Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I. Definisi

Manajemen obat merupakan komponen yang penting dalam pengobatan paliatif, simtomatik,
preventif, dan kuratif terhadap penyakit dan berbagai kondisi. Manajemen obat mencakup sistem dan
proses yang digunakan rumah sakit sakit dalam memberikan farmakoterapi kepada pasien. Perlu
upaya mutidisiplin dan terkoordinir dari para staf rumah sakit sakit, menerapkan prinsip rancang
proses yang efektif, implementasi dan peningkatan terhadap seleksi, pengadaan, penyimpanan,
pemesanan/peresepan, pencatatan (transcribe), pendistribusian, persiapan (preparing),
penyaluran (dispensing), pemberian, pendokumentasian, dan pemantauan terapi obat. Peran para
pemberi pelayanan kesehatan dalam manajemen obat sangat sentral guna mencapai tujuan
pengobatan dan sasaran keselamatan pasien.

Pasien RS yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat.
Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual
meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO
(pemantauan terapi obat) dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki. Aspek ini merupakan bagian penting dalam standar
akreditasi RS versi KARS 2012, khususnya dalam Bab MPO (Manajemen dan Penggunaan Obat).

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi
obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup pengkajian pilihan
obat, dosis, cara pemberian obat, respon terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), serta
rekomenasi atau alternatif terapi. PTO harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi
secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. PTO
merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi pelayanan kefarmasian RS dalam Permenkes
1197/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Kondisi pasien yang perlu dilakukan PTO antara lain:

1. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima polifarmasi.

2. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.


3. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.

4. Pasien geriatri dan pediatri.

5. Pasien hamil dan menyusui.

6. Pasien dengan perawatan intensif.

7. Pasien yang menerima regimen yang kompleks: Polifarmasi, Variasi rute pemberia , Variasi
aturan pakai, Cara pemberian khusus (contoh: inhalasi, Drip intravena (bukan bolus), dsb.

Dalam PTO, petugas perlu memahami jenis-jenis efek samping obat sebagai berikut.

Efek samping yang dapat diperkirakan:

 Aksi farmakologik yang berlebihan

 Respons karena penghentian obat

 Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek samping yang tidk dapat diperkirakan:

 Reaksi alergi

 Reaksi karena faktor genetik

 Reaksi idiosinkratik

Tujuan:

1. Sebagai acuan dalam memastikan terapi obat yang aman,efektif dan rasional bagi pasien
2. Sebagai acuan penerapan langkah-langkah untuk pemantauan terapi obat

Kebijakan :

1. Permenkes No 75 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan RS


BAB II

RUANG LINGKUP

Efek Samping Obat / ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah respon terhadap suatu obat yang
merugikan dan tidak diinginkan serta terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia
untuk pencegahan, diagnosis, terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologis (BPOM RI,
2012).

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah kegiatan pemantauan dan pelaporan efek samping
obat yang dilakukan oleh tenaga kesehatan secara sukarela (voluntary reporting) dengan
menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai form kuning.
Monitoring dilakukan terhadap seluruh obat yang beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan
di Indonesia. Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya yang dilakukan oleh sejawat tenaga
kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (BPOM RI, 2012).

Tujuan MESO adalah untuk sedini mungkin memperoleh informasi baru mengenai efek samping
obat, tingkat kegawatan, frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang
diperlukan, seperti penarikan obat yang bersangkutan dari peredaran; pembatasan penggunaan obat,
misalnya perubahan golongan obat; pembatasan indikasi; perubahan penandaan; dan tindakan lain
yang dianggap perlu untuk pengamanan atau penyesuaian penggunaan obat (Sirait, 2001).

Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kepmenkes RI dan IAI (2011) bertujuan untuk:

1. Menemukan ESO atau ROTD sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal. dan
frekuensinya jarang.

2. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO atau ROTD yang sudah dikenal dan yang baru saja
ditemukan.
3. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka kejadian dan
hebatnya ESO atau ROTD.

4. Meminimalkan risiko kejadian ESO atau ROTD.

5. Mencegah terulangnya kejadian ESO atau ROTD

Beberapa faktor pemicu efek samping obat antara lain (Mariyono dan Ketut, 2008):

1. Faktor obat: dosis obat, efek sitotoksik dalam dosis terapi, obat dengan indeks terapi sempit,
perubahan formulasi, dan perubahan fisik obat.

2. Faktor penderita/pasien: usia, jenis kelamin, genetik, keadaan umum penderita, penyakit yang
menyertai/yang diderita, hipersensitivitas, polifarmasi/multiple drug therapy.

3. Faktor pemberian: prosedur pemberian obat yang salah dan interaksi obat

Alur Pelaporan MESO

1. Analisa terjadinya efek samping obat pada pasien

Di dalam formulir pelaporan ESO atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma Naranjo, yang
dapat sejawat tenaga kesehatan manfaatkan untuk melakukan analisis kausalitas per individu pasien.

