2), sedangkan reaksi yang melibatkan sel T helper tipe
2 melibatkan IL-4 dan IL-5. Berdasarkan hal tersebut , reaksi tipe IV
disubklasifikasikan lagi sebagai berikut :
Tipe IVa melibatkan sitokin Th1 (sel T helper 1)
Tipe IVbb melibatkan sitokin Th2 (sel T helper 2)
Tipe IVcb melibatkan sel T (CD4 dan CD 8)
Tipe IVd melibatkan sel T (Interleukin 8)

D. Diagnosa Dan Gambaran Reaksi Alergi


Langkah pertama dalam diagnosis reaksi alergi obat adalah
dengan mengenali dan membedakan reaksi alergi dengan efek
samping obat yang ditimbulkan. Hal ini dapat dicapai dengan
memperhatikan :
Reaksi tidak dapat diprediksi
Hanya terjadi pada individu yang rentan terhadap reaksi alergi
Tidak memiliki hubungan dengan sifat farmakologis obat
Memerlukan periode induksi pada paparan pertama tapi tidak pada
paparan berulang
Dapat terjadi pada dosis jauh di bawah dosis terapeutik
Dapat mempengaruhi sebagian besar organ, terutama pada kulit
Umumnya menyebabkan terjadinya eritematosa atau ruam
makulopapular, tetapi mencakup angioedema, sindrom serum
sickness, anafilaksis, dan asma
Terjadi pada sebagian kecil masyarakat (10% -15%)
Reaksi dapat sembuh dengan penghentian obat dan muncul
kembali pada pemberian berulang dosis kecil obat atau yang
memiliki struktur kimia yang mirip
Informasi tentang obat juga sangat diperlukan dalam diagnosa
reaksi alergi yang terjadi ,yaitu :
Nama obat
Rute pemberian
Indikasi obat
Sifat dan tingkat keparahan reaksi alergi
Hubungan antara pemberian obat dengan reaksi alergi (dosis,
waktu pemberian, durasi, reaksi yang terjadi saat pengobatan)
Riwayat alergi sebelumnya
Kapan reaksi terjadi (beberapa hari, minggu atau bulan setelah
pemberian)
Reaksi alergi yang sama pada anggota keluarga lainnya
Pemberian obat yang sama sebelumnya
Obat yang diberikan bersamaan
Hal yang dilakukan setelah timbul reaksi alergi (hentikan pemberian
obat; terapi diperlukan untuk mengobati reaksi)
Respon terhadap pengobatan
Tes diagnostik sebelum atau setelah timbul reaksi alergi
Masalah medis lainnya (jika ada)
1. Skin Testing
Skin testing digunakan untuk mengidentifikasi apakah pasien
memiliki respon antibodi IgE terhadap penisilin atau tidak. Antigen
skin testing secara khusus digunakan untuk melihat adanya reaksi
alergi terhadap penisilin.

Tabel 2. Prosedur Skin Test Penicillin

Bahan Prosedur Interpretasi

Penicilloyl polylysine Suntikkan larutan test Ada eritema atau wheal dengan
(Pre-Pen) agen (6 x 10-5 mol/L) diameter <5 mm setelah 15 menit
pemberian, dilanjutkan dengan test
intradermal

Penentu utama - Ada wheal atau eritema dengan


diameter 5 15 mm dalam waktu 15
menit : berikan pilihan obat lain,
pertimbangkan reaksi hipersensitivitas
jika ada pilihan obat lain

PPL Tes intradermal, Lihat setelah 20 menit.


suntikkan PPL hingga Respon negatif : tidak ada
diameter 3 mm peningkatan diameter dan ukuran area
Saline : kontrol negatif control
Histamine : kontrol Respon positif : gatal dan ada
positif (dipilih, jika peningkatan diameter paling sedikit 5
pasien diduga memiliki mm dan lebih besar dari saline control;
alergi) pilih obat alternate; pertimbangkan
reaksi hipersensitivitas jika ada pilihan
obat lain

Penicillin G kalium Suntikkan 10.000 Sama pada tes dengan PPL


(>1 minggu) penentu unit/mL larutan
minor yang sangat
penting

Penicillin G kalium Tes intradermal : 0,002 Sama dengan tes intradermal PPL
mL dari 10.000 unit/mL
larutan
Tes lanjutan dengan
10.000 atau 1.000
unit/mL larutan dapat
dilakukan pada pasien
dengan riwayat reaksi
serius dan parah

