Anda di halaman 1dari 10

Reaksi Obat Merugikan (ROM) adalah

Setiap respon terhadap suatu obat yang berbahaya & tidak dimaksudkan, terjadi pada dosis biasa
yang digunakan pada manusia untuk profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit atau untuk
memodifikasi fungsi fisiologik. Tidak termasuk kegagalan terapi, overdosis, penyalahgunaan
obat, ketidakpatuhan dan kesalahan obat.

World Health Organization

Setiap respons terhadap suatu obat yang berbahaya & tidak dimaksudkan, terjadi pada dosis yang
digunakan pada manusia untuk profilaksis, diagnosis, terapi, tidak termasuk gagal mencapai
kegunaan yang dimaksudkan.

Karch-Lasagna

Epidemiologi ROM:

Berkontribusi pada angka morbiditas & mortalitas

Urutan 4-6 penyebab kematian pasien rawat tinggal

0,3-7% pasien masuk RS karena ROM

30-60% dapat dicegah

Program surveilan ROM:

Pelaporan sukarela

Pengkajian kartu pengobatan pasien retrospektif

Surveilan prospektif dengan audit

Surveilan prospektif unit pasien

Manfaat program pemantauan & pelaporan ROM

RS memenuhi standar akreditasi RS (menurunnya tuntutan hukum, menyempurnakan mutu


pelayanan -> standar pelayanan pasien akan meningkat, ekonomi)

Peningkatan baseline surveilan pasca pemasaran

Peranan apoteker dalam ROM:

Tanggung jawab memberikan pelayanan profesional -> seleksi dan pemberian obat
Evaluasi obat -> obat2 formularium

Edukasi masyarakat ->  brosur, leaflet, penyuluhan

Kepemimpinan ->  program pemantauan & pelaporan, ada pengesahan formal

Program surveilan ROM:

Pengkajian kartu pengobatan pasien (retrospektif)

Pelaporan sukarela (konkuren)

Surveilan prospektif audit

Surveilan prospektif unit pasien

Surveilan prospektif

-Mengidentifikasi ROM serius, merupakan sistem yang berhasil

-Dengan memantau adanya “order siaga/sinyal “

-Pengurangan dosis tiba-tiba

-Penghentian tiba-tiba

-Permintaan uji laboratorium

-Order segera dg zat telusur/tracer Atropin, kortikosteroid, diazepam,  difenhidramin, epinefrin, 


glukagon,hidroksizin, lidokain, nalokson, fitonadion, protamin, Na-polistiren Sulfonat

Program pemantauan ROM

1. Penetapan tanggung jawab (PFT atau Komite ROM atau yang lainnya, ditetapkan oleh RS)

2. Penetapan definisi ROM agar tidak terjadi kebingungan, keraguan dalam pelaporan lalu
disetujui PFT

Definisi : setiap efek yang tidak dimaksudkan atau tidak diinginkan dari obat…dst…selanjutnya
dipersempit dengan penambahan qualifiers seperti:

Mengakibatkan penghentian obat

Memerlukan pengobatan tambahan

Memperpanjang hospitalisasi
Mengakibatkan kematian atau cacat, dll

3. Peningkatan kesadaran kepada dokter & perawat melalui buletin yang bersifat edukasi

4. Penetapan mekanisme

Identifikasi secara retrospektif (kerjasama dengan bag ian rekam medik -> lembar tambahan
pada kartu pengobatan pasien

Identifikasi konkuren (3 komponen :pelaporan sukarela/spontan, order siaga dengan zat


telusur,skrining pasien/obat dg risiko >>)

5. Penetapan prosedur untuk evaluasi ROM

Algoritme ROM  untuk menetapkan klasifikasi probabilitas ROM

Evaluasi pragmatis dengan pertanyaan sbb :

Apakah ada suatu hubungan sementara dari permulaan terapi obat dan ROM?

Apakah terjadi suatu dechallenge -> apakah tanda/gejala hilang jika obat dihentikan?

Dapatkah tanda/gejala ROM diterangkan oleh status penyakit?

Apakah ada uji lab yang mendukung?

Apa pengalaman umum terdahulu dari obat?

