Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkahnya penulis dapat menyelesaikan Makalah Komunikasi,
Informasi dan Edukasi yang berjudul “8 Kriteria KIE Ideal”. Penyusunan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Komunikasi, Informasi dan Edukasi.
Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan
kita secara meluas.

Kami juga mengucapkan terima kasih Ibu Ratna Sari Dewi M. Farm.,
Apt selaku dosen Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang telah membimbing
kami agar dapat menyelesaikan makalah ini. Akhirnya kami menyadari bahwa
makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah
selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih
dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Pekanbaru, Mei 2019

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, sejalan dengan meningkatnya pendidikan dan pengetahuan
masyarakat serta kemudahan dalam memperoleh informasi, di samping tingginya
biaya perawatan kesehatan, semakin mendorong masyarakat untuk melakukan
pengobatan sendiri dengan obat-obat bebas. Hasil survai Departmen Kesehatan
Republik Indonesia di 3 kota besar Indonesia menunjukkan 60,9% orang sakit
melakukan pengobatan sendiri. Promosi yang berlebihan dan informasi obat yang
tidak konsisten dari perusahaan obat dapat menimbulkan pemahaman yang salah
pada masyarakat tentang obat dan penggunaannya. Semua itu akan menyulitkan
masyarakat untuk memilih obat secara tepat bagi mereka. Selain itu, masyarakat
juga semakin sadar akan hak mereka untuk memperoleh informasi obat yang
mereka terima (Suprapti, 2000).
Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya
masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Dasar hukum swamedikasi adalah
peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993. Menurut Pratiwi, et al
(2014) Swamedikasi merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan oleh
seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya
tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter.
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan
penyakit ringanyang banyak dialami masyarakatseperti demam, nyeri, pusing,
batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain- lain (Depkes
RI, 2010). Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan adalah
pengetahuan tentang sakit dan pengobatannya, keyakinan terhadap obat/
pengobatan, keparahan sakit, dan keterjangkauan biaya, dan jarak ke sumber
pengobatan. Keparahan sakit merupakan faktor yang dominan diantara
keempatfaktor diatas (Supardi, 2005).
Swamedikasi menjadi tidak tepat apabila terjadi kesalahan mengenali
gejala yang muncul, memilih obat, dosis dan keterlambatan dalam mencari nasihat
atau saran tenaga kesehatan jika keluhan berlanjut. Selain itu, resiko potensial
yang dapat muncul dari swamedikasi antara lain adalah efek samping yang jarang
muncul namun parah, interaksi obat yang berbahaya, dosis tidak tepat, dan pilihan
terapi yang salah (BPOM, 2014).
Dalam menanggapi gejala penyakit, farmasis komunitas harus mampu
memberi saran terapi, baik terapi obat maupun non-obat. Saran terapi atau KIE
(Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) yang diberikan kepada pasien memiliki
beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Konseling yang diberikan kepada pasien
merupakan perhatian farmasis, di mana pengobatan pasien membutuhkan
keterlibatan dan tanggung jawab apoteker dalam upaya pencapaian tujuan optimal
dari terapi obat. Dengan begitu kehadiran Apoteker di apotek yang memiliki
pengetahuan kontekstual tentang profesinya akan sangat dibutuhkan oleh
masyarakat dan dengan cara ini pula maka kehadiran Apoteker akan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai 8 (delapan)
kriteria ideal dalam melakukan komunikasi informasi dan edukasi kepada pasien
dalam upaya pencapaian tujuan optimal dari terapi obat pada swamedikasi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka terdapat rumusan malasah dalam
makalah ini.
1. Bagaimana pelaksaan swamedikasi dalam pelayanan kefarmasian ?
2. Apa saja jenis infromasi yang harus digali oleh farmasis untuk menetapkan
terapi pada swamedikasi ?
3. Apa saja komponen dari 8 (delapan) kriteria KIE yang ideal dalam proses
swamedikasi ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan swamedikasi dalam pelayanan
kefarmasian.
2. Untuk mengetahui jenis infromasi yang harus digali oleh farmasis untuk
menetapkan terapi pada swamedikasi.
3. Untuk mengetahui komponen 8 (delapan) kriteria KIE yang ideal dalam
proses swamedikasi.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan swamedikasi dalam pelayanan
kefarmasian.
2. Dapat mengetahui jenis infromasi yang harus digali oleh farmasis untuk
menetapkan terapi pada swamedikasi.
3. Dapat mengetahui komponen 8 (delapan) kriteria KIE yang ideal dalam
proses swamedikasi.
BAB II ISI
2.1. Pengertian Swamedikasi
Swamedikasi adalah suatu pengobatan sendiri yang dilakukan oleh
masyarakat terhadap penyakit yang umum diderita, dengan menggunakan obat-
obatan yang dijual bebas dipasaran yang bisa didapat tanpa resep dokter dan
diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International
Pharmaceutical Federation (FIP) mendefinisikan swamedikasi atau self-
medication sebagai penggunaan obat-obatan tanpa resep oleh seorang individu
atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Menurut World Health Organization (WHO),
swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan
penggunaan obat baik itu obat modern, herbal, maupun obat tradisional oleh
seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit.
Swamedikasi bertujuan untuk meningkatkan kesehatan diri, mengobati
penyakit ringan dan lebih terfokus pada penanganan terhadap gejala penyakit
secara cepat dan efektif tanpa intervensi sebelumnya oleh konsultan medis kecuali
apoteker (WHO, 1998). Swamedikasi biasanya dilakukan masyarakat untuk
mengatasi gejala penyakit ringan dan keluhan-keluhan seperti batuk, flu
(influenza), demam, nyeri, sakit maag, kecacingan, diare, biang keringat dan lain-
lain (Menkes RI, 2006). Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa
pengobatan sendiri cukup untuk mengobati masalah kesehatan yang dialami tanpa
melibatkan tenaga kesehatan Alasan lain adalah karena semakin mahalnya biaya
pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat, atau
kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan (Hermawati, 2012).
Swamedikasi harus dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami.
Pelaksanaannya harus memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional, antara
lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, ada tidaknya efek samping,
tidak adanya kontraindikasi, dan tidak adanya interaksi obat (Menkes RI, 2008).
Untuk menjamin kualitas pelayanan swamedikasi di apotek, tenaga kefarmasian
perlu melakukan pelayanan komunikasi, informasi dan edukasi terkait terapi pada
pasien

