Anda di halaman 1dari 10

REAKSI OBAT MERUGIKAN ( ROM) & PENGOBATAN

BERBASIS BUKTI DALAM FARMASI KLINIS

DISUSUN OLEH :

DITIA MEILAN SIANIPAR

160205207
1. Reaksi Obat Merugikan (ROM)
Setiap respon terhadap suatu obat yang berbahaya & tidak dimaksudkan, terjadi pada dosis biasa
yang digunakan pada manusia untuk profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit atau untuk
memodifikasi fungsi fisiologik. Tidak termasuk kegagalan terapi, overdosis, penyalahgunaan
obat, ketidakpatuhan dan kesalahan obat.

Setiap respons terhadap suatu obat yang berbahaya & tidak dimaksudkan, terjadi pada dosis yang
digunakan pada manusia untuk profilaksis, diagnosis, terapi, tidak termasuk gagal mencapai
kegunaan yang dimaksudkan.

Epidemiologi ROM:

Berkontribusi pada angka morbiditas & mortalitas

Urutan 4-6 penyebab kematian pasien rawat tinggal

0,3-7% pasien masuk RS karena ROM

30-60% dapat dicegah

Program surveilan ROM:

Pelaporan sukarela

Pengkajian kartu pengobatan pasien retrospektif

Surveilan prospektif dengan audit

Surveilan prospektif unit pasien

Manfaat program pemantauan & pelaporan ROM

RS memenuhi standar akreditasi RS (menurunnya tuntutan hukum, menyempurnakan mutu


pelayanan -> standar pelayanan pasien akan meningkat, ekonomi)

Peningkatan baseline surveilan pasca pemasaran

Peranan apoteker dalam ROM:

Tanggung jawab memberikan pelayanan profesional -> seleksi dan pemberian obat

Evaluasi obat -> obat2 formularium

Edukasi masyarakat -> brosur, leaflet, penyuluhan


Kepemimpinan -> program pemantauan & pelaporan, ada pengesahan formal

Program surveilan ROM:

Pengkajian kartu pengobatan pasien (retrospektif)

Pelaporan sukarela (konkuren)

Surveilan prospektif audit

Surveilan prospektif unit pasien

Surveilan prospektif

-Mengidentifikasi ROM serius, merupakan sistem yang berhasil

-Dengan memantau adanya “order siaga/sinyal “

-Pengurangan dosis tiba-tiba

-Penghentian tiba-tiba

-Permintaan uji laboratorium

-Order segera dg zat telusur/tracer Atropin, kortikosteroid, diazepam, difenhidramin, epinefrin,


glukagon,hidroksizin, lidokain, nalokson, fitonadion, protamin, Na-polistiren Sulfonat

Program pemantauan ROM

1. Penetapan tanggung jawab (PFT atau Komite ROM atau yang lainnya, ditetapkan oleh RS)

2. Penetapan definisi ROM agar tidak terjadi kebingungan, keraguan dalam pelaporan lalu
disetujui PFT

Definisi : setiap efek yang tidak dimaksudkan atau tidak diinginkan dari obat…dst…selanjutnya
dipersempit dengan penambahan qualifiers seperti:

Mengakibatkan penghentian obat

Memerlukan pengobatan tambahan

Memperpanjang hospitalisasi

Mengakibatkan kematian atau cacat, dll

3. Peningkatan kesadaran kepada dokter & perawat melalui buletin yang bersifat edukasi
4. Penetapan mekanisme

Identifikasi secara retrospektif (kerjasama dengan bag ian rekam medik -> lembar tambahan
pada kartu pengobatan pasien

Identifikasi konkuren (3 komponen :pelaporan sukarela/spontan, order siaga dengan zat


telusur,skrining pasien/obat dg risiko >>)

5. Penetapan prosedur untuk evaluasi ROM

Algoritme ROM untuk menetapkan klasifikasi probabilitas ROM

Evaluasi pragmatis dengan pertanyaan sbb :

Apakah ada suatu hubungan sementara dari permulaan terapi obat dan ROM?

Apakah terjadi suatu dechallenge -> apakah tanda/gejala hilang jika obat dihentikan?

Dapatkah tanda/gejala ROM diterangkan oleh status penyakit?

Apakah ada uji lab yang mendukung?

Apa pengalaman umum terdahulu dari obat?

