Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nelli Purba

NIM : 200101065
Masalah : Masih banyak ditemukan di apotek Pasien dengan pengobatan sendiri
(Swamedikasi) membeli obat antibiotik secara bebas tanpa resep dokter di
Apotek di Kabupaten Humbang Hasundutan
Judul : ‘SWAMEDIKASI OBAT’ Studi Kualitatif Pada Pasien di Apotek di
Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2021

1. Latar Belakang
Dalam beberapa dekade terakhir, peran apoteker telah berubah, yaitu tidak hanya
sebagai drug supplier, namun bertindak sebagai bagian dari tim multidisiplin yang terlibat
dalam pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian
semakin dirasa penting dengan adanya tantangan pada pelayanan swamedikasi. Berbagai
studi menunjukkan tingginya tingkat swamedikasi di masyarakat.
Pada saat orientasi paradigma pelayanan kefarmasian telah bergeser dari pelayanan
obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) dengan mengacu kepada
pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula
hanya berfokus pada pengolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga
kesehatannya sendiri (Sukasediati, 1999). Dari data World Health Organization (WHO), di
banyak Negara sampai 80% episode sakit di coba diobati sendiri oleh penderita. Sedangkan di
Indonesia menunjukan bahwa sekitar 60 % masyarakat melakukan swamedikasi dengan obat
modern sebagai tindakan pertama bila sakit.
The International Pharmaceutical Federation (FIP) mendefenisikan swamedikasi atau
self-medications sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu atas
inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Sedangkan defenisi swamedikasi menurut WHO adalah
pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, maupun tradisional oleh seorang individu
untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Banyak faktor yang mendasari
seseorang melakukan swamedikasi. Hasil survei yang dilakukan oleh The World Self
Medication Industry (WSMI) di 14 negara tentang “Drug Classification: prescription and
OTC (Over The Counter) Drugs”, menunjukan bahwa swamedikasi dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan pengetahuan (PAHO, 2004). 2 Di negara maju Amerika Serikat di perkirakan
dalam waktu satu tahun penduduk yang mengeluh atau merasa menderita sakit sebanyak 75%
dari jumlah penduduk. Dari jumlah tersebut, 10% tidak berbuat apa-apa, 25% pergi ke dokter
untuk mendapatkan pertolongan, dan sisanya sebanyak 65% melakukan pengobatan sendiri.
Dapat diperkirakan bahwa di Indonesia yang pergi ke dokter kurang dari 25% sedangkan,
yang melakukan pengobatan sendiri lebih dari 65% jumlah penduduk yang mengeluh atau
menderita sakit dalam setahun.
Organisasi WHO mempromosikan praktik swamedikasi untuk mengatasi gejala
penyakit prevalensi dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelayanan swamedikasi di
apotek dengan cepat dan efektif tanpa konsultasi medis dan mengurangi beban pada layanan
perawatan kesehatan, yang sering kekurangan tenaga dan tidak dapat diakses di daerah
pedesaan dan terpencil (WHO, 2000).
Dalam praktek swamedikasi, penggunaan obat-obatan berpotensi untuk memberikan
manfaat sekaligus menimbulkan bahaya. Berbagai literatur menunjukkan adanya manfaat dari
kegiatan swamedikasi. World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa
swamedikasi yang bertanggung jawab dapat membantu mencegah dan mengobati penyakit
yang tidak memerlukan konsultasi medis dan memberikan alternatif yang lebih murah untuk
mengobati common ill-nesses. Namun, selain banyaknya manfaat dalam swamedikasi,
ketersediaan obat-obatan dengan mudah tanpa resep dokter menjadi faktor utama yang
bertanggung jawab atas penggunaan obatobatan yang tidak rasional dalam swamedikasi.
Penelitian tentang swamedikasi di kalangan mahasiswa pernah dilakukan sebelumnya
di beberapa negara selain Indonesia. Penelitian di Uni Emirat Arab yang dilakukan di sebuah
Universitas, namun dilakukan pada mahasiswa non kesehatan menunjukkan prevalensi
swamedikasi sebesar 59% (Sharifdan Sharif, 2014). Penelitian lain yang terbaru di Saudi
Arabia menunjukkan bahwa prevalensi swamedikasi di kalangan mahasiswa cukup tinggi
yaitu 64,8%. Hasil tersebut menunjukkan prevalensi swamedikas imahasiswa medis (66%)
lebih tinggi daripada mahasiswa non medis (60%).
Obat OTC (over the counter) yang dimaksudkan untuk swamedikasi dan efektifitas
dan keamanannya sudah terbukti, apabila penggunaannya kurang tepat dapat berdampak
serius, terutama pada usia ekstrim (anak-anak dan geriatri) dan kondisi fisiologis khusus
seperti kehamilan dan menyusui .Beberapa risiko lainnya terkait dengan swamedikasi adalah
adanya misdiagnosis, penggunaan dosis obat yang berlebih, durasi penggunaan obat yang
terlalu lama.

Upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri dikenal dengan istilah self
medication atau swamedikasi. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi
keluhankeluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri,
pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain.
Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan
Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2011 terdapat persentase penduduk yang
mengalami keluhan kesehatan sebanyak 29,31%, persentase penduduk yang mengobati
sendiri 66,82%, penduduk yang berobat jalan 45,80% penduduk yang rawat inap 2,10%.
Masyarakat dengan jenis keluhan sakit yang melakukan swamedikasi, antara lain sakit kepala,
(60 %), sakit gigi (60%), flu (53%), dan urutan selanjutnya adalah gastritis (50%).
Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 menunjukkan bahwa
presentase penduduk yang melakukan swamedikasi / pengobatan diri sendiri akibat keluhan
kesehatan yang dialami sebesar 61,05%. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku swamedikasi di
Indonesia masih cukup besar (BPS, 2016). Alasan masyarakat Indonesia melakukan
swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit dianggap ringan (46%), harga obat yang
lebih murah (16%) dan obat mudah diperoleh (9%).
Swamedikasi yang tidak tepat merupakan salah satu penyebab resistensi antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat sering dilakukan dalam swamedikasi. Berdasarkan
hasil Riskesdas tahun 2013, sebanyak 86,1% rumah tangga menyimpan antibiotik yang
diperoleh tanpa resep. Antibiotik sering digunakan untuk mengatasi gejala penyakit ringan
seperti flu, batuk, demam dan sakit tenggorokan. Penggunaan antibiotik dalam swamedikasi
kebanyakan digunakan kurang dari 5 hari.
Swamedikasi/Pengobatan sendiri dengan antibiotik (Self-medication with
antibiotics/SMA), didefinisikan sebagai antibiotik yang digunakan oleh individu untuk
mengobati gejala/penyakit tanpa saran atau resep dari dokter menjadi masalah kesehatan
global yang serius. Survei di berbagai negara mengenai studi tentang Swamedikasi dengan
antibiotik yang dilaporkan sendiri, dan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik yang
sebenarnya praktek tidak pasti. Perkiraan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik yang
dilaporkan dalam populasi umum adalah 3% - 19% dalam negara maju dan 9% - 100% di
negara-negara berkembang, dengan konsekuensi dari gejala yang timbul, kegagalan
pengobatan, obat resistensi, dan kejadian obat yang merugikan (ADEs) termasuk kematian.
Banyak penelitian telah melaporkan frekuensi Swamedikasi dengan antibiotik,
rendahnya Swamedikasi dengan antibiotik seperti seringnya perubahan dosis atau antibiotik,
dan faktor risiko Swamedikasi dengan antibiotik yang sebagian besar terkait dengan jenis
kelamin, usia, pendidikan tingkat, pengetahuan antibiotik, dan pendapatan, namun, risiko ini
bervariasi dalam populasi atau negara yang berbeda dan dengan demikian tetap kontroversial,
dan praktik Swamedikasi dengan antibiotik populasi risiko jarang dievaluasi. Kejadian obat
yang merugikan, didefinisikan sebagai cedera yang dari penggunaan obat, termasuk bahaya
yang disebabkan oleh obat (reaksi obat yang merugikan dan overdosis) dan bahaya dari
penggunaan obat (termasuk pengurangan dosis dan penghentian terapi obat), adalah
konsekuensi umum dari Swamedikasi dengan antibiotik tetapi jarang dilaporkan dengan
konsekuensi lain dari Swamedikasi dengan antibiotik, karena kesulitan dalam tindak lanjut
dan evaluasi kritis.
Antibiotik adalah salah satu obat yang paling umum dibeli di seluruh dunia, terutama
di negara-negara berkembang, di mana prevalensi penyakit menular meningkatkan
penggunaannya.Penggunaan antibiotik berdampak besar karena harganya besar, dapat
menimbulkan kerusakan kesehatan jika tidak digunakan dengan tepat (reaksi merugikan dan
terapi gagal), dan praktik terapeutik yang buruk, seperti pengobatan sendiri jangka panjang.
Hal ini menjadi masalah dalam kesehatan global.
Swamedikasi dengan antibiotik, juga dilakukan oleh beberapa individu yang membeli
secara bebas/tanpa resep dokter yang berkunjung ke Apotek yang ada di Kabupaten Humbang
Hasundutan. Mereka melakukan swamedikasi tersebut dengan menggunakan obat yang telah
pernah mereka gunakan sebelumnya dengan gejala yang sama, atau mereka juga membeli
obat antibiotik karena pengalaman keluarga/teman dengan gejala yang sama. Beberapa
pengunjung membeli obat, tanpa mengetahui bagaimana cara pemakaian, dosis obat,efek
samping, indikasi dan kandungan obat tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini bermaksud untuk
meneliti lebih lanjut tentang swamedikasi yang dilakukan oleh masyarakat/pasien yang
melakukan swamedikasi penyakit yang sering diderita serta relatif ringan termasuk
penggunaan obat antibiotik dengan membeli obat secara mandiri (tanpa resep dokter) di
Apotek yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan dengan judul “Swamedikasi Obat
Studi Kualitatif pada Pasien di Apotek di Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2021.
Penelitian ini akan meneliti sejauh mana swamedikasi yang dilakukan masyarakat/pasien di
Apotek yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan berikut faktor yang
melatarbelakangi swamedikasi yang dilakukan masyarakat/pasien di Apotek.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat pengetahuan responden di Apotek yang berkunjungan di
Apotek di Humbang Hasundutan?
2. Adakah pengaruh tingkat pengetahuan tentang penggunaan obat dalam
swamedikasi terhadap kebiasaan responden dalam menggunakan obat?
3. Apakah pendapatan penghasilan mempengaruhi swamedikasi obat yang
dilakukan responden di Apotek di Kabupaten Humbang Hasundutan?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Mengetahui tingkat pengetahuan responden di Apotek yang berkunjungan di
Apotek di Humbang Hasundutan
2. Mengetahui hubungan/ pengaruh tingkat pengetahuan tentang penggunaan
obat dalam swamedikasi terhadap kebiasaan responden dalam menggunakan
obat
3. Mengetahui tingkat/besarnya pendapatan penghasilan mempengaruhi
swamedikasi obat yang dilakukan responden di Apotek di Kabupaten
Humbang Hasundutan.