2.1.1 Patient Assessment


Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien
yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan
identifikasi penyakit pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi (Chua, dkk.,
2006). Apoteker harus memiliki kemapuan untuk mengajukan pertanyaan dalam
usaha untuk mengumpulkan informasi tentang gejala pasien. Metode yang dapat
digunakan oleh apoteker dalam mengumpulkan informasi tentang gejala pasien
adalah :

1. Metode WWHAM
W: Who is the patient and what are the symptoms (siapakah pasien dan
apa gejalanya)
H: How long have the symptoms (berapa lama timbunya gejala)
A: Action taken (Tindakan yang sudah dilakukan)
M: Medication being taken (obat yang sedang digunakan)

2. Metode ASMETHOD
A: Age / appearance (usia pasien)
S: Self or someone else (dirinya sendiri atau orang lain yang sakit)
M: Medication (pengobatan yang sudah dilakukan untuk mengatasi gejala
sakit)
E: Extra medication (regularly taken on preskription or OTC) (pengobatan
yang sedang digunakan baik dengan resep maupun dengan non resep)
T: Time symptoms (lama gejala)
H: History (riwayat pasien)
O: Other symptoms (gejala yang dialami pasien)
D: Danger symptoms (gejala yng berbahaya) (Blenkinsopp dan Paxton,
2002).

2.1.2 Rekomendasi
Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan petugas
apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun
rekomendasi obat (Blenkinsopp dan Paxton, 2002). Swamedikasi yang
bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti keamanan,
khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai
dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien. Obat-obat yang termasuk dalam
golongan obat bebas dan bebas terbatas merupakan golongan obat yang relatif
aman digunakan untuk swamedikasi. Apoteker memiliki tanggung jawab
profesional untuk merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat
medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi
(Menkes RI, 2006).

