Anda di halaman 1dari 16

STUDI KASUS

PRAKTEK RUMAH SAKIT

Dosen Pengampu :
Dr. apt. Jason Merari P, S.Si.,MM.,M.Si

Disusun Oleh :
Kelompok 3 (C4)
1. Wahyu Rintya Dwi Tanti (2120414682)
2. Waskito Adhi (2120414683)

PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN 41


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2021

BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat (Menkes RI, 2014).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian mengharuskan adanya perluasan dari paradigma
lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian
(Pharmaceutical Care) (Menkes RI, 2014).
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit (Menkes RI, 2014).
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit bertujuan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Standar pelayanan kefarmasian
adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan peayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit
meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan
pelayanan farmasi klinik (Menkes RI, 2014).
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan resiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan Farmasi Klinik yang
dilakukan meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsilisasi obat, pelayan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat
(PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO), dispensing
sediaan steril dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD) (Menkes RI, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Monitoring efek samping obat


Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran dilakukan
untukmengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan obat pada kondisi
kehidupannyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak bukti menunjukkan bahwa
sebenarnyaefek samping obat (ESO) dapat dicegah, dengan pengetahuan yang bertambah,
yangdiperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau
yangsekarang lebih dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini
menjadisalah satu komponen penting dalam sistem regulasi obat, praktik klinik dan
kesehatanmasyarakat secara umum.
Efek samping obat adalah respon terhadap suatu obat yang merugikan dan
tidakdiinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia
untukpencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik.
MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela
(voluntaryreporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang
dikenalsebagai Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh
obatberedar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Aktifitas monitoring
ESOdan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai healthcare
providermerupakansuatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
terjadinya ESO yang seriusdan jarang terjadi (rare).
2. Defininsi efek samping obat menurut WHO
Tiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan, yang terjadi
padadosis yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan
terapi.Melakukan monitoring efek samping obat. Yaitu memantau baik secara langsung
maupuntidak langsung terjadinya efek samping obat, meminimalkan efek samping yang
timbul danmenghentikan atau penggantian obat jika efek samping memperparah kondisi
pasien. Pasienjuga berhak melaporkan terjadinya efek samping obat kepada farmasis di
apotek atau rumahsakit agar dilakukan upaya-upaya pencegahan, mengurangi atau
menghilangkan efek sampingtersebut. Pemantauan dimaksudkan untuk memastikan terapi
obat yang tepat.
Monitoring efek samping obatAspek yang harus dipertimbangkan dalam pemakaian
obat adalah:
1. Efektivitas
2. Keamanan
3. Mutu
4. Rasional
5. Harga Aspek
Keamanan tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya efek samping obat (E.S.O)
3. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih
bersifat sukarela (voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO
berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning. Monitoring tersebut dilakukan
terhadap seluruh obat beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Aktivitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai
healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare).

Suatu format formulir monitoring efek samping obat (MESO) yang berwarna kuning
digunakan sebagai formulir resmi untuk pelaporan efek samping obat.

1) Siapa yang melaporkan efek samping yang terjadi?


Tenaga kesehatan, dapat meliputi: Dokter, Dokter spesialis, Dokter gigi, Apoteker,
Bidan, Perawat, dan Tenaga kesehatan lain.
2) Apa yang perlu dilaporkan?
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat perlu dilaporkan, baik efek
samping yang belum diketahui hubungan kausalnya (KTD) maupun yang sudah pasti
merupakan suatu ESO (ADR).
3) Bagaimana cara melapor dan informasi apa saja yang harus dilaporkan?
Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam formulir
pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan pelaporan KTD atau
ESO, sejawat tenaga kesehatan dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga
pasien. Untuk melengkapi informasi lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat
diperoleh dari catatan medis pasien. Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu
KTD atau ESO dengan menggunakan formulir kuning.
4) Karakteristik laporan efek samping obat yang baik
Karakteristik suatu pelaporan spontan (Spontaneous reporting) yang baik, meliputi
beberapa elemen penting berikut:
a. Deskripsi efek samping yang terjadi atau dialami oleh pasien, termasuk waktu
mula gejala efek samping (time to onset of signs/symptoms).
b. Informasi detail produk terapetik atau obat yang dicurigai, antara lain: dosis,
tanggal, frekuensi dan lama pemberian, lot number, termasuk juga obat bebas,
suplemen makanan dan pengobatan lain yang sebelumnya telah dihentikan yang
digunakan dalam waktu yang berdekatan dengan awal mula kejadian efek
samping.
c. Karakteristik pasien, termasuk informasi demografik (seperti usia, suku dan jenis
kelamin), diagnosa awal sebelum menggunakan obat yang dicurigai, penggunaan
obat lainnya pada waktu yang bersamaan, kondisi ko-morbiditas, riwayat
penyakit keluarga yang relevan dan adanya faktor risiko lainnya.
d. Diagnosa efek samping, termasuk juga metode yang digunakan untuk
membuat/menegakkan diagnosis.
e. Informasi pelapor meliputi nama, alamat dan nomor telepon.
f. Terapi atau tindakan medis yang diberikan kepada pasien untuk menangani efek
samping tersebut dan kesudahan efek samping (sembuh, sembuh dengan gejala
sisa, perawatan rumah sakit atau meninggal).
g. Data pemeriksaan atau uji laboratorium yang relevan.
h. Informasi dechallenge atau rechallenge (jika ada).
i. Informasi lain yang relevan.

5) Kapan melaporkan?
Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat melaporkan kejadian efek samping
obat yang terjadi segera setelah muncul kasus diduga ESO atau segera setelah adanya
kasus ESO yang teridentifikasi dari laporan keluhan pasien yang sedang dirawatnya.

6) Analisis Kausalitas
Analisis kausalitas merupakan proses evaluasi yang dilakukan untuk menentukan atau
menegakkan hubungan kausal antara kejadian efek samping yang terjadi atau teramati
dengan penggunaan obat oleh pasien. Badan POM akan melakukan analisis kausalitas
laporan KTD/ESO. Sejawat tenaga kesehatan dapat juga melakukan analisis kausalitas
perindividual pasien, namun bukan merupakan suatu keharusan untuk dilakukan.
Namun demikian, analisis kausalitas ini bermanfaat bagi sejawat tenaga kesehatan
dalam melakukan evaluasi secara individual pasien untuk dapat memberikan
perawatan yang terbaik bagi pasien. Tersedia beberapa algoritma atau tool untuk
melakukan analisis kausalitas terkait KTD/ESO. Pendekatan yang dilakukan pada
umumnya adalah kualitatif sebagaimana Kategori Kausalitas yang dikembangkan oleh
WHO, dan juga gabungan kualitatif dan kuantitatif seperti Algoritma Naranjo. Di
dalam formulir pelaporan ESO atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma
Naranjo, yang dapat sejawat tenaga kesehatan manfaatkan untuk melakukan analisis
kausalitas per individu pasien.

4. Anemia
1. Definisi
Anemia adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan penurunan
hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (SDM), menghasilkan penurunan kapasitas
pembawa oksigen dalam darah. Anemia adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh
penurunan hemoglobin (Hb) atau volume sel darah merah (RBC), yang menghasilkan
penurunan kapasitas pembawa oksigen darah. Anemia didefinisikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebagai Hb kurang dari 13 g / dL (kurang dari 130 g / L;
kurang dari 8,07 mmol / L) pada pria dan kurang dari 12 g / dL (kurang dari 120 g / L;
kurang dari 7,45 mmol / L) pada wanita.

2. Etiologi Anemia
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain gangguan atau rusaknya
mekanisme produksi sel darah merah yaitu dengan Menurunnya produksi sel-sel darah
merah karena kegagalan dari sumsum tulang, Meningkatnya penghancuran sel-sel darah
merah, Pendarahan, dan Rendahnya kadar eritropoietin, misalnya pada gagal ginjal yang
parah (penyakit ginjal kronis).
a. Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi
tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta
gangguan pada sumsum tulang.
b. Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah
merah dalam sirkulasi.
c. Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
3. Klasifikasi anemia
Berdasarkan etiologi, anemia diklasifikasikan menjadi:
a. Anemia Hemolitik
Merupakan kondisi dimana hancurnya sel darah merah (eritrosit) lebih cepat
dibandingkan pembentukannya. Terjadinya anemia hemolitik dapat dipicu oleh
faktor dari dalam sel darah merah (intrinsik) maupun faktor dari luar sel darah
merah (ekstrinsik). Anemia hemolitik ekstrinsik merupakan anemia hemolitik yang
disebabkan oleh respons sistem imun yang merangsang limpa untuk
menghancurkan sel darah merah. Sedangkan anemia hemolitik intrinsik merupakan
anemia hemolitik yang disebabkan oleh sel darah merah yang tidak normal. Kondisi
tersebut menyebabkan sel darah merah tidak memiliki masa hidup seperti sel
normal. Anemia hemolitik intrinsik umumnya diturunkan secara genetik seperti
anemia sel sabit atau thalassemia.
b. Anemia Defisiensi Besi
Terlalu sedikit sel darah merah sehat karena kadar zat besi dalam tubuh
terlalu sedikit dalam tubuh. Tanpa zat besi yang cukup, sel-sel darah merah tidak
mampu membawa cukup oksigen ke jaringan tubuh. Anemia defisiensi besi (IDA)
dapat disebabkan oleh asupan makanan yang tidak memadai, penyerapan
gastrointestinal (GI) yang tidak memadai, peningkatan kebutuhan zat besi
(misalnya kehamilan), kehilangan darah, dan penyakit kronis.
c. Anemia Defisiensi B12
Disebabkan oleh asupan makanan yang tidak memadai, penurunan
penyerapan, dan penggunaan yang tidak memadai. Defisiensi faktor intrinsik
menyebabkan penurunan absorpsi vitamin B12 (yaitu anemia pernisiosa). Anemia
defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh hiperutilisasi akibat kehamilan, anemia
hemolitik, mielofibrosis, keganasan, gangguan inflamasi kronis, dialisis jangka
panjang, atau lonjakan pertumbuhan. Obat-obatan dapat menyebabkan anemia
dengan mengurangi absorpsi folat (misalnya fenitoin) atau melalui antagonisme folat
(misalnya metotreksat).
d. Anemia inflamasi (AI)
Adalah istilah baru yang digunakan untuk menggambarkan anemia penyakit
kronis dan anemia penyakit kritis. AI adalah anemia hipoproliferatif yang secara
tradisional dikaitkan dengan proses infeksi atau inflamasi, cedera jaringan, dan
kondisi yang terkait dengan pelepasan sitokin proinflamasi.

4. Diagnosis

5. Pengobatan Anemia
1) Anemia Defisiensi Besi
● Terapi besi oral dengan garam besi besi terlarut, yang tidak dilapisi enterik
dan tidak pelepasan lambat atau berkelanjutan, direkomendasikan dengan
dosis harian 200 mg unsur besi dalam dua atau tiga dosis terbagi
● Zat besi sulit diserap dari sayuran, produk biji-bijian, produk susu, dan telur,
dan paling baik diserap dari daging, ikan, dan unggas. Berikan zat besi
setidaknya 1 jam sebelum makan karena makanan mengganggu penyerapan,
tetapi pemberian dengan makanan mungkin diperlukan untuk meningkatkan
tolerabilitas.
● Pertimbangkan zat besi parenteral untuk pasien dengan malabsorpsi zat besi,
intoleransi terapi zat besi oral, atau ketidakpatuhan. Pemberian parenteral,
bagaimanapun, tidak mempercepat onset respon hematologi. Dosis
penggantian tergantung pada etiologi anemia dan konsentrasi Hb
● Dekstran besi, natrium besi glukonat, ferumoksitol, dan sukrosa besi tersedia
sebagai sediaan besi parenteral dengan kemanjuran yang sama tetapi dengan
ukuran molekul, farmakokinetik, bioavailabilitas, dan efek samping yang
berbeda
2) Anemia Defisiensi Vitamin B12
Suplementasi vitamin B12 oral tampaknya sama efektifnya dengan
parenteral, bahkan pada pasien dengan anemia pernisiosa, karena jalur penyerapan
vitamin B12 alternatif tidak tergantung pada faktor intrinsik. Mulai cobalamin oral
dengan dosis 1 sampai 2 mg setiap hari selama 1 sampai 2 minggu, diikuti dengan
1 mg setiap hari.
Terapi parenteral bekerja lebih cepat daripada terapi oral dan dianjurkan jika
ada gejala neurologis. Rejimen yang populer adalah IM cyanocobalamin, 1000
mcg setiap hari selama 1 minggu, kemudian mingguan selama 1 bulan, dan
kemudian setiap bulan. Mulailah pemberian oral setiap hari setelah gejala hilang.
3) Anemia Defisiensi Folat
Folat oral, 1 mg setiap hari selama 4 bulan, biasanya cukup untuk pengobatan
anemia defisiensi asam folat, kecuali etiologinya tidak dapat diperbaiki. Jika ada
malabsorpsi, dosis 1 sampai 5 mg setiap hari mungkin diperlukan.
4) Anemia Inflamasi
Pengobatan anemia inflamasi (AI) kurang spesifik dibandingkan dengan
anemia lainnya dan harus fokus pada koreksi penyebab yang dapat diperbaiki.
Cadangan terapi zat besi untuk IDA yang sudah mapan; zat besi tidak efektif bila
ada peradangan. Transfusi sel darah merah efektif tetapi harus dibatasi pada
episode transportasi oksigen yang tidak adekuat dan Hb 8 sampai 10 g / dL (80–
100 g / L; 4,97–6,21 mmol / L).
Agen perangsang eritropoiesis (ESA) dapat dipertimbangkan, tetapi respons
dapat terganggu pada pasien dengan AI (penggunaan di luar label). Dosis awal
untuk epoetin alfa adalah 50 sampai 100 unit / kg tiga kali seminggu dan
darbepoetin alfa 0,45 mcg / kg sekali seminggu. Penggunaan ESA dapat
menyebabkan kekurangan zat besi. Banyak praktisi secara rutin melengkapi ESA
terapi dengan terapi besi oral.
Potensi toksisitas dari pemberian ESA eksogen meliputi peningkatan tekanan
darah, mual, sakit kepala, demam, nyeri tulang, dan kelelahan. Hb harus dipantau
selama terapi ESA. Peningkatan Hb lebih besar dari 12 g / dL (> 120 g / L;> 7,45
mmol / L) dengan pengobatan atau kenaikan lebih besar dari 1 g / dL (> 10 g /
L;> 0,62 mmol / L) setiap 2 minggu telah dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas dan kejadian kardiovaskular.
Pada pasien dengan anemia penyakit kritis, zat besi parenteral sering
digunakan tetapi secara teoritis dikaitkan dengan risiko infeksi. Penggunaan rutin
dari ESA atau transfusi sel darah merah tidak didukung oleh studi klinis.
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

KASUS 3
Identitas Pasien
Nama Pasien : Ibu TS (BB 65 kg, TB 156 cm)
Ruang : Cempaka A2
Umur : 35 tahun
Tanggal MRS : 18 Mei 2019
Tanggal KRS :-
Diagnosis : Anemia, Hematochezia, diare
Keluhan Utama : Badan terasa lemas dan nyeri ulu hati kurang lebih selama 2 minggu,
BAB berwarna hitam kurang lebih 1 minggu, mual dan muntah selama 2 hari setelah minum
obat herbal Montalin.
Keluhan Tambahan : -
Riwayat Penyakit Dahulu
Artritis gout
Riwayat Pengobatan
Asam mefenamat, Amoxicillin sering diminum ketika serangan gout dan Allopurinol
hanya kadang-kadang.
Riwayat Keluarga/Sosial :
Bapak : Asma.
Alergi Obat :
Ciprofloxacin (baru diketahui selama dirawat tgl 24 Mei 2019).
Kondis 19/5 20/5 21/5 22/5 23/5 24/5 25/5 26/5 29/5 30/5 01/6 02/6 03/6
i klinik
Mual, + + - - - - - - - - - - -
muntah
BAB √ √ √ - Normal N N N N N N N N
hitam
Nyeri + + - - - - - - - - - - -
ulu hati
Kondisi Lemah Sedan Sedang Bai Baik Bai Bai Bai Bai Sedan Sedang Sedang Sedang
Umum g k k k k k g

(KU)
Kondisi Klinis
Tanda Vital
Para Nilai Tanggal
- nor 19/ 20/ 21/ 22/ 23/ 24/ 25/ 26/ 29/ 30/ 01/ 02/ 03/
mete mal/ 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 6
r targ
et
130/ 120 130 120 120 140 120 130 130 120 120 110 110 120
TD
80 /80 /70 /80 /80 /70 /80 /80 /80 /80 /80 /70 /70 /60
(mm
mm
Hg)
Hg
36±0 36, 39 38 38, 38, 37 38 39, 38, 39, 37, 36, 37
Suh ,5˚C 6 2 6 3 6 6 4 8
u
0
( C)
Den 60- 88 88 88 88 98 118 98 94 90 82 85 85 88
yut 80/m
nadi nt
(/mn
t)

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Parameter Normal 18/5 22/5 26/5 29/5 02/6
WBC 4,0 - 10,0 x 7,8 11,4 8,6 11,1 18,1
103/mL
RBC 3,5-5,5x103/mL 1,98 3,29 3,38 3,11 3,48
Hb 13,0 - 17,0 g/dL 4,9 8,6 8,5 7,7 9,4
Hct 37-54% 17,7 30,1 29,7 25,4 31,8
MCV 80-100 89,4 91,5 88,1 81,8 91,5
MCH 27-34 24,7 26,1 25,1 24,7 27
MCHC 32-36 27,6 28,5 28,6 30,3 29,5
Platelet 150 - 400 x 581 431 500 581 705
103/mL
PCT 0,1-0,282 0,310 0,412 0,479
Asam Urat <7 mg/dL 12,6 9,9 4,9
Albumin 3,5 – 5 3,3
Cr 0,5-1,5 1,38 1,65
BUN 10-24 16 23,2
Na 135-145 129,5 135,1
K 3,5-5,0 4,38 3,76
Cl 95-105 99,4 104,1
Profil Terapi Pasien
Nama obat Regimen Tanggal
19 20 21 22 23 24 25 26 29 30 01 02 03
Infus RL/NS 2:2 √ √ √ √ √ √
Sohobion 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sangobion 2x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Asam Folat 3x1 √ √ √ √ √ √
Inj Transamin 4x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Domperidone 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Pamol 2x1 √ √ √ √ √
Imodium 2x1 √ √ √
Allopurinol 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Clinimix/NS √ √
Tranfusi PRC 2x50 mg √ √ √ √ √ √ √
Ketesse 2x25 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Kejadian ADR
Tiga hari setelah dirawat di RS pasien mengalami amenorea padahal pasien baru dua hari
menstruasi dan periode menstruasi biasanya 5-6 hari. Dokter menduga gangguan tersebut akibat
dari pendarahan dan stress yang dialami. Apoteker melakukan assessment untuk mengetahui obat
yang menyebabkan amenorea. Dari hasil wawancara, pasien mengaku belum pernah mengalami
amenorea setelah meminum obat.

Tugas:
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah dilaporkan.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.
Penyelesaian
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah
dilaporkan?
Menurut jurnal yang berjudul Disturbance of Menstruation as a side effect of
Nonsteroidal anti Inflammatory Drugs (NSAIDS) pada tahun 1995 di belanda pernah
dilaporkan penggunaan obat NSAID dapat menyebabkan gangguan menstruasi
dengan menggunakan 5 pasien wanita subur yang diambil secara acak. Pada salah
satu pasien penggunaan penggunaan naproxen untuk dismenorea diikuti dengan
gangguan haid. Di empat pasien wanita lainnya penggunaan diklofenak, indometasin
atau naproxen diikuti oleh hipoamenore atau amenore. Prostaglandin memainkan
peran kompleks dalam fisiologi menstruasi. Efek dari NSAID pada metabolisme
siklo-oksigenase dan prostaglandin dapat menjelaskan gangguan yang diamati dari
haid. Pasien wanita usia subur yang menggunakan NSAID baik untuk mengobati
dismenore atau untuk alasan lain harus menyadari kemungkinan interupsi,
penundaan, penurunan atau hilangnya
datang bulan.

2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.

Dari hasil analisis algoritma Naranjo pada kasus diatas diperoleh hasil dengan
skala Naranjo = 3 yang artinya Posible (mungkin adanya efek samping) yang
diakibatkan oleh obat.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
No Kondisi Rekomendasi
1 Anemia  HB pasien = 4,9 Transfusi PRC iv
2 Hematochezia (pendarahan pada saat BAB), Menghentikan penggunaan asam
mengeluarkan tinja hitam kurang lebih satu mefenamat. penggunaan asam
minggu. mefenamat (NSAID) dapat
menimbulkan efek samping
seperti pendarahan pada saluran
cerna.
3 Mual dan muntah pada pasien disebabkan oleh Montalin tidak perlu dikonsumsi
penggunaan montalin. lagi.
4 Gout Penggunaan allopurinol dapat
dihentikan ketika kadar asam
urat pasien sudah kembali
normal.
5 Demam Dapat menggunakan pamol bila
diperlukan.
6 Nyeri ulu hati Penggunaan katesse dapat
dihentikan karena dapat
memperparah kondisi.
7 Gangguan gastrointestinal ditandai dengan nyeri Rekomendasi penggunaan
ulu hati omeprazole 20 mg 2 x sehari.
8 Tidak tepat indikasi Menghentikan penggunaan
sohobion dan sangobion.
9 Infus RL Dilanjutkan karena kondisi
pasien lemas.

4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.

Anda mungkin juga menyukai