DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
AAN : P00320020001
TAHUN 2021/2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
1. Kesimpulan
2. Saran
BAB II
PEMBAHASAN
a) Tipe A: Tipe ini merupakan (8%) dari ADR. Kejadiannya dapat diprediksi tetapi efek
klinis dan/atau farmakologis tergantung pada sifat intrinsik obat-obatan. Jenis ini
tergantung dosis, dan umumnya tidak parah.
b) Tipe B: Tipe ini relatif jarang (20%). Efeknya aneh dan tidak dapat diprediksi,
independen dari aksi dan dosis obat, sering parah, repons individual.
c) Tipe C: Merupakan reaksi kimia yang bisa diprediksi dari struktur obat atau
metabolitnya.
d) Tipe D: Merupakan reaksi yang tertunda dari obat, termasuk teratogenisitas dan
karsinogenisitas. Tipe ini jarang ditemukan di anak-anak.
5. Faktor Resiko
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat. Termasuk
usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus, dan faktor terkait obat
(frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas terjadi
pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Polimorfisme genetik dalam human leukocyte anti ge (HLA) dan infeksi virus seperti
human immonudeficiency Virus (HIV) dan epstein – barr virus (ABV), juga berkaitan
dengan penigkatan risiko terjadinnya reaksi emunologis terhadap obat. Kerentanan
terhadap alergi obat dipengaruh oleh polimorfisme genetik dalam metabolisme obat.
Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih sering
menyebabkan reaksi alergi obat dibandingan administrasi secara oral. Dosis berlebihan
dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivtas lebih besar daripada dosis tuggal. Selanjutnya, obat dengan
makromulekular atau obat hapten seperti penicilin, juga berhubugan dengan
kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas.
6. Etiopatogenesis (Faktor genetic)
Faktor genetik memainkan peran penting dalam hipersensitivitas terhadap obat-obatan.
Berbagai eksperimen penelitian telah membangkitkan minat yang dapat dimengerti,
dengan menunjukkan bahwa ADR dikondisikan oleh faktor genetik spesifik terkait
dengan HLA. Bidang immunopharmacology sudah berkembang dengan cepat
mengklarifikasi bahwa banyak variasi individual dalam obat metabolisme ditentukan
secara genetis. Oleh karena itu faktor genetik dapat bertindak pada berbagai tingkatan
dalam biokimia rute menuju sensitisasi seperti pembentukan metabolit reaktif atau
kapasitas yang diwariskan secara selektif mengembangkan antibodi spesifik untuk zat
kimia tertentu.
7. Reaksi alergi
Alergen alergi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh mengenali dan bereaksi terhadap
antigen yang diturunkan dari obat, yang bisa juga diwakili oleh neo-epitop yang
dibentuk berdasarkan perubahan klinis yang diinduksi obat. Kita semua tahu bahwa
hanya sedikit antigen atau obat diperlukan untuk memicu alergi ADR. Jenis obat dapat
dibedakan menjadi 2 atas berat molekulnya. Obat dengan berat molekul rendah
bertindak sebagai haptens, dan perlu terkonjugasi dengan pembawa protein untuk
menjadi antigenik. Obat dengan berat molekul tinggi tinggi (> 5.000 Da) dapat
bertindak sebagai antigen.
8. Reaksi Non-alergi
Reaksi nonalergi disebabkan oleh intoleransi dan idiosinkrasi, tidak lewat mekanisme
yang dimediasi kekebalan. Ada tiga mekanisme dasar yaitu:
1. Aktivasi mediator sel mast oleh metabolit obat, dengan mekanisme langsung rilis
histamin basofil, seperti misalnya di radiokontras;
2. Aktivasi jalur klasik dan/atau alternatif, dengan pembentukan anafilotoxins C3a
dan C5a;
3. Penghambatan siklooksigenase (COX), seperti pada kasus NSAID yang bereaksi
silang dengan ASA. Reaksi intoleransi adalah karena ambang batas individu
menurunkan aksi farmakologis, dengan secara kuantitatif efek yang meningkat,
misalnya tinnitus yang disebabkan oleh dosis kecil salisilat atau efek obat yang
tidak diinginkan diproduksi dengan dosis terapeutik atau subterapeutik obat.