2.1.2 Informasi Obat


Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak dan
dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Menkes RI, 2014). Pemberian informasi
obat ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi dengan memaksimalkan
penggunaan obat-obatan yang tepat (Rantucci, 2007). Informasi tentang obat dan
penggunaannya yang perlu diberikan kepada pasien swamedikasi lebih ditekankan
pada informasi farmakoterapi yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Adapun
informasi yang perlu disampaikan oleh apoteker pada masyarakat dalam
penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain:
1. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat
yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan
kesehatanyang dialami pasien.
2. Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi
dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra
indikasi dimaksud.
3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi
informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang
harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
4. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada
pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup,
dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
5. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat
menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen
(sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat
menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
6. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan
jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan
tidur.
7. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan
kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan
karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan
dokter
8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu
bersamaan.
9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat.
10. Cara penyimpanan obat yang baik.
11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa.
12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak (Menkes RI,
2006).

2.1.4 Informasi Non Farmakologi


Informasi non farmakologi merupakan informasi yang diberikan sebagai
terapi tambahan tanpa menggunakan obat guna meningkatkan keberhasilan suatu
efek terapi. Beberapa contoh informasi non farmakologi terhadap kasus gastritis
yang dapat diberikan antara lain :
a. Makan secara teratur, makan secukupnya, jangan biarkan perut kosong.
b. Jangan makan makanan yang pedas dan asam.
c. Jangan minum minuman beralkohol
d. Hindari konsumsi obat yang dapat menimbulkan iritasi lambung, misalnya
aspirin.
e. Hindari stres.
f. Hindari rokok (Menkes RI, 2006).
2.1.2 Pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi

1. Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa lain “communis” yang berarti “bersama”.
Sedangkan menurut kamus, definisi komunikasi dapat meliputi ungkapan-
ungkapan seperti berbagai informasi atau pengetahuan, memberi gagasan atau
bertukar pikiran, informasi, atau yang sejenisnya dengan tulisan atau ucapan.
Definisi lain terbatas pada situasi stimulas-response. Pesan dengan sengaja
disampaikan untuk mendapat respon, seperti pertanyaan yang diajukan
memerlukan jawaban, instruksi yang diberikan perlu diikuti.
Komunikasi dapat dilakukan secara verbal atau nonverbal. Verbal berarti
dengan kata-kata baik secara lisan maupun tertulis, sedangkan nonverbal berarti
tanpa kata-kata. Lima proses komunikasi verbal meliputi berbicara, menulis,
mendengarkan, dan berpikir (komunikasi dengan menggunakan pikiran hanya
untuk komunikasi dengan diri sendiri) (Machfoedz, 2009).
Menurut Leary (2009) dalam Komunikasi Keperawatan, komunikasi
merupakan proses transaksi multidimensional yang ditentukan oleh interaksi yang
terjadi di antara pihak komunikator dan komunikan. Respon komunikan sangat
dipengaruhi oleh perlakuan pihak komunikator.
Komunikasi merupakan salah satu aspek penting yang mutlak dikuasai
oleh seorang farmasis dalam melakukan praktek kefarmasian khususnya di
masyarakat. Apoteker yang handal dalam komunikasi akan mampu memberi
penjelasan dengan baik dan jelas kepada pengguna jasa atau layanan kefarmasian
baik itu pasien, tenaga kesehatan maupun pihak lain yang terkait dengan
pekerjaannya. Seorang Apoteker yang komunikatif tentunya tidak cukup dengan
hanya mampu menjelaskan saja tetapi akan menjadi nilai tambah jika dapat
memberi pemahaman dan mengedukasi pengguna sehingga pengguna benar-benar
merasakan manfaat dari layanan yang diberikan Apoteker (Utami dan
Hermansyah, 2012)
Idealnya, maka farmasis baik diminta ataupun tidak harus selalu pro aktif
melaksanakan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) mengenai obat sehingga
dapat membuat pasien merasa aman dengan obat yang dibeli (Susyanty dan
Hayanti, 2007)
Tingkat kejelasan pengertian yang diberikan apoteker tentang obatnya
sangatlah penting. Istilah medik selalu harus dihindari karena pasien kebanyakan
pasien tidak akan mengerti dengan kata-kata umum yang digunakan dalam
lingkungan medik. Pasien jarang bertanya arti suatu istilah medik, menganggap
itu sebagai suatu informasi yang tidak berguna. Menguasai suatu kosa kata yang
cukup sederhana bagi pasien untuk dimengerti sewaktu menerangkan suatu
pengobatan, sangat penting untuk keberhasilan edukasi. Pasien yang gagal
mengerti instruksi dari resep sering menyebabkan gagal kemauan, karena itu
informasi harus disajikan kepada pasien dalam bahasa yang ia dapat mengerti
(Siregar, 2005)