Penisilin dan metabolitnya menjadi antigenik bila


dikombinasikan dengan protein dan dapat memicu reaksi
hipersensitivitas pada pasien yang diberikan pengobatan berulang.
Pada pasien dengan skin test dalam suatu penelitian ditemukan
hanya 40% pasien dengan riwayat anafilaksis, 17% dengan
urtikaria, dan 7% untuk ruam makulopapular. Pengujian skin test
tidak harus dilakukan pada pasien yang menerima antihistamin
karena obat ini memblok respon terhadap antigen dan dapat
mengakibatkan kesalahan dalam pengujian.
2. Reaktivitas Silang (Cross-Reactivity)
Saat seseorang memiliki hasil positif alergi terhadap penicilin
dengan skin test maka pengobatan dengan semua turunan penisilin
harus dihindari. Namun, untuk menghindari timbulnya alergi
terhadap pemberian antibiotik lainnya dilakukan reaktivitas silang
(cross-reaktivitas) untuk menentukan apakah antibiotik non-
penicillin -laktam (misalnya, sefalosporin) dapat digunakan pada
pasien alergi terhadap penisilin. Reaktivitas silang (yaitu, cross-
antigenisitas) antara penisilin dan sefalosporin dilaporkan terjadi
pada 5% sampai 15% pasien.
E. Reaksi Umum
Alergi obat dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori : Reaksi
umum, reaksi organ-spesifik, dan reaksi pseudoallergik. Reaksi umum
melibatkan beberapa sistem organ dan manifestasi klinis. Reaksi
anafilaksis, reaksi serum sickness, drug-induced fever,
hipersensitivitas vaskulitis, drug-induced vaskulitis, dan reaksi obat
autoimun adalah reaksi obat umum yang akan dibahas
1. Anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi alergi yang serius yang memiliki
onset yang cepat dan dapat menyebabkan kematian. Diagnosis
dianggap mungkin jika salah satu dari tiga kriteria klinis berikut
terpenuhi :
1. Onset akut dari reaksi (menit ke jam) dengan melibatkan kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya, dan setidaknya salah satu dari
tanda berikut :
a. Gangguan pernapasan
b. Penurunan tekanan darah atau gejala disfungsi organ
2. Dua atau lebih hal berikut yang terjadi secara cepat setelah
pasien terpapar alergen yang belum diketahui:
a. Keterlibatan kulit/mukosa jaringan
b. Gangguan pernapasan
c. Penurunan tekanan darah atau gejala terkait
d. Gejala gastrointestinal persisten
3. Terjadi penurunan tekanan darah setelah pasien terpapar
alergen yang telah diketahui.
Anafilaksis merupakan hasil dari perilisan cepat mediator
imunologi dari sel mast jaringan dan basofil darah perifer. Gejala-
gejala anafilaksis bervariasi, tergantung pada rute eksposur, tingkat
paparan, dan dosis alergen. Gejala sering dimulai dalam beberapa
menit pemaparan dan sebagian besar reaksi terjadi dalam waktu 1
jam. Pada kesempatan langka, anafilaksis dapat muncul beberapa
jam setelah paparan dan fase akhir atau serangan biphasic terjadi
1-72 jam setelah serangan awal (paling sering dalam waktu 8 jam).
Secara umum, tingkat keparahan anafilaksis adalah berbanding
lurus dengan kecepatan onset. Meskipun hampir semua sistem
organ dapat dipengaruhi, kulit, gastrointestinal (GI), pernapasan,
dan sistem kardiovaskular yang terlibat paling sering, baik secara
tunggal atau dalam kombinasi. Organ ini mengandung jumlah sel
mast terbesar dan yang paling rentan terpengaruh.
Eritema (tampak kemerahan) dan pruritus pada tangan dan
kaki adalah gejala awal anafilaksis yang umum; selangkangan juga
yang biasanya terkena. Gejala-gejala ini dapat berkembang
menjadi urtikaria dan angioedema, terutama pada telapak tangan,
telapak kaki, jaringan periorbital, dan selaput lendir. Manifestasi
awal dari angioedema (laring edema) dengan keluhan benjolan di
tenggorokan juga dapat digambarkan sebagai sesak atau
penyempitan tenggorokan oleh beberapa pasien.
Saluran pernapasan atas dan bawah juga dapat terlibat
selama anafilaksis. Stridor menunjukkan keterlibatan saluran napas
bagian atas. Suara serak merupakan tanda lain dari keterlibatan
saluran pernapasan bagian atas. Selain itu, tachypneic dengan
aliran udara yang buruk, menunjukkan jalan napas bawah juga
dipengaruhi. Suara tersengal-sengal atau emfisema akut
merupakan petunjuk lebih lanjut dari keterlibatan saluran napas
bagian bawah. Gejala pernapasan dapat menyebabkan sesak
napas dan death. Kolaps kardiovaskular dan syok hipotensi (syok
anafilaktik) disebabkan oleh vasodilatasi perifer, permeabilitas
vaskuler ditingkatkan, kebocoran plasma, curah jantung yang
rendah, dan penurunan volume intravaskular. Takikardia juga biasa
terjadi pada pasien dengan komplikasi jantung anafilaksis.
Manifestasi jantung lain dari anafilaksis termasuk efek
cardiodepressant langsung dan berbagai perubahan
elektrokardiografi, termasuk aritmia dan iskemia. Manifestasi GI
umumnya seperti kram perut, diare (yang bisa berdarah), mual, dan
muntah juga diwujudkan selama reaksi anafilaksis.
Mekanisme Anafilaksis
Anafilaksis terjadi melalui salah satu dari tiga mekanisme.
Pada jenis reaksi pertama, paparan protein asing, baik di tempat
asal atau sebagai hapten terkonjugasi dengan protein pembawa,
menyebabkan pembentukan IgE-antibodi. Antibodi IgE kemudian
mengikat reseptor pada sel mast dan basofil. Pada paparan ulang,
antigen merangsang degranulasi sel melalui kedua pembentukan
antigen-IgE antibodi dan cross-linking, yang mengakibatkan rilis
besar mediator imunologi yang dibentuk sebelumnya dari sel mast
dan basofil. Histamin adalah mediator utama dari anafilaksis dan
konstituen seluler utama yang dibentuk sebelumnya. Histamin
memiliki beberapa efek dan kemungkinan bertanggung jawab untuk
vasodilatasi, urtikaria, angioedema, hipotensi, muntah, kram perut,
dan perubahan aliran koroner. Leukotrien (misalnya, leukotrien C4
dan D, juga dikenal sebagai substansi anafilaksis bereaksi lambat),
faktor aktivasi platelet, dan prostaglandin yang dihasilkan dengan
cepat sebagai akibat dari degranulasi sel, dan mediator lain dari
anafilaksis (misalnya, tryptase, chymase, Carboxypeptidase A,
tumor necrosis factor, dan sitokin lainnya dan kemokin) yang juga
dilepaskan. Reaksi anafilaktik oleh Hymenoptera venom (misalnya,
sengatan lebah), insulin, streptokinase, penisilin, sefalosporin,
anestesi lokal, dan sulfonamid terjadi melalui mekanisme yang
dimedias IgE.
Anafilaksis juga dapat terjadi melalui pembentukan kompleks
imun yang mengaktifkan sistem komplemen dan pembentukan
selanjutnya dari anafilatoksin C3a, C4a, dan C5a. Anafilatoksin
tersebut dapat langsung merangsang sel mast dan degranulasi
basofil dan pelepasan mediator. Pada tahun 2008, kasus
menyerupai anafilaksis pada pasien yang menerima heparin,
terutama yang juga menjalani dialisis, dilaporkan dengan hampir
100 kematian yang terjadi secara internasional. Penyebabnya
ditemukan merupakan kontaminan (oversulfated kondroitin sulfat)
yang menyebabkan gejala dengan mekanisme ini.
Mekanisme ketiga yaitu ketika zat, seperti media radiokontras
dan agen hiperosmolar lainnya, dapat menyebabkan anafilaksis
yaitu dengan stimulasi langsung dari pelepasan mediator (terutama
histamin). Jalur dimana ini terjadi belum diketahui, tetapi
merupakan pelengkap dan independen dari IgE.
Makanan, sengatan serangga, dan obat-obatan adalah
penyebab paling umum dari anafilaksis. Antibiotik (terutama -
laktam dan fluoroquinolones), nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAID), neuromuscular blocking agen, media radiokontras, agen
kemoterapi, dan antibodi monoklonal adalah penyebab paling
umum dari anafilaksis akibat obat.
Tabel 3. Terapi Obat Untuk Anafilaksis

Terapi Lini Pertama

Obat Indikasi Dosis dewasa Komplikasi

Epinefrin Hipotensi, 0,3-0,5 mL dari 1 mg/1 mL Aritmia,


bronkospasme, larutan secara IM tiap 5 menit hipertensi,
edema laryngeal, jika perlu; jika berkembang kecemasan,
urtikaria, menjadi cardiorespiratory tremor
angioedema diberi 1-3 mL dari 1:10.000
(0,1-0,3) IV tiap 3 menit

1 mL dari 1 mg/mL (1:1.000)


dalam 250 mL garam normal
secara IV dengan kecepatan
4-10 mcg/menit (lebih disukai
intermiten dibanding injeksi)

3-5 mL dari 1:10.000 secara


intratrakea tiap 10-20 menit
jika perlu
Oxygen Hipoksemia 40% - 100% Tidak ada

Albuterol 0,5 mL dari 0,5% larutan Aritmia,


dalam 2,5 mL garam melalui hipertensi,
nebulizer (yaitu 2,5 mg) kecemasan,
tremor

Cairan Hipotensi 1 L garam normal tiap 20-30 Edema


IV menit jika perlu (kecepatan pulmonari,
tinggi yaitu 1-2 mL/kg/menit gagal jantung
mungkin diperlukan) (CHF)

Terapi Lini Kedua

Obat Indikasi Dosis Dewasa Komplikasi

Antihistamin Hipotensi, - -
urtikaria

Antagonis - Diphenhydramine 25-50 Rasa kantuk, mulut


reseptor H1 mg IV, IM, PO tiap 6-8 jam kering, retensi urin,
jika perlu dapat
Hydroxyzine 25-50 mg IM menyembunyikan
atau PO tiap 6-8 jam jika gejala reaksi yang
perlu berkelanjutan
Antagonis
reseptor H2 Simetidin 300 mg IV untuk -
3-5 menit atau PO tiap 6-8
jam jika perlu
Ranitidine 50 mg IV untuk -
3-5 menit tiap 8 jam jika
perlu atau 150 mg PO jika
perlu -
Famotidine 20 mg IV untuk
3-5 menit tiap 12 jam jika
perlu atau 20 mg PO jika
perlu

Kortikosteroid Bronkospasme, Hydrocortisone sodium Hiperglikemia,


reaksi alergi succinate 100 mg IM atau retensi cairan
parah IV tiap 3-6 jam untuk 2
sampai 4 dosis, atau
Methylprednisolone
sodium succinate 40-125
mg IV tiap 6 jam untuk 2
sampai 4 dosis

Dopamin Hipotensi yang 400 mg dalam 500 mL Hipertensi,


sulit disembuhkan dekstrosa 5% pada 2-20 takikardia, palpitasi,
dengan epinefrin mcg/kg/menit aritmia

Norepinefrin Hipotensi yang 4 mg dalam 1 L dekstrosa Aritmia, hipertensi,


sulit disembuhkan 5% IV pada kecepatan 2- gangguan
dengan epinefrin 12 mcg/menit kecemasan, tremor