1.3. Manfaat Penelitian


1. Aspek Teoritis
 Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dalam
bidang farmasi komunitas, khususnya tentang swamedikasi
2. Aspek Praktis
1. Bagi Program studi prodi MAGISTER Kesehatan Masyarakat
Sebagai referensi untuk melengkapi bahan perpustakaan dan bahan bacaan
yang bermanfaat dalam proses belajar mengajar di Universitas Sari Mutiara
Indonesia;
2. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa serta menjadi bahan
masukan dan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengobatan sendiri
(Swamedikasi);
3. Bagi tempat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan masukan dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang berkompereshif dan sebagai bahan
pertimbangan dalam meningkatkan kualitas dan rasionalitas penggunaan dalam
swamedikasi.
4. Bagi masyarakat
Gambaran umum yang diperoleh mengenai hubungan/ pengaruh tingkat
pengetahuan tentang penggunaan obat dalam swamedikasi terhadap kebiasaan
responden dalam menggunakan obat.
5. Bagi Universitas
Khususnya bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat Program Studi Magister
Kesehatan Masyarakat hasil penelitian secara teoritas dapat menambah ilmu
pengetahuan ilmu kesehatan terutama tentang promosi kesehatan dalam penggunaan
obat secara cerdas.
6. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan tentang pemberian informasi obat khususnya
dalam penggunaan obat secara swamedikasi.
7. Bagi Dinas Kesehatan
Hasil penelitian dapat memberikan masukan dalam rangka mengambil
kebijakan dalam penggunaan obat sendiri (swamedikasi).

Anda mungkin juga menyukai