Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN REAKSI OBAT

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

AAN : P00320020001

DEWI CAHYANI : P00320020011

ISNAWATI AWALIAH : P00320020021

NURUL HIKMAH : P00320020031

TANTI TRIMULYA : P00320020042

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KENDARI

JURUSAN D-III KEPERAWATAN

TAHUN 2021/2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Reaksi Obat


1. Definisi Obat
2. Definisi Reaksi Obat
3. Prevalensi
4. Klasifikasi
5. Etiopatogenesis (Faktor genetic)
6. Reaksi alergi
7. Reaksi Non-Alergi
8. Manifestasi Klinis
9. Pemeriksaan Penunjang
10. Pengobatan
11. Pencegahan
B. Konsep Asuhan Keperawatan Reaksi Obat
1. Pengkajian
2. Diagnosis keperawatan
3. Intervensi keperawatan
4. Implementasi keperawatan
5. Evaluasi

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Saran
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Reaksi Obat


1. Definisi obat
Obat adalah obat adalah suatu bahan yang dimaksudkna untuk digunakan dalam
menetapkan diagnose, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan
penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badania dan rohaniah pada manusia
(Anief, 2006). Besarnya efektifitas obattergantung pada biosis dan kepekaan organ tubuh.
Setiap orang berbeda kepekaan dan kebutuhan biosis obatnya. Tetapi secara umum dapat
dikelompokkan, yaitu dosis bayi, anak-anak, dewasa, dan orang tua. (Djas, dalam Kasibu,
2017)
2. Definisi Reaksi Obat
Reaksi obat yang merugikan dapat didefinisikan sebagai reaksi yang tidak diinginkan
dan berbahaya dari obat yang diberikan dalam dosis standar oleh rute yang tepat untuk
tujuan pencegahan, perawatan atau diagnosis dan pengobatan.
Alergi obat adalah reaksi alergi dimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu yang dikonsumsi oleh seseorang.
(Honestdocs, 2019).
Alergi obat adalah respon tubuh terhadap partikel-partikel asing yang masuk kedalam
tubuh. Tubuh mengadakan reaksi terhadap partikel-partikel tersebut melalui sistem
kekebalan dan daya tahan tubuh seperti ketika penyakit memasuki tubuh. (Graha, 2010).
Alergi obat atau hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik yang terjadi
akibat respon imun berlebihan yang melibatkan (IgE atau T cell–mediated atau jarang
melibatkan kompleks imun atau reaksi sitotoksik) sehingga menyebabkan kerusakan
jaringan tubuh. (dr. Tjok, 2016).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa alergi obat adalah
suatu bentuk respon alergi partikel obat melalui sistem kekebalan tubuh atau sistem imun
yang mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh.
3. Prevalensi
Prevalensi ADR pada anak-anak berkisar dari 1% hingga 7,3%, sedangkan pada populasi
umum diperkirakan sekitar 15%, dengan angka mulai dari 14% hingga 17%. Prevalensi
ADR tampak lebih tinggi selama empat dekade pertama hidup. Insiden ADR adalah 5%
pada bayi yang baru lahir, 11% pada anak-anak usia 1–2 tahun, dan 9% untuk anak-anak
berusia 3–10 tahun, atau 76% untuk mereka yang berusia <7 tahun dan 59,5%  pada usia
7–12 tahun1.  Mayoritas reaksi adalah akibat antibiotik dengan dominasi b-laktam yang
pada anak-anak mencapai 55,2% diikuti oleh aminoglikosida, tetrasiklin, vankomisin,
nitrofurantoin (9,8%) dan makrolida. Kejadian ADR pada anak didominasi antibiotik
(50%)  diikuti oleh kortikosteroid (16%), tuberkulostatik (4%) dan agen imunosupresif
(4%).
4. Klasifikasi
Reaksi obat yang merugikan dapat dibagi menjadi empat jenis utama:

a) Tipe A: Tipe ini merupakan (8%) dari ADR. Kejadiannya dapat diprediksi tetapi efek
klinis dan/atau farmakologis tergantung pada sifat intrinsik obat-obatan. Jenis ini
tergantung dosis, dan umumnya tidak parah.
b) Tipe B: Tipe ini relatif jarang (20%). Efeknya aneh dan tidak dapat diprediksi,
independen dari aksi dan dosis obat, sering parah, repons individual.
c) Tipe C: Merupakan reaksi kimia yang bisa diprediksi dari struktur obat atau
metabolitnya.
d) Tipe D: Merupakan reaksi yang tertunda dari obat, termasuk teratogenisitas dan
karsinogenisitas. Tipe ini jarang ditemukan di anak-anak.

Klasifikasi ini agak diabaikan oleh immunopharmacology. Pada ilmu sains terbaru


telah terungkap bagaimana sejumlah obat dapat memodulasi respon imun. Dalam
banyak kasus, ADR bisa masuk menjadi satu dari empat tipe hipersensitivitas klasik
dimana reaksi autoimun harus ditambahkan. Dipercaya bahwa 25% dari kasus reaksi
obat adalah patogenesis imunologi dan di 75% kasus adalah patogenesis
ekstraimmunologi, dibagi lagi menjadi pseudoallergik, idiosinkrasi dan reaksi racun.
Klasifikasi yang lebih berguna bersifat nosologis, baik untuk pencampuran yang sering
empat jenis ini  dan untuk identifikasi gejala disebabkan oleh reaksi alergi dan
pseudoalergik.

5. Faktor Resiko
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat. Termasuk
usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus, dan faktor terkait obat
(frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas terjadi
pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Polimorfisme genetik dalam human leukocyte anti ge (HLA) dan infeksi virus seperti
human immonudeficiency Virus (HIV) dan epstein – barr virus (ABV), juga berkaitan
dengan penigkatan risiko terjadinnya reaksi emunologis terhadap obat. Kerentanan
terhadap alergi obat dipengaruh oleh polimorfisme genetik dalam metabolisme obat.
Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih sering
menyebabkan reaksi alergi obat dibandingan administrasi secara oral. Dosis berlebihan
dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivtas lebih besar daripada dosis tuggal. Selanjutnya, obat dengan
makromulekular atau obat hapten seperti penicilin, juga berhubugan dengan
kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas.
6. Etiopatogenesis (Faktor genetic)
Faktor genetik memainkan peran penting dalam hipersensitivitas terhadap obat-obatan.
Berbagai eksperimen penelitian telah membangkitkan minat yang dapat dimengerti,
dengan menunjukkan bahwa ADR dikondisikan oleh faktor genetik spesifik terkait
dengan HLA. Bidang immunopharmacology sudah berkembang dengan cepat
mengklarifikasi bahwa banyak variasi individual dalam obat metabolisme ditentukan
secara genetis. Oleh karena itu faktor genetik dapat bertindak pada berbagai tingkatan
dalam biokimia rute menuju sensitisasi seperti pembentukan metabolit reaktif atau
kapasitas yang diwariskan secara selektif mengembangkan antibodi spesifik untuk zat
kimia tertentu.
7. Reaksi alergi

Alergen alergi terjadi ketika sistem kekebalan tubuh mengenali dan bereaksi terhadap
antigen yang diturunkan dari obat, yang bisa juga diwakili oleh neo-epitop yang
dibentuk berdasarkan perubahan klinis yang diinduksi obat. Kita semua tahu bahwa
hanya sedikit antigen atau obat diperlukan untuk memicu alergi ADR. Jenis obat dapat
dibedakan menjadi 2 atas berat molekulnya. Obat dengan berat molekul rendah
bertindak sebagai haptens, dan perlu terkonjugasi dengan pembawa protein untuk
menjadi antigenik. Obat dengan berat molekul tinggi tinggi (> 5.000 Da) dapat
bertindak sebagai antigen.