Glucagon Hipotensi yang 1 mg IV untuk 5 menit Mual, muntah


sulit disembuhkan diikuti dengan 5-15
mcg/menit dalam
campuran

Treatment Anafilaksis
Manajemen yang efektif dari anafilaksis membutuhkan
penanganan cepat dan intervensi terapi agresif karena reaksi
langsung bersifat mengancam jiwa. Tingkat keparahan reaksi
anafilaksis harus dinilai dengan cepat, kemungkinan bahan
penyebab ditentukan, pemberian substansi yang dicurigai
dihentikan dan absorpsi bahan penyebab diminimalkan jika
memungkinkan. Pedoman baru pada pengelolaan anafilaksis
berikut daftar perawatan dalam urutan kepentingan: epinefrin,
posisi pasien, oksigen, cairan infus, terapi nebulisasi, vasopressor,
antihistamin, kortikosteroid, dan agen lainnya. Semua intervensi ini
harus dilakukan segera dan status klinis pasien diawasi secara
ketat. Tanda-tanda vital, fungsi jantung dan paru, oksigenasi, curah
jantung, dan khususnya perfusi jaringan harus segera dan terus
menerus dinilai.
Terapi farmakologi dari anafilaksis secara tradisional
melibatkan beberapa obat-obatan dan kelas obat seperti
epinephrine, antihistamin, dan kortikosteroid yang bertujuan untuk
membalikkan manifestasi klinis anafilaksis dan mengganggu jalur
biologis yang terlibat. Ulasan literatur terbaru, yang dirancang
dengan baik dan dilakukan uji coba acak terkontrol gagal
menemukan alasan yang mendukung penggunaan obat ini.
Rekomendasi untuk digunakan didasarkan pada tradisi, laporan
kasus, seri kasus, dan pendapat ahli.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kegagalan untuk
menggunakan epinefrin pada awal anafilaksis merupakan faktor
resiko untuk hasil yang buruk. Meskipun kurangnya bukti kuat untuk
mendukung penggunaannya, epinefrin adalah obat pilihan untuk
manajemen farmakologis anafilaksis dan semua pedoman
anafilaksis nasional dan internasional merekomendasikan epinefrin
sebagai pengobatan lini pertama. Efek -adrenergik epinefrin
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik dan meningkatkan
tekanan darah sekaligus mengurangi edema mukosa dan
menghilangkan obstruksi jalan napas atas, angioedema, dan gatal-
gatal. Tindakan ini melawan vasodilatasi dan efek hipotensi
histamin dan mediator lain dari anafilaksis. Selain itu, efek -
adrenergik epinefrin mendukung bronkodilatasi dan meningkatkan
frekuensi jantung dan kontraktilitas. Epinefrin juga menghambat
pelepasan mediator dari basofil dan sel mast.
Rute pemberian epinefrin sangat penting. Kebanyakan
pedoman merekomendasikan epinefrin intramuskular (IM),
0.01mg/kg dari larutan 1 mg/mL (1: 1.000) untuk dosis maksimum
0,5 mg pada orang dewasa atau 0,3 mg pada anak disuntikkan ke
aspek lateral paha setiap 5 sampai 10 menit yang diperlukan. Dosis
epinefrin harus dinyatakan dalam konsentrasi massa (misalnya, 1
mg dalam 1 ml) bukan rasio seperti 1: 1000, yang telah
dicampuradukkan dengan konsentrasi epinefrin yang digunakan
untuk serangan jantung (1: 10.000) dan menyebabkan kesalahan
dosis. Epinefrin adalah vasodilator pada otot rangka dan karena
otot rangkat memiliki penyerapan vaskular yang sangat cepat.
Sementara beberapa pedoman mengusulkan rute subkutan untuk
pemberian epinefrin, vaskular jaringan subkutan lebih kurang
daripada otot rangka, sehingga ada sedikit penyerapan cepat
epinefrin. Selain itu, epinefrin menyebabkan vasokonstriksi di
jaringan subkutan, karena memperlambat penyerapan sendiri.
Penelitian telah menunjukkan bahwa suntikan epinefrin IM ke paha
mencapai konsentrasi darah yang lebih tinggi dan lebih cepat
daripada subkutan atau IM suntikan ke lengan pada subyek sehat.
Laju dan tingkat absorpsi dari pemberian rute IM dan subkutan
epinefrin, bagaimanapun, belum diteliti pada pasien yang
mengalami anafilaksis dan tidak ada bukti bahwa epinefrin tidak
efektif jika diberikan IM atau subkutan ke lengan. Epinefrin harus
diberikan melalui rute IV dalam kasus anafilaksis yang belum
merespons dosis berulang epinefrin IM dan/atau mengalami
peningkatan syok, atau dalam kasus di mana kardiorespirasi
kemungkinan akan terjadi. Output jantung yang rendah dan
penurunan volume intravaskular akibat syok dapat menurunkan
perfusi jaringan dan mungkin penyerapan subkutan atau suntikan
IM. Dalam penelitian hewan, manfaat bolus IV intermiten epinefrin
yang singkat dan infus kontinu epinefrin memberikan hasil yang
optimal.
Beberapa bukti menunjukkan hasil yang buruk pada pasien
yang berada dalam posisi tegak selama syok anafilaksis.
Menggerakan pasien dari telentang ke posisi tegak selama syok
mungkin memperburuk keaadan pembuluh balik vena,
menyebabkan penurunan mendadak dalam pengisian jantung dan
peredaran darah berikutnya (disebut sebagai sindrom
pengosongan ventrikel). Dengan demikian, menempatkan pasien
dalam posisi Trendelenburg (pasien terlentang, cenderung kurang
lebih 45 derajat dengan kepala di ujung bawah dan kaki di ujung
atas) dapat meningkatkan kelangsungan hidup dengan
meningkatkan perfusi ke organ vital. Setelah reposisi, oksigen
harus dimulai dan normal saline diinfuskan pada tingkat yang cukup
untuk mempertahankan perfusi ke organ vital. Salin normal adalah
kristaloid yang disukai karena tetap dalam ruang intravaskular lebih
lama daripada dekstrosa dan tidak mengandung laktat (misalnya,
solusi Lactated Ringer), yang bisa memperburuk asidosis
metabolik. Volume sirkulasi darah dapat diturunkan sebanyak 35%
dalam 10 menit pertama dari syok anafilaksis karena vasodilatasi
dan cairan bergeser dari intravaskular ke ruang ekstravaskular.
Oleh karena itu, resusitasi kuat cairan mungkin diperlukan
(misalnya, 1 sampai 2 L salin normal pada tingkat 5 sampai 10
mL/kg di 5 menit pertama).
Pasien mengosumsi -blocker, baik kardioselektif atau tidak
kardioselektif, bisa mengalami tahapan lebih parah dan tahapan
anafilaksis yang lebih tahan daripada pasien tidak mengambil efek
-blocker. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh respon terhadap
epinephrine ketika diberikan untuk mengobati anafilaksis, sehingga
menghasilkan hipotensi refrakter, bradikardia, dan bronkospasme.