Evaluasi keparahan ROM -> skala Hartwig & Siegel

6. Pengkajian ROM rutin -> dikaji berkala jika terdapat pola &  kecenderungan terjadi kembali

7. Pengembangan intervensi pencegahan -> skrining interaksi obat, alergi obat, dosis, duplikasi
atau kontraindikasi

Pelaporan ROM

Badan POM -> informasi kepada masyarakat

Manufaktur obat -> sabagai rekaman untuk disebarkan kepada profesi kesehatan

Publikasi -> meningkatkan indeks kecurigaan

Pelaporan internal -> ROM yang diramalkan.

Peran apoteker dalam Pharmacovigilence


Peran aktif /partisipasi dalam pemantauan & pelaporan terjadinya ROM/ADRs

– Pantau status klinik pasien secara berkesinambungan

– Kenali ADRs secara tepat bukan ES saja

– Cari informasi lebih dalam

– Bantu dokter dalam mengisi form

– Pelihara informasi data pasien, terutama yg berkaitan dengan obat

Tanggung jawab dalam seleksi dan pemberian obat

Evaluasi obat -> obat2 formularium

Informasi obat -> dokter, perawat

Edukasi masyarakat -> brosur, leaflet, penyuluhan


Berikut ini adalah sebagian tulisan/materi yang pernah saya jadikan bahan ajar :

”Jika dikatakan bahwa suatu obat tidak menunjukkan efek samping, maka terdapat
dugaan kuat bahwa obat tersebut juga tidak mempunyai efek utama” (G. Kuschinsky).
Reaksi obat yang tidak dikehendaki didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang
berbahaya dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi. Reaksi obat yang tidak dikehendaki ini
dapat berupa kontraindikasi maupun efek samping obat (adverse drug reactions). Reaksi
obat yang tidak dikehendaki ini dapat muncul dari faktor tenaga kesehatan, kondisi pasien
maupun obat itu sendiri.

Kontraindikasi adalah efek obat yang secara nyata dapat memberikan dampak kerusakan
fisiologis atau anatomis secara signifikan, memperparah penyakit serta lebih lanjut dapat
membahayakan kondisi jiwa pasien. Pemberian obat – obatan yang dikontraindikasikan
pada kondisi tertentu ini harus dihindarkan atau di bawah penanganan khusus. Dalam
beberapa hal kontraindikasi juga dianggap merupakan bagian dari efek samping obat.

Sebagai contoh asetosal dikontraindikasikan pada anak di bawah 12 tahun, ibu hamil dan
menyusui karena sifat antiplateletnya (antitrombosit); atau timbulnya stroke hemorragik
pada penderita selesma yang juga hipertensi tingkat berat setelah diberi obat selesma yang
berisi fenilpropanolamin.

 
Efek samping obat adalah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan (efek
sekunder), namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu (merugikan)
tergantung dari kondisi dan situasi pasien. Pada kondisi tertentu, efek samping obat ini
dapat juga membahayakan jiwa pasien. Efek samping obat ini pada dasarnya terjadi
setelah pemberian obat tersebut, yang kejadiannya dapat diramalkan atau belum dapat
diramalkan sebelumnya. Sebagai contoh, penggunaan kortikosteroid (deksametason)
dalam waktu lama dapat menimbulkan efek moonface dan peningkatan nafsu makan.

Beberapa faktor penyebab yang dapat menimbulkan kontraindikasi (atau menimbulkan


efek samping obat) adalah :

1. Usia pasien (misalnya, anak di bawah < 2 tahun atau lansia > 65 tahun).
2. Kondisi penyakit tertentu pada pasien (misalnya, kerusakan fungsi hati dan ginjal).
3. Reaksi hipersensitivitas (alergi) terhadap obat tertentu.
4. Interaksi membahayakan dengan senyawa kimia atau obat – obatan lain.
5. Kondisi hamil dan menyusui.
6. Perbedaan ras dan genetika.
7. Jenis kelamin.
8. Polifarmasi (pengobatan yang tidak rasional).
 

Identifikasi reaksi obat yang tidak diinginkan harus mengacu kepada faktor – faktor
penyebab tersebut di atas. Identifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat
diperoleh atas dasar laporan dari pasien ataupun kondisi nyata yang ditemukan oleh
petugas kesehatan di lapangan.