Multiple drug hypersensitivity (MDH) adalah sindrom yang berkembang sebagai


konsekuensi dari stimulasi sel-T dan ditandai dengan reaksi hipersensitivitas obat yang
tahan lama (DHR) untuk obat yang berbeda. Gejala awalnya adalah kebanyakan
exanthems parah atau ruam obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik (DRESS).
Gejala selanjutnya karena obat lain sering muncul di minggu-minggu berikutnya,
tumpang tindih dengan DHR pertama, atau berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
kemudian setelah resolusi presentasi awal. DHR kedua termasuk exanthema,
erythroderma, DRESS, sindrom Stevens-Johnson /Nekrolisis epidermal toksik
(SJS/TEN), hepatitis, dan agranulositosis. Obat-obatan yang memunculkan dapat
diidentifikasi dengan positif tes kulit atau in vitro. Obat-obatan yang terlibat dalam
memulai MDH sama dengan DRESS, dan mereka biasanya diberikan dalam dosis yang
agak tinggi.

 
8. Reaksi Non-alergi
Reaksi nonalergi disebabkan oleh intoleransi dan idiosinkrasi, tidak lewat mekanisme
yang dimediasi kekebalan. Ada tiga mekanisme dasar yaitu:
1. Aktivasi mediator sel mast oleh metabolit obat, dengan mekanisme langsung rilis
histamin basofil, seperti misalnya di radiokontras;
2. Aktivasi jalur klasik dan/atau alternatif, dengan pembentukan anafilotoxins C3a
dan C5a;
3. Penghambatan siklooksigenase (COX), seperti pada kasus NSAID yang bereaksi
silang dengan ASA. Reaksi intoleransi adalah karena ambang batas individu
menurunkan aksi farmakologis, dengan secara kuantitatif efek yang meningkat,
misalnya tinnitus yang disebabkan oleh dosis kecil salisilat atau efek obat yang
tidak diinginkan diproduksi dengan dosis terapeutik atau subterapeutik obat.
Reaksi idiosinkrasi terjadi pada pasien, secara genetik terdapat cacat metabolik
atau enzimatik, setelah konsumsi obat tertentu. ADR yang dianggap dapat
diprediksi antara lain: a. Overdosis atau toksisitas  (contoh: aminoglikosida dan
nefropati; b.Interaksi pemberian ≥ 2 obat-obatan; c. Efek samping yang
disebabkan oleh farmakologis (antihistamin generasi pertama dan kantuk); d. Efek
sekunder tidak langsung dari aksi farmakologi obat (kandidosis oral oleh
kortikosteroid  yang dihirup, perubahan flora oral dan/atau enterik oleh
antibiotik).

9. Etiologi
Pada dasarnya hampir semua obat, makanan, atau apapun yang dikonsumsi dapat
berpotensi meimbulkan alergi. Setiap orang memiliki jenis alergi yang berbeda-beda.
Namun, dari bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin FK UI menyebutkan obat yang
sering menimbulkan alergi adalah antibiotik penisilin dan turunannya ( Amphisilin,
amoxisilin, kloksasilin), antibiotik sulfonamide, obat anti demam dan anti nyeri ( seperti
asam salisilat, paracetamol, dll). Obat apapun dapat menyebbakan reaksi alergi. Beberapa
yang umum adalah:

 Penicillin (seperti, nafcillin, ampicillin, atau amoxicillin). Jenis obat-obatan yang


paling menyebabkan alergi obat.

 Sulfa obat-obatan

 Barbiturates
 Insulin
 Vaksin
10.Patofisiologi

1. Imun Dan Non-Imun Reaksi Hipersensitivitas Terhadap Obat

Patomekanisme reaksi termasuk; 1. Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil
(seperti opiat, media radiokontras, dan vankomisin),2. Akumulasi bradikinin
(angiotensin-converting enzyme inhibitors), 3. Aktivasi komplemen (protamine), 4.
Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal antiinflammatory drugs)
dan, 5. Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan bronkospasme (β-
bloker, sulfur dioksida).