Jika tekanan darah dan denyut jantung pasien tidak secara
substansial meningkat setelah memulai epinefrin, IV glukagon,
yang bisa merangsang denyut jantung dan kontraktilitas jantung
independen dari blokade -adrenergik, harus diberikan.
Perlindungan jalur pernafasan penting karena glukagon dapat
menyebabkan emesis dan ada risiko aspirasi, terutama pada
pasien mengantuk atau lemah. Metilen blue, melalui
kemampuannya untuk mengurangi produksi oksida nitrat (yang
dikenal vasodilator kuat) telah ditemukan efektif dalam sejumlah
kecil kasus anafilaksis dengan hipotensi refrakter. Vasopressor lain
seperti dopamine (2-20 mcg/kg/menit) mungkin diperlukan untuk
menjaga tekanan darah jika ada respon lemah untuk epinefrin dan
glukagon. Pengobatan lini kedua untuk anafilaksis termasuk
inhalasi -agonis, H1 dan H2 antihistamin, dan kortikosteroid. Jika
pasien mengalami reaksi paru parah, pasien harus menerima
nebulasi -agonis (misalnya, albuterol). Jika status pernapasan
pasien gagal untuk meningkatkan setelah intervensi farmakologis,
intubasi harus dipertimbangkan. Atenolol tidak dapat diharapkan
untuk mengurangi efek dari albuterol karena atenolol adalah 1
kardioselektif -blocker dan dosis rendah. Karena histamin adalah
mediator utama anafilaksis, pemberian IV dari antihistamin H1
seperti diphenhydramine (50 mg setiap 6 jam sampai reaksi
terselesaikan) harus dipertimbangkan. Demikian pula, memberikan
antihistamin H2 adalah praktek umum. Kedua terapi ini
memberikan sedikit risiko akut pada pasien, tapi ada beberapa data
pendukung keberhasilan mereka dalam mengobati anafilaksis.
Terakhir, jika terjadi keparahan reaksi dan keterlibatan paru,
pasien dapat diberikan kortikosteroid IV. Methylprednisolone, 125
mg setiap 6 jam untuk empat dosis, mungkin akan bermanfaat dan
berhubungan dengan resiko minimal. Meskipun sering digunakan,
kortikosteroid tidak akan mempengaruhi jalannya reaksi akut
karena onset mereka tertunda (biasanya 4-6 jam setelah
pemberian). Kortikosteroid dapat mempengaruhi episode
berkepanjangan anafilaksis dan bisa mencegah atau
meminimalkan terjadinya reaksi biphasic, meskipun ini belum
terbukti berlaku dalam percobaan. Setelah stabil, pasien harus
ditransfer ke pengaturan perawatan kritis dan dipantau selama
minimal 24 jam karena seranngan kembali dar reaksi anafilaksis
dapat terjadi.
2. Serum Sickness
Serum sickness adalah merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe III, yang berasal dari injeksi heterologus protein asing atau
serum. Ataupun merupakan reaksi sekunder dari obat-obatan non
protein. Serum sickness pertama kali diperkenalkan oleh Von
Pirquet dan Shick pada tahun 1905. Serum sickness merupakan
sindrom yang terdiri dari : demam, erupsi kulit (urtikaria), nyeri
sendi dan limpadenopati pada regio yang diinjeksi. Pemberian
obat-obatan seperti penisilin, NSAID (Nonsteroidal anti
inflammatory drugs) juga berhubungan dengan penyakit yang mirip
dengan serum sickness.
Pada saat tubuh terpapar antigen asing, dimana tidak terdapat
antibodi, serum sickness dapat muncul setelah 1-2 minggu. Serum
sickness ini muncul saat antibodi terbentuk dan patogenesa serum
sickness berhubungan dengan interaksi sirkulsi antigen dan
antibodi yang membentuk kompleks imun pada lingkungan dengan
kelebihan antigen.
Interaksi imunologi pada serum sickness timbul ketika antigen
mampu mengenali sirkulasi pada saat pembentukan antibodi.
Kompleks imun dengan ukuran kecil tidak menyebabkan inflamasi,
kompleks imun yang berukuran besar biasanya dimusnahkan oleh
sistem retikuloendotelial. Sedangkan yang berukuran sedang,
dapat mengendap pada dinding pembuluh darah dan jaringan,
sehingga dapat menyebabkan kerusakan oleh karena aktivasi
komplemen dan granulosit. Sel endotelial meningkat pada saat
adhesi molekul, monosit dan makrofag melepaskan sitokin
proinflamasi. Kemudian sel inflamasi lainnya direkrut serta terjadi
nekrosis pada pembuluh darah. Aktivasi komplemen menyebabkan
kemotaksis dan ikatan neutropil dengan kompleks imun yang
mengendap. Hal ini difasilitasi oleh peningkatan permiabilitas
vaskular melalui pelepasan amin vasoaktif dari sel mast. Pada saat
ini, level komplemen turun sampai setengah dari level respon
antibodi. Sindroma kinik ini timbul selama 1-2 minggu injeksi
antigen. Antigen bebas biasanya dimusnahkan dari darah,
sehingga menyebabkan antibodi berlebih dan pembentukan
kompleks imun yang berukuran besar dan mudah dimusnahkan
oleh makrofag. Gejala klinis biasanya sembuh atau menghilang 7-
28 hari, saat kompleks imun dengan ukuran intermediet juga
dimusnahka oleh sistem retikuloendotel.
Serum sickness sekunder merupakan antigen yang muncul
dari sistem imun. Serum sickness sekunder memiliki gejala onset
yang pendek dan gejala yang berlebihan. Penyakit kompleks imun
muncul dengan penyebab yang masih belum jelas. Faktor yang
mungkin berperan yaitu : level yang tinggi dari kompleks imun,
defisiensi relatif dari komplemen sehingga berdampak terhadap
rendahnya kemampuan eliminasi kompleks imun.
Beberapa penyebab dari serum sickness yaitu : obat-obatan
yang mengandung protein tertentu :
Antitoksin, hormon, streptokinase, vaksin : antibodi monoklonal
dan poliklonal dari kuda, kelinci, tikus contohnya antithymocyte
globulin.
Beberapa antibiotik yaitu : sefalosporin, ciprofloxacin,
furazolidone, griseofulvin, lincomycin, metronidazole,
paraaminosalicylic acid, penisilin, streptomicin, sulfonamide,
tetrasiklin.
Beberapa obat lainnya : alupurinol, barbiturat, bupropion,
captopril, karbamazepin, fluoxetine, halotan, hidantoin,
hidralazin, indometasin, iodida, iron dextran, metimazole,
metildopa, procainamide, procarbazine, propanolol dan
thiouacil.
Beberapa monoklonal antibodi dapat menyebabkan serum
sickness like syndrome yaitu : infliximab pada pengobatan
chron disease dan reumatoid artritis. Omalizumab digunakan
untuk terapi alergi yang berhubungan dengan asma. Rituximab
biasanya digunakan pada berbagai penyakit diantaranya
cryoglobulinemia dan lymphoma.