Kriteria untuk mengidentifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki (apabila sudah terjadi
efek samping) ini adalah :

1. Waktu.
Kapan kejadian tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat setelah minum obat
ataukah berselang dalam waktu yang lama? Apakah reaksi tersebut terkait dengan
pemakaian obat?
2. Dosis.
Apakah dosis yang diberikan kepada pasien dengan kondisi tertentu terlalu besar?
3. Sifat permasalahan.
Apakah ciri – ciri reaksi obat yang tidak diinginkan tersebut sama dengan sifat
farmakologis obatnya? Adakah kemungkinan interaksi obat?
4. Pengalaman.
Apakah reaksi yang muncul tersebut mirip dengan reaksi yang pernah dilaporkan
dalam pustaka atau literatur?
5. Penghentian keterulangan.
Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana jika di suatu hari
kelak obat yang menimbulkan reaksi yang tidak dikehendaki tersebut digunakan
kembali, apakah reaksinya muncul kembali?

Pencegahan reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat melalui cara sebagai berikut :

1. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien
sedang hamil, jangan    gunakan obat kecuali benar – benar diperlukan.
2. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting reaksi obat yang tidak
dikehendaki. Tanyakan pasien apakah pernah mengalami reaksi sebelumnya atau
dengan mengecek riwayat penyakitnya.
3. Tanyakan kepada pasien jika sedang menggunakan obat – obat lainnya termasuk
obat yang dipakai sebagai swamedikasi (self medication), karena dapat terjadi
kemungkinan interaksi obat.
4. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat,
sehingga diperlukan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait
dengan variasi kecepatan metabolisme, termasuk isoniazid dan anti depresan
(trisiklik).
5. Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang jelas kepada pasien
lanjut usia dan pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.
6. Jika memungkinkan, gunakan obat yang sudah dikenal. Penggunaan obat baru
perlu waspada akan timbulnya reaksi obat yang tidak dikehendaki atau kejadian
yang tidak diharapkan.
7. Jika kemungkinan terjadinya reaksi obat tak dikehendaki cukup serius, pasien
perlu diperingatkan.

Mengatasi munculnya efek samping obat dapat menggunakan prinsip farmakoterapi yang
rasional yaitu M – 5 dan 4T + 1W. Prinsip M – 5 terdiri dari :

1. Mengenali gejala – gejala dan tanda – tanda penyakit.


2. Menegaskan dianosis penyakit.
3. Memilih tatalaksana terapi (non – farmakologik, farmakologik, gabungan non –
farmakologik dan farmakologik).
4. Memilih dan menetapkan produk obat.
5. Memantau dan mengevaluasi output pengobatan.

Prinsip 4T + 1W meliputi :

1. Tepat indikasi –> obat yang akan digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit
yang akurat.
2. Tepat penderita –> tidak ada kontraindikasi dan atau kondisi khusus yang
memerlukan penyesuaian dosis dan atau kondisi yang mempermudah timbulnya
efek samping.
3. Tepat obat  –>  pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan nisbah/rasio
keamanan – kemanjuran di antara obat yang ada.
4. Tepat dosis dan cara pemberian –>  takaran, jalur pemberian, waktu dan lama
pemberian (lama pemakaian) tergantung kondisi penderita.
5. Waspada terhadap efek samping obat.

Langkah – langkah prosedural untuk dapat mengatasi kemungkinan memburuknya efek


samping obat sedangkan pengobatan harus tetap dilakukan adalah :

1. Analisa manfaat – resiko, bila terpaksa digunakan, hendaknya manfaat yang ingin
dicapai lebih besar daripada faktor resiko.
2. Penyesuaian dosis.
3. Pengaturan waktu pemberian obat.
4. Lama pemberian/pemakaian oleh pasien.      
5. Pemantauan kondisi pasien secara intensif (pemantauan kadar obat dalam darah).
6. Menggunakan varian atau derivat obat lain yang yang lebih aman, tetapi memiliki
khasiat dan efek farmakologis yang serupa.
7. Penanganan kedaruratan (misalnya pada syok anafilaksis, peningkatan toksisitas).
8. Penggunaan obat – obatan lini pertama dapat memperkecil resiko terjadinya efek
samping, misalnya yang ada dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).

Semoga bermanfaat dan komentar para rekan sejawat kesehatan maupun awam
(pengamat dunia kesehatan) sangat dibutuhkan apabila ada poin-poin di atas yang kurang
tepat.

By : Niko Rusmedi, Apt.