2. Reaksi Cepat Hipersensitivitas Obat

Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE oleh spesifik
antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan dengan reseptor Fc RI
afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan basofil, menciptakan ikatan multivalen
terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen paparan obat, antigen kompleks protein
hapten berikatan silang dengan IgE, menstimulasi pelepasan preformed mediators
(histamin, triptase, beberapa sitokin seperti TNF-α) dan produksi mediator-mediator baru
(leukotrin, prostaglandin, kinin, sitokin lainnya). Preformed mediators menstimulasi
respon dalam beberapa menit, lalu komponen inflamasi sitokin berlangsung setelah
beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan untuk sintesis protein dan pengerahan sel
imun.9,10 2.3.

3. Reaksi Lambat Hipersensitivitas Obat

Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui kerja limfosit T. Kulit
menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan obat yang responsif terhadap sel T,
tetapi organ lain bisa saja terlibat. Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil
lainnya (obat anti inflamasi nonsteroid), dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem
imun, dimana dijelaskan dengan metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar.
Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala dan tanda
klinis yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat tersebut
diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk menstimulasi sel T
naif, sel dendritik proses pertama antigen obat. Antigen lalu masuk dan ditranspor ke
nodus limfa regional. Untuk berkembangnya respon imun yang efektif, sistem imun
innate perlu untuk diaktifkan, menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan
sebagai sinyal bahaya dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat
tiba di nodus limfa, antigen dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa
antigen obat bisa secara langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen, kemudian
menghindari pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen spesifik sel T bermigrasi
ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan ulang terhadap antigen, mereka
diaktifkan untuk mensekresi sitokin yang meregulasi respon dan sitotoksin (perforin,
granzim, dan granulisin) yang mengakibatkan kerusakan jaringan.

4. Peran Virus Dalam Patogenesis Reaksi Hipersensitivitas Obat


Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi kulit dan meniru reaksi hipersensitivitas obat
jika obat (kebanyakan antibiotik) yang diminum pada waktu bersamaan.Walaupun infeksi
virus dapat mencetuskan erupsi kulit, infeksi virus bisa juga berinteraksi dengan obat,
mengakibatkan erupsi ringan, misalnya pada kasus “ampicillin rash” berkaitan dengan
infeksi EBV dan reaksi berat selama drug reaction with eosinophilia and systemic
symptoms (DRESS). Virus pertama kali menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS
yang terinfeksi Human herpes virus (HHV)-6, tetapi semua HHV dapat terlibat. Beberapa
studi menunjukkan bahwa replikasi HHV-6 bisa menginduksi in vitro dengan
amoksisilin.
11. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak 75% reaksi pada kulit, 10% pada saluran pernapasan atau
gastrointestinal, dan sekitar 5% tidak diklasifikasikan. Manifestasi masing masing
berbeda tergantung reaksi yang mendasari
1. Manifestasi akibat reaksi tipe I, IgE-mediated
Gejala oleh reaksi alergi  tipe I, IgE-mediated bisa terjadi gejala sistemik
anafilaksis (disebabkan oleh enzim, insulin, polipeptida dan antibiotik), gejala pada
saluran pernapasan: bronkospasme, rinitis dan gejala pada kulit seperti urtikaria dan
angioedema.
 Reaksi tipe II: IgG sitotoksik dan IgM-dimediasi
Manifestasi bisa pada kelainan hematologi: anemia hemolitik dengan positif tes
Coombs, gangguan trombosit, agranulositosis, juga bisa gejala Nefritis interstitial.
 Reaksi tipe III
Manifestasi bisa serum sickness, glomerulonefritis, vaskulitis, drug induced SLE.
 Reaksi tipe IV
Manifestasi bisa dermatitis kontak alergi, fotodermatitis, gejala pernapasan. Obat
yang sama mungkin melibatkan berbeda mekanisme.
2. Manifestasi oleh Reaksi Autoimun

Dalam beberapa kasus obat menginduksi auto-antibodi sering bertahan lama bahkan
setelah perawatan dihentikan (anemia hemolitik autoimun, AIHA). Gejala mungkin
terlibat mekanisme kekebalan tubuh antara lain: erupsi kulit (eritema, eritema
multiform/EM, ruam maculopapular, dll.), sindrom mukokutan demam: EM, SJS,
TEN, demam karena obat, pneumonia eosinofilia, hepatitis dan kolestasis, nefritis
interstisial, limfadenopati.