3. Drug Fever
Tabel 4
Reaksi HIpersensitivitas Obat : Drug-Induced Fever

Frekuensi Frekuensi sebenarnya tidak diketahui karena demam adalah


manifestasi umum dan hampir semua obat dapat menyebabkan
demam. Sekitar 3%-5% pasien di Rumah Sakit mengalami reaksi
efek samping obat hanya demam atau bagian dari beberapa
gejala

Manifestasi Temperature 380C atau lebih dan berubah-ubah. Meskipun


klinik pasien demam tinggi dengan menggigil, pasien umumnya
memiliki penyakit sistemik gejala ringan atau serius. Ruam kulit
(18%), eosinophilia (22%), menggigil (53%), sakit kepala (16%),
myalgias (25%), dan bradikardia (11%) dapat terjadi pada pasien
dengan demam yang disebabkan oleh obat. Onset demam
setelah paparan agen penyebab secara cepat dapat berubah-
ubah, mulai dari 6 hari untuk antineoplastic sampai 45 hari untuk
agen kardiovaskular. Terjadinya demam tidak tergantung pada
dosis agen penyebab

Pengobatan Meskipun demam yang disebabkan oleh obat dapat diobati


secara simptomatik (seperti dengan antipiretik, bantal pendingin),
hentikan bahan penyebab adalah terapi utama yang dapat
mengurangi demam. Pasien secara umum sembuh dari demam
dalam 48-72 jam setelah pemberian obat dihentikan

Prognosis Demam yang disebabkan karena obat umumnya terjadi,


meskipun satu pemeriksaan ditemukan peningkatan waktu
terjadinya demam di Rumah Sakit selama 9 hari per peristiwa
demam karena obat. Pemberian kembali obat penyebab demam
umumnya menyebabkan demam cepat terjadi. Meskipun
paparan kembali obat penyebab demam telah dipertimbangkan
sebelumnya secara potensial berbahaya, ini beresiko kecil
terhadap gejala serius

Drug fever digambarkan sebagai reaksi demam obat tanpa


gejala kulit dan diperkirakan terjadi pada 3% sampai 5% dari pasien
rawat inap. Drug fever dapat diragukan untuk mengidentifikasi dan
dapat disalahartikan sebagai proses infeksi baru atau kegagalan
infeksi yang ada untuk respon pengobatan. Kegagalan tersebut
untuk mengakui drug fever dapat menyebabkan rawat inap yang
berkepanjangan dan tes atau obat yang tidak perlu. Tabel 4 daftar
karakteristik dari hipersensitivitas yang disebabkan drug fever.
Temuan paling penting dalam kasus M.M. adalah perbaikan klinis
nya sehubungan dengan status paru nya meskipun demam tingkat
tinggi dan leukositosis persisten; dia juga muncul sehat dari yang
diharapkan jika dia memiliki infeksi yang tidak diobati. Sedangkan
penurunan jumlah WBC nya akan diantisipasi dengan memperbaiki
fungsi pernafasan, jumlah WBC-nya tetap tinggi, sesuai dengan
hipersensitivitas drug fever. Terutama, jika eosinofil nya meningkat,
pertanda sering reaksi hipersensitivitas. Meskipun demam tingkat
tinggi, dia memiliki bradikardia relatif; yaitu, detak jantungnya tidak
meningkat seperti yang diharapkan jika proses infeksi sedang
berlangsung. Selanjutnya, waktu gejala demam akibat obat
berkurang (misalnya, dalam beberapa hari memulai pengobatan
awal). Diagnosis pasti dapat dibuat hanya dengan menghentikan
bahan penyebab yang dicurigai, namun, karena demam umumnya
sembuh dalam waktu 48 sampai 72 jam jika ruam tidak hadir.
Ketika ruam hadir, di sisi lain, demam dapat bertahan selama
beberapa hari setelah menghentikan obat yang terlibat.
Drug fever dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme,
meskipun paling sering berasal untuk reaksi hipersensitivitas.
Mekanisme lain termasuk tindakan farmakologis obat (misalnya,
kerusakan sel dari agen antineoplastik yang melepas pirogen
endogen); fungsi termoregulasi diubah (misalnya, peningkatan
tingkat metabolisme dari hormon tiroid); penurunan depresi dari
obat dengan sifat antikolinergik (misalnya, atropin, antidepresan
trisiklik, fenotiazin); pemberian obat terkait demam (misalnya,
amfoterisin B, bleomycin); dan reaksi idiosinkratik (misalnya,
neuroleptik sindrom ganas dari haloperidol, hipertermia ganas dari
anestesi inhalasi)

4. HIpersensitivitas Vasculitis
Hipersensitifitas vasculitis yang juga disebut leukocytoclastic
angiitis kulit ditandai dengan inflamasi pada dinding pembuluh
darah kecil. Reaksi ini terjadi ketika penurunan sistem imun
kompleks dalam pembuluh darah kecil dan melengkapi pengaktifan
arteri, yang menyebabkan pelepasan dari factor kemotaktik. Factor
ini menarik sel polimorphonuclear yang menyebabkan kerusakan
pembuluh.
Kriteria untuk klasifikasi hipersensitifitas vasculitis :
Timbulnya gejala diatas umur 16 tahun
Pengobatan awal penyakit mungkin sebagai faktor pencetus
Sedikit peningkatan ruam purpurik (hemoragik) pada area lebih
dari satu atau lebih pada kulit yang tidak pucat dengan tekanan
dan hal tersebut tidak terkait dengan trombositopenia.
Ruam maculopapular lebih dari satu atau lebih area pada kulit.
Biopsi memperlihatkan daerah granulosit pada sebuah arteri
atau vena.
5. Drug-Induced Vasculitis
Sekitar 10 % kasus vakulitis kulit diyakini karena obat. Sekitar
100 obat telah diidentifikasi sebagai penyebab vaskulitis, termasuk
beta lactam, floroquinolones, NSAID, antiepilepsi, dan tumor
necrosis factor blocker. Diagnosa hipersensitivitas vaskulitis
berdasarkan 5 kriteria klinik, 3 diantaranya yaitu usia lebih dari 16
tahun, papula purpura dan ruam makulopapular. Timbulnya gejala
biasanya terjadi 7 sampai 10 hari setelah memulai terapi obat,
tetapi dapat terjadi lebih cepat pada paparan ulang. Papula purpura
dan maculapapular, yang paling sering ditemukan, biasanya
semetris dan terjadi pada kaki dan tangan. Hipersensitivitas
vaskulitis dapat melibatkan beberapa organ. Kerusakan ginjal,
mulai dari hematuria miksroskopik ke sindrom nefrotik dan gagal
ginjal akut, adalah umum pada pasien dengan penyakit menular.
Pembesaran hati dengan peningktan enzim adalah indikasi dari
keterlibatan hepatocellular. Meskipun paru-paru dan telinga dapat
terlibat juga, manifestasi klinis biasanya sedikit. Arthralgia juga
umumnya diamati. Pemeriksaan laboratorium biasanya
menunjukkan kelainan tdk spesifik dari peradangan seperti
peningkatan laju endap darah (ESR) dan leukositosis. Pada pasien
dengan fibrosis alami mengalami pneumonia akut, hasil
laboratorium yang tdk normal dapat terjadi.

Tabel 5. Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Obat : Manifestasi Klinik dari


Drug-Induced Vasculitis.

Purpura yang jelas dan ruam maculopapular sebagian besar terjadi


simetris pada bagian bawah kaki dan tangan
Beberapa sistem organ yang mungkin terlibat :
a. Ginjal : hematuria mikroskopis pada sindrom nefrotik dan gagal ginjal
akut.
b. Hati : pembesaran hati, peningkatan enzim
c. Sendi : Arthritis
d. Gastrointestinal : nyeri perut

Data laboratorium biasanya menunjukkan ketidaknormalan pada inflamasi:


peningkatan tingkat pengendapan eritrosit dan leukosit. Eosinophil perifer
mungkin ada dan konsentrasi komplemen serum dapat menurun. Temuan
histologi pada biopsy menunjukkan pembuluh darah kecil dengan
vaskulitis leukocytoclastic atau necrotizing.
Onset biasanya 7-21 hari setelah pemberian terapi.

6. Reaksi Obat Autoimun

Tabel 6
Hipersensitivitas Reaksi Obat : Obat Autoimun yang Menginduksi Lupus

Frekuensi Cenderung mempengaruhi perempuan dan pasien kulit


hitam dibandingkan idiopatik SLE. Induksi obat
lupus lebih sering terjadi pada individu dengan
asetilator fenotipe yang lambat.
Manifestasi Klinik Penyakit ini lebih ringan daripada SLE idiopatik.
Arthralgia, mialgia, demam, malaise, radang
selaput dada, dan penurunan sedikit berat badan.
Splenomegali dan limfadenopati ringan.
Onset : Biasanya tiba-tiba, terjadi beberapa bulan atau
tahun setelah terus menerus diterapi dengan obat
tersebut.
Penampilan : Fotosensitifitas muncul di sekitar 25%
dari pasien, tetapi klasik butterfly rash malar, lesi
diskoid, ulkus mukosa mulut, fenomena Raynaud
dan alopecia adalah hal yang tidak biasa dengan
induksi obat lupus sebagai lawan idiopatik SLE.
Studi laboratorium : Positif ANA (terutama DNA untai
tunggal dan antibodi antihistone) anemia dan
peningkatan laju endap darah. Banyak pasien
menunjukkan ANA tanpa perkembangan penyakit
lupus. Hal ini tidak perlu, karena itu untuk
menghentikan terapi pada pasien tanpa gejala
dengan ANA positif.
Pengobatan Gambaran klinis mereda dan hilang dari hitungan hari
sampai minggu setelah penghentian obat trsebut.
Tes serologi diselesaikan lebih lambat. ANA dapat
bertahan selama satu tahun atau lebih.
perkembangan SLE idiopatik. Induksi obat lupus
tidak muncul untuk meningkatkan risiko
eksaserbasi SLE idiopatik. Pengobatan jangka
panjang dengan interferon- mungkin namun
memperburuk SLE sudah ada.
Ket : ANA, antibodi antinuclear; SLE, lupus eritematosus sistemik.

