Dosen Pengampu :
Dr. apt. Jason Merari P, S.Si.,MM.,M.Si
Disusun Oleh :
Kelompok 3 (C4)
1. Wahyu Rintya Dwi Tanti (2120414682)
2. Waskito Adhi (2120414683)
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat (Menkes RI, 2014).
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan
peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian mengharuskan adanya perluasan dari paradigma
lama yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian
(Pharmaceutical Care) (Menkes RI, 2014).
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit (Menkes RI, 2014).
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit bertujuan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Standar pelayanan kefarmasian
adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan peayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit
meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai dan
pelayanan farmasi klinik (Menkes RI, 2014).
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan resiko
terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan Farmasi Klinik yang
dilakukan meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
rekonsilisasi obat, pelayan informasi obat (PIO), konseling, visite, pemantauan terapi obat
(PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO), dispensing
sediaan steril dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD) (Menkes RI, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih
bersifat sukarela (voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO
berwarna kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning. Monitoring tersebut dilakukan
terhadap seluruh obat beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Aktivitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai
healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare).
Suatu format formulir monitoring efek samping obat (MESO) yang berwarna kuning
digunakan sebagai formulir resmi untuk pelaporan efek samping obat.
5) Kapan melaporkan?
Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat melaporkan kejadian efek samping
obat yang terjadi segera setelah muncul kasus diduga ESO atau segera setelah adanya
kasus ESO yang teridentifikasi dari laporan keluhan pasien yang sedang dirawatnya.
6) Analisis Kausalitas
Analisis kausalitas merupakan proses evaluasi yang dilakukan untuk menentukan atau
menegakkan hubungan kausal antara kejadian efek samping yang terjadi atau teramati
dengan penggunaan obat oleh pasien. Badan POM akan melakukan analisis kausalitas
laporan KTD/ESO. Sejawat tenaga kesehatan dapat juga melakukan analisis kausalitas
perindividual pasien, namun bukan merupakan suatu keharusan untuk dilakukan.
Namun demikian, analisis kausalitas ini bermanfaat bagi sejawat tenaga kesehatan
dalam melakukan evaluasi secara individual pasien untuk dapat memberikan
perawatan yang terbaik bagi pasien. Tersedia beberapa algoritma atau tool untuk
melakukan analisis kausalitas terkait KTD/ESO. Pendekatan yang dilakukan pada
umumnya adalah kualitatif sebagaimana Kategori Kausalitas yang dikembangkan oleh
WHO, dan juga gabungan kualitatif dan kuantitatif seperti Algoritma Naranjo. Di
dalam formulir pelaporan ESO atau formulir kuning, tercantum tabel Algoritma
Naranjo, yang dapat sejawat tenaga kesehatan manfaatkan untuk melakukan analisis
kausalitas per individu pasien.
4. Anemia
1. Definisi
Anemia adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan penurunan
hemoglobin (Hb) atau sel darah merah (SDM), menghasilkan penurunan kapasitas
pembawa oksigen dalam darah. Anemia adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh
penurunan hemoglobin (Hb) atau volume sel darah merah (RBC), yang menghasilkan
penurunan kapasitas pembawa oksigen darah. Anemia didefinisikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebagai Hb kurang dari 13 g / dL (kurang dari 130 g / L;
kurang dari 8,07 mmol / L) pada pria dan kurang dari 12 g / dL (kurang dari 120 g / L;
kurang dari 7,45 mmol / L) pada wanita.
2. Etiologi Anemia
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain gangguan atau rusaknya
mekanisme produksi sel darah merah yaitu dengan Menurunnya produksi sel-sel darah
merah karena kegagalan dari sumsum tulang, Meningkatnya penghancuran sel-sel darah
merah, Pendarahan, dan Rendahnya kadar eritropoietin, misalnya pada gagal ginjal yang
parah (penyakit ginjal kronis).
a. Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi
tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta
gangguan pada sumsum tulang.
b. Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah
merah dalam sirkulasi.
c. Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
3. Klasifikasi anemia
Berdasarkan etiologi, anemia diklasifikasikan menjadi:
a. Anemia Hemolitik
Merupakan kondisi dimana hancurnya sel darah merah (eritrosit) lebih cepat
dibandingkan pembentukannya. Terjadinya anemia hemolitik dapat dipicu oleh
faktor dari dalam sel darah merah (intrinsik) maupun faktor dari luar sel darah
merah (ekstrinsik). Anemia hemolitik ekstrinsik merupakan anemia hemolitik yang
disebabkan oleh respons sistem imun yang merangsang limpa untuk
menghancurkan sel darah merah. Sedangkan anemia hemolitik intrinsik merupakan
anemia hemolitik yang disebabkan oleh sel darah merah yang tidak normal. Kondisi
tersebut menyebabkan sel darah merah tidak memiliki masa hidup seperti sel
normal. Anemia hemolitik intrinsik umumnya diturunkan secara genetik seperti
anemia sel sabit atau thalassemia.
b. Anemia Defisiensi Besi
Terlalu sedikit sel darah merah sehat karena kadar zat besi dalam tubuh
terlalu sedikit dalam tubuh. Tanpa zat besi yang cukup, sel-sel darah merah tidak
mampu membawa cukup oksigen ke jaringan tubuh. Anemia defisiensi besi (IDA)
dapat disebabkan oleh asupan makanan yang tidak memadai, penyerapan
gastrointestinal (GI) yang tidak memadai, peningkatan kebutuhan zat besi
(misalnya kehamilan), kehilangan darah, dan penyakit kronis.
c. Anemia Defisiensi B12
Disebabkan oleh asupan makanan yang tidak memadai, penurunan
penyerapan, dan penggunaan yang tidak memadai. Defisiensi faktor intrinsik
menyebabkan penurunan absorpsi vitamin B12 (yaitu anemia pernisiosa). Anemia
defisiensi asam folat dapat disebabkan oleh hiperutilisasi akibat kehamilan, anemia
hemolitik, mielofibrosis, keganasan, gangguan inflamasi kronis, dialisis jangka
panjang, atau lonjakan pertumbuhan. Obat-obatan dapat menyebabkan anemia
dengan mengurangi absorpsi folat (misalnya fenitoin) atau melalui antagonisme folat
(misalnya metotreksat).
d. Anemia inflamasi (AI)
Adalah istilah baru yang digunakan untuk menggambarkan anemia penyakit
kronis dan anemia penyakit kritis. AI adalah anemia hipoproliferatif yang secara
tradisional dikaitkan dengan proses infeksi atau inflamasi, cedera jaringan, dan
kondisi yang terkait dengan pelepasan sitokin proinflamasi.
4. Diagnosis
5. Pengobatan Anemia
1) Anemia Defisiensi Besi
● Terapi besi oral dengan garam besi besi terlarut, yang tidak dilapisi enterik
dan tidak pelepasan lambat atau berkelanjutan, direkomendasikan dengan
dosis harian 200 mg unsur besi dalam dua atau tiga dosis terbagi
● Zat besi sulit diserap dari sayuran, produk biji-bijian, produk susu, dan telur,
dan paling baik diserap dari daging, ikan, dan unggas. Berikan zat besi
setidaknya 1 jam sebelum makan karena makanan mengganggu penyerapan,
tetapi pemberian dengan makanan mungkin diperlukan untuk meningkatkan
tolerabilitas.
● Pertimbangkan zat besi parenteral untuk pasien dengan malabsorpsi zat besi,
intoleransi terapi zat besi oral, atau ketidakpatuhan. Pemberian parenteral,
bagaimanapun, tidak mempercepat onset respon hematologi. Dosis
penggantian tergantung pada etiologi anemia dan konsentrasi Hb
● Dekstran besi, natrium besi glukonat, ferumoksitol, dan sukrosa besi tersedia
sebagai sediaan besi parenteral dengan kemanjuran yang sama tetapi dengan
ukuran molekul, farmakokinetik, bioavailabilitas, dan efek samping yang
berbeda
2) Anemia Defisiensi Vitamin B12
Suplementasi vitamin B12 oral tampaknya sama efektifnya dengan
parenteral, bahkan pada pasien dengan anemia pernisiosa, karena jalur penyerapan
vitamin B12 alternatif tidak tergantung pada faktor intrinsik. Mulai cobalamin oral
dengan dosis 1 sampai 2 mg setiap hari selama 1 sampai 2 minggu, diikuti dengan
1 mg setiap hari.
Terapi parenteral bekerja lebih cepat daripada terapi oral dan dianjurkan jika
ada gejala neurologis. Rejimen yang populer adalah IM cyanocobalamin, 1000
mcg setiap hari selama 1 minggu, kemudian mingguan selama 1 bulan, dan
kemudian setiap bulan. Mulailah pemberian oral setiap hari setelah gejala hilang.
3) Anemia Defisiensi Folat
Folat oral, 1 mg setiap hari selama 4 bulan, biasanya cukup untuk pengobatan
anemia defisiensi asam folat, kecuali etiologinya tidak dapat diperbaiki. Jika ada
malabsorpsi, dosis 1 sampai 5 mg setiap hari mungkin diperlukan.
4) Anemia Inflamasi
Pengobatan anemia inflamasi (AI) kurang spesifik dibandingkan dengan
anemia lainnya dan harus fokus pada koreksi penyebab yang dapat diperbaiki.
Cadangan terapi zat besi untuk IDA yang sudah mapan; zat besi tidak efektif bila
ada peradangan. Transfusi sel darah merah efektif tetapi harus dibatasi pada
episode transportasi oksigen yang tidak adekuat dan Hb 8 sampai 10 g / dL (80–
100 g / L; 4,97–6,21 mmol / L).
Agen perangsang eritropoiesis (ESA) dapat dipertimbangkan, tetapi respons
dapat terganggu pada pasien dengan AI (penggunaan di luar label). Dosis awal
untuk epoetin alfa adalah 50 sampai 100 unit / kg tiga kali seminggu dan
darbepoetin alfa 0,45 mcg / kg sekali seminggu. Penggunaan ESA dapat
menyebabkan kekurangan zat besi. Banyak praktisi secara rutin melengkapi ESA
terapi dengan terapi besi oral.
Potensi toksisitas dari pemberian ESA eksogen meliputi peningkatan tekanan
darah, mual, sakit kepala, demam, nyeri tulang, dan kelelahan. Hb harus dipantau
selama terapi ESA. Peningkatan Hb lebih besar dari 12 g / dL (> 120 g / L;> 7,45
mmol / L) dengan pengobatan atau kenaikan lebih besar dari 1 g / dL (> 10 g /
L;> 0,62 mmol / L) setiap 2 minggu telah dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas dan kejadian kardiovaskular.
Pada pasien dengan anemia penyakit kritis, zat besi parenteral sering
digunakan tetapi secara teoritis dikaitkan dengan risiko infeksi. Penggunaan rutin
dari ESA atau transfusi sel darah merah tidak didukung oleh studi klinis.
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN
KASUS 3
Identitas Pasien
Nama Pasien : Ibu TS (BB 65 kg, TB 156 cm)
Ruang : Cempaka A2
Umur : 35 tahun
Tanggal MRS : 18 Mei 2019
Tanggal KRS :-
Diagnosis : Anemia, Hematochezia, diare
Keluhan Utama : Badan terasa lemas dan nyeri ulu hati kurang lebih selama 2 minggu,
BAB berwarna hitam kurang lebih 1 minggu, mual dan muntah selama 2 hari setelah minum
obat herbal Montalin.
Keluhan Tambahan : -
Riwayat Penyakit Dahulu
Artritis gout
Riwayat Pengobatan
Asam mefenamat, Amoxicillin sering diminum ketika serangan gout dan Allopurinol
hanya kadang-kadang.
Riwayat Keluarga/Sosial :
Bapak : Asma.
Alergi Obat :
Ciprofloxacin (baru diketahui selama dirawat tgl 24 Mei 2019).
Kondis 19/5 20/5 21/5 22/5 23/5 24/5 25/5 26/5 29/5 30/5 01/6 02/6 03/6
i klinik
Mual, + + - - - - - - - - - - -
muntah
BAB √ √ √ - Normal N N N N N N N N
hitam
Nyeri + + - - - - - - - - - - -
ulu hati
Kondisi Lemah Sedan Sedang Bai Baik Bai Bai Bai Bai Sedan Sedang Sedang Sedang
Umum g k k k k k g
(KU)
Kondisi Klinis
Tanda Vital
Para Nilai Tanggal
- nor 19/ 20/ 21/ 22/ 23/ 24/ 25/ 26/ 29/ 30/ 01/ 02/ 03/
mete mal/ 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 6 6 6
r targ
et
130/ 120 130 120 120 140 120 130 130 120 120 110 110 120
TD
80 /80 /70 /80 /80 /70 /80 /80 /80 /80 /80 /70 /70 /60
(mm
mm
Hg)
Hg
36±0 36, 39 38 38, 38, 37 38 39, 38, 39, 37, 36, 37
Suh ,5˚C 6 2 6 3 6 6 4 8
u
0
( C)
Den 60- 88 88 88 88 98 118 98 94 90 82 85 85 88
yut 80/m
nadi nt
(/mn
t)
Kejadian ADR
Tiga hari setelah dirawat di RS pasien mengalami amenorea padahal pasien baru dua hari
menstruasi dan periode menstruasi biasanya 5-6 hari. Dokter menduga gangguan tersebut akibat
dari pendarahan dan stress yang dialami. Apoteker melakukan assessment untuk mengetahui obat
yang menyebabkan amenorea. Dari hasil wawancara, pasien mengaku belum pernah mengalami
amenorea setelah meminum obat.
Tugas:
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah dilaporkan.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.
Penyelesaian
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah
dilaporkan?
Menurut jurnal yang berjudul Disturbance of Menstruation as a side effect of
Nonsteroidal anti Inflammatory Drugs (NSAIDS) pada tahun 1995 di belanda pernah
dilaporkan penggunaan obat NSAID dapat menyebabkan gangguan menstruasi
dengan menggunakan 5 pasien wanita subur yang diambil secara acak. Pada salah
satu pasien penggunaan penggunaan naproxen untuk dismenorea diikuti dengan
gangguan haid. Di empat pasien wanita lainnya penggunaan diklofenak, indometasin
atau naproxen diikuti oleh hipoamenore atau amenore. Prostaglandin memainkan
peran kompleks dalam fisiologi menstruasi. Efek dari NSAID pada metabolisme
siklo-oksigenase dan prostaglandin dapat menjelaskan gangguan yang diamati dari
haid. Pasien wanita usia subur yang menggunakan NSAID baik untuk mengobati
dismenore atau untuk alasan lain harus menyadari kemungkinan interupsi,
penundaan, penurunan atau hilangnya
datang bulan.
Dari hasil analisis algoritma Naranjo pada kasus diatas diperoleh hasil dengan
skala Naranjo = 3 yang artinya Posible (mungkin adanya efek samping) yang
diakibatkan oleh obat.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
No Kondisi Rekomendasi
1 Anemia HB pasien = 4,9 Transfusi PRC iv
2 Hematochezia (pendarahan pada saat BAB), Menghentikan penggunaan asam
mengeluarkan tinja hitam kurang lebih satu mefenamat. penggunaan asam
minggu. mefenamat (NSAID) dapat
menimbulkan efek samping
seperti pendarahan pada saluran
cerna.
3 Mual dan muntah pada pasien disebabkan oleh Montalin tidak perlu dikonsumsi
penggunaan montalin. lagi.
4 Gout Penggunaan allopurinol dapat
dihentikan ketika kadar asam
urat pasien sudah kembali
normal.
5 Demam Dapat menggunakan pamol bila
diperlukan.
6 Nyeri ulu hati Penggunaan katesse dapat
dihentikan karena dapat
memperparah kondisi.
7 Gangguan gastrointestinal ditandai dengan nyeri Rekomendasi penggunaan
ulu hati omeprazole 20 mg 2 x sehari.
8 Tidak tepat indikasi Menghentikan penggunaan
sohobion dan sangobion.
9 Infus RL Dilanjutkan karena kondisi
pasien lemas.