Anda di halaman 1dari 37

KELOMPOK 5 :

ANRIANI WIDIYA NINGSIH 1601089


AMALIA DWITASARI 1601087
SEPFIRA INDRIANI 1601046
MONICA SARI 1801130
FIONA FITRI ANNISA 1601132
SANDIKA SYAPUTRA 1601044
TASKIA YULIA PUTRI 1601055

KELAS : S1 VI B
Dosen Pengampu :

Dr. Meiriza Djohari, M.Kes, Apt


POKOK PEMBAHASAN

Defenisi Hipersensitivitas

Klasifikasi Hipersensitivitas

Penyakit Hipersensitivitas

Terapi Hipersensitivitas
DEFINISI HIPERSENSITIVITAS

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitifitas


terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya yang
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh.

Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan,


yang terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami
suatu sensitisasi dengan antigen atau alergen tertentu.
KLASIFIKASI Reaksi Cepat
HIPERSENSITIVITAS
Reaksi
Berdasarkan Waktu
Intermediet
Reaksi
Lambat
REAKSI
HIPERSENSITIVITAS Tipe I

Berdasarkan Tipe II
Mekanisme GELL dan
Coombs Tipe III

Tipe IV
REAKSI CEPAT REAKSI INTERMEDIAT REAKSI LAMBAT

Terjadi dalam hitungan Terjadi setelah beberapa Terjadi setelah 48 jam.


detik, menghilang dalam jam dan menghilang 24
2 jam. jam.
KLASIFIKASI MENURUT WAKTU TIMBULNYA REAKSI

CEPAT INTERMEDIET LAMBAT


KLASIFIKASI MENURUT GELL DAN
COOMBS
1. Reaksi Tipe I (Reaksi Alergi)

• Reaksi Tipe I atau reaksi cepat


atau Reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi, timbul segera
sesudah tubuh terpajan dengan
alergen.
• Pada reaksi Tipe I, allergen yang
masuk ke dalam tubuh
menimbulkan respons imun
berupa produksi IgE dan penyakit
alergi seperti rhinitis alergi, Gambar 2-3. Mekanisme Reaksi Tipe 1

asma dan dermatitis atopi.


CON’T
Mekanisme reaksi tipe I adalah sebagai berikut :

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan igE sampai diikat silang oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan
sel mast atau basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi
oleh ikatan silang antara antigen dan igE.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
mediator yang dilepas sel mast atau basofil dengan aktivitas farmakologik.
G a mb ar 2 - 5 . Ika t a n Si l a n g A n t ara A n t ig en Da n Ig E Ya n g M e n g aktif kan Se l M a s t
M e l a lu i F c e R I
MANIFESTASI KLINIS HIPERSENSITIVITAS TIPE 1 (REAKSI ALERGI)

Jenis Alergi Alergen Umum Gambaran


Anafilaksis Obat, serum, kacang- Edema dengan peningkatan permeabilitas vascular,
kacangan berkembang menjadi oklusi trakea, kolaps sirkulasi dan
kemungkinan meninggal
Urtikaria Akut Sengatan serangga Bentolan dan merah didaerah sengatan. Sengatan serangga
juga dapat menyebabkan reaksi tipe 4
Rhinitis Alergi Polen (hay fever), tungau Edema dan iritasi mukosa nasal
debu rumah (rhinitis
parenial)
Asma Polen, tungau debu rumah Kontriksi bronchial, peningkatan produksi mucus, inflamasi
saluran napas
Makanan Kerang, susu, telur, ikan, Urtikaria yang gatal dan potensial menjadi anafilaksis
bahan asal gandum
Eksim Atopi Polen, tungau debu rumah, Inflamasi pada kulit yang terasa gatal, biasanya merah dan
beberapa makanan ada kalanya vesicular
2. Reaksi Tipe II (Sitotoksik atau Sitolitik)

• Reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena di bentuk antibodi jenis IgG atau IgM
terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.
• Reaksi di awali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang
merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul
asesori dan metabolisme sel dilibatkan.
• Reaksi hipersensitivitas di perantarai antibodi  Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity (ADCC)
Manifestasi klinis yang ditemukan dengan mekanisme hipersensitivitas tipe II sitotoksik,
yaitu :

Reaksi Tranfusi

Reaksi inkompatibilitas golongan Rh

Anemia Hemolitik

Reaksi karena obat-obat


1. REAKSI TRANFUSI

Antibodi IgM sangat efisien dalam mengaktifkan


komplemen, sehingga sebagian besar eritrosit dalam
darah tranfusi akan segera di lisis oleh aktivitas
komplemen dalam pembuluh darah resipien.
2 . R E A K SI IN K O MPATIBILI TAS G O LON GAN R H • Rh ibu berbeda dengan rh fetus, jika ibu rh-
dan bayinya rh+ , maka darah ibu akan
membentuk antibody anti rh setelah
kehamilan pertama.
• Pada kehamilan kedua antibodi ibu akan
masuk ke sirkulasi fetus, jika fetus juga rh+
akan terjadi hemolisis. sampai kematian.
• Biasa disebut eritroblastosis foetalis.
• Pencegahan, jika ibu rh- dan fetus rh+ bisa
diberi rhogam . Rhogam adalah anti rh
antibodi yang akan menghancurkan diri
sendiri dalam beberapa bulan, ibu dapat
hamil lagi seperti saat pertama hamil.
3. REAKSI HEMOLITIK

Penderita yang mengalami kerusakan pada sel sel eritrositnya karena


reaksi sitoksik sehingga mengalami anemia. Antibodi yang di produksi oleh
penderita tersebut akan mengikat antigen yang ada pada permukaan
eritrosit, yang selanjutnya akan memperpendek umur eritrosit dengan
keterlibatan hemolisis atau fagositosis (oposonisasi) melalui reseptor Fc
atau C3b pada fagosit.
4. REAKSI KARENA OBAT-OBAT
Obat-obatan yang bertindak sebagai hapten
akan bergabung pada permukaan sel atau sel-
Kerusakan sel-sel darah melalui perantaraan
sel darah. Hapten tersebut akan menginduksi
pembentukan antibodi sebagai respons antibody , seperti eritrosit yang menyebabkan
terhadap obat-obatan yang digunakan. Apabila penyakit anemia hemolytica , atau kerusakan
antibodi yang spesifik terhadap obat yang trombosit yang menyebabkan thrombocytopenia
bertindak sebagai hapten tersebut mengikat merupakan kejadian efek samping luar biasa
pada permukaan sel-sel darah atau sel jaringan setelah penggunaan obat-obatan seperti penisilin
, berlangsunglah proses kerusakan sel-sel (antibiotika), obat-obat anti-aritmia jantung ,
bersangkutan.
quinidine atau obat-obatan anti-hipertensi , dan
metildopa dilaporkan dapat memberikan efek
samping melalui mekanisme rekasi
hipersensitivitas tipe II.
3. REAKSI TIPE III (KOMPLEKS IMUN)

• Dalam keadaaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan di angkut eritrosit ke hati
• Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat di musnahkan oleh
makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih
lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu
penyebab mengapa kompleks tersebut sulit di musnahkan. Meskipun kompleks imun berada di
dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul
bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan
Mekanisme Reaksi Tipe 3
KERUSAKAN JARINGAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA PENGENDAPAN KOMPLEKS IMUN BERLANGSUNG PADA 4
TAHAP :

• Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun


1

• Dalam kondisi tertentu, kompleks imun akan mengendap pada jaringan


2 tertentu seperti endotel, kulit, hati, ginjal dan persendian.

• Faktor humoral seperti komplemen atau enzim fagosit dan faktor selular
3 akan berkumpul di daerah pengendapan

• Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.


4
Ada Dua Jenis Reaksi Kompleks, Yang Terlibat Dalam Penyakit Kompleks :
Reaksi Arthus
Serum Sickness
 Reaksi Arthus ini merupakan prototipe reaksi
imun kompleks atau reaksi yang diperantarai Antigen dalam jumlah besar yang masuk
oleh reaksi agregat senyawa antibody dan kedalam sirkulasi darah dapat membentuk
antigen. kompleks imun. Bila antigen jauh berlebihan
dibanding antibodi, kompleks yang dibentuk
adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk
dibersihkan fagosit sehingga dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tipe III
diberbagai tempat.