3. Manifestasi oleh reaksi pseudoalergik

Manifestasi oleh reaksi pseudoalergik antara lain: reaksi anafilaktoid (contoh: media
radiokontras), intoleransi terhadap salisilat, intoleransi berbagai aditif, ruam yang
disebabkan oleh ampisilin.

4. Terjadinya manifestasi klinis setelah pemberian obat

Durasi terjadinya manifestasi klinis bisa segera, dari beberapa menit hingga 1 jam,
seperti dalam kasus anafilaksis, bisa tertunda dalam beberapa hari seperti ruam
eksanthematik, atau dalam beberapa minggu, seperti dalam kasus serum sickness.

Gejala-gejala yang biasanya muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat,
reaksi cepat tanpa perawatan dapat menyebabkan syok. Gambaran lain yang
menandakan adanya alergi obat antara lain:

1. Adanya penonjolan kemerahan seperti orang terkena cacar

2. Adanya bidudaaran

3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit

4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita DBD.

5. Adanya radang pada pembuluh darah (vaskulitis)

6. Adanya reaksi kemerahan akibat kontak langsung dengan sinar matahari

7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat


12. Pemeriksaan Penunjang

1. Tes in vivo dan in vitro yang telah terbukti bermanfaat untuk membedakan reaksi
alergi dan nonalergi.

2. Uji tusuk kulit/skin prick test (SPT) merupakan reaksi segera. Dapat untuk obat-
obatan dengan berat molekul tinggi (antigen lengkap), tetapi tidak dapat untuk yang
berat molekul rendah. SPT dengan obat berat molekul tinggi dan dengan reagen
penisilin dapat memprediksi anafilaksis dan reaksi urtikaria. Tes kulit untuk Preparat
Penicilline diperlukan metabolit imunogennya, major antigenic determinant yaitu
penicylloil, sayangnya preparat ini belum ada di Indonesia sehingga tes kulit terhadap
Penicilline tidak dapat dilakukan di Indonesia. SPT untuk diagnosis alergi obat di
Indonesia terutama antibotika tidak dianjurkan, karena predictive value nya tidak
dapat dijadikan pegangan. Kalau hasil tes positif, masih mungkin alergi terhadap obat
tersebut, tetapi kalau negatif belum tentu tidak alergi.

3. Uji RAST yang dimediasi IgE untuk anak-anak yang tidak dapat mentoleransi SPT.

4. Tes Coombs biasanya berguna. Hemaglutinasi jarang sesuai dengan gambaran klinis.

5. Tes provokasi dilakukan bila pemeriksaan lain negatif dan diagnosis alergi obat masih
meragukan. Tujuan tes ini adalah untuk menyingkirkan sensitifitas terhadap obat dan
menegakan diagnosis alergi obat.

6. Patch Test (tes tempel)

7. Uji gores (scratch test)

8. Uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-poin titration/SET)

13. Penatalaksanaan Farmakologis dan Non Farmakologis


1. Penatalaksanaan farmaologis

a. Adrenalin, yaitu golongan adrenergik yang akan meningkatkan konsentrasi cAMP


dalam mastosit sehingga terjadi lambatan degranulasi. Selain itu adrenalin mempunyai
manfaat terhadap sel sasaran yaitu:

 Perangsangan terhadap pembuluh darah kulit, selaput lendir dan kelenjar liur.

 Mengendurkan otot polos usus, bronkhus dan pembuluh darah otot rangka.