Reaksi idiosinkrasi terjadi pada pasien, secara genetik terdapat cacat metabolik
atau enzimatik, setelah konsumsi obat tertentu. ADR yang dianggap dapat
diprediksi antara lain: a. Overdosis atau toksisitas (contoh: aminoglikosida dan
nefropati; b.Interaksi pemberian ≥ 2 obat-obatan; c. Efek samping yang
disebabkan oleh farmakologis (antihistamin generasi pertama dan kantuk); d. Efek
sekunder tidak langsung dari aksi farmakologi obat (kandidosis oral oleh
kortikosteroid yang dihirup, perubahan flora oral dan/atau enterik oleh
antibiotik).
9. Etiologi
Pada dasarnya hampir semua obat, makanan, atau apapun yang dikonsumsi dapat
berpotensi meimbulkan alergi. Setiap orang memiliki jenis alergi yang berbeda-beda.
Namun, dari bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI menyebutkan obat yang
sering menimbulkan alergi adalah antibiotik penisilin dan turunannya ( Amphisilin,
amoxisilin, kloksasilin), antibiotik sulfonamide, obat anti demam dan anti nyeri ( seperti
asam salisilat, paracetamol, dll). Obat apapun dapat menyebbakan reaksi alergi. Beberapa
yang umum adalah:
Sulfa obat-obatan
Barbiturates
Insulin
Vaksin
10.Patofisiologi
Patomekanisme reaksi termasuk; 1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil
(seperti opiat, media radiokontras, dan vankomisin),2. Akumulasi bradikinin
(angiotensin-converting enzyme inhibitors), 3. Aktivasi komplemen (protamine), 4.
Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal antiinflammatory drugs)
dan, 5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan bronkospasme (β-
bloker, sulfur dioksida).
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh spesifik
antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan reseptor Fc RI
afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan ikatan multivalen
terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen kompleks protein
hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi pelepasan preformed mediators
(histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-α) dan produksi mediator-mediator baru
(leukotrin, prostaglandin, kinin, sitokin lainnya). Preformed mediators menstimulasi
respon dalam beberapa menit, lalu komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah
beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan untuk sintesis protein dan pengerahan sel
imun.9,10 2.3.
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja limfosit T. Kulit
menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang responsif terhadap sel T,
tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil
lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid), dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem
imun, dimana dijelaskan dengan metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar.
Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda
klinis yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut
diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk menstimulasi sel T
naif, sel dendritik proses pertama antigen obat. Antigen lalu masuk dan ditranspor ke
nodus limfa regional. Untuk berkembangnya respon imun yang efektif, sistem imun
innate perlu untuk diaktifkan, menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan
sebagai sinyal bahaya dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat
tiba di nodus limfa, antigen dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa
antigen obat bisa secara langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen, kemudian
menghindari pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik sel T bermigrasi
ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang terhadap antigen, mereka
diaktifkan untuk mensekresi sitokin yang meregulasi respon dan sitotoksin (perforin,
granzim, dan granulisin) yang mengakibatkan kerusakan jaringan.
Dalam beberapa kasus obat menginduksi auto-antibodi sering bertahan lama bahkan
setelah perawatan dihentikan (anemia hemolitik autoimun, AIHA). Gejala mungkin
terlibat mekanisme kekebalan tubuh antara lain: erupsi kulit (eritema, eritema
multiform/EM, ruam maculopapular, dll.), sindrom mukokutan demam: EM, SJS,
TEN, demam karena obat, pneumonia eosinofilia, hepatitis dan kolestasis, nefritis
interstisial, limfadenopati.
Manifestasi oleh reaksi pseudoalergik antara lain: reaksi anafilaktoid (contoh: media
radiokontras), intoleransi terhadap salisilat, intoleransi berbagai aditif, ruam yang
disebabkan oleh ampisilin.
Durasi terjadinya manifestasi klinis bisa segera, dari beberapa menit hingga 1 jam,
seperti dalam kasus anafilaksis, bisa tertunda dalam beberapa hari seperti ruam
eksanthematik, atau dalam beberapa minggu, seperti dalam kasus serum sickness.