a. Bentuk Dasar Komunikasi


1) Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal ialah komunikasi dalam bentuk percakapan atau
tertulis. Setiap orang dalam berkomunikasi secara verbal dalam menyampaikan
pesan atau informasi (Machfoedz, 2009) Komunikasi verbal, yaitu lisan, dapat
berlangsung dalam bentuk tatap muka langsung, seorang berhadapan dengan
seorang, kelompok kecil, dalam pertemuan, dalam penyajian, atau pemanfaatan
telepon (Siregar, 2005)

2) Komunikasi Non-verbal
Komunikasi Non-verbal adalah penyampaian pesan dengan isyarat-isyarat
tertentu tanpa disertai kata-kata disebut komunikasi non-verbal pesan non-verbal
dapat memperkuat pesan yang disampaikan secara verbal (Machfoedz, 2009)
Seorang farmasis harus menyadari pentingnya komunikasi nonverbal
dalam dalam pelayanan KIE, karena itu, seorang farmasis harus secara tetap
memerhatikan berbagai tanda non-verbal, seperti tanda cemas, marah, atau malu.
Banyak studi menunjukkan bahwa komunikasi non-verbal, sama penting
dengan komunikasi verbal. Ada berbagai kaidah yang mudah untuk diingat
apabila memberikan KIE pada pasien dan akan menghasilkan komunikasi yang
lebih baik (Siregar, 2005)
b. Proses Komunikasi
Proses komunikasi pada hakekatnya adalah penyampaian pikiran atau
perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran
bisa merupakan gagasan, informasi, opini, dan lain-lain. Perasaan bisa berupa
keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian,
kegairahan, dan sebagainya dari lubuk hati (Susanti, 2007).

Ada dua jenis proses komunikasi, yaitu:


1) Proses komunikasi Primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian
pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan
lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam
proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna dan lain
sebagainya yang secara langsung mampu “menterjemahkan” pikiran dan
perasaan komunikator kepada komunikan (Susanti, 2007).

2) Proses komunikasi Sekunder


Proses komunikasi secara sekunder adalah penyampaian pesan
oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana
sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.
Seorang komunikator menggunakaan media kedua dalam melancarkan
komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada ditempat
jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah
radio, televisi, film, dan banyak lagi adalah media kedua yang sering
digunakan dalam komunikasi (Susanti, 2007).
Proses pelaksanaan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi)
disini adalah menggunakan proses komunikasi primer. Yaitu, komunikator
menyampaikan informasi secara langsung ke pada pasien.
c. Teknik Dalam Berkomunikasi
Banyak teknik dapat diterapkan dalam berkomukasi. Teknik komunikasi
yang banyak diterapkan saat berhadapan dengan pasien menurut Mahmud
Machfoedz, adalah:

1) Mendengarkan dengan Aktif


Mengembangkan kemampuan mendengarkan dengan aktif merupakan
aspek yang menguntungkan bagi seorang farmasis.
Mendengarkan dengan aktif meliputi beberapa hal sebagai berikut:
a) Pasien dan keluarga merasa diperhatikan, didengar dan
dipahami
b) Pasien dan keluarga merasa dihargai
c) Pasien dan keluarga dapat dengan mudah mendengarkan dan
memperhatikan informasi yang disampaian oleh farmasis

d) Pasien dan keluarga merasa nyaman

e) Memudahkan terjadinya komunikasi dua arah.