Beberapa obat dapat menginduksi proses autoimun yang


ditandai dengan adanya auto antibodi dalam beberapa kasus
gambaran klinis dari gangguan autoimun. Sindrom induksi obat
menyerupai lupus eritematosus sistemik biasanya ditandai dengan
mialgia, arthralgia, titer ANA positif dan ESR tinggi (Tabel diatas).
Semua karakteristik ini diwujudkan dengan R.F.
Kasus pertama obat lupus Drug-induced Lupus
Erythematosus (DILE) diakui lebih dari 60 tahun yang lalu dan
dikaitkan dengan sulfadiazine. Selanjutnya, lebih dari 80 obat telah
dikaitkan dengan DILE termasuk isoniazid, klorpromazin, quinidine,
metildopa dan minocycline; Namun, hydralazine dan procainamide
adalah obat yang paling sering dikaitkan dengan sindrom ini.
Seperti idiopatik SLE, DILE dapat dipisahkan menjadi sistemik, kulit
subakut dan kulit kronis lupus. Kejadian seperti DILE sulit untuk
dipastikan karena mengubah pola penggunaan obat namun
diperkirakan bahwa 10% dari kasus SLE adalah obat-diinduksi
dengan 15.000 sampai 30.000 kasus di Amerika Serikat setiap
tahunnya.
Berbeda dengan SLE idiopatik, DILE kurang mungkin untuk
mempengaruhi perempuan dan pasien kulit hitam. Rata-rata,
pasien dengan DILE adalah dua kali lebih tua dibandingkan pasien
SLE idiopatik pada saat diagnosa. Individu dengan asetilator
fenotipe lambat memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk
terkena DILE; ANA setelah terpapar induksi obat lupus lebih cepat.
Secara umum, DILE adalah penyakit ringan dibandingkan SLE
ideopatik. Banyak pasien dengan DILE namun bisa memenuhi
kriteria diagnostik untuk SLE menurut American Rematik
Association. Arthralgia atau mialgia disertai dengan tes ANA positif
dapat menjadi satu-satunya fiturklinis untuk beberapa pasien
dengan obat-induced lupus. Gejala biasanya muncul tiba-tiba
setelah beberapa bulan bahkan tahun secara terus menerus
dengan terapi obat tersebut. Keluhan umum termasuk demam,
malaise, arthralgia, mialgia, radang selaput dada dan sedikit
penurunan berat badan. Splenomegali ringan dan limfadenopati
telah dilaporkan sesekali. Kulit dipengaruhi pada sekitar 25% kasus
fotosensitifitas pada permukaan yang terkena cahaya. Klasik
butterfly malar ruam, lesi diskoid, ulkus mukosa mulut, fenomena
Raynaud dan alopecia adalah fitur yang tidak biasa pada DILE
berbeda dengan SLE idiopatik. Selain itu, saraf pusat sistem dan
jarang terjadi kelainan ginjal. Laboratorium umumnya termasuk
anemia dan ESR tinggi. Itu bukti yang mendukung diagnosis obat-
induced lupus di R.F. termasuk dominasi laki-laki kulit putih, onset
mendadak dan simtomatologi yang relatifringan dan kurangnya
ruam klasik kupu-kupu malar. Tes yang lebih definitif termasuk
menentukan apakah antibodi untuk untai tunggal (indikasi obat-
induced lupus) atau untai ganda DNA (indikasi SLE) yang hadir.
Meskipun semua pasien dengan gejala yang diinduksi obat
tes lupus positif ANA (yang terdiri terutama DNA untai tunggal dan
antibodi antihistone), banyak pasien yang menggunakan obat lupus
menginduksi menjadi ANA positif tanpa terjadi mengalami lupus.
Pada pasien yang diobati dengan procainamide, sekitar 50%
sampai 75% positif untuk ANA setelah 12 bulan dan 90% setelah 2
tahun atau lebih dari terapi terus menerus; hanya 10% sampai 20%
dari pasien sebenarnya mengalami gejala lupus. Demikian pula,
hingga 44% dari pasien ANA positifsetelah 3 tahun terapi
hydralazine tapi DILE terjadi hanya 6,7% dari pasien setelah 3
tahun pengobatan. Hal ini tidak perlu untuk menghentikan terapi
pada pasien asimtomatik dengan ANA positif karena kebanyakan
dari mereka tidak akan pernah menunjukkan gejala klinis. Keluhan
muskuloskeletal dapat diobati dengan aspirin atau NSAID. Gejala
yang lebih parah dari pleuropulmonary atau keterlibatan perikardial
mungkin memerlukan penggunaan kortikosteroid. Gambaran klinis
dari DILE biasanya mereda dan menghilang dari hitungan hari
sampai minggu dengan penghentian obat tersebut. Kadang, gejala
ini berlama-lama atau kambuh selama kursus dari beberapa bulan
sebelum akhirnya menghilang. Tes serologis cenderung selesai
lebih lambat: ANA dapat bertahan selama satu tahun atau lebih.
Obat induced lupus tidak mempengaruhi pasien untuk
selanjutnyapengembangan SLE idiopatik. Dalam kebanyakan
kasus, obat inducing-lupus tidak meningkatkan risiko memburuknya
idiopatik SLE; Namun, jangka panjang pengobatan dengan
isoniazid dapat memperburuk SLE sudah ada. R.F. belum
selesainya tentu saja 6- 9 bulan terapi isoniazid. Agen alternatif
harus diresepkan untuk R.F. selama setidaknya satu bulan
tambahan dan istimewa sampai 4 bulan lebih.
F. Reaksi Organ-Spesifik
Alergi obat telah dikelompokkan ke dalam kategori reaksi umum,
reaksi organ-spesifik, dan reaksi pseudoallergik. Reaksi umum telah
diuraikan sebelumnya, reaksi obat hipersensitivitas organ-spesifik yang
mempengaruhi darah, hati, paru-paru, ginjal, dan kulit akan dijelaskan
sebagai berikut
1. Darah : Imun Cytopenia
Obat-diinduksi imun cytopenia (misalnya, granulositopenia,
trombositopenia, anemia hemolitik) hasil dari reaksi alergi tipe II
yang diperantarai (Tabel 1). Sebuah obat atau metabolit obat
mengikat ke permukaan elemen darah seperti granulosit, trombosit,
dan sel darah merah. Antibodi IgG atau IgM dibentuk dan
diarahkan terhadap obat atau metabolit obat terikat ke sel (yaitu,
reaksi hapten-sel). Gejala khas yang terkait dengan
trombositopenia imun termasuk menggigil, demam, petechiae, dan
pendarahan selaput lendir. Granulositopenia umumnya ditunjukkan
dengan menggigil, demam, arthralgia, dan penurunan jumlah
leukosit secara drastis. Gejala anemia hemolitik dapat subakut atau
akut dan dapat cukup parah untuk menyebabkan gagal ginjal. Tes
Coombs berguna dalam mengidentifikasi antibodi terikat pada sel-
sel merah atau kompleks imun terhadap sel darah merah. Antibiotik
adalah golongan obat yang paling sering terlibat yang
menyebabkan neutropenia atau anemia hemolitik.
2. Hati
Reaksi hipersensitivitas yang melibatkan hati dapat
diklasifikasikan sebagai kolestasis atau sitotoksik. Penyakit kuning
biasanya merupakan tanda pertama dari reaksi kolestatik, selain
pruritus, tinja berwarna pucat, dan urine gelap. Reaksi Kolestatik
biasanya reversibel pada penghentian bahan penyebab. Reaksi
sitotoksik dapat melibatkan nekrosis hepatoseluler atau steatosis
dan dapat mengakibatkan kerusakan permanen jika tidak diakui
awal.
3. Paru-paru
Manifestasi paru dari hipersensitivitas obat meliputi asma dan
reaksi infiltratif. Asma biasanya terjadi sebagai bagian dari reaksi
sistemik umum. Kebanyakan reaksi terhadap obat yang melibatkan
asma sendiri merupakan efek samping farmakologis daripada
reaksi alergi. Reaksi infiltratif biasanya terjadi 2 sampai 10 hari
setelah paparan dan menunjukkan gejala batuk, dyspnea, demam,
menggigil, dan malaise. Reaksi infiltratif bervariasi dari eosinophilic
pneumonitis ke edema paru akut.
4. Ginjal
Reaksi hipersensitivitas yang paling umum melibatkan ginjal
adalah nefritis interstitial. Biasanya berupa demam, ruam, dan
eosinofilia. Methicillin adalah obat yang paling sering dikaitkan
dengan nefritis interstitial, meskipun penisilin, sulfonamid, dan
cimetidine juga telah terlibat dalam reaksi hipersensitivitas ginjal.
5. Kulit
Reaksi merugikan yang melibatkan kulit adalah manifestasi
klinis yang paling umum dari alergi obat. Meskipun beberapa jenis
reaksi kulit yang mungkin, sebagian besar erupsi kulit yang
diinduksi obat dapat diklasifikasikan sebagai eritematosa,
morbiliformis, atau makulopapular. Dalam sebuah penelitian
surveilans reaksi kulit akibat obat, amoksisilin adalah penyebab
paling umum, diikuti oleh trimethoprim-sulfamethoxazole dan
ampisilin. Secara keseluruhan, reaksi alergi kulit yang diidentifikasi
pada 2% pasien dirawat di rumah sakit. Pengobatan reaksi kulit
meliputi penghentian obat dan perawatan suportif umum.
G. Pencegahan dan Managemen Dari Reaksi Alergi
Kasus
1. A.M., seorang wanita 40 tahun, dirawat di rumah sakit dengan
diagnosis pneumonia. Tidak ada riwayat medisnya kecuali untuk
ampisilin yang A.M. konsumsi selama 6 bulan sebelum masuk
rumah sakit karena infeksi telinga. A.M. diobati dengan cefuroxime
0,75 g IV setiap 8 jam. Pada hari ke 2 terapi, dilakukan
pengangkatan ruam pruritus makulopapular pada punggung, perut,
dan ekstremitas atas. Kemudian diberikan Antasida, docusate
sodium, albuterol dengan dosis inhaler, dan multivitamin yang
dimulai pada hari yang sama dengan cefuroxime. Bagaimana
seharusnya reaksi alergi A.M. ini ditangani? Bagaimana reaksi
alergi dapat dicegah?
2. K.A. adalah primigravida berusia 24 tahun, diminggu kedelapan
kehamilannya ada riwayat angioedema sekunder terhadap
penisilin. Skrining Penelitian Laboratorium kehamilan awalnya
mengungkapkan reaksi penyakit kelamin pada K.A adalah positif.
K.A menyangkal riwayat lesi genital saat ini menunjukkan tanda-
tanda atau gejala klinis sifilis, dan menyangkal pengobatan
sebelumnya untuk sifilis. Pedoman pengobatan saat ini
menunjukkan bahwa penisilin adalah obat pilihan untuk K.A.
Bagaimana mencegah reaksi penisilin terhadap K.A.? Apakah
premedikasi alternatif untuk mencegah reaksi tersebut?