Analisis Naranjo awalnya dikenalkan oleh salah satu rumah sakit di Thailand. Analisis ini terdiri atas
10 pertanyaan, yaitu (KKH, 2010) :

1. Apakah ada laporan konvulsif dari reaksi tersebut ?


2. Apakah kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) muncul pada obat yang dicurigai telah
diberikan ?
3. Apakah kejadian yang tidak diinginkan tadi menghilang ketika obat dihentikan atau diberikan
antagonis spesifik ?
4. Apakah reaksi yang tidak diinginkan muncul kembali ketika obat diberikan kembali ?
5. Apakah ada penyebab alternatif (selain dari obat) dari individu yang menyebabkan reaksi tersebut ?
6. Apakah reaksi muncul kembali ketika diberi placebo ?
7. Apakah obat yang terdeteksi dalam darah (atau cairan lain) diketahui bersifat toksik ?
8. Apakah reaksi bertambah keparahannya ketika dosis ditambahkan atau berkurang keparahannya
ketika dosis dikurangi ?
9. Apakah pasien memiliki reaksi yang sama dengan obat yang sama atau serupa pada apapun paparan
sebelumnya ?
10. Apakah kejadian yang tidak diinginkan telah dikonfirmasi melalui bukti objektif ?

2. Pelaporan MESO dan analisa kausalitas oleh BPOM

Pembuatan dan pengiriman laporan MESO dapat dilakukan dengan dua cara yaitu offline dan online.
Alur dan proses dari kedua cara juga dapat berbeda. Pelaporan dengan online dapat dilakukan
menggunakan apilikasi eMESO. Pengisian laporan MESO menggunakan aplikasi eMESO. Berikut
adalah diagram atau alur proses pelaporan ESO bagi tenaga kesehatan dan industri farmasi.
Bagaimana peran apoteker dalam pelaksanaan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)?

Peran yang dapat dilakukan oleh apoteker terhadap efek samping obat yang tidak diinginkan adalah
(Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kepmenkes RI dan IAI, 2011):

 Mengenali dan memahami ESO dengan benar


 Mengevaluasi terapi jangka panjang
 Intervensi dapat dilakukan dengan stop obat, melakukan konseling sebelum terapi
 waspada terhadap tanda munculnya ESO
 Aktif melaporkan Kejadian Terjadinya Efek Samping Obat ke BPOM

Oleh karena itu apoteker wajib melakukan konseling kepada pasien mengenai efek samping obat
yang dapat timbul sebelum menyerahkan obat. Hal-hal yang perlu diingatkan kepada pasien, yaitu
membaca dosis dan aturan pakai, melihat tanda peringatan, melihat efek samping obat, jangan
sembarangan memberikan obat kepada orang lain, selalu memperhatikan tanggal kadaluarsa dan
kandungan obat (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kepmenkes RI dan IAI, 2011).
BAB III

TATA LAKSANA

Seleksi Pasien

Pemantauan terapi obat (PTO) seharusnya dilaksanakan untuk seluruh pasien. Mengingat
terbatasnya jumlah apoteker dibandingkan dengan jumlah pasien, maka perlu ditentukan
prioritas pasien yang akan dipantau. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan:
Kondisi Pasien.
Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga menerima polifarmasi.

Obat
Jenis Obat

Pengumpulan Data Pasien


Data dasar pasien merupakan komponen penting dalam proses PTO. Data tersebut dapat
diperoleh dari:
 rekam medik,
 profil pengobatan pasien/pencatatan penggunaan obat,
 wawancara dengan pasien, anggota keluarga, dan tenaga kesehatan lain.

Identifikasi Masalah Terkait Obat


Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya masalah terkait obat.
Masalah terkait obat menurut Hepler dan Strand dapat dikategorikan sebagai berikut 5:

Ada indikasi tetapi tidak di terapi

Pasien yang diagnosisnya telah ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak
diresepkan. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi dengan
obat.

Pemberian obat tanpa indikasi

Pasien mendapatkan obat yang tidak diperlukan.

Pemilihan obat yang tidak tepat.

Pasien mendapatkan obat yang bukan pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan merupakan
pilihan pertama, obat yang tidak cost effective, kontra indika
Dosis terlalu tinggi

Dosis terlalu rendah

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)

Interaksi obat

Pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab

Beberapa penyebab pasien tidak menggunakan obat antara lain: masalah ekonomi, obat tidak
tersedia, ketidakpatuhan pasien, kelalaian petugas.

Apoteker perlu membuat prioritas masalah sesuai dengan kondisi pasien, dan menentukan
masalah tersebut sudah terjadi atau berpotensi akan terjadi. Masalah yang perlu penyelesaian
segera harus diprioritaskan.