Untuk dapat menjadi pendengar yang baik diperlukan sikap


sebagai berikut:

a) Memandang ke arah pasien dengan simpatik pada saat berbicara

b) Menunjukkan sikap bersungguh-sungguh

c) Tidak menyilangkan kaki dan tangan, tidak bersedekap

d) Menghindari gerakan yang tidak perlu

e) Menganggukkan kepala jika pasien menyampaikan hal yang


penting atau memerlukan umpan balik. (Machfoedz, 2009)

2) Menyampaikan Informasi
Menyampaikan informasi merupakan suatu tindakan penyuluhan
kesehatan yang ditujukan kepada pasien dan keluarga.Tujuan tindakan ini
adalah untuk memfasilitasi klien dalam pengambilan keputusan.
Penyampaian informasi perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai
berikut:
a) Menggunakan bahas yang sederhana agar mudah dipahami oleh
pasien
b) Menggunakan kata-kata yang jelas
c) Menggunakan kata-kata yang positif
d) Menunjukkan sikap bersemangat. (Machfoedz, 2009)

2. Informasi
Informasi adalah pesan yang disampaikan seseorang komunikator kepada
komunikan. Obat adalah produk khusus yang memerlukan pengamanan bagi
pemakainya, sehingga pasien sebagai pemakai perlu dibekali informasi yang
memadai untuk mengkonsumsi suatu obat. Informasi yang dibutuhkan pasien,
pada umumnya adalah informasi praktis dan kurang ilmiah dibandingkan dengan
informasi yang dibutuhkan professional kesehatan. Informasi obat diberikan
apoteker sewaktu menyertai kunjungan timmedik ke ruang pasien; sedangkan
untuk pasien rawat jalan, informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya
(Siregar, 2005).
Tidak ada rumus untuk jumlah informasi yang harus apoteker berikan
kepada pasien. Pada umumnya, pasien menghendaki informasi yang cukup dan
akan membantunya menyelesaikan terapi semudah dan seaman mungkin (Siregar,
2005).
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada
pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan
obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus
dihindari selama terapi (Witjaksono, 2009)
Aspek-aspek yang perlu diinformasikan pada saat menyerahkan obat
kepada pasien, setidaknya harus diberikan informasi mengenai hal-hal sebagai
berikut :
1. Nama obat,
2. Indikasi,
3. Aturan pakai : dosis rute (oral, topikal), frekuensi penggunaan, waktu
minum obat (sebelum/sesudah makan, tidak bersamaan dengan obat lain)
4. Cara menggunakan :
a. Sediaan berbentuk sirup/suspensi harus dikocok terlebih dahulu.

b. Antasida harus dikunyah terlebih dahulu

c. Tablet sublingual diletakkan di bawah lidah, bukan ditelan


langsung tablet bukal diletakan diantara gusi dan pipi, bukan
ditelan langsung.
d. Teknik khusus dalam menggunakan inhaler, obat tetes mata/tetes
telinga/tetes hidung dan suppositoria.

e. Sediaan dengan formulasi khusus seperti tablet lepas lambat

5. Cara penyimpanan

6. Berapa lama obat harus digunakan

7. Apa yang harus dilakukan jika terlupa minum atau menggunakan obat

8. Kemungkinan terjadi efek samping yang akan dialami dan bagaimana


mencegah atau meminimalkannya (ISFI, 2010).

3. Edukasi
Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan
pengetahuan tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama
pasien setelah mendapatkan informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang
optimal (Witjaksono, 2009).
Pentingnya memberikan edukasi kepada pasien adalah untuk
memberitahukan kepada pasien agar ia tidak merasa merendah diri dengan
keadaannya. Juga untuk memberitahukan mengenai terapi yang digunakan.
Terlebih jika pasien menggunakan obat tersebut untuk jangka waktu yang lama
(ISFI, 2010)
Edukasi pasien bukan saja suatu tanggung jawab etika, melainkan juga
tanggung jawab hukum medis (medical-legal). Apoteker yang gagal
mendiskusikan kontraindikasi dan reaksi merugikan tertentu, dapat dituntut secara
hukum jika suat reaksi yang signifikan terjadi. Misalnya, seorang apoteker
mempunyai tanggung jawab untuk memberi peringatan pada seorang pasien,
tentang bahaya mengoperasikan mesin besar dan menyetir mobil apabila sedang
menggunakan obat sedatif (Siregar, 2005).
Pentingnya tentang penyampaian KIE itu sendiri bertujuan agar
penyampaian informasi dan edukasi mengenai obat dapat mencegah terjadinya
medication error (kejadian yang tidak diharapkan) dalam menggunakan obat
karena sudah menjadi tanggung jawab seorang farmasis terhadap keselamatan
pasiennya, dan idealnya seorang farmasis baik diminta atau pun tidak harus selalu
pro aktif melaksanakan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) mengenai obat
sehingga dapat membuat pasien merasa aman dengan obat yang dibeli (Susyanty
dan Hayanti, 2007)

Menurut Bissel, deskripsi kriteria yang harus dipenuhi saat memberikan KIE
adalah 8 kriteria KIE ideal, yaitu meliputi keterampilan komunikasi umum,
informasi apa saja yang dikumpulkan oleh staf apotek, bagaimana cara informasi
dikumpulkan, hal yang harus dipertimbangkan apoteker sebelum memberi
KIE/saran, kerasionalan isi KIE/saran, bagaimana cara saran diberikan,
kerasionalan pemilihan produk obat, dan saat merujuk ke dokter.(Arenatha, 2014)

1. Keterampilan Komunikasi Umum


Aspek yang dinilai :
a. Keterampilan Komunikasi Umum
b. Membuat pelanggan untuk memberikan umpan balik
c. Menumbuhkan sikap jujur & rasa saling percaya diantara pelanggan
dengan staf apotek
d. Tidak memojokkan pelanggan
e. Peka & mempunyai teknik/strategi yang tepat untuk menghadapi
pelanggan

2. Informasi Apa Saja yang Dikumpulkan oleh Staf Apotek


Aspek yang dinilai :
a. Informasi Apa Saja yang Dikumpulkan oleh Staf Apotek
b. Menanyakan untuk siapa obat tersebut
c. Mengumpulkan cukup informasi agar dapat memberikan rekomendasi
yang tepat
d. Memastikan tentang pernah/tidaknya pasien menggunakan obat
tersebut
e. Menyelidiki mengenai harapan pelanggan terhadap hasil terapi
f. Menggunakan pertanyaan yang tepat untuk menggali informasi tentang
tingkat keparahan penyakit
g. Menggali pemahaman pelanggan mengenai penyakit dan pengobatan
h. Mengkritisi permintaan yang secara jelas disebutkan oleh pasien

3. Bagaimana Cara Informasi Dikumpulkan oleh Staf Apotek.


Aspek yang dinilai :
a. Bagaimana Cara Info Dikumpulkan oleh Staf Apotek
b. Efisiensi dalam menggali informasi
c. Menggunakan dengan tepat informasi yang diperoleh
d. Menggunakan pertanyaan terbuka/tertutup pada saat yang tepat
e. Tidak ada informasi penting yang terlewatkan

4. Kerasionalan Isi Saran/KIE yang Diberikan oleh Staf Apotek


Aspek yang dinilai :
a. Informasi Apa Saja yang Dikumpulkan oleh Staf Apotek
b. Menanyakan untuk siapa obat tersebut
c. Mengumpulkan cukup informasi agar dapat memberikan rekomendasi
yang tepat
d. Memastikan tentang pernah/tidaknya pasien menggunakan obat
tersebut
e. Menyelidiki mengenai harapan pelanggan terhadap hasil terapi
f. Menggunakan pertanyaan yang tepat untuk menggali informasi tentang
tingkat keparahan penyakit
g. Menggali pemahaman pelanggan mengenai penyakit dan pengobatan
h. Mengkritisi permintaan yang secara jelas disebutkan oleh pasien

5. Bagaimana Cara Saran Diberikan


Aspek yang dinilai :
a. Bagaimana Cara Saran Diberikan
b. Diberikan pada waktu dan tahap yang tepat
c. Memastikan bahwa KIE telah diberikan secara jelas
d. Menggunakan bahasa yang di sesuaikan dan mudah dipahami
pelanggan
e. Memastikan bahwa tujuan pengobatan yang diharapkan dapat tercapai,
telah disampaikan
f. Mengkonfirmasi jawaban untuk mengetahui tingkat pemahaman
pelanggan
g. Menghindari pemberian info yang berlebihan

6. Saat Merujuk ke Dokter


Aspek yang dinilai :
a. Saat Merujuk ke Dokter
b. Pasien dirujuk ke tenaga ahli kesehatan yang tepat
c. Pasien dirujuk dengan mempertimbangkan pilihan pasien
d. Jaminan kerahasiaan perujukan

7. Kerasionalan Pemilihan Produk Obat oleh Staf Apotek.


Aspek yang dinilai :
a. Kerasioanalan Pemilihan Produk Obat oleh Staf Apotek
b. Memberikan obat dalam jumlah yang tepat
c. Memilihkan obat dengan bukti klinis yang memadai
d. Memastikan keamanan produk obat
e. Tidak berlawanan dengan indikasi resmi dari produk obat
f. Tidak memaksakan penjualan obat kepada pelanggan

8. Rekomendasi Obat dari Staf Apotek


Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan petugas
apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter
ataupun rekomendasi obat (Blenkinsopp dan Paxton, 2002). Swamedikasi
yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti
keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang
tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien. Obat-obat yang
termasuk dalam golongan obat bebas dan bebas terbatas merupakan golongan
obat yang relatif aman digunakan untuk swamedikasi. Apoteker memiliki
tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien agar
segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan
swamedikasi tidak mencukupi (Menkes RI, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Arenatha, F. T. (2014) ‘Analisis Pelayanan Kefarmasian Pengobatan
Swamedikasi Diukur Dari Penerapan Pendekatan Diagnosis Diferensial
Dan 8 Kriteria Kie Ideal’, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya,
3(1), pp. 1–19.
Good Pharmacy Practice (GPP) in Developing Countries, Recommendations
for step-wise implementation, 1998. FIP
ISFI. 2010. Informasi Spesialite Obat Indonesia, Jakarta
Menteri Kesehatan RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Machfoedz, M. 2009. Komunikasi Keperawatan. Ganbika, Yogyakarta.
Siregar, C. J. P. 2005. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Penerbit buku
kedokteran, EGC, Jakarta
Susanti, L. 2007. Komunikasi Masalah Kesehatan (Studi Pada Radio Kotaperak
Yogyakarta). Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sugiyono.2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta
Sri Hartini, Y. 2009. Relavansi Peraturan Dalam Mendukung Praktek Profesi
Apoteker di Apotek. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol. VI, No.2
Susyanty, A. L. dan Hayanti, S. 2007. Prioritas Pasien Akan Kebutuhan
Pelayanan Informasi Obat di Apotek Jakarta. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan. Vol. 10, No. 2
Utami, W. dan Hermansyah, A. 2012. Kontrak Pembelajaran (Pedoman
Pembelajaran Mahasiswa) Komunikasi, Informasi dan Edukasi FAS 322
Semester VIII Tahun Ajaran 2011/2012. Departemen Farmasi Komunitas
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
Witjaksono, A. W. 2009. Perencanaan Sistem Pengukuran Kinerja di Apotek
XYZ Dengan Menggunakan Metode Integrated Performance Measurement
Systems (IPMS) dan Pembobotan Triangular Fuzzy AHP. Universitas
Seblas Maret. Surakarta

Anda mungkin juga menyukai