A. Latar Belakang
Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak
ekonomis saat ini telah menjadi masalah dalam pelayanan kesehatan, baik di negara maju
maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan
misalnya di rumah sakit, Puskesmas, praktek pribadi, maupun di masyarakat luas.
Penggunaan obat yang tidak rasional sering dijumpai dalam praktek sehari-hari.
Peresepan obat tanpa indikasi yang jelas, penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang
keliru, serta peresepan obat yang mahal merupakan Sebagian contoh yang tidak rasional
peresepan. Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan dampak
negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya. Dampak negative
disini dapat berupa dampak klinik (misalnya terjadinya efek samping dan resistensi) dan
dampak ekonomi (Kemenkes RI, 2011).
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) di rumah sakit adalah suatu proses jaminan mutu
yang terstruktur, dilaksanakan terus- menerus, dan diotorisasi rumah sakit, ditujukan untuk
memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan tepat, aman, dan efektif. Dalam
lingkungan pelayanan kesehatan, penggunaan obat yang ekonomis harus juga diberikan
prioritas tinggi dan karena itu, menjadi suatu komponen dari definisi ini, definisi EPO diatas
difokuskan pada penggunaan obat secara kualitatif. Evaluasi penggunaan obat (EPO)
merupakan proses jaminan mutu resmi dan terstruktur yang dilaksanakan terus menerus,
yang ditujukan untuk menjamin obat yang tepat, aman dan efektif (Nopitasari et al, 2020).
Salah satu jenis Evaluasi Penggunaan Obat yaitu evaluasi resep polifarmasi.
Polifarmasi adalah penggunaan 5 macam obat atau lebih secara bersamaan dalam setiap
hari. Polifarmasi banyak terjadi pada pasien geriatri dan pasien yang memiliki komplikasi
penyakit. Prevalensi polifarmasi telah dianalisis dalam banyak studi dengan hasil yang
berbeda dalam hal pengaturan klinis. Biasanya polifarmasi ini terkait erat dengan jumlah
penyakit atau multimorbiditi. Prevalensi multimorbiditi pada pasien geriatri berkisar
antara 35 persen menjadi 80 persen, tergantung pada metode pengumpulan data, definisi
dan kondisi kronis multimorbiditi, jumlah dan kondisi kronis yang termasuk dalam
analisis. Sebuah penelitian dari pusat pelayanan kesehatan primer di Riyadh Arab Saudi,
menemukan prevalensi polifarmasi 89,1%. Selain multimorbiditi, penyakit kronik
spesifik seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit paru
obstruksi, gagal ginjal kronik dan diabetes melitus adalah prediktor dari polifarmasi
(Zulkarnaini et al, 2019).
Interaksi obat adalah keadaaan perubahan efek suatu obat karena adanya obat lain,
makanan, minuman, jamu, atau zat kimia di lingkungan . Interaksi ini dapat terjadi dari
penyalahgunaan yang disengaja atau karena kurangnya pengetahuan tentang bahan-bahan
aktif yang terdapat dalam obat . Interaksi obat dianggap penting secara klinis bila
berakibat meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi
terutama bila menyangkut obat dengan indeks terapi yang sempit. Kategori keparahan
interaksi obat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan yaitu minor, moderat, dan
mayor (Reyaan et all, 2021).
Penyakit yang banyak diderita oleh pasien geriatri adalah penyakit cardiovaskular
seperti Atrial fibrilasi (AF), Penyakit Jantung Koroner, Gagal Jantung, hipertensi, serta
penyakit diabetes melitus, penyakit paru-paru, arthritis, patah tulang, serta keganasan. Ini
semua merupakan penyakit kronis yang perlu kontrol yang ketat terhadap penyakitnya,
penyakit geriatri kebanyakan bersifat endogenik, multipel, kronik, bergejala atipik dan
rentan terhadap penyakit atau komplikasi yang lain. Pada pasien geriatri, berbagai
perubahan fisiologik pada organ dan sistem tubuh akan mempengaruhi tanggapan
terhadap obat. Berbagai perubahan tersebut disebut dengan perubahan farmakokinetik,
farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah perilaku obat didalam tubuh
(Zulkarnain, et al, 2019).
Berdasarkan Riset Penelitian Pada Pasien di Klinik Saraf RSUD Dr. Soedarso
Pontianak Terdapat tiga penelitian yang melaporkan bahwa risiko jatuh meningkat seiring
dengan jumlah obat yang diminum. Pada pasien lanjut usia, penggunaan 5–9 obat
meningkatkan risiko jatuh 4 kali lipat (OR 4,0; 95% CI, 1,6–9,9).Penelitian yang dilakukan
oleh Neutel menunjukkan bahwa penggunaan 10 obat membawa risiko yang lebih tinggi (OR
5,5; 95% CI, 1,9 –15,9) dibandingkan dengan penggunaan 4 obat. Masalah kesehatan yang
beragam pada pasien geriatri memerlukan penanganan yang kompleks, salah satunya
dengan pemberian obat yang beragam. Penelitian ini menunjukkan bahwa obat yang
digunakan secara polifarmasi (≥5 obat) memiliki rata-rata biaya obat yang lebih tinggi.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Fauziah yang menyatakan bahwa penggunaan obat
secara polifarmasi pada pasien geriatri meningkatkan risiko negatif seperti peningkatan
biaya perawatan, kejadian efek samping obat, interaksi obat, ketidakpatuhan pengobatan,
penurunan status fungsional, dan sindrom geriatri. Semakin banyak obat yang digunakan
pasien maka semakin besar pula biaya pengobatan yang harus dikeluarkan (Afrilla et al,
2019).
