Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat


menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaanya, swamedikasi /pengobatan sendiri
dapat menjadi masalahterkait obat (Drug Related Problem) akibat terbatasnya
pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya (Nur Aini, 2017). Dasar hukum
swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993. Menurut
Pratiwi, et al (2014)swamedikasi merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan oleh
seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa
terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter.

Swamedikasi yang tepat, aman,dan rasional terlebih dahulu mencari informasi


umum dengan melakukan konsultasi kepada tenaga kesehatan seperti dokter atau petugas
apoteker. Adapun informasi umum dalam hal ini bisa berupa etiket atau brosur. Selain itu,
informasi tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker pengelola apotek, utamanya
dalam swamedikasi obatkeras yang termasuk dalam daftar obat wajib apotek (Depkes RI.,
2006;Zeenot, 2013).

Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 menunjukkan


bahwa presentase penduduk yang melakukan swamedikasi / pengobatan diri sendiri
akibat keluhan kesehatan yang dialami sebesar 61,05%. Hal ini menunjukkan bahwa
perilaku swamedikasi di Indonesia masih cukup besar (BPS, 2016). Alasan masyarakat
Indonesia melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit dianggap
ringan (46%),harga obat yang lebih murah (16%) dan obat mudah diperoleh (9%)
(Kartajaya et al., 2011).

Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit


ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri,pusing, batuk, influenza,
sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI, 2010). Kriteria yang
dipakai untuk memilih sumber pengobatan adalah pengetahuan tentang sakit dan
pengobatannya, keyakinan terhadap obat/ pengobatan, keparahan sakit, dan
keterjangkauan biaya, dan jarak ke sumber pengobatan. Keparahan sakit merupakan
faktor yang dominan diantara keempat faktor diatas (Supardi, 2005).

Perilaku swamedikasi dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dari interaksi
manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku
dibedakan menjadi dua yakni faktorfaktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup
pengetahuan, kecerdasan,persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk
mengolah rangsangan dari luar (Yusrizal, 2015). Menurut Notoatmodjo (2003) faktor
ekstern meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim,manusia,
sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.

Swamedikasi menjadi tidak tepat apabila terjadi kesalahan mengenali gejala yang
muncul, memilih obat, dosis dan keterlambatan dalam mencari nasihat / saran tenaga
kesehatan jika keluhan berlanjut. Selainitu, resiko potensial yang dapat muncul dari
swamedikasi antara lain adalah efek samping yang jarang muncul namun parah, interaksi
obat yang berbahaya,dosis tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah (BPOM, 2014).

Penelitian tentang swamedikasi di kalangan mahasiswa pernah dilakukan


sebelumnya di beberapa negara selain Indonesia. Penelitian di Uni Emirat Arab yang
dilakukan di sebuah Universitas, namun dilakukan pada mahasiswa non kesehatan
menunjukkan prevalensi swamedikasi sebesar 59% (Sharifdan Sharif, 2014). Penelitian
lain yang terbaru di Saudi Arabia menunjukkan bahwa prevalensi swamedikasi di
kalangan mahasiswa cukup tinggi yaitu 64,8%. Hasil tersebut menunjukkan prevalensi
swamedikas imahasiswa medis (66%) lebih tinggi daripada mahasiswa non medis (60%)
(Aljaouni et al., 2015).

Menurut Pratiwi, et al (2014) alasan swamedikasi atau pengobatan sendiri yang


dilakukan didasarkan pada hasil penelitian menunjukkan bahwaNfaktor kepraktisan
dalam pengobatan serta anggapan bahwa penyakit yang diderita masih tergolong ringan
dan mudah diobati. Selain faktor kepraktisan terdapat faktor yang mempengaruhi
mahasiswa dalam melakukan swamedikasi seperti jauhnya dengan orang tua bagi
mahasiswa pendatang dan lingkungan yang membentuk seorang mahasiswa dalam
menentukan tingkat kesehatan untuk dirinya sendiri.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan


swamedikasi karena menganggap penyakit yang diderita ringan. Swamedikasi juga
dilakukan karena faktor jauhnya dengan keluarga, atau kebiasaan yang sudah turun
temurun dari keluarga dan bahkan kepraktisan. Swamedikasi juga dipengaruhi oleh biaya
yang ringan karena hanya terbebani pembelian obat tanpa harus mengeluarkan biaya
tambahan lain.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi

2.1.1 Defenisi Swamedikasi

Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan


obat-obat yang sederhana yang dibeli bebas di apotik atau toko obat atas inisiatif
sendiri tanpa nasehat dokter (Rahardja, 2010).

Swamedikasiatau pengobatan sendiri adalah perilaku untuk mengatasi sakit


ringan sebelum mencari pertolongan ke petugas atau fasilitas kesehatan. Lebih dari
60% dari anggota masyarakat melakukan swamedikasi, dan 80% di antaranya
mengandalkan obat modern (Anonim, 2010)

Swamedikasi adalah Pengobatan diri sendiri yaitu penggunaan obat-


obatanatau menenangkan diri bentuk perilaku untuk mengobati penyakit yang dirasakan
atau nyata. Pengobatan diri sendiri sering disebut dalam konteks orang mengobati diri
sendiri,untuk meringankan penderitaan mereka sendiri atau sakit. Dasar hukumnya
permekes No.919/MENKES/PER/X/1993, secara sederhana swamedikasi adalah upaya
seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan
dokter terlebih dahulu. Namun bukan berarti asal mengobati, justru pasien harus
mencari informasi obat yang sesuai dengan penyakitnya dan apoteker-lah yang
bisa berperan di sini. Apoteker bisa memberikan informasi obat yang objektif
dan rasional. Swamedikasi boleh dilakukan untuk kondisi penyakit yang ringan,
umum dan tidak akut. Setidaknya ada lima komponen informasi yang yang
diperlukan untuk swamedikasi yang tepat menggunakan obat modern, yaitu
pengetahuan tentang kandungan aktif obat, indikasi, dosage, efek samping, dan kontra
indikasi(Anonim, 2010).

Resiko dari pengobatan sendiri adalah tidak mengenali


keseriusangangguan.Keseriusan dapat dinilai salah satu atau mungkin tidak
dikenali,sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu lama. Gangguan
bersangkutan dapat memperhebat keluhan, sehingga dokter perlumenggunakan obat-obat
yang lebih keras. Resiko yang lain adalahpenggunaan obat yang kurang tepat. Obat
bisa digunakan secara salah, terlalulama atau dalam takaran yang terlalu besar.
Guna mengatasi resiko tersebut,maka perlu mengenali kerugian-kerugian tersebut (Tjay
dan Raharja, 1993).

Disinilah peran Farmasi Apoteker untuk membimbing dan memilihkan obat yang
tepat.Pasien dapat meminta informasi kepada apoteker agar pemilihan obat lebih
tepat.Selain apoteker, tenaga farmasi lain seperti asisten apoteker mempunyai
peran penting dalam menyampaikan informasi obat kepada masyarakat.
Seperti penyampaian informasi tentang Penggunaan obat secara tepat, aman dan
rasional. Atas permintaan masyarakat Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan
mudah dimengerti serta cara penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan, selektif,
etika, bijaksana dan hati-hati. Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-
kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, makanan/ minuman/ aktifitas yang hendaknya dihindari selama
terapi daninformasi lain yang diperlukan(Anief, 1997).

Swamedikasi biasanya digunakan untuk mengatasi keluhan-keluhan


penyakit ringan yang banyak dialami masayarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk,
influenza, sakit maag, diare, penyakit kulit dan lain-lain.Swamedikasi diambil
masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaanya,
swamedikasi menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan karena ada ancaman
penyakit yang lebih serius yang tidak disadari oleh masyarakat dan juga
keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunannya (Sriana, 2004).

Obat bebas dan obat bebas terbatas adalah obat yang dapat diperjualbelikan
secara bebas tanpa resep dokter untukmengobati jenis penyakit
yangpengobatannya dapat diterapkan sendiri oleh masyarakat. Pengertianobat itu
sendiri adalah suatu zat yang digunakan untuk diagnosis, pengobatanmelunakkan,
penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau hewan(Anief, 1997).

2.1.2 Terapi Rasional

Menurut Siregar (2003) definisi penggunaan obat secara rasional adalah


mensyaratkan bahwa penderita menerima obat yang sesuai dengan kebutuhan klinik,
dalam dosis serta periode waktu yang memadai dan harga terendah bagi komunitas
mereka Pada pengobatan sendiri dibutuhkan penggunaanobat yang tepat atau
rasional.Penggunaan obat yang rasional adalah pasien menerima obat yang tepat dengan
keadaan kliniknya, dalam dosis yang sesuai dengan keadaan individunya, pada waktu
yang tepat dan dengan harga terjangkau bagi dia dan komunitasnya. Pengertian
lain dari penggunaan obat yang rasional adalah suatu tindakan pengobatan
terhadap suatu penyakit dan pemahaman aksi fisiologi yang benar dari penyakitSesuai
dengan konteks tersebut, terapi rasional meliputi kriteria (Maulana, 2010).

a. Tepat indikasiTepat indikasi adalah adanya kesesuaian antara diagnosis


pasien dengan obat yang diberikan.
b. Tepat obatTepat obat adalah pemilihan obat dengan memperhatikan
efektivitas, keamanan, rasionalitas dan murah.
c. Tepat dosis regimen Tepat dosis regimen adalah pemberian obat yang tepat dosis
(takaran obat), tepat rute (cara pemberian), tepat saat (waktu pemberian),
tepat interval (frekuensi), dan tepat lama pemberian.d.Tepat pasienTepat pasien
adalah obat yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Kondisi pasien
misalnya umur, faktor genetik, kehamilan, alergi, dan penyakitlain.

2.1.3 Keuntungan dan Kerugian

Menurut Rahardja (2010) keuntungan swamedikasi adalah obat untuk


ganguan-ganguan tersebut sering kali memang sudah tersedia di rumah.Keuntunganyang
lainnya yaituaman apabila digunakan sesuai dengan petunjuk (efeksamping dapat
diperkirakan), efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self
limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenagakesehatan,biaya pembelian
obat relatif lebih murah daripada biaya pelayanan kesehatan,hemat waktu karena
tidak perlu menggunakan fasilitas atau profesi kesehatan,kepuasan karena ikut
berperan serta dalam sistem pelayanan kesehatan,menghindari rasa malu atau stres
apabila harus menampakkan bagian tubuhtertentu di hadapan tenaga kesehatan,
dan membantu pemerintah untuk mengatasiketerbatasan jumlah tenaga kesehatan
pada masyarakat (Supardidkk, 2005)

1) Menurut Anief (1997), keuntungan yang lain yaitu lebih mudah, cepat,tidak
membebani sistem pelayanan kesahatan dan dapat dilakukan oleh dirisendiri.
Bagi konsumen obat, pengobatan sendiri dapat memberi keuntunganyaitu bila ia
dapatMenghemat biaya ke dokter
2) Menghemat waktu ke dokter
3) Segera dapat beraktifitas kembaliKekurangan, obat dapat membahayakan
kesehatan apabila tidak digunakansesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan
waktu apabila salah menggunakanobat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi
obat yang tidak diinginkan, misalnyasensitifitas, efek samping atau resistensi,
penggunaan obat yang salah akibat salahdiagnosis dan pemilihan obat
dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat dimasa lalu dan lingkungan
sosialnya (Supardidkk, 2005).

2.2 Obat Tanpa Resep

2.2.1 Definisi

Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya
dianggap dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu membahayakan jika
mengikuti aturan memakainya.Obat yang beredar dimasyarakat dibagi atas empat
golongan, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan obat narkotika
(Anief, 1997).

Resiko dari pengobatan sendiri adalah tidak mengenali


keseriusangangguan.Keseriusan dapat dinilai salah satu atau mungkin tidak
dikenali,sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu lama.Gangguanbersangkutan
dapat memperhebat keluhan, sehingga dokter perlumenggunakan obat-obat yang lebih
keras. Resiko yang lain adalahpenggunaan obat yang kurang tepat. Obat bisa
digunakan secara salah, terlalulama atau dalam takaran yeng terlalu besar.Guna
mengatasi resiko tersebut,maka perlu mengenali kerugian-kerugian tersebut (Tjay dan
Raharja, 1993).

Pada setiap produk obat selalu dicantumkan nama obat, komposisi,


indikasi, informasi mengenai cara kerja obat, aturan pakai, peringatan, perhatian,
nama produsen, nomor batch atau lot, nomor registrasi, dan tanggal kadaluwarsa. Obat
bebas dan obat bebas terbatas dapat dibeli tanpa resep di apotek dan toko
obat.Biasanya obat bebas dapat mendorong untuk pengobatan sendiri atau
perawatan penyakit tanpa pemeriksaan dokter dan diagnosa.Obat yang dapat diperoleh
tanpa resep sering digunakan pasien atas anjuran paramedik.Sikap dokter terhadap
praktek pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep umumnya tidak keberatan
dalam batas-batas tertentu.Profesi kedokteran meyakinkan bahwa pengobatan sendiri
adalah terbatas pada kondisi kecil yang pasien mampu mengenal dengan jelas
pengalaman sebelumnya dan rasa kurang enak yang diderita adalah bersifat sementara
(Anief, 1997).

Menurut Anief juga pada penggunaan obat tanpa resep perlu diperhatikan:

Apakah obatnya masih baik atau tidak.b.

Bila ada tanggal kadaluwarsa, perhatikan tanggalnya apakah lewat atau belum.c.

Keterangan pada brosur atau selebaran yang disertakan oleh pabrik, dibaca dengan
baik, antaralainberisi informasi tentang:

1) Indikasi yaitu petunjuk penggunaan obat dalam pengobatan penyakit.


2) Kontraindikasi yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan,
karena berlawanan dengan kondisi tubuh kita.
3) Efek samping yaitu efek yang timbul, bukan efek yang diinginkan. Efek
samping dapat merugikan atau berbahaya.
4) Dosis obat yaitu besaran obat yang boleh digunakan untuk orang dewasa
atau anak-anak berdasarkan berat badan atau umur anak.
5) Waktu kadaluwarsa.
6) Cara penyimpanan obat.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.919/Menkes/Per/X/1993disebutkan


bahwa penyerahan obat tanpa resep harus memenuhi kriteria padapenggunaan
obatnya, yaitu:

a. Tidak kontra indikasi untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah
usia dua tahun, orang tua diatas 65 tahun.
b. Pada pengobatan sendiri, tidak memberi resiko pada kelanjutan penyakit.
c. Tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenagakesehatan.
d. Diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
e. Memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dijamin untuk
pengobatansendiri (Anief, 2000).

2.2.2 Penggolongan Obat tanpa resep

Menurut penggolongannya obat dibagi menjadi 4 golongan yaitu:

1) Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli
tanpa resep dokter.Tandakhusus pada kemasan dan etiket obat bebasadalah
lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam contoh paracetamol (Anonim,
2006).
2) Obat Bebas Terbatas
Selain tanda khusus obat bebas terbatas, terdapat pula tanda
peringatan. Tanda peringatan ini diberikan karena hanya dengan takaran dan
kemasan tertentu obat ini aman dipakai untuk pengobatan sendiri. Tanda
peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar
hitam yang terdiri dari 6 macam, yaitu:

a)P.No.1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya.

b)P. No. 2: Awas! Obat keras.Hanya untuk kumur, jangan ditelan.

c)P. No. 3: Awas! Obat keras.Hanya untuk bagian luar badan.

d)P. No.4: Awas!Obat keras.Hanya untuk luka bakar.

e)P. No.5: Awas! Obat keras.Tidak boleh ditelan.

f)P. No.6: Awas! Obat keras.Obat wasir jangan ditelan (Anonim, 2004)

3) Obat Keras
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan
resepdokter.Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam
lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.Obat psikotropika adalah obat
keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan sarafpusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.(Anonim,
2000)
4) Obat Narkotika dan Psikotropika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau
bukantanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkanpenurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangisampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
dan perilaku (Anonim, 2000).
5) Obat Wajib Apotik (OWA)
Selain memproduksi obat generik, untuk memenuhi
keterjangkauan pelayanan kesehatankhususnya akses obat pemerintah
mengeluarkan kebijakan OWA.OWA merupakan obat keras yang dapat
diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien.Walaupun
APA boleh memberikan obat keras, namun ada persayaratan yang harus
dilakukan dalam penyerahan OWA.Tujuan OWA adalah memperluas
keterjangkauan obat untuk masyarakat,maka obat-obat yang digolongkan dalam
OWA adalah obat yang diperlukan bagikebanyakan penyakit yang diderita
pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit
(salep hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi
sistemik (CTM), obat KB hormonal(Anonim,2000).
Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993,kriteria obat yang
dapat diserahkan:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,
anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko
pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi
di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri(Anonim,2000)

2.3 Informasi Obat

Menurut Anief (1997) Pasien harus benar-benar paham dalam memilih obat
sebagai upayapengobatan sendiri.Disinilah peran farmasi apoteker untuk
membimbing danmemilihkan obat yang tepat.Pasien dapat meminta informasi kepada
apotekeragar pemilihan obat lebih tepat.Arti informasi obat bagi rakyat sangat
besar. Spliane (2007) dalam Maulana (2010) Bahwa Semakin lama semakin
banyak orang di seluruh dunia terpaksa menggunakan pendapatan yang terbatas
untuk membeli lebih banyak obat –obatan.Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan
No.386 Tahun 1994 tentangperiklanan obat maka iklan harus memenuhi persyaratan
seperti dibawah ini:

a. Obat harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dantergolong obat


bebas danbebas terbatas.
b. Obat tersebut telah mendapat nomor persetujuan pendaftaran Depkes RI.
c. Rancangan iklan harus telah disetujui oleh Depkes RI.
d. Nama obat yang diiklankan adalah nama yang disetujui dalampendaftaran.
e. Iklan dapatbermanfaat bagi masyarakat untuk memilih penggunaan obat
bebas secara rasional.
f. Iklan tidak boleh mendorong penggunaan obat yang berlebihan dan terus-
menerus.
g. Iklan tidak boleh ditujukan untuk anak-anak atau menampilkan anak-
anaktanpa supervisi orangdewasa, iklan tidak boleh menggambarkan
bahwakeputusan penggunaan harus ditentukan dandiambil oleh anak-anak

2.4. Nyeri

a. Patofisiologi Nyeri

Menurut Mutschler (1991) menyatakan bahwa nyeri adalah gejala penyakit atau
kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan,
melindungi dan memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak
mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha bebas darinya. Salah
satu contoh nyeri yaitu nyeri kepala sebelah.
Rasa nyeri disebabkan rangsangan mekanis (benturan dengan benda tumpul)
atau kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan
melepaskan zat yang disebut mediator nyeri. Sedangkan rasa nyeri pada gigi dapat
disebabkan adanya infeksi atau peradangan. Kejang atau ketegangan otot dapat
menimbulkan nyeri kepala. Mediator nyeri merangsang reseptor nyeri yang letaknya
pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini
rangsang dialirkan melalui syaraf sensoris ke susunan saraf pusat, melalui sumsum
tulang belakang ke talamus kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, dimana
rangsang terasa sebagai nyeri (Anief, 1996).

b. Terapi jenis-jenis nyeri

Pada pengobatan rasa nyeri pemilihan obat tergantung dari jenis nyeri yang
dialami, maka dapatlah digunakan obat- obat sebagai berikut (Tjay dan Raharja,
2002) :

1) Nyeri ringan, seperti sakit gigi, kepala, otot-otot pada infeksi virus, kesleo, obat
yang digunakan yaitu analgetik perifer misalnya asetosal dan parasetamol. 9
2) Nyeri ringan yang menahun, seperti rematik dan artrosis. Obat yang digunakan
yaitu yang berkhasiat anti radang golongan salisilat, ibu profen, dan
indometasin.
3) Nyeri yang hebat, seperti nyeri organ-organ dalam (lambung, usus). Obat yang
digunkan sebaiknya analgetik sentral (narkotik) dengan suatu obat pelawan
kejang, misalnya morfin dengan atropin.
4) Nyeri Hebat menahun, seperti kanker kadang-kadang rematik dan neuralgia.
Dalam hal ini yang digunakan adalah obat-obat yang berkhasiat kuat antara lain
analgetik narkotik fentanil, dekstromoramida atau bezitramida, bila perlu
bersama suatu neuroleptikum dengan kerja analgetik.
c. Analgetik
Analgetik adalah obat yang digunakan untuk menghambat atau mengurangi rasa
sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri adalah sesuatu yang
tidak menyenangkan merupakan sesuatu gejala yang harus dicari penyebabnya dan
sifatnya subyektif bagi setiap individu (Anonim, 1999).
Analgetik berdasarkan farmakologisnya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni
(Tjay dan Raharja, 2002) :
a) Analgetik Perifer (non narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Secara kimiawi, analgetik perifer
dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
 Parasetamol
 Salisilat: asetosal, salisilamida, dan benorilat
 Penghambat Prostaglandin (NSAID): ibuprofen
 Derivat-derivat antranilat: mefenaminat, asam niflumat glafenin,
floktafenin
 Derivat-derivat pirazolinon: aminofenazon, isopropil fenazon,
isopropilaminofenazon, dan metamizol
 Lainnya: benzidamin (tatum)

Obat-obat ini mampu menghilangkan atau menghalau rasa nyeri, tanpa


mempengaruhi sistem syaraf pusat atau menurunkan kesadaran, juga tidak
menimbulkan ketagihan. Daya antipiretiknya berdasarkan rangsangan terhadap
pusat pengatur kalor di hypothalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di
kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak
keringat (Tjay dan Raharja, 2002).

Efek samping yang paling umum adalah gangguan lambung usus untuk salisilat,
penghambat prostaglandin (NSAID) dan derivat-derivat pirazolino. Kerusakan darah
untuk parasetamol, salisilat, derivat-derivat antranilat dan derivat-derivat
pirazolinon. Kerusakan hati dan ginjal untuk untuk parasetamol dan penghambat
prostaglandin (NSAID) serta reaksi alergi pada kulit. Efek-efek samping ini terutama
terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu, penggunaan
analgetik secara kontinyu tidak dianjurkan (Tjay dan Rahardja, 2002).

b) Analgetik narkotik,

khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada kanker
(Anief, 1996). Penggunaan untuk jangka waktu lama pada sebagian pemakai
menimbulkan kebiasaan dan ketergantungan (Tjay dan Raharja, 2002). Atas dasar
cara kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam tiga kelompok yakni (Tjay dan
Raharja, 2002):

1) Agonis Opiat, yang dapat dibagi dalam alkoloida candu: Morfin, Kodein,
Heroin, dan Nicomorfin.

