4. A. ADR TIPE A : Reaksi yang merupakan hasil dari efek farmakologi obat yg berlebihan
ketika diberikan pd dosis normal →dapat diprediksi. 70 –80 % ADR adalah tipe A. ADR
tipe A bisa dicegah dgn perubahan dosis atau jadwal pemberian obat.
ADR TIPE B : adalah reaksi yang bukan disebabkan oleh kerja farmakologi obat yang
sudah diketahui dan Tidak terkait dosis. Reaksi berkaitan dng sistem metabolisme obat
dan sistem imun tubuh penderita→ tidak dapat diprediksi. Bukan merupakan reaksi
berlebihan dari suatu aktivitas obat. Terjadi pada individu rentan terhadap obat tersebut.
B. Tipe A
• Dapat diramalkan dari efek farmakologinya
• Tergantung dosis dan rute pemberian
• Morbiditas tinggi
• Mortalitas rendah
• Pengurangan dosis dapat menangani masalah
• Angka kejadian tinggi
Tipe B
• Kejadian sulit diramalkan
• Jarang tergantung dosis dan rute pemberian
• Morbiditas rendah
• Mortalitas tinggi
• Penghentian obat, adalah cara penanganannya
• Angka kejadian rendah
• Angka kejadian tinggi
5. A. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh farmasis sebagai tenaga kesehatan
dalam mencegah terjadinya adverse drug reaction (ADR).
1. Apoteker dapat melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya reaksi
obat yang merugikan (ADRs) pada pasien, antara lain: Berkolaborasi dengan
tenaga kesehatan lain di rumah sakit untuk mengidentifikasi ADR
2. Mendidik pasien tentang penggunaan obat yang benar dan kemungkinan efek
sampingnya.
3. Memantau pasien yang memakai obat tertentu yang berisiko menyebabkan
ADR.
4. Laporkan ADR kepada pihak berwenang agar tidak terjadi pada pasien lain.
5. Menjaga komunikasi yang baik dengan pasien dan profesional kesehatan lainnya
untuk memastikan penggunaan obat aman dan efektif.
B. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh farmasis sebagai tenaga kesehatan
ketika terjadi kasus adverse drug reaction (ADR)
1. Evaluasi ADR
Mengumpulkan informasi lengkap tentang kasus ADR, termasuk obat yang
menyebabkan reaksi, dosis yang digunakan, dan kondisi pasien. Evaluasi untuk
menentukan tingkat keparahan dan tindakan yang diperlukan.
2. Pemberian Pertolongan Pertama
Memberikan pertolongan pertama kepada pasien jika ADR tersebut memerlukan
penanganan darurat, seperti memberikan obat antialergi atau menangani gejala
akut lainnya.
3. Berkoordinasi dengan Profesional Kesehatan Lain
Berkomunikasi dengan dokter atau profesional kesehatan lain yang merawat
pasien untuk mendiskusikan tindakan lebih lanjut dan penyesuaian terhadap
rencana pengobatan.
4. Penarikan Obat
Jika ADR disebabkan oleh suatu obat, farmasis dapat memberikan rekomendasi
atau menyarankan penarikan obat tersebut dan memberikan alternatif yang lebih
aman jika diperlukan.
5. Penyuluhan Pasien
Memberikan penyuluhan kepada pasien mengenai reaksi yang dialami, mengapa
obat diberhentikan atau diganti, serta langkah-langkah pencegahan untuk masa
depan.
6. Pemantauan dan Tindak Lanjut
Melakukan pemantauan terhadap pasien setelah ADR terjadi untuk memastikan
tidak adanya komplikasi atau reaksi lanjutan. Melakukan tindak lanjut sesuai
kebutuhan.
7. Pelaporan ADR
Melaporkan kasus ADR kepada badan farmakovigilans setempat agar informasi
dapat diakumulasi, dan langkah-langkah pencegahan lebih lanjut dapat diambil.
8. Bekerjasama dengan Tim Multidisiplin
Berkoordinasi dengan tim perawatan kesehatan, termasuk dokter, perawat, dan
ahli gizi, untuk memberikan perawatan yang holistik dan mendukung pemulihan
pasien.
9. Memberikan Dukungan Psikologis
Memberikan dukungan psikologis kepada pasien yang mungkin merasa cemas
atau khawatir akibat reaksi obat yang tidak diinginkan.
10. Edukasi Pencegahan
Memberikan edukasi kepada pasien dan tenaga kesehatan lainnya tentang
langkah-langkah pencegahan ADR di masa mendatang, seperti pengawasan ketat
terhadap gejala, dan pelaporan jika terjadi reaksi yang mencurigakan.