Kebutuhan untuk mengurangi pemberian polifarmasi, studi longitudinal telah
menunjukkan bahwa polifarmasi semakin meningkat selama bertahun-tahun. Pasien
polifarmasi sering tidak mematuhi obat yang diresepkan. Ketidakpatuhan ini
meningkatkan secara linier jumlah obat yang digunakan oleh pasien menjadi 80 %
dengan satu obat dibanding 20% dengan enam atau lebih obat yang diberikan. Strategi
untuk mengurangi pemberian obat dan pemahaman terhadap kelompok penyakit yang
mengharuskan pemberian polifarmasi perlu dimengerti oleh setiap dokter terhadap
pasien-pasien geriatric (Zulkarnain et al, 2019).
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono
Soekarjo, Purwokerto dengan pengambilan sampel yaitu resep pasien rawat jalan di klinik
Penyakit Dalam, Saraf dan Jantung pada bulan Juli 2022. Penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi penggunaan obat di 3 klinik RSMS dengan melihat jumlah resep dengan
polifarmasi. Tujuannya untuk menjamin mutu pengobatan yang diberikan kepada pasien
dan meminimalisir kejadian polifarmasi di RSMS.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Polifarmasi
Peresepan pada pasien rawat jalan dan rawat inap di fasilitas kesehatan sangat
umum dijumpai resep polifarmasi. Polifarmasi dapat diartikan sebagai penggunaan
beberapa obat, namun terdapat definisi yang berbeda dalam literatur. Beberapa definisi ini
yaitu: penggunaan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis; penggunaan beberapa obat
secara bersamaan untuk pengobatan satu atau lebih penyakit yang muncul beriringan;
penggunaan 5-9 obat secara bersamaan; dan penggunaan obat-obatan secara tidak tepat
yang dapat meningkatkan risiko kejadian buruk obat. Penggunaan 0–4 obat dinamakan
non polifarmasi, penggunaan bersamaan 5-9 obat didefinisikan sebagai polifarmasi, dan
penggunaan 10 atau lebih obat disebut polifarmasi eksesif. Obat-obatan topikal, herbal,
vitamin, dan mineral tidak termasuk dalam polifarmasi (Fauziah, dkk. 2020).
Polifarmasi dapat mengakibatkan interaksi antar obat, efek samping obat dan
masalah - masalah yang juga berhubungan dengan obat- obatan (Drug Related Problem)
sehingga dapat mengganggu outcome klinis. Berbagai hal dapat menyebabkan
polifarmasi terkait pasien maupun sarana kesehatan. Kondisi pasien misalnya
penambahan usia, pendidikan, status kesehatan yang buruk, dan komorbiditas. Sarana
kesehatan meliputi jumlah kunjungannya ke tempat pelayanan kesehatan, jaminan
asuransi, dan provider yang multipel (Andriane, dkk. 2016).
Polifarmasi obat dibagi menjadi 3 tipe yaitu, duplikasi, opposition dan alteration.
Duplikasi yaitu ketika dua obat dengan efek yang sama diberikan secara bersamaan, maka
dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping Opposition adalah ketika dua obat
dengan efek yang berlawanan diberikan secara bersamaan dapat berinteraksi yang
mengakibatkan menurunkan efektivitas salah satu obat atau keduanya. Alteration yaitu
terjadinya perubahan dari fungsi atau performa absorbsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi suatu obat akibat obat yang lain (Parulian, Lamtiar, dkk. 2019)
C. Interaksi Obat
Peningkatan kompleksitas obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan saat ini
serta kecenderungan terjadinya praktik polifarmasi, maka kemungkinan terjadinya
interaksi obat semakin besar. Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori
masalah terkait obat (drug- related problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis
pasien, dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan
saat ini dan kecenderungan terjadinya praktik polifarmasi, maka kemungkinan terjadinya
interaksi obat semakin besar (Parulian, Lamtiar, dkk. 2019)
Interaksi obat atau drug-drug interactions (DDIs) dapat diartikan sebagai
menurunnya efektivitas obat atau terjadinya toksisitas obat akibat 3 interaksi yang terjadi
karena penggunaan dua obat atau lebih secara bersamaan. Berdasarkan mekanismenya,
interaksi obat dapat dikelompokkan menjadi interaksi farmasetik, farmakokinetik dan
farmakodinamik (Safitri, A. 2020).
Keparahan interaksi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan yaitu minor,
moderat, dan mayor. Termasuk kategori minor jika interaksi kemungkinan terjadi pada
pasien akibat kelalaian. Kategori moderat apabila interaksi terjadi pada pasien dan
monitoring harus dilakukan. Efek interaksi moderat mungkin dapat menyebabkan
perubahan pada status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan atau pasien
semakin lama tinggal di rumah sakit. Suatu interaksi termasuk dalam keparahan mayor
apabila interaksi tersebut membahayakan pasien termasuk nyawa pasien dan
kerusakan/kecacatan mungkin terjadi (Dasopang, Eva, dkk. 2015).