 Perangsangan jantung dengan akibat peningkatan denyut jantung, kekuatan


kontraksinya dan tekanan darah.

 Perangsangan pusat-pusat pengaturan di otak, misalnya pernafasan. Semua


manfaat itu akan dapat mengurangi gejala-gejala reaksi anafilatik.

b. Difenhidramin, merupakan kelompok antihistamin yang bekerja menghambat


histamin yang dihasilkan oleh sel mastosit.

c. Aminofilin, apabila bronkospasme menetap.

d. Teofilin, termasuk kelompok xantin yang mempunyai manfaat mengatasi reaksi


anafilaktis. Mekanisme kerjanya melalui sel matosit dan sel sasarannya seperti halnya
adrenalin.

e. Vasopresor

f. Kortikosteroid, merupakan kelompok obat-obatan yang paling banyak dipakai pada


penyakit radang dan penyakit immunologik.

2. Penatalaksanaan non farmakologis

a. Evaluasi segera keadaan jalan nafas dan jantung

b. Intubasi dan trakeostomi

c. Pemasangan turniket proksimal dari daerah suntikan jika anafilaksis terjadi karwna
suntikan pada ekstermitas atau sengatan/ggigitan hewan berbisa
d. Pemberian oksigen

e. Terapi desentisasi

f. Pengobatan suportif

14. Pengobatan

Ada periode pengobatan utama yaitu: hentikan obat yang dicurigai dan substitusi yang
dengan lain; lesi kulit dapat diobati dengan antihistamin oral, dan hanya dalam beberapa
kasus yang dipilih mendapat obat kortikosteroid secara lokal atau per oral atau secara
parenteral, tergantung pada kasus. Anak-anak adalah kandidat ideal untuk desensitisasi
bila mungkin. Edukasi kepada pasien dan keluarganya antara lain menegaskan kepada
pasien untuk menghindari obat yang sama, mendorong pasien untuk memakai gelang
tanda alergi terhadap obat tersebut, mengingatkan pasien untuk menghindari obat bebas
yang kandungannya tidak jelas.

15. Pencegahan

Pencegahan harus selalu mendahului pengobatan, yang terbaik caranya adalah


meresepkan obat hanya jika benar-benar diperlukan. Medikasi sering diberikan tanpa
ketat indikasi. Sebelum pemberian perlu diketahui obat yang diketahui atau dicurigai
sebagai berbahaya. Keluarga bisa memperingatkan dokter bahwa mereka sebelumnya
menderita reaksi alergi terhadap obat tertentu.

Adapun pencegahannya yaitu :

1. Menghindari alergen penyebab reaksi alergi

2. Anamnesa yang cermat mengenai riwayat setiap sensitivitas terhadap antigen yang
dicurigai sebelum pemberian obat apapun
3. Untuk mencegah anafilaksis akibat alergi obat, kadang sebelum obat penyebab alergi
diberikan, terlebih dahulu diberikan kortikosteroid, antihistamin atau epineprin

4. Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan bahwa tes
kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat
tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis.
Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai
kemungkinan reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya
reaksi 60%, bila tes kulit positif.

5. Bagi pasien yang memiliki predisposisi untuk terjadinya reaksi anafilaksis harus
mengenakan alat identifikasi yang berkaitan dengan alergi obat, seperti gelang
Medic-Alert.

6. Dilakukan desensitisasi (usaha mengurangkan atau menghilangkan alergi terhadap


suatu zat)

7. Pasien diabetes yang alergi insulin dan sensitif terhadap penisilia memerlukan
desensitisasi

8. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang

9. Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama pemberian

16. komplikasi

1. Eritroderma eksfoliativa sekunder

2. Abses limfedenopati

3. Furunkulosis

4. Rinitis
5. Stomatitis

6. Konjungtivitis

7. Kolitis bronkolitis

8. Hepatomegali

B. Konsep Asuhan Keperawatan Reaksi Obat

 Pengkajian

1) Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tangga dan jam mrs, no register, dan diagnosa media.