Evaluasi keparahan ROM -> skala Hartwig & Siegel

6. Pengkajian ROM rutin -> dikaji berkala jika terdapat pola & kecenderungan terjadi kembali

7. Pengembangan intervensi pencegahan -> skrining interaksi obat, alergi obat, dosis, duplikasi
atau kontraindikasi

Pelaporan ROM

Badan POM -> informasi kepada masyarakat

Manufaktur obat -> sabagai rekaman untuk disebarkan kepada profesi kesehatan

Publikasi -> meningkatkan indeks kecurigaan

Pelaporan internal -> ROM yang diramalkan.

Peran apoteker dalam Pharmacovigilence

Peran aktif /partisipasi dalam pemantauan & pelaporan terjadinya ROM/ADRs

– Pantau status klinik pasien secara berkesinambungan


– Kenali ADRs secara tepat bukan ES saja

– Cari informasi lebih dalam

– Bantu dokter dalam mengisi form

– Pelihara informasi data pasien, terutama yg berkaitan dengan obat

Tanggung jawab dalam seleksi dan pemberian obat

Evaluasi obat -> obat2 formularium

Informasi obat -> dokter, perawat

Edukasi masyarakat -> brosur, leaflet, penyuluhaN

”Jika dikatakan bahwa suatu obat tidak menunjukkan efek samping, maka terdapat dugaan kuat
bahwa obat tersebut juga tidak mempunyai efek utama” (G. Kuschinsky). Reaksi obat yang tidak
dikehendaki didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis maupun terapi. Reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat berupa kontraindikasi
maupun efek samping obat (adverse drug reactions). Reaksi obat yang tidak dikehendaki ini
dapat muncul dari faktor tenaga kesehatan, kondisi pasien maupun obat itu sendiri.

Kontraindikasi adalah efek obat yang secara nyata dapat memberikan dampak kerusakan
fisiologis atau anatomis secara signifikan, memperparah penyakit serta lebih lanjut dapat
membahayakan kondisi jiwa pasien. Pemberian obat – obatan yang dikontraindikasikan pada
kondisi tertentu ini harus dihindarkan atau di bawah penanganan khusus. Dalam beberapa hal
kontraindikasi juga dianggap merupakan bagian dari efek samping obat.

Sebagai contoh asetosal dikontraindikasikan pada anak di bawah 12 tahun, ibu hamil dan
menyusui karena sifat antiplateletnya (antitrombosit); atau timbulnya stroke hemorragik pada
penderita selesma yang juga hipertensi tingkat berat setelah diberi obat selesma yang berisi
fenilpropanolamin.

Efek samping obat adalah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan (efek sekunder),
namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu (merugikan) tergantung dari kondisi dan
situasi pasien. Pada kondisi tertentu, efek samping obat ini dapat juga membahayakan jiwa
pasien. Efek samping obat ini pada dasarnya terjadi setelah pemberian obat tersebut, yang
kejadiannya dapat diramalkan atau belum dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai contoh,
penggunaan kortikosteroid (deksametason) dalam waktu lama dapat menimbulkan efek
moonface dan peningkatan nafsu makan.

Beberapa faktor penyebab yang dapat menimbulkan kontraindikasi (atau menimbulkan efek
samping obat) adalah :

1. Usia pasien (misalnya, anak di bawah < 2 tahun atau lansia > 65 tahun).
2. Kondisi penyakit tertentu pada pasien (misalnya, kerusakan fungsi hati dan ginjal).
3. Reaksi hipersensitivitas (alergi) terhadap obat tertentu.
4. Interaksi membahayakan dengan senyawa kimia atau obat – obatan lain.
5. Kondisi hamil dan menyusui.
6. Perbedaan ras dan genetika.
7. Jenis kelamin.
8. Polifarmasi (pengobatan yang tidak rasional).

Identifikasi reaksi obat yang tidak diinginkan harus mengacu kepada faktor – faktor penyebab
tersebut di atas. Identifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat diperoleh atas dasar
laporan dari pasien ataupun kondisi nyata yang ditemukan oleh petugas kesehatan di lapangan.

Kriteria untuk mengidentifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki (apabila sudah terjadi efek
samping) ini adalah :

1. Waktu.
Kapan kejadian tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat setelah minum obat ataukah
berselang dalam waktu yang lama? Apakah reaksi tersebut terkait dengan pemakaian
obat?
2. Dosis.
Apakah dosis yang diberikan kepada pasien dengan kondisi tertentu terlalu besar?
3. Sifat permasalahan.
Apakah ciri – ciri reaksi obat yang tidak diinginkan tersebut sama dengan sifat
farmakologis obatnya? Adakah kemungkinan interaksi obat?
4. Pengalaman.
Apakah reaksi yang muncul tersebut mirip dengan reaksi yang pernah dilaporkan dalam
pustaka atau literatur?
5. Penghentian keterulangan.
Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana jika di suatu hari kelak
obat yang menimbulkan reaksi yang tidak dikehendaki tersebut digunakan kembali,
apakah reaksinya muncul kembali?