D. Kerangka Teori
Polifarmasi
Interaksi obat
Minor ( Ringan )
Moderate ( Sedang )
Mayor ( Tinggi )
E. Kerangka Konsep
Polifarmasi
Interaksi obat
Moderat Mayor
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Drug Use evaluation (DUE) merupakan kegiatan berkelanjutan, sistematis, dan evaluasi
berdasarkan kriteria penggunaan obat dengan tujuan memastikan bahwa obat digunakan secara
tepat pada tingkat pasien individu. Polifarmasi merupakan salah satu dari indikator DUE yang
dilakukan untuk menilai jumlah obat yang diresepkan dalam resep sesuai atau tidak. Polifarmasi
didefinisikan sebagai penggunaan beberapa obat (5 atau lebih dari 5 obat) dalam satu peresepan.
Hasil penelitian yang dilakukan di 3 poliklinik (jantung, saraf, dan penyakit dalam) di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo terkait polifarmasi pada resep rawat jalan disajikan dalam Tabel 3.1.
Dari total 76 lembar resep di klinik saraf terdapat 25 (32,89%) lembar resep (Bulan Juli)
yang masuk kedalam kriteria polifarmasi (mengandung 5 atau lebih obat). Sedangkan pada klinik
penyakit dalam terdapat 27 dari 51 lembar resep polifarmasi dengan persentase sebesar 49%.
Pada klinik jantung sebanyak 21 dari 50 total lembar resep yang mengalami polifarmasi dengan
persentase sebesar 42%. Berdasarkan pengamatan tersebut juga didapatkan hasil persentase
lembar resep yang tidak mengalami polifarmasi di tiap klinik (penyakit dalam, saraf dan jantung)
lebih besar dibanding dengan lembar resep yang mengalami polifarmasi, namun hasil persentase
resep polifarmasi sebesar 40,33% cukup besar. Polifarmasi merupakan penggunaan obat dalam
jumlah yang banyak dan tidak sesuai dengan kondisi kesehatan pasien (Herdaningsih et al., 2016).
Polifarmasi dapat berdampak pada potensi terjadinya efek samping obat yang meningkat serta
kepatuhan pasien akan pengobatan akan menurun. Polifarmasi juga akan meningkatkan potensi
terjadinya duplikasi dalam pengobatan pasien.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Haque (2009) menyebutkan bahwa pasien geriatri
umumnya memerlukan beberapa obat untuk mengobati beberapa kondisi yang berhubungan
dengan kesehatan sehingga pada orang tua cenderung terjadi polifarmasi. Komplikasi umum
terjadi pada pasien geriatri, oleh sebab itu pasien geriatri dengan gangguan penyakit kronis,
seperti gangguan jantung, hipertensi, osteoarthritis, diabetes melitus dan sebagainya pada
umumnya akan memperoleh lebih dari satu obat dalam sekali konsumsi. Banyaknya jumlah obat-
obatan yang dikonsumsi memiliki kecenderungan untuk meningkatkan risiko gangguan
kesehatan bagi kelompok pasien geriatri dan juga memiliki potensi menyebabkan terjadinya
polifarmasi (Herdaningsih et al., 2016).
Tabel 3.2 Jumlah Resep Polifarmasi Dan Non Polifarmasi Per Poliklinik
Resep Polifarmasi 27 25 21
Resep Tidak
28 51 29
Polifarmasi
Diagram 3.1 Jumlah Resep Polifarmasi dan Non Polifarmasi di 3 Klinik RSMS
Penggunaan obat yang lebih banyak dalam satu resep, akan menimbulkan resiko
interaksi antar obat yang lebih tinggi atau semakin banyak interaksi antar obat yang dapat terjadi
(Parulian, dkk, 2019). Interaksi obat merupakan salah satu Drug Related Problem yang dapat
berdampak outcome klinis pasien . Persentase jumlah obat yang berpotensi mengalami interaksi
dalam resep polifarmasi disajikan dalam Tabel 3.3.
Tabel 3.4 Jumlah Resep Polifarmasi Yang Mengalami Interaksi Per Poliklinik
Resep Polifarmasi
17 21 21
dengan interaksi
Tabel 3.5 Potensial Interaksi Obat Pada Resep Polifarmasi dan Solusi
Klinik Saraf
Interaksi moderat cukup signifikan secara klinis, biasanya menghindari kombinasi obat
yang diminum secara bersamaan dan menggunakannya hanya dalam keadaan khusus. Hal ini
penting untuk diperhatikan terutama pada pasien anak-anak dan geriatric dimana anak-anak
memiliki keadaan yang khusus baik secara anatomi dan fisiologi, terutama karena masih
berkembangnya organ-organ tubuh yang mengakibatkan perbedaan dalam hal absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eliminasi obat apabila dibandingkan dengan orang dewasa. (Sjahadat &
Muthmainah, 2013). Sedangkan pada pasien geriatri sangat rentan terhadap interaksi obat
dikarenakan perubahan yang berkaitan dengan usia, fisiologis, peningkatan risiko untuk penyakit
terkait dengan penuaan dan peningkatan konsekuensi dalam penggunaan obat (Yeh et al., 2014).
Pada klinik penyakit dalam didapatkan 51 resep pada bulan Juli 2022. Diantaranya
terdapat resep polifarmasi yaitu resep dengan jumlah obat 5 atau lebih, sebanyak 27 resep dan
tidak polifarmasi sebanyak 28 resep. Sehingga persentase resep polifarmasi adalah 49,1% dan
tidak polifarmasi sebanyak 50,9%. Pada resep diketahui memiliki interaksi antar obat satu
dengan obat yang lain. Resep polifarmasi dengan interaksi didapatkan sejumlah 17 resep dengan
persentase 62,96% dan resep polifarmasi tanpa interaksi sejumlah 10 resep dengan persentase
37,02%.
Interaksi mayor yang terdapat di resep klinik penyakit dalam yaitu interaksi antara
metylprednisolon dan levofloxacin yang dapat meningkatkan resiko tendinitas dan perobekan
pada tendon. untuk menghindari terjadinya interaksi ini dapat melakukan penjedaan waktu
minum obat selama 2 jam. Interaksi mayor membutuhkan perhatian khusus karena interaksi ini
dapat menimbulkan konsekuensi klinis hingga menyebabkan efek berbahaya dan memerlukan
intervensi medis. Interaksi mayor dapat dilakukan dengan cara menghindari penggunaan obat
secara bersamaan misal dengan melakukan penjedaan waktu minum obat.
Interaksi dengan tingkat moderate antara sukralfate dengan lansoprazol, yaitu dapat
menurunkan efek dari lansoprazole. Untuk mengatasinya, lansoprazole dapat diberikan
setidaknya 1 jam sebelum atau sesudah pemberian sukralfat. Terdapat interaksi moderate antara
levofloxacin dengan sukralfat yaitu mempengaruhi absorbsi levofloxacin dan menurunkan
efektivitas levofloxacin. Interaksi ini dapat terjadi karena segala produk yang mengandung
magnesium, alumunium, kalsium, besi, dan mineral lain dapat mempengaruhi absorbsi dan
efektivitas levofloxacin, diketahui sukralfat mengandung aluminium, zat besi, dan zinc. Untuk
mengatasinya, levofloxacin dapat diberikan 2 hingga 4 jam sebelum atau 4 hingga 6 jam sesudah
pemberian sukralfat.
Interaksi terjadi antara digoksin dengan omeprazole yaitu dapat meningkatkan aktivitas
digoksin, obat dengan golongan PPI atau proton pump inibitors termasuk omeprazole dapat
meningkatkan efek digoksin dengan cara meningkatkan kadar digoxin dalam darah. Perlu
diperhatikan jika pasien mengalami tanda-tanda atau gejala yang dapat mengindikasikan efek
digoksin yang berlebih seperti mual, muntah, diare, kehilangan nafsu makan, dan gangguan
penglihatan. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat dilakukan monitoring terhadap kadar digoksin.
Selain itu terdapat interaksi moderate antara digoksin dengan propylthiouracil yaitu
meningkatkan efek digoksin. Interaksi moderate antara digoksin dengan sukralfat yaitu
menurunkan efek digoksin. Untuk mengatasi hal tersebut dapat diberikan digoksin setidaknya 2
jam sebelum atau 6 jam setelah diberikan sukralfat.
Selanjutnya, interaksi obat moderate antara diazepam dengan chlordiazepoxide yaitu
salah satu kandungan clixid yang akan meningkatkan efek samping pusing dan sakit kepala.
Interaksi moderate antara diazepam dengan omeprazole akan meningkatkan tekanan darah dan
efek dari diazepam itu sendiri, selain itu dapat meningkatkan efek samping kesulitan bernafas.
Selain itu, chlordiazepoxide dalam clixid dengan omeprazole akan meningkatkan tekanan darah
dan efek dari chlordiazepoxide. Interaksi tersebut dapat diatasi dengan dilakukannya monitoring
lebih sering sehingga efek samping dan efek interaksinya dapat terkontrol dengan baik. Interaksi
moderate antara amitriptilin dengan chlordiazepoxide dalam clixid yaitu meningkatkan efek
samping pusing, sakit kepala dan kesulitan berkonsentrasi. Interaksi moderate antara amitriptilin
dengan clidinium dalam clixid yaitu meningkatkan efek samping sakit kepala. Interaksi moderate
antara amitriptilin dengan gabapentin meningkatkan efek samping sakit kepala dan kesulitan
berkonsentrasi. Interaksi moderate antara chlordiazepoxide dengan gabapentin dapat
meningkatkan efek samping sakit kepala dan pusing. Interaksi tersebut dapat diatasi dengan
dilakukannya monitoring lebih sering sehingga efek samping dan efek interaksinya dapat
terkontrol dengan baik. Interkasi lainnya terjadi antara magnesium hidroksida dalam antasida
dengan tramadol yang akan meningkatkan detak jantung secara tidak teratur dan meningkatkan
efek samping pusing, dan nafas yang pendek. Interaksi tersebut dapat diatasi dengan
dilakukannya monitoring lebih sering sehingga efek samping dan efek interaksinya dapat
terkontrol dengan baik.
Selanjutnya penelitian dilakukan pada resep klinik saraf. Dari 25 resep polifarmasi pada
pasien rawat jalan di klinik saraf, Interaksi obat terjadi pada 21 resep (84%). Interaksi yang
terjadi pada 21 resep termasuk kedalam kategori interaksi moderate (sedang). Pada resep
polifarmasi di klinik saraf, obat yang banyak berinteraksi yaitu amlodipin, diazepam,
metilprednisolon, meloxicam, natrium diklofenak, clixid, lansoprazol, aspirin, klopidogrel,
divalproex sodium, sukralfat, antasida, kalsium karbonat dan gabapentin. Pada resep rawat jalan
di klinik saraf, interaksi antara satu obat dengan obat lain lebih banyak berpengaruh pada
penurunan efektivitas dari satu obat, peningkatan resiko efek samping obat serta resiko terjadinya
toksisitas salah satu obat.
Untuk penurunan efek obat salah satunya terjadi pada interaksi antara antihipertensi
seperti amlodipin, candesartan dan valsartan dengan NSAID seperti aspirin atau meloxicam.
Mekanisme yang terjadi pada amlodipin yaitu beberapa inhibitor enzim siklooksigenase dapat
melemahkan efek antihipertensi dari penghambat kanal kalsium seperti amlodipin dengan
mempengaruhi tonus vascular, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah pada pasien.
Sedangkan, pada valsartan, aspirin menurunkan efek hipertensi dari ARB dengan cara
penghambatan prostaglandin ginjal yang mengakibatkan tekanan pada vascular yang tidak diatasi
serta terjadinya retensi cairan yang menghasilkan peningkatan tekanan darah. Monitoring yang
perlu dilakukan pada pasien yang mendapatkan kombinasi pengobatan dengan interaksi ini
adalah dengan pemantauan tekanan darah secara berkala kepada pasien. Obat juga dapat
mempengaruhi farmakokinetik dari obat lainnya saat diberikan secara bersamaan. Salah satu
contohnya adalah interaksi moderate antara lansoprazole dan sukralfate. Interaksi dari kedua obat
ini menyebabkan penurunan efek dari lansoprazole dengan cara penghambatan absorbsi dan
bioavaibilitas dari lansoprazole oleh sukralfat di jalur gastrointestinal. Interaksi antara sukralfat
dan kalsium karbonat dapat mengurangi efek terapi dari sukralfat dengan mekanisme perubahan
asam lambung pada penggunaan kalsium karbonat akan menyebabkan penurunan pengikatan
sukralfat dengan mukosa gastrointestinal. Pada pasien-pasien yang mendapatkan obat tersebut,
sebaiknya dilakukan penjedaan waktu pemberian untuk mengurangi resiko terjadinya interaksi.
Selain menurunkan efek obat, interaksi obat dapat menyebabkan peningkatan resiko
terjadinya efek samping obat. Interaksi ini terjadi pada penggunaan bersamaan NSAID seperti
ibuprofen dan natrium diklofenak dengan metilprednisolon. Mekanisme yang mungkin terjadi
adalah adanya efek ulserogenik serta efek aditif pada mukosa GI serta kemungkinan adanya
penundaan penyembuhan erosive akibat penggunaan NSAID sehingga meningkatkan resiko efek
samping ulserasi, perdarahan dan inflamasi pada saluran gastrointestinal. Monitoring yang
dilakukan dengan cara pemberian obat dengan makanan atau meminta pasien segera melaporkan
tanda tanda gangguan gastrointestinal seperti nyeri pada abdominal, pusing atau feses menghitam.
Selain interaksi pada NSAID dan Kortikosteroid, interaksi pada obat obatan yang mempengaruhi
saraf (Central Nervous System Drugs) seperti diazepam, divalproex sodium, gabapentin, dan
clixid dapat meningkatkan resiko terjadinya efek samping apabila digunakan secara bersamaan.
Mekanisme terjadinya efek samping seperti pusing, kebingungan, dan sedasi dengan cara efek
depresi pada CNS dan/atau respiratori secara adiktif saat obat digunakan secara bersamaan.
Interaksi antar obat dapat menyebabkan resiko terjadinya efek toksis dan/atau
peningkatan efek dari salah satu obat yang berinteraksi. Salah satu contohnya adalah penggunaan
bersamaan aspirin dengan divalproex sodium dapat meningkatkan efek terapetik dari valproat
dengan substitusi salisilat terutama aspirin pada tempat pengikatan protein dari valproat. Hal ini
mengakibatkan meningkatkannya fraksi obat bebas dari valproat. Resiko efek toksik dapat terjadi
dengan adanya penghambatan pembersihan (clearance) dari valproat oleh aspirin. Interaksi
antara lansoprazole dan atorvastatin akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi plasma dari
atorvastatin dengan cara penghambatan secara kompetitif P-Glikoprotein usus yang
mengakibatkan sekresi obat ke lumen usus berkurang dan peningkatan bioavailabilitas obat. dan
resiko efek toksik karena penghambatan dari enzim CYP450 3A4 sehingga menurunkan
metabolisme dari atorvastatin. Monitoring kadar plasma harus dilakukan pada pasien yang
menggunakan HMG-CoA reductase inhibitor dan PPI secara bersamaan.
Berdasarkan data yang telah diambil dari klinik penyakit jantung diperoleh bahwa
persentase terjadinya polifarmasi dari 50 yang diambil yaitu 42%. Setiap resep yang termasuk ke
dalam polifarmasi memiliki potensi terjadinya interaksi. Dari 21 resep yang termasuk kedalam
polifarmasi didapatkan semua resep beresiko mengalami interaksi antar obat dengan, tingkat
keparahan interaksi obat yang paling banyak yaitu interaksi moderat sebanyak 19 kasus, dan
interaksi mayor sebanyak 2 kasus.