Gejala-gejala yang biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat,
reaksi cepat tanpa perawatan dapat menyebabkan syok. Gambaran lain yang
menandakan adanya alergi obat antara lain:
2. Adanya bidudaaran
1. Tes in vivo dan in vitro yang telah terbukti bermanfaat untuk membedakan reaksi
alergi dan nonalergi.
2. Uji tusuk kulit/skin prick test (SPT) merupakan reaksi segera. Dapat untuk obat-
obatan dengan berat molekul tinggi (antigen lengkap), tetapi tidak dapat untuk yang
berat molekul rendah. SPT dengan obat berat molekul tinggi dan dengan reagen
penisilin dapat memprediksi anafilaksis dan reaksi urtikaria. Tes kulit untuk Preparat
Penicilline diperlukan metabolit imunogennya, major antigenic determinant yaitu
penicylloil, sayangnya preparat ini belum ada di Indonesia sehingga tes kulit terhadap
Penicilline tidak dapat dilakukan di Indonesia. SPT untuk diagnosis alergi obat di
Indonesia terutama antibotika tidak dianjurkan, karena predictive value nya tidak
dapat dijadikan pegangan. Kalau hasil tes positif, masih mungkin alergi terhadap obat
tersebut, tetapi kalau negatif belum tentu tidak alergi.
3. Uji RAST yang dimediasi IgE untuk anak-anak yang tidak dapat mentoleransi SPT.
4. Tes Coombs biasanya berguna. Hemaglutinasi jarang sesuai dengan gambaran klinis.
5. Tes provokasi dilakukan bila pemeriksaan lain negatif dan diagnosis alergi obat masih
meragukan. Tujuan tes ini adalah untuk menyingkirkan sensitifitas terhadap obat dan
menegakan diagnosis alergi obat.
8. Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-poin titration/SET)
Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.
Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.
e. Vasopresor
c. Pemasangan turniket proksimal dari daerah suntikan jika anafilaksis terjadi karwna
suntikan pada ekstermitas atau sengatan/ggigitan hewan berbisa
d. Pemberian oksigen
e. Terapi desentisasi
f. Pengobatan suportif
14. Pengobatan
Ada periode pengobatan utama yaitu: hentikan obat yang dicurigai dan substitusi yang
dengan lain; lesi kulit dapat diobati dengan antihistamin oral, dan hanya dalam beberapa
kasus yang dipilih mendapat obat kortikosteroid secara lokal atau per oral atau secara
parenteral, tergantung pada kasus. Anak-anak adalah kandidat ideal untuk desensitisasi
bila mungkin. Edukasi kepada pasien dan keluarganya antara lain menegaskan kepada
pasien untuk menghindari obat yang sama, mendorong pasien untuk memakai gelang
tanda alergi terhadap obat tersebut, mengingatkan pasien untuk menghindari obat bebas
yang kandungannya tidak jelas.
15. Pencegahan
2. Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas terhadap antigen yang
dicurigai sebelum pemberian obat apapun
3. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi
diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epineprin
4. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes
kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.
Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
reaksi 60%, bila tes kulit positif.
5. Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi anafilaksis harus
mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi obat, seperti gelang
Medic-Alert.
7. Pasien diabetes yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilia memerlukan
desensitisasi
9. Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama pemberian
16. komplikasi
2. Abses limfedenopati
3. Furunkulosis
4. Rinitis
5. Stomatitis
6. Konjungtivitis
7. Kolitis bronkolitis
8. Hepatomegali
Pengkajian
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tangga dan jam mrs, no register, dan diagnosa media.
2) Keluhan utama
Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.
Pasien mengeluh nyeri perut, sesak napas, demam, bibirnya bengkak, timbul
kemerahan pada kulit, mual, muntah dan terasa gatal.
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut, sesak napas,
demam, bibirnya bengkak, timbul kemerahan pada kulit, mual, muntah, dan terasa
gatal dan pernah menjalani perawatan di rs dan pengobatan tertentu.
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada atau tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6) Riwayat psikososial
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
7) Pemeriksaan fisik:
a) Keadaan umum : Klien nampak lemah Tanda-tanda vital : Suhu tubuh kadang
meningkat, pernapasan cepat dan nadi juga cepat, tekanan darah kadang
menurun.
Sistem Reproduksi Kaji adanya impoten pada pria, dan penurunan libido
pada wanita yang disertai dengan keputihan.
8. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosa keperawatan