Pemeriksaan untuk mencegah reaksi alergi, ada tiga kemungkinan:


(a) Pasien sadar telah peka terhadap obat dan mengalami reaksi
alergi pada saat mengkonsumsi obat yang serupa;
(b) Pasien memiliki riwayat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan
tidak sengaja menerima obat serupa untuk kedua kalinya dan
terjadi reaksi alergi; dan
(c) Pasien memiliki riwayat reaksi alergi terhadap obat-obatan dan
sengaja menerima obat yang sama atau serupa lagi.
Seperti dalam kasus pertama, reaksi alergi a.m adalah reaksi
alergi tak terduga sehingga tidak bisa dicegah. Untuk mencegah reaksi
alergi di masa depan (yaitu Situasi kedua), reaksi alergi A.M. harus
didokumentasikan dengan baik dalam medis grafik dan catatan
farmasi. Sebagai tambahan, semua pasien harus menjalani
pemeriksaan obat menyeluruh di rumah sakit. Obat yang diberikan
harus dibedakan intoleransinya (misalnya, sakit perut) dari reaksi alergi
yang terjadi, dan reaksi alergi yang timbul selama wawancara harus
didokumentasikan secara tepat. Metode yang paling penting untuk
mencegah terjadinya reaksi alergi adalah komunikasi yang memadai
mengenai reaksi alergi.
Seperti dijelaskan sebelumnya, langkah pertama dalam
mengelolah reaksi alergi adalah untuk menentukan penyebabnya.
Mengingat sejarah A.M. untuk eksposur terhadap ampisilin, waktu
reaksi, dan frekuensi rendah reaksi alergi terhadap obat yang lain,
cefuroxime adalah kandidat yang paling mungkin. Kedua, keputusan
mengenai apakah akan menghentikan pengobatan pasien, Keputusan
ini harus berdasarkan tingkat keparahan reaksi, kondisi pasien, dan
ketersediaan alternatif yang sesuai. Dalam kasus A.M., antimikroba
lain (misalnya, azithromycin, clarithromycin, trimethoprim-
sulfamethoxazole) bisa diganti untuk cefuroxime dan diberikan
antihistamin secara oral atau parenteral, serta-potensi rendah
kortikosteroid topical jika diperlukan.
Beberapa kasus yang dijelaskan oleh situasi ketiga: pasien
mengalami reaksi alergi (atau memiliki sejarah terdokumentasi dengan
alergi obat), dan itu baik maka tidak perlu ke obat alternatif. Jika reaksi
sensitivitas parah atau mengancam jiwa, desensitisasi harus
dipertimbangkan (Case 3-9, Pertanyaan 1 dan 2); premedikasi untuk
mencegah atau meminimalkan anafilaksis tidak efektif. Jika reaksi
adalah minor (misalnya, pruritus, ruam, atau gejala GI), premedikasi
atau manajemen reaksi dengan obat anti alergi (misalnya,
antihistamin) mungkin cukup dengan terapi. Reaksi ini jarang menuju
ke alergi yang lebih serius seperti anafilaksis. Namun, pemantauan
gejala alergi harus dilakukan dengan hati-hati karena banyak reaksi
imunologi tidak dimediasi dan dapat berlanjut ke reaksi alergi yang
serius meskipun menjalani pengobatan.
Desensitisasi
-LACTAMS
Ada situasi di mana obat secara medis diperlukan oleh pasien
dengan alergi yang diketahui disebabkan oleh obat dan alternative
terapi tidak tersedia serta tes diagnostik tidak ada. Dalam kasus
tersebut ada dua pilihan: induksi toleransi (juga disebut desensitisasi)
atau tantangan dinilai. Desensitisasi adalah proses pemberian secara
bertahap meningkatkan dosis obat dalam upaya untuk memodifikasi
respon pasien terhadap obat sehingga kemudian dapat dengan aman
diberikan. Proses ini telah berhasil digunakan untuk mengelola reaksi
imun dan non-imun. Tantangan dinilai (juga disebut tes dosis
inkremental) adalah proses administrasi-hati dosis sub-terapeutik obat
untuk menentukan apakah pasien benar-benar alergi. Meskipun
terdengar sama, ada perbedaan yang jelas antara dua proses
tersebut. Misalnya, tantangan dinilai tidak mengubah pasien
menanggapi dosis awal obat yang digunakan untuk menginduksi
toleransi adalah sub-alergi-serendah 1/10000 dari dosis akhir dan
proses dapat memakan waktu beberapa jam dengan beberapa dosis.
Mulai dosis untuk tantangan dinilai mungkin 1/100 dari dosis akhir.
Proses ini umumnya melibatkan langkah-langkah yang lebih sedikit
(dua) dan biasanya dapat dicapai lebih cepat, Jika tantangan dinilai
selesai dan terapi obat ditoleransi. Toleransi induksi, di sisi lain hanya
dipertahankan selama pasien menerima obat; setiap penghentian
terapi akan memerlukan pengulangan prosedur desensitisasi.
Pilihan desensitisasi obat atau menggunakan tantangan dinilai
tergantung pada kemungkinan pasien yang benar memiliki alergi.
Tantangan dinilai mungkin tepat pada pasien dengan sejarah jauh atau
tidak jelas dari alergi obat; ketika reaksi tampaknya kecil atau untuk
yang tes diagnostik tidak tersedia; atau kasus di mana reaktivitas
silang diharapkan akan rendah. Sebagai contoh, pasien dengan ruam
makulopapular untuk ceftriaxone dapat mengalami tantangan dinilai
untuk imipenem-cilastatin untuk menilai toleransi. Di sisi lain, pasien
dengan baik dijelaskan, reaksi terhadap obat mungkin lebih cocok
untuk toleransi induksi. Tantangan penting, dinilai atau toleransi induksi
tidak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat non-IgE- reaksi
parah dimediasi seperti hepatitis, anemia hemolitik, Stevens Sindrom
Johnson, nekrolisis epidermal toksik, atau sindrom DRESS karena
risiko berpotensi mengancam nyawa. Karena reaksi K.A. untuk
penisilin mungkin berpotensi parah, premedikasi bukanlah pilihan dan
desensitisasi terhadap penisilin harus dimulai.
Jika mungkin sebelum toleransi induksi dimulai, K.A.
seharusnya di lakukan pengujian pada kulit. Pasien yang memiliki
riwayat positif alergi penisilin, tetapi pada tes kulit negatif, dapat
menerima dosis terapi penuh tanpa desensitisasi dengan sedikit risiko
terjadinya perkembangan reaksi alergi. Misalnya, dilaporkan hanya
satu kasus pada pasien akut anafilaksis dengan test kulit -negatif
diberikan dosis terapi penuh penisilin lebih dari 1.500 tes kulit; Hasil
serupa telah dilaporkan oleh investigators lainnya Jika uji kulit tidak
dapat dilakukan atau jika tes kulit K.A. adalah positif, desensitisasi
harus dimulai. desensitisasi akut untuk penisilin oral dan antibiotik -
laktam lainnya mapan; seperti diuraikan pada Tabel 3-12. meskipun
orang lain memilih menggunakan Rute oral untuk -laktam
desensitisasi lebih disukai untuk yang rute parenteral karena:
(a) Eksposur melalui rute oral cenderung menyebabkan reaksi alergi
sistemik dari parenteral;
(b) Anafilaksis yang fatal dari terapi obat oral -laktam jarang;
(c) Preformed polimer dan konjugat penisilin penentu besar dan kecil
untuk protein Penicillium yang notwell diserap setelah pemberian
oral;
(d) Tingkat darah meningkat secara bertahap, mendukung
haptenation univalen; dan
(e) Fatal atau membahayakan hidup Reaksi tidak terjadi
menggunakan metode saat ini. Sebagai tambahan, desensitisasi
oral dapat dicapai selama beberapa jam Jika desensitisasi oral
tidak mungkin (misalnya, jika penyerapan oral dipertanyakan),
desensitisasi parenteral dapat dibrikan. Meskipun rute subkutan
dan intramuskuler telah digunakan, rute IV lebih cepat dan
memungkinkan dapat kontrol lebih baik tingkat dan konsentrasi
obat yang diberikan, dan reaksi yang tak diinginkan dapat
dideteksi segera (Tabel 3-13 IV -laktam desensitisasi Oral dan
parenteral) metode desensitisasi belum dibandingkan secara
resmi, namun Pasien tidak boleh premedikasi sebelum
desensitisasi, karena ini dapat mencegah deteksi respon alergi
ringan yang mungkin mendahului reaksi yang lebih serius.
Dengan demikian, K.A. harus menjalani desensitisasi oral yang
ada dalam Tabel 3-12 jika tes kulitnya positif atau jika tes kulit
tidak dapat dilakukan.
Sekitar 5% dari pasien mengalami reaksi kulit ringan selama
desensitisasi, meskipun satu studi yang dilaporkan reaksi 20% dari
pasien selama desensitisasi oral Jika reaksi terjadi selama prosedur
desensitisasi itu sendiri, reaksi dapat diobati dan desensitisasi terus
menggunakan dosis yang lebih rendah, peningkatan interval antara
dosis atau keduanya, setelah reaksi telah mereda.
-laktam desensitisasi, bagaimanapun tidak menjamin pasien
akan mengalami reaksi selama terapi dosis penuh. Sekitar 25%
sampai 30% dari pasien mengalami reaksi ringan selama terapi, dan
5% pengalaman reaksi yang lebih parah, termasuk serum sickness
akibat obat, anemia hemolitik, atau Laju reaksi urticaria. tidak berbeda
dengan pasien sakit berat atau hamil dibandingkan dengan pasien
yang stabil atau tidak hamil, meskipun orang-orang dengan cystic
fibrosismay bemore sulit untuk menurunkan rasa mudah terpengaruh
karena frekuensi tinggi dari reaksi alergi. Meskipun terjadinya reaksi,
sebagian besar terapi dosis penuh mungkin untuk prosedur toleransi-
induksi, tapi untuk reaksi (misalnya, dengan diphenhydramine) wajib.
Toleransi induksi juga tergantung dosis dan bagaimana gejala alergi
bisa muncul setelah peningkatan yang substansial dalam dosis.
Kepekaan obat akan bertahan selama kurang lebih 48 jam
setelah dosis penuh terakhir dari antibiotik; setelah itu, kepekaan obat
akan kembali. Jadi, jika K.A. membutuhkan pengobatan penisilin, ia
harus menjalani desensitisasi sekali lagi. Dalam beberapa kasus,
orang-orang yang membutuhkan terapi antibiotik jangka panjang
(misalnya, untuk endokarditis), membutuhkan -laktam di masa
mendatang (misalnya, orang-orang dengan fibrosis kistik).
Obat Lain
Meskipun sebagian besar pengobatan dengan desensitisasi
adalah dengan penisilin dan -laktam lainnya, desensitisasi juga telah
dicapai dengan berbagai obat lain, termasuk allopurinol, vankomisin,
agen antineoplastik, aspirin, dan monoclonal antibodies. Menariknya,
tidak semua kasus ini mewakili reaksi hipersensitivitas IgE-mediated.
Sebagai contoh, reaksi untuk trimetoprim-sulfametoksazol umum
terjadi pada pasien terinfeksi HIV. Namun, mengingat peran dalam
mengobati dan mencegah pneumonia jiroveci pneumonia,
desensitisasi umumnya sukses untuk trimetoprim-sulfametoksazol.
BAB III

PENUTUP

Penting untuk diketahui bahwa setiap obat dapat memicu timbulnya

reaksi obat yang tidak diinginkan, salah satunya yaitu reaksi

hipersensitivitas. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi obat secara

klinis harus mempertimbangkan besar kecilnya resiko, serta keuntungan

dan kerugian dari terapi tersebut. Dengan mengetahui faktor resiko,

manifestasi klinis reaksi alergi obat, dan edukasi pada pasien, serta

penulisan resep yang tepat, dapat menurunkan morbiditas reaksi alergi

obat
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson, P.A.,
Kradjan, W.A., et al., 2013, Koda-Kimble & Youngs Applied
Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams
& Wilkins, Pennsylvania, United States of America, p 46, 56
Chisholm-Burns, M.A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J.
M. Kolesar, J. C. Rotschafer, and J. T. DiPiro, 2008,
Pharmacotherapy Principles & practice, The McGraw-Hill
Companies, p 821-822
Hikmah, Nuzulul., Dewanti, Ratna A., Seputar Reaksi Hipersensitivitas
(Alergi)., Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.,
Jember : Indonesia.

Putra, I.B., 2008, Erupsi Alergik Obat, Fakultas Kedokteran USU :Medan.
USU e-Repository

Anda mungkin juga menyukai