2) Antagonis Opiat: Nalokson, Nalorfin, Pentazosin dan Buprenorfin. Bila


digunakan sebagai analgetik, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.

3) Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opiat, tetapi tidak
mengaktifasi kerjanya dengan sempurna.

Mekanisme kerja dari analgetik, yaitu bekerja dengan menghambat secara


langsung dan selektif enzim-enzim pada SSP yang mengkatalisis biosintesis
prostaglandin seperti siklooksigenase, sehingga mencegah sensitisasi reseptor rasa
sakit oleh mediator-mediator rasa sakit, seperti prostaglandin yang dapat
merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimia (Manfred, 1994).

Analgetik yang biasa digunakan antara lain:

a. Parasetamol
Derivat asetanilida ini adalah metabolik dari fenasetin, yang dahulu banyak
digunakan sebagai analgetikum. Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi
tidak antiradang (Djamhuri, 1995). Dewasa ini pada umumnya dianggap
sebagai zat anti nyeri yang paling aman juga untuk swamedikasi. Parasetamol
tidak menimbulkan perdarahan lambung, sehingga dapat diminum baik
sesudah maupun sebelum makan. Efek analgetisnya diperkuat oleh kafein
dengan kira-kira 50% dan kodein. Efek samping jarang terjadi, antara lain
reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada dosis yang tinggi dapat
memperkuat efek antikoagulansia dan pada dosis biasa tidak interaktif. Obat
analgetik yang mengandung parasetamol tidak boleh diberikan pada penderita
gangguan hati (Tjay dan Raharja, 2002).

Dosis parasetamol untuk dewasa 500-1000 mg(1-2 tablet) setiap 4-6 jam
sampai 4 g/hari, sedangkan untuk anak-anak usia 2-6 tahun 125-250 mg (1/4-
1/2 tablet) setiap 4-6 jam maksimal empat kali dosis sekali minum (Anonima ,
2007). Pada dosis terapetik parasetamol relatif tidak toksik. Tetapi bila
diberikan dosis yang besar, obat ini menyebabkan nekrosis hati pada hewan
dan manusia. Hepatotoksisitas ini dikaitkan dengan tidak adanya tingkat
glutation hati oleh metabolit elektrofilik dan asetaminofen. Bila tingkat
glutation hati dihilangkan (80% atau lebih), ikatan kovalen dari metabolit
reaktif dengan makromolekul hepatik bertanggung jawab pada nekrosis hati
yang diamati (Manfred,1994).

b. Asetosal

Asetosal adalah obat anti nyeri tertua yang sampai saat ini paling banyak
digunakan di seluruh dunia. Efek samping yang paling sering terjadi berupa
iritasi mukosa lambung dengan resiko tukak lambung. Selain itu asetosal
menimbulkan efek-efek spesifik seperti pada alergi kulit dan tinitus pada dosis
lebih tinggi, efek yang lebih serius adalah kejang-kejang bronkhi hebat. Selain
itu asetosal atau aspirin tidak boleh diberikan pada orang menderita asma
(Tjay dan Raharjo,2002).

c. Asam Mefenamat

Asam mefenamat adalah golongan antranilat dengan analgetik, antipiretik dan


antiflogistik yang cukup baik. Asam mefenamat dapat digunakan pula sebagai
obat rematik. Efek sampingnya yang sering terjadi adalah gangguan-gangguan
lambung-usus, oleh karena itu obat tersebut diminum sesudah makan reaksi-
reaksi alergi kulit dan kerusakan-kerusakan darah. Dosis: oral permulaan 2
kapsul dari 250 mg, kemudian 3-4 kali sehari 250 mg setelah makan. Asam
mefenamat termasuk obat wajib apotek sehingga dapat dibeli di apotek (Tjay
dan Rahardja, 2002).

d. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu obyek. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan
yaitu:
a. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah.
b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisis (analysis), sesuatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis), menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi
yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007)

Anda mungkin juga menyukai