2) Keluhan utama

Biasanya terdapat kemerahan dan bengkak pada kulit dan terasa gatal.

3) Riwayat pemyakit sekarang

Pasien mengeluh nyeri perut, sesak napas, demam, bibirnya bengkak, timbul
kemerahan pada kulit, mual, muntah dan terasa gatal.

4) Riwayat penyakit dahulu

Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami nyeri perut, sesak napas,
demam, bibirnya bengkak, timbul kemerahan pada kulit, mual, muntah, dan terasa
gatal dan pernah menjalani perawatan di rs dan pengobatan tertentu.

5) Riwayat penyakit keluarga

Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada atau tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6) Riwayat psikososial

Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak penyakit
pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien, mekanisme koping
terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut
usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.

7) Pemeriksaan fisik:

a) Keadaan umum : Klien nampak lemah Tanda-tanda vital : Suhu tubuh kadang
meningkat, pernapasan cepat dan nadi juga cepat, tekanan darah kadang
menurun.

b) Pemeriksaan fisik secara persistem :

 Sistem pernapasan Inspeksi: Nafas terlihat cepat(takipneu) pola napas


tidak beratur. Palpasi: Pengembangan dada simetris, terdengar taktil
vremitus, otot bantu pernafasan teraba. Perkusi: Bunyi dada terdengar
Sonor, tidak ada penumpukan cairan. Auskultasi: Terdapat suara nafas
tambahan seperti ronkhi.

 Sistem kardiovaskuler Inspeksi: Tidak terlihat kardiomegali/ pembesaran


jantung Palpasi: denyut jantung teraba reguler, dalam kondisi yang parah
biasanya irreguler, tidak teraba pembesaran jantung. Perkusi: batas jantung
terdengar tympani. Auskultasi: Tidak ada suara jantung tambahan pada
kondisi yang tidak serius.

 Sistem pencernaan Inspeksi: Pasien biasanya mengalami anoreksia, mual


muntah dan perut sedikit cekung, nafsu makan menurun. Palpasi: Terjadi
nyeri tekan pada area ulu hati. Tidak teraba distensi abdomen. Perkusi:
terdengar suara perut Hipersonor. Auskultasi: terdengar bising usus
meningkat >12kali / menit

 Sistem Indera Kaji adanya kerusakan fungsi masing-masing indra akibat


dari komplikasi dan keparahan dari penyakit.

 Sistem Muskuloskeletal Kaji adanya kemampuan otot, stabilitas dan


kemampuan pergerakan (ROM), kekuatan sendi ekstrimitas atas dan
bawah yang mengakibatkan sulit melakukan aktifitas refleks bisap ++/++,
refleks trisep ++/++, refleks patele ++/++, refleks Babinski -/-, Apakah
menyebabkan gangguan pada sistem ini atau tidak.

 Sistem Integumen Inspeksi: terjadi penurunan turgor kulit, terdapat bintik


ruam, gatal-gatal kemerahan. Palpasi: teraba bentol -bentol dan bengkak.
peningkatan suhu tubuh.

 Sistem Endokrin Kaji adanya perubahan terhadap sistem endokrin


misalnya adanya pembesaran kelenjar tiroid.

 Sistem Perkemihan Inspeksi: frekuensi urine menurun hingga anuri.


Palpasi: Tidak terjadi distensi pada kandung kemih.

 Sistem Reproduksi Kaji adanya impoten pada pria, dan penurunan libido
pada wanita yang disertai dengan keputihan.

8. Pemeriksaan diagnostik

o Pemeriksaan pada jumlah leukosit dan hitung jenis sel.

o Pemeriksaan sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, sputum.

o Pemeriksaan serum Ig E dan Ig G spesifik.

 Diagnosa keperawatan

1. pola napas tidak efektif berhubungan dengan efek agen farmakologis

Anda mungkin juga menyukai