Interaksi mayor terjadi yaitu antara spironolakton dan candesartan dimana kombinasi
antara obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah ( hiperkalemia). Kemudian
didapat 3 interaksi moderat antara furosemide dan digoksin kombinasi antara dua obat tersebut
dapat meningkatkan kadar kalium dalam darah ( hiperkalemia) dan menurunkan kadar kalsium
dalam darah ( hipomagnesemia). Interaksi antara miniaspi dan digoxin efek interaksi yang terjadi
adalah miniaspi dapat meningkatkan kadar digoksin. Interaksi antara miniaspi dan candesartan
yaitu miniaspi dapat menurunkan efektivitas candesartan. Selain itu, interaksi mayor juga terjadi
antara spironolakton dan ramipril karena dapat mengakibatkan peningkatan serum kalium pada
pasien dengan faktor risiko seperti gangguan ginjal, diabetes, usia tua, gagal jantung parah dan
penggunaan suplemen kalium atau lainnya secara bersamaan. Kemudian terdapat 2 interaksi
moderat yaitu antara spironolakton dan bisoprolol karena dapat meningkatkan resiko
hiperglikemia dan hipertrigliseridemia terutama pada pasien dengan diabetes atau diabetes laten.
Interaksi antara amlodipine dan bisoprolol karena dapat menurunkan denyut jantung, konduksi
jantung, dan kontraktilitas jantung.
Interaksi moderate terjadi antara Clopidogrel dengan Aspilet. Penggunaan kedua obat
tersebut dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal terutama pada pasien dengan resiko
perdarahan, sakit perut yang parah, kelemahan, dan munculnya tinja berwarna hitam dan lembek.
Interaksi yang memiliki efek untuk menurunkan efektivitas salah satu obat adalah antara
Clopidogrel dengan Atorvastatin dan Aspilet dengan Candesartan. Pada masing-masing
penggunaan tersebut, Clopidogrel dan Candesartan akan mengalami penurunan efek. Adapun
interaksi Amlodipin dengan Atorvastatin dapat meningkatkan efektivitas kadar Atorvastatin
dalam darah oleh Amlodipin. Hal ini dapat meningkatkan risiko efek samping seperti kerusakan
hati dan kondisi langka namun serius yang disebut rhabdomyolysis yang melibatkan kerusakan
jaringan otot rangka. Dalam beberapa kasus, rhabdomyolysis dapat menyebabkan kerusakan
ginjal dan bahkan kematian. Sehingga memerlukan penyesuaian dosis atau pemantauan yang
lebih sering oleh dokter dalam penggunaan kedua obat dengan aman. Berikutnya interaksi 2
pasang obat berikut : Hidroklorotiazid dan Bisoprolol dengan Amlodipin dan Bisoprolol,
memiliki efek yang sama yaitu menurunkan tekanan darah dan memperlambat detak jantung.
Interaksi tersebut memerlukan pemeriksaan tekanan darah lebih sering. Interaksi yang terakhir
yaitu antara Aspilet dengan Amlodipin yang dapat meningkatkan tekanan darah.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa resep pasien rawat jalan di klinik Jantung,
Saraf dan Penyakit dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dengan resep
polifarmasi sebesar 40,33% dari total 177 resep pada bulan Juli 2022. Persentase untuk
resep polifarmasi dengan interaksi potensial obat-obatan (DDI’s) sebesar 80, 81% pada
lembar resep yang didapatkan dari total 73 resep polifarmasi di 3 klinik. Polifarmasi
dapat beresiko pada potensi interaksi obat yang meningkat serta ketidakpatuhan pasien
dalam pengobatan sehingga perlu dilakukannya evaluasi. Pada penelitian ini interaksi
obat yang terbanyak dengan kategori moderat. DDI’s kategori moderat artinya pemberian
kombinasi obat ini memberikan efek yang signifikan secara klinis, dapat dihindari dengan
cara monitoring, memberi jarak antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, dan
kombinasi obat ini masih dapat digunakan hanya dalam keadaan khusus.
B. Saran
1. Peresepan harus dilakukan monitoring obat terlebih dahulu oleh dokter maupun
apoteker untuk meminimalisir terjadinya interaksi obat. Monitoring dapat
dilakukan dengan menggunakan software seperti drug interaction.com atau
Medscape.
2. Melakukan identifikasi indikasi obat apakah memang dibutuhkan atau tidak oleh
pasien untuk menghindari terjadinya polifarmasi.
DAFTAR PUSTAKA
Afilla et al, 2019. Analisis Hubungan Polifarmasi dan Biaya Penggunaan Obat Resiko Jatuh Pada
Pasien Geriatri di Klinik Saraf RSUD Dr. Soedarso Pontianak.
Alsaad, Doua, et al, 2016. A Retrospective Drug Use Evaluation Of Cabergoline For Lactation
Inhibition At A Tertiary Care Teaching Hospital In Qatar. Therapeutics and
Clinical Risk Management : 12 155–160.
Andriane et al, 2016. Determinan Peresepan Polifarmasi pada Resep Rawat Jalan di Rumah Sakit
Rujukan. Global Medical and Health Communication, Vol. 4 No. 1.
Dasopang et al, 2019. Polifarmasi dan Interaksi Obat Pasien Usia Lanjut Rawat Jalan dengan
Penyakit Metabolik. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol. 4 No. 4, hlm 235–241.
Fauziah et al, 2019. Polifarmasi Pada Pasien Geriatri. Jurnal Human Care, Volume 5; No.3 :
804-812.
Juwita et al, 2018. Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Strok Iskemik di
Rumah Sakit Strok Nasional Bukittinggi. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Vol. 7
No. 2, hlm 99–107.
Kemenkes RI, 2011. Modul Penggunaan Obat Yang Rasional. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta.