Pencegahan reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat melalui cara sebagai berikut :
1. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien sedang
hamil, jangan gunakan obat kecuali benar – benar diperlukan.
2. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting reaksi obat yang tidak dikehendaki.
Tanyakan pasien apakah pernah mengalami reaksi sebelumnya atau dengan mengecek
riwayat penyakitnya.
3. Tanyakan kepada pasien jika sedang menggunakan obat – obat lainnya termasuk obat
yang dipakai sebagai swamedikasi (self medication), karena dapat terjadi kemungkinan
interaksi obat.
4. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat,
sehingga diperlukan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan
variasi kecepatan metabolisme, termasuk isoniazid dan anti depresan (trisiklik).
5. Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang jelas kepada pasien lanjut
usia dan pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.
6. Jika memungkinkan, gunakan obat yang sudah dikenal. Penggunaan obat baru perlu
waspada akan timbulnya reaksi obat yang tidak dikehendaki atau kejadian yang tidak
diharapkan.
7. Jika kemungkinan terjadinya reaksi obat tak dikehendaki cukup serius, pasien perlu
diperingatkan.

Mengatasi munculnya efek samping obat dapat menggunakan prinsip farmakoterapi yang
rasional yaitu M – 5 dan 4T + 1W. Prinsip M – 5 terdiri dari :

1. Mengenali gejala – gejala dan tanda – tanda penyakit.


2. Menegaskan dianosis penyakit.
3. Memilih tatalaksana terapi (non – farmakologik, farmakologik, gabungan non –
farmakologik dan farmakologik).
4. Memilih dan menetapkan produk obat.
5. Memantau dan mengevaluasi output pengobatan.

Prinsip 4T + 1W meliputi :

1. Tepat indikasi –> obat yang akan digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit yang
akurat.
2. Tepat penderita –> tidak ada kontraindikasi dan atau kondisi khusus yang memerlukan
penyesuaian dosis dan atau kondisi yang mempermudah timbulnya efek samping.
3. Tepat obat –> pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan nisbah/rasio keamanan –
kemanjuran di antara obat yang ada.
4. Tepat dosis dan cara pemberian –> takaran, jalur pemberian, waktu dan lama pemberian
(lama pemakaian) tergantung kondisi penderita.
5. Waspada terhadap efek samping obat.
Langkah – langkah prosedural untuk dapat mengatasi kemungkinan memburuknya efek samping
obat sedangkan pengobatan harus tetap dilakukan adalah :

1. Analisa manfaat – resiko, bila terpaksa digunakan, hendaknya manfaat yang ingin dicapai
lebih besar daripada faktor resiko.
2. Penyesuaian dosis.
3. Pengaturan waktu pemberian obat.
4. Lama pemberian/pemakaian oleh pasien.
5. Pemantauan kondisi pasien secara intensif (pemantauan kadar obat dalam darah).
6. Menggunakan varian atau derivat obat lain yang yang lebih aman, tetapi memiliki khasiat
dan efek farmakologis yang serupa.
7. Penanganan kedaruratan (misalnya pada syok anafilaksis, peningkatan toksisitas).
8. Penggunaan obat – obatan lini pertama dapat memperkecil resiko terjadinya efek
samping, misalnya yang ada dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
2. Evidence-based Medicine (EBM)
Evidence-based Medicine (EBM) adalah pengintegrasian antara

(1) bukti ilmiah berupa hasil penelitan yang terbaik dengan

(2) kemampuan klinis dokter serta

(3) preferensi pasien dalam proses pengambilan keputusan pelayanan kedokteran

Sedang Geddes (2000) menyatakan bahwa EBM adalah strategi yang dibuat berdasarkan
pengembangan teknologi informasi dan epidemiologi klinik dan ditujukan untuk dapat menjaga
dan mempertahankan ketrampilan pelayanan medik dokter dengan basis bukti medis yang
terbaik1 Dengan demikian, EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah secara
seksama, ekplisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana pasien. Artinya
mengintegrasikan kemampuan klinis individu dengan bukti ilmiah yang terbaik yang diperoleh
dengan penelusuran informasi secara sistematis. Bukti ilmiah itu tidak dapat menetapkan
kesimpulan sendiri, melainkan membantu menunjang penatalaksanaan pasien. Integrasi penuh
dari ketiga komponen ini dalam proses pengambilan keputusan akan meningkatkan probabilitas
untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan kualitas hidup yang lebih baik. Praktek
EBM itu sendiri banyak juga dicetuskan oleh adanya pertanyaan2 pasien tentang efek
pengobatan, kegunaan pemeriksaan penunjang, prognosis penyakitnya, atau penyebab kelainan
yang dideritanya. EBM membutuhkan ketrampilan khusus, termasuk didalamnya kemampuan
untuk melakukan penelusuran literatur secara efisien dan melakukan telaah kritis terhadap
literatur tersebut menurut aturan-aturan yang telah ditentukan.