Rekomendasi Terapi
Tujuan utama pemberian terapi obat adalah peningkatan kualitas hidup pasien, yang dapat dijabarkan
sebagai berikut :

Menyembuhkan penyakit (contoh: infeksi)

Menghilangkan atau mengurangi gejala klinis pasien (contoh: nyeri)

Menghambat progresivitas penyakit (contoh: gangguan fungsi ginjal)

Mencegah kondisi yang tidak diinginkan (contoh: stroke).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penetapan tujuan terapi antara lain: derajat
keparahan penyakit dan sifat penyakit (akut atau kronis).

Pilihan terapi dari berbagai alternatif yang ada ditetapkan berdasarkan: efikasi, keamanan,
biaya, regimen yang mudah dipatuhi.

Rencana Pemantauan

Setelah ditetapkan pilihan terapi maka selanjutnya perlu dilakukan perencanaan


pemantauan, dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek
yang tidak dikehendaki. Apoteker dalam membuat rencana pemantauan perlu menetapkan
langkah-langkah:
Menetapkan parameter farmakoterapi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih
parameter pemantauan, antara lain:
Karakteristik obat (contoh: sifat nefrotoksik dari allopurinol, aminoglikosida). Obat
dengan indeks terapi sempit yang harus diukur kadarnya dalam darah (contoh: digoksin)
Efikasi terapi dan efek merugikan dari regimen
Perubahan fisiologik pasien (contoh: penurunan fungsi ginjal pada pasien geriatri
mencapai 40%)
Efisiensi pemeriksaan laboratorium
Kepraktisan pemantauan (contoh: pemeriksaan kadar kalium dalam darah untuk
penggunaan furosemide dan digoxin secara bersamaan)
Ketersediaan (pilih parameter pemeriksaan yang tersedia),
Biaya pemantauan.

Menetapkan sasaran terapi (end point)


Penetapan sasaran akhir didasarkan pada nilai/gambaran normal atau yang
disesuaikan dengan pedoman terapi. Apabila menentukan sasaran terapi yang diinginkan,
apoteker harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Faktor khusus pasien seperti umur dan penyakit yang bersamaan diderita pasien (contoh:
perbedaan kadar teofilin pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis/PPOK dan asma)
Karakteristik obat
Bentuk sediaan, rute pemberian, dan cara pemberian akan mempengaruhi sasaran terapi
yang diinginkan (contoh: perbedaan penurunan kadar gula darah pada pemberian insulin
dan anti diabetes oral).
Efikasi dan toksisitas
Menetapkan frekuensi pemantauan
Frekuensi pemantauan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan risiko yang
berkaitan dengan terapi obat. Sebagai contoh pasien yang menerima obat kanker harus
dipantau lebih sering dan berkala dibanding pasien yang menerima aspirin. Pasien
dengan kondisi relatif stabil tidak memerlukan pemantauan yang sering.

Berbagai faktor yang mempengaruhi frekuensi pemantauan antara lain:


Kebutuhan khusus dari pasien
Contoh: penggunaan obat nefrotoksik pada pasien gangguan fungsi ginjal.
Karakteristik obat pasien
Contoh: pasien yang menerima warfarin
Biaya dan kepraktisan pemantauan
Permintaan tenaga kesehatan lain

Data pasien yang lengkap mutlak dibutuhkan dalam PTO, tetapi pada kenyataannya data
penting terukur sering tidak ditemukan sehingga PTO tidak dapat dilakukan dengan baik.
Hal tersebut menyebabkan penggunaan data subyektif sebagai dasar PTO. Jika parameter
pemantauan tidak dapat digantikan dengan data subyektif maka harus diupayakan adanya
data tambahan.

Proses selanjutnya adalah menilai keberhasilan atau kegagalan mencapai sasaran terapi.
Keberhasilan dicapai ketika hasil pengukuran parameter klinis sesuai dengan sasaran
terapi yang telah ditetapkan. Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka dapat dikatakan
mengalami kegagalan mencapai sasaran terapi. Penyebab kegagalan tersebut antara lain:
kegagalan menerima terapi, perubahan
fisiologis/kondisi pasien, perubahan terapi pasien, dan gagal terapi.

Salah satu metode sistematis yang dapat digunakan dalam PTO adalah Subjective
Objective Assessment Planning (SOAP).

S : Subjective
Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Contoh : pusing, mual, nyeri,
sesak nafas.

: Objective
Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan. Tanda-tanda
obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, kecepatan
pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.

A : Assessment
Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis untuk menilai keberhasilan
terapi, meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan kemungkinan adanya masalah
baru terkait obat.

P : Plans
Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana yang dapat
dilakukan untuk menyelesaikan masalah.
Rekomendasi yang dapat diberikan:
Memberikan alternatif terapi, menghentikan pemberian obat, memodifikasi dosis atau
interval pemberian, merubah rute pemberian.
Mengedukasi pasien.
Pemeriksaan laboratorium.
BAB IV

DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai