Oleh Kelompok 7
Dasrianti
Nurnanengsi
Febriyanti
Puji kurniawati rahman
Kristiani
JURUSAN FARMASI
2013
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penyusun Panjatkan kepada, Allah S.W.T Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan pertolonganNyalah sehingga penyusunan makalah dengan judul “Monitoring Eek
samping Obat, Obat High Alert dan Obat ICU” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini di susun mengingat semakin banyaknya kejadian Efek samping Obat
yang terjadi sehingga perluh memonitoring efek samping obat yang terkait dan memberikan
informasi kepada kepada calon tenaga kefarmasian terkait masalah obat-obat high alert dan
obat-oabt ICU.Selain itu makalah ini di susun sebagai bahan referensi khususnya bagi
mahasiswa dalam mengembangkan Ilmu dibidang kefarmasian.
Ucapan Terima Kasih kepada bapak Raimundus chaliks, Ssi., Msc, Apt selaku dosen
pembimbing mata kuliah Farmasi Rumah sakit dan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat dielesaikan tepat pada
waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini tentu banyak sekali kekurang baik dari segi isi
maupun penulisan, jadi besar harapan kami atas kritik dan saran yang bersifat membangun
dari para pembacadan penilai makalah ini, sehingga dapat menjadi suatu masukan untuk
kesempurnaan makalah-makalah berikutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para
pembaca, penilai, maupun mahasiswa(i) farmasi POLTEKKES KEMENKES Makassar.
Penysun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi MESO
B. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat (eso)
C. Yang terlibat dalam melakukan MESO
D. Yang melaporkan MESO
E. Pelaksanaan MESO
F. Cara melaporkan ESO
G. Perluh MESO
H. Tujuan MESO di lakukan
I. Reaksi-reaksi yang seyokyanya dilaporkan dalam monitoring efek samping
obat
J. Obat-obat apa yang perluh MESO
K. Laporan Efek Samping dan Kasus ESO
L. Definisi High Alert medications
M. Obat-obat yang termasuk Obat High alert
N. Obat-obat yang termasuk obat-obat ICU
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia, sebagai
lembaga yang mengemban otoritas regulatori di bidang obat di Indonesia mempunyai
tanggung jawab kepada masyarakat untuk menjamin bahwa semua produk obat yang
beredar (pasca pemasaran) memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu.
Dalam hal ini, Badan POM melakukan langkah pengawalan dan pemantauan baik dari
aspek keamanan, kemanfaatan dan mutu obat yang beredar, mulai dari evaluasi pra
pemasaran hingga pengawasan pasca pemasaran obat yang beredar di wilayah Republik
Indonesia.
Secara khusus, kegiatan pengawasan pasca pemasaran utamanya pemantauan
aspek keamanan obat merupakan upaya Badan POM dalam rangka jaminan keamanan
obat (ensuring drug safety) pasca pemasaran. Kegiatan ini merupakan kegiatan strategis
pengawasan yang harus dilakukan secara berkesinambungan, karena upaya jaminan
keamanan obat pasca pemasaran akan 5 berdampak pada jaminan keamanan pasien
(ensuring patient safety) sebagai pengguna akhir dari suatu obat.
Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran dilakukan
untuk mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan obat pada
kondisi kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak bukti
menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah, dengan
pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek
keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah
Farmakovigilans. Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam
sistem regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum.
Pengawalan atau pemantauan aspek keamanan suatu obat harus secara terus
menerus dilakukan untuk mengevaluasi konsistensi profil keamanannya atau risk-
benefit ratio-nya. Dimana kita harus mempertimbangkan benefit harus lebih besar dari
risk, untuk mendukung jaminan keamanan obat beredar. Pengawalan aspek keamanan
obat senantiasa dilakukan dengan pendekatan risk management di setiap tahap
perjalanan atau siklus obat.
Badan POM tidak dapat melakukan pengawalan aspek keamanan obat ini secara
sendiri, namun perlu juga dukungan partisipasi semua pemeran kunci (key players)
yang terlibat dalam perjalanan atau siklus suatu obat, sejak obat melalui proses
perijinan (pra-pemasaran) hingga peresepan dokter dan penggunaan oleh pasien (pasca
– pemasaran).
Untuk tujuan menggalakkan kembali peran partisipasi aktif semua pemeran
kunci, utamanya sejawat tenaga kesehatan, Badan POM melakukan pemutakhiran
terhadap panduan pemantauan aspek keamanan obat atau ESO di Indonesia. Sejawat
tenaga kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan baik di sektor pemerintah
maupun swasta merupakan mitra kerja Badan POM dalam hal aktifitas pemantauan
aspek keamanan obat pasca – pemasaran. Hingga saat ini sistem pemantauan dan
pelaporan ESO oleh sejawat tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela,
namun demikian dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan juga standar
pelayanan kesehatan dalam rangka patient safety, pemantauan ESO menjadi bagian
yang sangat penting.
B. RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud dengan MESO?
Siapa yang terlibat dalam melakukan MESO?
Siapa yang melaporkan MESO?
Mengapa perluh MESO?
Apa yang dilaoporkan dalam MESO?
Bagaimana cara melaporkan ESO?
Apa tujuan MESO di lakukan?
Obat-obat apa saja yang perluh MESO?
Reaksi-reaksi apa saja yang seyokyanya dilaporkan dalam monitoring
efek samping obat?
Apa yang dimaksud dengan High Alert medications?
Obat-obat apa saja yang termasuk Obat High alert?
Obat-obat apa saja yang termasuk obat-obat ICU?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI MESO
Monitoring Efek Samping Obat, adalah program pemantauan keamanan obat sesudah
beredar (pasca-pemasaran). Program ini dilakukan secara berkesinambungan untuk
mendukung upaya jaminan atas keamanan obat, sejalan pelaksanaan evaluasi aspek
efikasi, MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary
reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang
dikenal sebagai Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap
seluruh obat yang beredar dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Ketika suatu obat telah mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan
Makan an (POM) untuk diedarkan, penggunaan obat secara luas oleh masyarakat tidak
dapat dihindari. Untuk itu, tuntutan pengawalan dan pemantauan aspek keamanan suatu
obat pun harus terus-menerus dilakukan. Hal itu lebih dikenal dengan istilah
pemantauan aspek keamanan obat pascapemasaran (post-marketing surveillance).
Dalam hal ini Badan POM melakukan langkah pengawalan dan pemantauan baik
dari aspek keamanan, kemanfaatan, dan mutu obat yang beredar. Kegiatan itu
dilakukan Badan POM dalam upaya menjamin keamanan obat (ensuring drug safety)
pascapemasaran.
Lantas, bagaimana aspek keamanan obat dapat dikawal agar manfaatnya tetap
konsisten sesuai dengan pada saat pertama kali disetujui beredar? Untuk itulah
dibutuhkan partisipasi pengawalan aspek keamanan obat oleh pasien atau masyarakat.
Caranya dengan melaporkan efek samping yang dialaminya kepada dokter yang
meresepkan obat.
Pasien atau masyarakat adalah sumber utama dalam hal pemantauan efek
samping obat karena pasienlah yang mengalami dan merasakannya.Pelaporan itu dapat
mencegah kemungkinan efek samping yang sama terjadi pada orang lain apabila
diresepkan obat yang sama.
Laporan efek samping obat itu merupakan langkah deteksi dini dan pencegahan
adanya permasalahan terkait dengan penggunaan suatu obat. Dengan mengetahui efek
samping atau informasi aspek keamanan suatu obat tersebut membangun rasa percaya
diri dokter dalam meresepkan obat tersebut kepada pasiennya.
Beberapa survei menunjukkan rasa percaya diri dokter dalam meresepkan suatu
obat lebih besar dengan mengetahui informasi efek samping atau aspek keamanan yang
harus diwaspadai sehingga keberhasilan terapi kepada pasien juga meningkat.
Pengkajian profil keamanan obat Terhadap semua laporan efek samping yang
diterima, Badan POM selanjutnya akan mengevaluasi setiap laporan untuk menentukan
hubungan kausalitasnya. Dalam melakukan evaluasi aspek keamanan, Badan POM
melakukan penilaian tentang kemanfaatan dan risiko (riskbenefit assessment).
Perimbangan yang diharapkan antara kemanfaatan dan risiko adalah kemanfaatan
melebihi risiko.Laporan efek samping yang disampaikan tenaga kesehatan kepada
Badan POM merupakan masukan penting untuk melakukan identifi kasi kemungkinan
bergesernya perimbangan antara kemanfaatan dan risiko.
Bila profil keamanan suatu obat dengan pergeseran perimbangan dengan risiko
menjadi lebih besar daripada kemanfaatan, Badan POM akan mengkaji profil keamanan
obat tersebut. Pengkajian harus dilakukan untuk penetapan langkah tindak lanjut
regulatori yang tepat. Dalam pengkajian komprehensif tersebut, Badan POM menunjuk
tim ahli sesuai dengan spesifi kasi keahlian yang dibutuhkan. Selanjutnya mereka akan
memberikan rekomendasinya.
Rekomendasi yang dilaku kan harus berpihak pada kepentingan keamanan pasien
secara khusus, dan kesehatan masyarakat secara umum. Rekomendasi tindak lanjut
regulatori yang dihasilkan dari proses pengkajian dan pembahasan aspek keamanan
suatu obat dapat berupa pembatasan indikasi, perubahan dosis pemberian dan posologi,
perubahan penandaan (penambahan informasi aspek keamanan), pembekuan sementara
izin edar, pembatalan izin edar, dan penarikan dari peredaran. Langkah berikutnya,
tindak lanjut regulatori ini harus dapat diinformasikan secara luas utamanya kepada
tenaga kesehatan sebagai penyedia pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
- Umur : Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien. Untuk pasien bayi di
bawah 1 (satu) tahun, diisi angka dari minggu
(MGG) atau bulan (BL) sesuai umur bayi, dengan diikuti
penulisan huruf MGG atau BL, misal 7 BL.
- Bentuk/ Diisi informasi tentang diagnosa ESO yang dikeluhkan atau dialami pasien
manifestasi setelah menggunakan obat yang
ESO dicurigai. Bentuk/manifestasi ESO dapat dinyatakan dengan istilah diagnosa
ESO secara ilmiah atau deskripsi secara harfiah, misal bintik kemerahan di
sekujur tubuh, bengkak pada kelopak mata, dan lain lain.
- Saat/tanggal Diisi tanggal awal terjadinya ESO, dan juga jarak interval waktu antara
mula terjadi pertama kali obat diberikan sampai
terjadinya ESO.
Kesudahan Diisi informasi kesudahan /outcome dari ESO yang dialami oleh pasien,
ESO pada saat laporan ini dibuat. Terdapat pilihan
yang tercantum dalam formulir kuning, agar diberikan tanda (X) sesuai
dengan informasi yang diperoleh.
Kesudahan penyakit utama dapat berupa:
sembuh, meninggal, sembuh dengan gejala sisa, belum sembuh, atau tidak
tahu
Riwayat ESO Diisi informasi tentang riwayat atau pengalaman ESO yang pernah terjadi
yang pada pasien di masa lalu, tidak terbatas terkait dengan obat yang saat ini
Pernah dicurigai
dialami menimbulkan KTD/ESO yang dikeluhkan, namun
juga obat lainnya.
d. Obat
- Nama Obat : Ditulis semua nama obat yang digunakan oleh pasien, baik yang diberikan
dengan resep maupun yang digunakanatas inisiatif sendiri, termasuk
suplemen,
obat tradisional yang digunakan dalam waktu yang bersamaan. Nama obat
dapat ditulis dengan nama generik atau nama dagang. Apabila ditulis nama
generik, apabila diketahui nama pabrik atau industri farmasi dapat
ditambahkan. Apabila ditulis nama dagang, tidak perlu ditulis nama pabrik
atau industri farmasi.
- Bentuk Diutlis bentuk sediaan dari obat yang digunakan pasien. Contoh: tablet,
Sediaan kapsul, sirup, suspensi, injeksi,
dan lain-lain.
Riwayat ESO Diisi informasi tentang riwayat atau pengalaman ESO yang pernah
yang terjadi pada pasien di masa lalu, tidak terbatas terkait dengan obat
Pernah yang saat ini dicurigai
dialami menimbulkan KTD/ESO yang dikeluhkan, namun
juga obat lainnya.
d. Obat
- Nama Obat : Ditulis semua nama obat yang digunakan oleh pasien, baik yang diberikan
dengan resep maupun yang digunakanatas inisiatif sendiri, termasuk
suplemen,
obat tradisional yang digunakan dalam waktu yang bersamaan. Nama obat
dapat ditulis dengan nama generik atau nama dagang. Apabila ditulis nama
generik, apabila diketahui nama pabrik atau industri farmasi dapat
ditambahkan. Apabila ditulis nama dagang, tidak perlu ditulis nama pabrik
atau industri farmasi.
- Bentuk Diutlis bentuk sediaan dari obat yang digunakan pasien. Contoh: tablet,
Sediaan kapsul, sirup, suspensi, injeksi,
dan lain-lain.
- Beri tanda Sejawat Tenaga Kesehatan dapat membubuhkan tanda (X) pada kolom obat
(X) yang dicurigai menimbulkan ESO yang dilaporkan, sesuai informasi produk
untuk obat atau pengetahuan dan pengalaman sejawat tenaga kesehatan terkait hal
yang dicurigai tersebut
Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat obat. Terutama efek samping
yang selama ini tidak pernah / belum pernah dihubungkan dengan obat yang
bersangkutan .
Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat.
Setiap reaksi efek samping serius, antara lain :
Reaksi anafilaktik
Diskrasia darah
Perforasi usus
Aritmia jantung
Seluruh jenis efek fatal
Kelainan congenital
Perdarahan lambung
Efek toksik pada hati
Efek karsinogenik
Kegagalan ginjal
Edema laring
Efek samping berbahaya seperti sindrom Stevens Johnson
Serangan epilepsi dan neuropati
Setiap reaksi ketergantungan Sebagai contoh klasik adalah yang berkaitan
dengan obat golongan opiat; walaupun demikian
berbagai obat lain dapat menimbulkan reaksi ketergantungan fisik dan atau
psikis
J. Obat-Obat Yang perluh di monitoring efek sampingnya:
Obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) merupakan golongan obat yang bekerja
dengan menurunkan jumlah atau menekan sekresi asam lambung. Obat–obat yang
dikategorikan sebagai PPI dan beredar di Indonesia antara lain: (esomeprazole,
omeprazole, lansoprazole dan pantroprazole.)
Informasi aspek keamanan terkini terkait produk obat golongan PPI yang
diperoleh dari US FDA menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan peningkatan risiko
penurunan kadar magnesium (hypomagnesemia) jika digunakan dalam jangka waktu
panjang.
Hypomagnesemia dilaporkan terjadi pada pasien dewasa yang menerima PPI
minimal 3 bulan, tetapi sebagian besar hypomagnesemia terjadi setelah 1 tahun terapi
dengan PPI.
Kadar serum magnesium yang rendah menyebabkan efek samping serius
termasuk muscle spasm (tetany), irregular heartbeat (arrhytmias) dan convulsions
(seizures), namun tidak semua pasien mempunyai gejala-gejala tersebut.
Hypomagnesemia juga menyebabkan sekresi hormon parathyroid terganggu dan dapat
berkembang menjadi hypocalcemia.
Obat golongan Fibrat merupakan golongan obat yang telah digunakan ber tahun-
tahun untuk menurunkan kadar lipid, seperti trigliserida dan kolesterol dalam darah.
Hasil review menyimpulkan bahwa obat golongan fibrat memiliki rasio
manfaat yang lebih besar daripada risiko. Namun, dokter sebaiknya tidak meresepkan
fibrat sebagai pengobatan lini pertama pada pasien baru yang didiagnosis mengalami
gangguan lipid darah, kecuali pada pasien hipertrigliseridemia parah atau pasien yang
tidak dapat menggunakan statin. Jenis obat golongan fibrat yang beredar antara lain:
bezafibrat, ciprofibrat, fenofibrat dan gemfibrozil.
Sementara itu, efek samping terkait penggunaan obat golongan fibrat yang
sering dilaporkan adalah ini antara lain: digestive, gastric or intestinal disorders
(seperti abdominal pain, nausea, vomiting, diare, dan perut kembung); skin reactions
(seperti rash, pruritus, urticaria dan photosensitivity, dan pada beberapa pasien dapat
mengalami cutaneous photosensitivity dengan manifestasi eritema, vesiculation atau
nodulation pada bagian kulit yang terpapar matahari).
Rosiglitazone merupakan antidiabetik oral yang bekerja dengan meningkatkan
sensitivitas insulin. Rosiglitazone mengontrol glikemia dengan mengurangi kadar
insulin dalam sirkulasi darah.
Di Indonesia, terdapat 2 (dua) jenis sediaan obat, yaitu dalam bentuk tunggal
rosiglitazone dan kombinasi rosiglitazone dengan metformin atau rosiglitazone dengan
glimepiride.
Informasi aspek keamanan terbaru rosiglitazone menunjukkan potensi efek
samping pada cardiovascular.
Hal ini didasarkan pada safety data yang diperoleh dari suatu pooledanalysis of
controlled clinical trials (42 randomized controlled clinical studies), menunjukkan
adanya peningkatan secara signifikan risiko efek samping serangan jantung dan
heart-related deaths pada pasien yang menggunakan obat ini.
Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan cephalosporin spektrum luas terhadap
bakteri gram positif dan gram negatif.
Informasi keamanan terkini menyebutkan bahwa terdapat beberapa laporan
kasus efek samping fatal terkait penggunaan bersama ceftriaxone dengan sediaan yang
mengandung calcium. Terdapat laporan kematian pada bayi/neonatal dimana
penggunaan bersama kedua obat tersebut menyebabkan presipitasi pada paru-paru dan
ginjal.
Pada beberapa kasus, dilaporkan bahwa obat yang mengandung calcium
diberikan pada waktu pemberian dan rute administrasi yang berbeda dengan
ceftriaxone. Oleh karena itu, sebaiknya ceftriaxone tidak diberikan kepada
bayi/neonatal yang mengalami hyperbilirubinaemia, khususnya bayi prematur.
Metoclopramide merupakan suatu dopamine receptor antagonist yang disetujui
beredar di Indonesia dengan indikasi diabetik gastroparesis, mual muntah dan
esofagitis refluks.
informasi baru atau terkini terkait aspek keamanan obat metoclopramide yang
dilansir oleh US FDA dan kemudian juga dimuat dalam WHO News Letter. Disebutkan
bahwa
obat ini berisiko menyebabkan tardive dyskinesia pada penggunaan jangka
panjang (kronis) atau dosis tinggi, utamanya pada pasien wanita usia lanjut.
Tardive dyskinesia adalah kondisi medis yang ditandai dengan gejala
gangguan perubahan bentuk (disfiguring disorder) berupa gerakan-gerakan yang diluar
kesadaran (involuntary) pada wajah, lidah atau ekstrimitas, yang berpotensi
irreversible.
Pada umumnya atau sebagian besar laporan kasus efek samping obat yang
diterima oleh US FDA, kasus tardive dyskinesia
terjadi pada pasien yang menggunakan metoclopramide lebih dari tiga bulan.
Clopidogrel merupakan suatu obat golongan thienopyridine, yang secara struktur
kimia mirip dengan ticlopidine, bekerja dengan mekanisme menghambat ADP-
induced platelet aggregation.
Obat ini disetujui beredar di Indonesia dengan indikasi untuk mengurangi
kejadian atherothrombotik. Pada tanggal 29 Mei 2009 yang menyatakan terdapat
beberapa studi yang menunjukkan bahwa clopidogrel bekerja kurang efektif pada
pasien yang dalam waktu bersamaan juga mengkonsumsi obat proton pump inhibitors
(PPI) Hal inilah yang dapat meningkatkan risiko thrombotic events, termasuk acute
myocardial infarction.
Pada praktik klinik kemungkinan kedua obat ini diresepkan secara bersama,
karena Clopidogrel dapat mengakibatkan efek samping nyeri lambung dan ulser
lambung, dan biasanya untuk mengatasi hal tersebut diresepkan juga obat golongan PPI
tersebut.
K. LAPORAN EFEK SAMPING OBAT DI INDONESI
1. Carbamazepin
Seorang wanita, suku Sunda, usia 27 tahun dengan berat badan 50 kg, penderita
epilepsi, diberikan tablet carbamazepin (100 mg) 2 kali sehari 1 tablet. Setelah minum
obat selama 12 hari timbul purpura, ptekhie, ekhimosis , sugulasi pada wajah,leher, dada
dan punggung, bokong dan menyebar ke seluruh tubuh disertai nyeri menelan, nyeri
buang air kecil dan buang air besar yang didiagnosa sebagai Stevens Johnson Syndrom.
Penggunaan obat dihentikan, 10 hari kemudian pasien sembuh, namun pada laporan
tidak disebutkan pengobatan yang diberikan dalam mengatasi efek samping obat
tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi Panitia MESO Nasional, hubungan kausal antara
carbamazepin dengan Stevens Johnson Syndrom pada kasus ini adalah probable.
Beberapa obat yang memiliki rentang terapeutik sempit atau sifat alami toksik akan
memiliki resiko tinggi merusak sel/ kematian sel jika obat diorder, disiapkan, disimpan,
diracik, diadministrasikan maupun dipantau secara tidak tepat. Meskipun tidak terlibat
dalam banyak kasus pengobatan, tetap membutuhkan perhatian khusus karena berpotensi
menjadi serius/kemungkinan berakibat lebih fatal sehingga diperlukan suatu komunikasi
dan keamanan lebih ekstra.
Institute for Safe Medication Practices (ISMP’s) mendefinisikan obat high alert adalah
obat-obat yang berisiko tinggi menyebabkan bahaya bagi pasien ketika mungkin atau
tidak mungkin salah (error) digunakan.
The Institute for Healthcare Improvement (IHI) mendefinisikan obat high alert sebagai
obat yang kemungkinan besar menyebabkan bahaya ketika digunakan. The Joint
Commission menggambarkan obat high alert sebagai obat yang mempunyai risiko paling
tinggi menyebabkan bahaya ketika misuse (penggunasalahan obat).
Standar Akreditasi RS 2012 SKP.3 / JCI IPSG.3 mensyaratkan agar rumah sakit
meningkatkan aspek keselamatan pada obat-obatan yang perlu mendapat perhatian tinggi.
Yang masuk kriteria ini adalah:
obat-obatan yang sering terlibat dalam kesalahan dan atau kejadian sentinel,
obat-obatan yang memiliki risiko lebih tinggi jika terjadi kesalahan,
juga obat-obatan yang nama obat, rupa, dan ucapannya mirip (NORUM).
Obat-obatan yang sering terlibat dalam kesalahan dan atau kejadian sentinel serta sering
diberitakan misalnya adalah pemberian elektrolit konsentrasi tinggi secara tidak disengaja
(contoh: kalium klorida 2 mEq/ml atau lebih, kalium fosfat 3 mmol/ml atau lebih, natrium
klorida lebih dari 0.9%, dan magnesium sulfat 50% atau lebih).
Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau menghilangkan kejadian ini adalah
menyusun proses pengelolaan obat yang perlu mendapat perhatian tinggi; termasuk
memindahkan elektrolit konsentrasi tinggi dari unit perawatan pasien ke farmasi. Rumah
sakit juga perlu menetapkan unit mana saja yang secara klinis memang memerlukan
elektrolit konsentrasi tinggi sesuai bukti dan praktik profesional yang ada, seperti
misalnya unit gawat darurat atau kamar operasi. Serta menetapkan cara pelabelan dan
penyimpanan sedemikian rupa sehingga aksesnya terbatas agar terhindar dari pemakaian
tak sengaja.
Untuk itu, rumah sakit perlu membuat kebijakan dan atau prosedur yang meliputi:
Daftar obat-obatan yang masuk kriteria perlu mendapat perhatian tinggi, dimana
lokasinya, bagaimana pelabelannya, dan bagaimana penyimpanannya.
Elektrolit konsentrasi tinggi tidak boleh ada di unit perawatan pasien kecuali jika
secara klinis diperlukan dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian tidak
sengaja di wilayah yang diizinkan oleh aturan kebijakannya.
Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan di unit perawatan pasien diberi label jelas
dan disimpan sedemikian rupa hingga tidak mudah diakses.
Kebijakan dan atau prosedur tersebut dipantau pelaksanaannya.
Metode Tall man digunakan untuk membedakan huruf yang tampaknya sama dengan obat
yang mirip.
Dengan memberi huruf kapital, maka petugas akan lebih berhati-hati dengan obat yang
lasa. Di US, beberapa studi menunjukkan penggunaan huruf kapital ini terbukti
mengurangi error akibat nama obat yang look-alike.
contohnya: metFORmin dan metRONIdaZOL, ePINEFrin dan efeDRIN. Seminimal
mungkin kesalahan sampai 0%.
Sebenarnya, rumah sakit punya kebijakan untuk menetapkan standar penggunaan metode
tall man ini. Seperti gambar di bawa, punya salah satu rumah sakit di negeri sebrang,
yang memberlakukan standar penulisan untuk obat lasa. Hurufnya ditebalkan, dan diberi
warna yang berbeda. Kemudian, komite keselamatan mediknya akan mereview setahun
sekali dan memberikan feedback.
Strategi Komunikasi untuk mencegah terjadinya kesalahan karena lasa:
Permintaan Tertulis
1. Tambahkan merk dagang dan nama generiknya pada resep, terutama untuk obat yang
'langganan' bermasalah.
2. Tulis secara jelas, pake huruf tegak kapital.
3. Hindari singkatan-singkatan, bikin bingung.
4. Tambahkan bentuk sediaan juga di resep. Misalnya metronidazol 500 mg, sediaan
tablet dan infusnya sama 500 mg.
5. Sertakan kekuatan obat.
6. Sertakan petunjuk penggunaan.
7. Tambahkan juga tujuan/indikasi pengobatan, biar makin jelas
8. Gunakan resep preprinted, ato electronic prescribing, paperless.
Permintaan Lisan:
1. Batasi permintaan verbal, hanya untuk obat tertentu, misalnya hanya dalam keadaan
emergency.
2. Hindari permintaan via telepon, kecuali benar-benar penting, ada form permintaan via
telepon yang akan ditandatangani.
3. Diperlukan teknik mengulangi permintaan, dibacakan lagi permintaannya, jadi ada
kroscek.
Misalnya :
1. Menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin,
kemoterapi, narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis
adrenergik.
2. Kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara
alfabetis, tetapi tempatkan secara terpisah.
4 ANTINEOPLASTIK, SEMUA
PARENTERAL DAN
ORAL
Classes/Categories of Medications
Oral hypogylcemics.
Moderate sedation agents I.V (e.g, midazolam), Oral (e.g, chloral hydrate)
Specific medications
Colchicine injection .
Promethazine I.V.
1- Insulin.
4- Injectable Anticoagulant.
Perlu juga diingatkan bahwa di antara obat high alert ada yang disebut ELEKTROLIT
PEKAT, dimana saat ini ditetapkan ada 2 jenis elektrolit pekat, yaitu: Kalium klorida
7,46% dalam ampul 25 ml dan Natrium klorida 3% dalam kolf 500 ml. Jadi Natrium
bikarbonat bukan elektrolit pekat, tetapi tetap masih merupakan obat high alert.
Kebijakan salah satu rumah sakit, elektrolit pekat hanya boleh disimpan di ruang perawatan
ICU dan OK Jantung. Sebagai solusinya, untuk perawatan selain ICU dan OK Jantung :
1. Untuk KCl pekat, diberikan bentuk premixed yang tersedia 12,5 meq, 25 meq dan 50
meq dalam NaCl 0,9% 500 ml serta tersedia juga premixed KCl 50 meq dalam 100 ml
NaCl 0,9%. Untuk pasien anak tersedia premixed KCl 10 meq dalam 500 ml KaEn 1B
dan 10 meq dalam 500 ml N5.
2. NaCl 3% dalam kolf 500 ml tidak boleh disimpan sebagai stok di ruang rawat selain
ICU. Namun Instalasi Farmasi tetap memberikan untuk pasien yang membutuhkan
koreksi Natrium (segera digunakan, tidak disimpan, jika tidak digunakan SEGERA
kembalikan ke satelit). Jika NaCl 3% digunakan untuk inhalasi, Iinstalasi Farmasi
menyediakan NaCl 3% yang dikemas dengan ukuran 30 ml (HANYA UNTUK
INHALASI).
1. Tidak menyimpan obat lasa secara alfabet. Letakkan di tempat terpisah, misalnya
tempat obat fast moving.
2. Resep harus menyertakan semua elemen yang diperlukan, misalnya nama obat,
kekuatan dosis, bentuk sediaan, frekuensi, dll.
3. Cocokkan indikasi resep dengan kondisi medis pasien sebelum dispensing ato
administering.
4. Membuat strategi pada obat tertentu yang penyebab errornya diketahui, misalnya pada
obat yang kekuatannya beda-beda, atau pada obat yang kemasannya mirip-mirip.
5. Laporkan eror yang aktual dan potensial (berpeluang terjadi error).
6. Diskusikan penyebab terjadinya eror dan strategi ke depannya.
Daftar Pustaka:
WHO Pharmaceuticals Newsletter, No.4, 2007
Data Badan POM