Langkah dalam proses EBM adalah sebagai berikut :

1. Diawali dengan identifikasi masalah dari pasien atau yang timbul selama proses tatalaksana
penyakit pasien

2. Dilanjutkan dengan membuat formulasi pertanyaan dari masalah klinis tersebut

3. Pilihlah sumber yang tepat untuk mencari jawaban yang benar bagi pertanyaan tersebut dari
literatur ilmiah

4. Lakukan telaah kritis terhadap literatur yang didapatkan untuk menilai validitas (mendekati
kebenaran), pentingnya hasil penelitian itu serta kemungkinan penerapannya pada pasien

5. Setelah mendapatkan hasil telaah kritis, integrasikan bukti tersebut dengan kemampuan klinis
anda dan preferensi pasien yang seharusnya mendapatkan probabilitas pemecahan masalah
pelayanan pasien yang lebih baik.
6. Evaluasi proses penatalaksanaan penyakit / masalah pasien anda Apakah berhasil atau masih
memerlukan tindakan lain?

Kemampuan menelaah secara kritis terhadap suatu artikel dengan tata cara tertentu sudah dikenal
sejak lama, namun EBM memperkenalkan tata cara telaah kritis menggunakan lembar kerja yang
spesifik untuk tiap jenis penelitian (diagnostik, terapi, prognosis, metaanalisis, pedoman
pelayanan medik dll). Tiga hal penting merupakan patokan telaah kritis, yaitu:

(1) validitas penelitian, yang dapat dinilai dari metodologi / bahan dan cara

(2) pentingnya hasil penelitian yang dapat dilihat dari bagian hasil penelitian, serta

(3) aplikabilitas hasil penelitian tersebut pada lingkungan kita, yang dapat dinilai dari bagian
diskusi artikel tersebut.

Praktek EBM adalah suatu proses yang panjang dan berkelanjutan, melakukan
pembelajaran/analisis berdasarkan masalah yang timbul dari pasien dan karenanya bisa
menemukan informasi yang penting dalam aspek diagnosis, terapi, prognosis atau aspek lainnya
dari pelayanan kesehatan, antara lain pedoman pengobatan dan sebagainya. Melalui proses ini
diharapkan juga dokter akan memfokuskan topic bacaannya pada masalah yang terkait dengan
masalah pasien. Latihan membuat pertanyaan klinis yang baik, dan membuat strategi untuk
mencari jawabannya dalam arsip data dimanapun didunia ini akan lebih produktif dan tetap
terkait dengan masalah klinis dari pada sekedar membaca artikel2 dalam suatu jurnal yang
dipilih. Sebagian ahli beranggapan bahwa EBM merubah kebiasaan para dokter untuk menilai
sebuah artikel dari membaca abstraknya saja, menjadi suatu kebiasaan menelaah secara kritis
suatu artikel untuk kepentingan pasien dan dengan sendirinya memperluas basis pengetahuan
dokter tersebut.2 Banyak pro dan kontra yang timbul dalam penerapan EBM ini, namun
tampaknya pengenalan dan pendalaman EBM merupakan keharusan bagi dokter-dokter
khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan “probabilitas” keberhasilan pelayanan
kedokteran secara profesional. Penelitian tentang kebiasaan mencari informasi dari para dokter
menunjukkan bahwa bila diminta dokter akan mengatakan setiap 3 pasien akan menimbulkan 2
pertanyaan/masalah, padahal fakta penelitian menunjukkan setidaknya 5 pertanyaan timbul dari
setiap pasien, 52% dari pertanyaan ini dapat dijawab oleh dokter tersebut dari catatan medik
atau sistim informasi rumah sakit dan 25% jawaban dapat ditemukan di buku ajar atau basis data
di Internet. 3,4 Diharapkan dalam penerbitan selanjutnya, secara berkala dapat dibahas tinjauan
khusus dan telaah kritis untuk topik / desain penelitian tertentu, dengan contoh-contoh yang
konkrit dalam penatalaksanaan pasien sehari-hari (art).

Anda mungkin juga menyukai