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (1)


February 21, 2012 by fathelvi

Hmm…Belajar ADR (Adverse Drug Reaction) atau Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD) sesungguhnya sangat menarik. Dengannya, kita bisa tau tentang reaksi-reaksi obat yang
mungkin saja terjadi, meskipun ROTD ini tidak terjadi pada semua orang. Nah… hayuuu,
cekidot, tentang ROTD. Masi secara glbal dulu yah? Siipp??!

Sebelum lebih jauh melangkah, mari kita review kembali, sebenarnya peranan apoteker itu papa
siihhh?

Pernan apoteker itu adalah mendeteksi, mencegah dan menyelesaikan MASALAH TERKAIT
OBAT. Naaahhh, ini niih peran apoteker yang sesungguhnyaa (ngomong-ngomong di dunia
nyata kefarmasian, udah jalan belum yak? Heuu….mungkin masi sebagian kecil yang jalan…).
Terkait obat ini maksudnya menjamin obat yang diberikan itu terjamin mutunya dan tepat
penggunaannya. Masalah terkaid obat atau DRP (Drug related problem) ini bisa saja aktual (yang
sudah terjadi) dan potensial (yang berpotensi terjadi).

Klasifikasi DRP (Drug related problem) itu apa saja?

sebenarnya sih buanyak orang mengklasifikasikannya ke berbagai kelompok. Tapi, intinya sih
sama ajah. Hee…

kita pake klasifikasi menurut Cipole et al ajah yaah.

Cipole et al mengklasifikasikan DRP menjadi :

1. Indikasi

–> terapi obat tidak diperlukan


–> obat tidak diberikan

–> obat yang diberikan tidak sesuai

2. Efektifitas

–> terapi obat tidak efektif

–> dosis obat terlalu kecil

3. Safety

–> Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) atau ADRs

–> dosis terlalu tinggi

4. Ketersediaan

–> menyangkut kepatuhan. Tapii, kepatuhan bukan hanya salahnya si pasien. Bisajadi nakesnya
yang salah menyampaikan infrmasi, atau salah-salah lainnya yang menyebabkan pasien tidak
menggunakan obatnya. Bisa juga masalah biaya. de es be..

Naahhhh yang akan kita bahas itu, adalah bagian dari DRP yaitu yang cetak tebal, dimiringkan
lagi! (lengkap sudah dah! hehe).

Adverse Drug Reaction (ADR)/Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

ROTD atau ADR sering disalah artikan oleh masyarakat awam (bahkan oleh farmasis sendiri)
sebagai EFEK SAMPING OBAT.

Yang dimaksud dengan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) itu adalah respon terapi
yang mengganggu/yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis terapi. sedangkan efek samping
obat  adalah efek yang tidak diinginkan dari suatu obat pada dosis terapi yang terkait dengan
farmakologi obat.

Pharmacovigilance yaitu suatu metode yang digunakan untuk menentukan efek merugikan atau
risiko dari suatu obat pada suatu populasi atau suatu populasi yang spesifik.

Medication error merupakan kegagalan terapi yang terkait pada prosesnya. sebenarnya bisa kita
cegah. Medication error ini dapat terjadi pada dokter, perawat, pharmasis maupun pasiennya.

Mengapa ROTD muncul?


Ssebelum tahun 1960-an, ROTD tidak begitu jadi perhatian. Namu, sejak kasus Talidomid (yg
menyejarah itu), dunia menjadi tersentak. Dan, dimulailah perhatian terhadap efek-efek
merugikan terkait obat-obatan. Sejak itu, mulailah digencarkan farmakovigilance, terutama pada
studi post-marketing surveillance. Jadii, kita harus berhati-hati sebab TIDAK SEMUA OBAT
ITU AMAN! Apalagi,ROTD tidak muncul pada semua orang…

KLasifikasi ROTD

ROTD dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Tipe A : ROTD terkait farmakologis nya

–> umum terjadi (angka kejadiannya tinggi)

–> angka morbiditasnya tinggi

–> angka mortalitasnya rendah

–> bergantung pada dosis yang diberikan

2. Tipe B : ROTD yang tidak terkait dengan farmakologi (tidak dapat diprediksi secara
farmakologi)

–> insidennya rendah

–> morbiditasnya rendah

–> mortilitasnya tinggi

Ada juga yang mengklasifikasikan menjadi tipe C, D, E, dan F

Anda mungkin juga menyukai