Nopitasari et al, 2020. Evaluasi Penggunaan Obat Hipertensi Pada Gagal Jantung Rawat Jalan di
Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Ilmu
Kefarmasian. 1 (2) : 66-72.
Parulian, Lamtiar et al, 2019. Analisis Hubungan Polifarmasi dan Interaksi Obat Pada Pasien
Rawat Jalan Yang Mendapat Obat Hipertensi di Rsp. Dr. Ario Wirawan Periode
Januari-Maret 2019. Indonesian Journal of Pharmacy and Natural Product .
2(02) : 79-87.
Reyaan et al, 2021. Studi Potensi Interaksi Obat Pada Resep Polifarmasi Di Dua Apotek Kota
Bandung. Journal JMPF. 11(03) : 145-152.
Safitri, Ayudiani, 2021. Kajian Interaksi Obat Pada Peresepan Polifarmasi Di Apotek X Pada
Periode Juni 2020-Desember 2020. Skripsi. Program Studi Farmasi, Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari Banjarbaru.
Setiabudy et al, 2020. Tinjauan Etika terhadap Praktik Polifarmasi dalam Layanan Kedokteran.
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 4 No. 1.
Zulkarnaini, 2019. Gambaran Poliofarmasi Pasien Geriatri Dibeberapa Poli Klinik RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 8 (1) : 01-06
LAMPIRAN
d. Amlodipine 10
mg (sekali sehari)
e. Sukralfat suspensi
500 mg (sekali
sehari , 1 sendok
obat)
a. Thiamazol 10 mg a. digoksin x
02192658 Enok -
(sekali sehari) omeprazole
Masriyah
(moderate) :
b. Omeprazole 20
meningkatkan
mg (sekali sehari)
aktivitas digoksin
c. Spironolakton tab
b. digoksin x
25 mg (sekali sehari,
Propylthiouracil
pagi hari)
(moderate) :
b. paracetamol 500
mg (sekali sehari)
c. spironolakton 25
mg (sekali sehari, 1
tablet , pagi hari)
d. amlodipine 10 mg
(sekali sehari)
c. Metilprednisolone
4 mg (tiap 12 jam )
d. Amitriptilin 25
mg (sekali sehari,
1/2 tablet)
e. Lansoprazol 30
mg (sekali sehari)
f. Vitamin C 250 mg
(sekali sehari)
a. megabal cap 0,5 a. diazepam x
02202200 Sutirah Rheumatoid
mg (sekali sehari) chlordiazepoxide
arthritis
(dalam clixid)
unspecified b. clixid tablet
(moderate) :
(sekali sehari)
meningkatkan efek
d. omeprazol 20 mg omeprazole
(sekali sehari) (moderate) :
meningkatkan tekanan
e. parasetamol500 darah dan efek dari
mg (tiap 12 jam) diazepam.
Meningkatkan efek
f. diazepam 2 mg
sampingkesulitan
(sekali sehari)
bernafas.
c. chlordiazepoxide
(dalam clixid) x
omeprazole
(moderate) :
meningkatkan tekanan
darahdan efek
chlordiazepoxide
(dalam clixid).
a. clixid tablet (tiap a. amitriptilin x
02198482 Tursiyem Gastric Ulcer
12 jam) chlordiazepoxide
acute with
(dalam clixid)
hemorrhage b. sipentin kapsul
(moderate) :
100 mg (sekali
meningkatkan efek
sehari)
samping pusing, sakit
d. Amitriptilin 25 b. amitriptilin x
d. chlordiazepoxide x
gabapentin
(moderate) :
meningkatkan efek
samping sakit kepala
dan pusing.
02120560 Carsini Other anxienty a. Tramadol tablet Magnesium
disorder 50 mg (sekali sehari, hidroksida (dalam
jika pegel) antasida) x tramadol
b. Parasetamol tablet (moderate) :
500 (tiap 12 jam, meningkatkan detak
jika pegel) jantung secara tidak
c. lansoprazol 30 mg teratur dan
(sekali sehari) meningkatkan efek
d. Antasida sirup samping pusing, nafas
(sekali sehari, 1 yang pendek
sendok makan)
e. Curcuma tablet
(sekali sehari)
2. INTERAKSI OBAT POLIFARMASI DI KLINIK SARAF
f. Kalsium
Karbonat 500 mg
(sekali sehari)
0220918 Khusnia Cervicalgia a. silum tablet 5 ibuprofen x
mg (sekali sehari) Metilprednisolon :
penggunaan
b. Divalproex
bersamaan dapat
sodium tablet
meningkatkan
lepas lambat 200
resiko efek
mg ( tiap 12 jam)
samping pada jalur
c. gastrointestinal
d. Ranitidin tablet
150 mg ( tiap 12
jam )
e. Obat Racikan
(Paracetamol 500
mg, Ibuprofen 400
mg, Diazepam 2
mg)
2175605 Tunem Cervical a. megabal kapsul Tidak ditemukan
Disorder with 0,5 mg (sekali interaksi
Radiculopathy sehari)
b. Silum tablet 5
mg (sekali sehari)
c. Betahistin 6 mg
(sekali sehari)
d. Eperison 50 mg
(sekali sehari)
e. Obat Racikan :
(Metamizole
sodium 500 mg,
Diazepam 2 mg)
c. gastrointestinal
d. Diazepam tablet
2 mg (sekali
sehari)
b. Paracetamol tab
500 mg (tiap 12
jam, 1 tab)
c. Cetirizine tab 10
mg ( sekali sehari,
1 tab)
d. Azitromicin tab
500 mg (sekali
sehari, 1 tab)
e. Asam Folat 1
mg (sekali sehari,
1 tab)
f. Sukralfat
suspensi 500mg/5
ml (1 sendok
makan)
g. Acetylsistein
caps 200 mg sekali
sehari, 1 cap)
02208276 Arif Sudrajat Panniculitis a. Megabal caps diazepam x
Affection 0.5 mg (tiap 12 gabapentin (dalam
Region of Neck jam, 1 cap) Sipentin) :
and Back penggunaan
b. Sipentin caps
Thoracolumbar bersamaan
100 mg taip 12
Region menyebabkan
jam, 1 cap)
resiko efek
c. samping pusing,
Metilprednisolon 8 kebingungan,
mg (tiap 12 jam, 1 penurunan CNS
tab) dan atau respiratori
(Moderate)
d. Diazepam tab 2
mg (sekali sehari,
1 tab)
e. Ranitidin tab
150 mg (tiap 12
jam, 1 tab)
00874632 Supriyatino Stroke Non a. Divalproex a. Aspirin x
Specific sodium (tiap 12 Valsartan :
Hemoragic jam, 1 tab) penggunaan secara
bersamaan dapat
b. Sipentin caps
menurunkan efek
100 mg (sekali
valsaran dalam
sehari, 1 cap)
penurunan tekanan
c. Gabapentin x
g. Aspilet tab 80
Divalproex
mg (sekali sehari,
sodium :
1 tab)
penggunaan
h. Obat Racikan bersamaan
( Metamizole menyebabkan
sodium 500 mg, resiko efek
Diazepam 2 mg) samping pusing,
kebingungan,
penurunan CNS
dan atau respiratori
(Moderate).
d. Aspirin x
Divalproex
sodium : aspirin
dapat menghambat
clearance dari
valproate sehingga
memungkinkan
penigkatan efek
terpeutk dan efek
toksik (Moderate).
e. Diazepam x
Gabapentin :
penggunaan
bersamaan
menyebabkan
resiko efek
samping pusing,
kebingungan,
penurunan CNS
dan atau respiratori
(Moderate).
f. Aspirin x
Antasida : antasida
dapat menurunkan
efek dari aspirin
dengan
menurunkan
reabsorbsi aspirin
di ginjal dan
meningkatkan
clearence aspirin
di ginjal
(Moderate).
02188777 Jie Haryanto - a. Megabal caps a. Amlodipin x
0.5 mg (sekali Meloxicam :
sehari, 1 cap) penggunaan
bersamaan dapat
b. Meloxicam tab
meningkatkan
15 mg (sekali
tekanan darah
sehari,1 tab)
dengan
1 tab) amlodipin
(Moderate).
d. Candesartan tab
8 mg (sekali b. Clopidogrel x
e. Antasida sirup
(sekali sehari, 1
sendok makan)
00873791 Ratmini Disorder of a. Clixid tab Diazepam x
Vertibular (sekali sehari, 1 Clixid :
Function tab) meningkatkan efek
samping pusing,
b. Silum tab 5 mg
kebingungan,
(sekali sehari, 1
kesulitan
tab)
berkonsentrasi,
tab) respiratori
(Moderate)
d. Amlodipin tab
10 mg (sekali
sehari, 1 tab)
e. Lansoprazole
caps 30 mg (sekali
sehari, 1 cap)
f. Valsartan 160
mg (sekali sehari,
1 tab)
g. Obat Racikan
(Paracetamol 500
mg, Diazepam 2
mg)
3. INTERAKSI OBAT POLIFARMASI DI KLINIK JANTUNG
d. Miniaspi
(Aspirin) x
Candesartan :
mengurangi efek
Candesartan dalam
menurunkan
tekanan darah
(Moderate).
02109249 Sumadianto - a. spironolakton Spironolacton dan
25mg (sekali Ramipril : karena
sehari, ½ tab ) dapat
mengakibatkan
b. bisoprolol 5mg
peningkatan serum
(sekali sehari)
kalium pada pasien
Spironolakton dan
Bisoprolol : dapat
meningkatkan
resiko
hiperglikemia dan
hipertrigliseridmia
terutama pada
pasien dengan
deiabetes atau
diabetes laten
(Moderate).
Amlodipin dan
Bisoprolol :
menurunkan denyut
jantung, konduksi
jantung, dan
kontraktilitas
jantung (Moderate).
02185281 Abdul hipertensive a. atorvastatin a. Clopidogrel x
Makmur heart disease 20mg (sekali Aspilet : dapat
with sehari) menyebabkan
(congestive) perdarahan
b.
heart failure gastrointestinal
hidroklorotiazid
terutama pada
25mg (sekali
pasien dengan
sehari, ½ tab)
resiko perdarahan,
d. Hidroklorotiazid
dan Bisoprolol :
menurunkan
tekanan darah dan
memperlambat
detak jantung
(Moderate).
e. Amlodipin dan
Bisoprolol :
menurunkan
tekanan darah dan
detak jantung
(Moderate).
f. Amlodipin dan
Atorvastatin :
meningkatkan kadar
atorvastatin dalam
darah (Moderate).
g. Aspilet dan
Candesartan :
mengurangi efek
candesartan dalam
menurunkan
tekanan darah
(Moderate).