Penimbunan komplek imun dalam jaringan dapat


memicu reaksi Arthus
BEBERAPA MANIFESTASI KLINIS REAKSI TIPE III (KOMPLEKS IMUN) :
Penyakit Antigen terlibat Patologi Klinis
Lupus eritamatosis DNA, Nukelopotein, dll Nefritis, arthritis, vaskulitis
sistemik
Poliarteritis nodosa Antigen permukaan virus hepatitis B Vaskulitis
Glomerulonefritis pasca Antigen dinding sel streptokok (mungkin Nefritis
streptokok tertahan pada membrane basal
glomerulus)
Penyakit serum Berbagai protein Arthritis, vaskulitis, nefritis
Arthritis rheumatoid Faktor rheumatoid (IgM berupa anti IgG Komplek diendapkan di sendi dan
yang mengikat Fcg) menimbulkan inflamasi
Farmers’s lung Aktinomiset termofilik yang membentuk Paru
IgG
Infeksi: malaria, virus, Antigen mikroba berikatan dengan Endapan kompleks imun
lepra antigen diberbagai tempat
4. Reaksi Tipe IV

Delayed Type • Tipe hipersensitifitas tertunda (DTH)


respon dimulai berjam-jam atau
Hypersensitivity berhari-hari setelah terjadi kontak
primer dengan antigen dan sering
(DTH) yg terjadi berlangsung berhari-hari.
• Reaksi ini terjadi karena aktivasi
melalui sel CD4+ limfosit T yang sensitif
• Kerusakan terjadi melalui sel CD8+/CTL/Tc
yg langsung membunuh sel sasaran. Sel
T cell mediated CD8+ yg spesifik untuk antigen adalah sel
autologus dapat membunuh sel langsung
cytolysis yg terjadi Penyakit autoimun yg terjadi melalui
mekanisme seluler biasanya ditemukan sel
melalui sel CD8+ CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self
antigen & kedua jenis sel tsb menimbulkan
kerusakan.
Dampak Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

PERKEMBANGAN HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT TERHADAP PRODUK BAKTERI MUNGKIN


BERTANGGUNG JAWAB ATAS KERUSAKAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN ALERGEN BAKTERI
SEPERTI PADA GEJALA KERUSAKAN PADA GRANULOMA PADA KULIT PENDERITA KUSTA.
PENYAKIT YANG DIINDUKSI SEL T
Penyakit Spesifisitas sel T Patogenik Penyakit pada manusia
DM tipe I Anitigen islet langerhans (insulin Ya, spesifisitas sel tidak terbukti
glutamic acid dekarboksilase),dll
Arthritis Rhematoid Anigen dalam sinovium sendi Ya, spesifisitas sel T dan peran
tidak jelas antibody tidak jelas
Sklerosis multiple, MBP, Protein proteolipid Ya, sel T mengenal antigen
ensefalomielitis multiple myelin
eksperimental (EME),
Neuritis perifer Protein P2 asal myelin saraf Sindrom Gullain-Barre
perifer
Miokarditis eksperimental Miosin -
autoimun
Infeksi Antigen mikrobakteri atau Granuloma dan fibrosis,
lainnya menginduksi respon sel T inflamasi menimbulkan
dan makrofag kerusakan jaringan
Bahan Kimia Reaksi DTH Dermatitis kontak
PERBEDAAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I, II, III DAN IV
TIPE REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Terapi
Farmakologi

Terapi Non Intervensi


Farmakologi imunologis

Terapi
Hipersensitifitas
TERAPI NON FARMAKOLOGI

Menghindari sumber Alergen :


Penghentian obat atau agen penyebab alergi.
TERAPI FARMAKOLOGI

•Epinefrin
•NSAIDs
•Antihistamin
•Kortikosteroid
•Teofilin
CON’T

 Epinefrin : Sebagai terapi Anaflaksis


 Teofilin : Sebagai terapi asma
 Antihistamin : sebagai Terapi Alergi
NSAIDS
NSAIDs : aspirin, ibuprofen dan diklofenak .
Menghambat siklo-oksigenase.
Obat ini dapat mengurangi, tetapi tidak menyembuhkan radang. terutama dalam kondisi
rasa sakit disertai dengan inflamasi, seperti rheumatoid arthritis
Kortikosteroid
 Hidrokortison, dapat diberikan intravena
dalam status asthmaticus atau secara
tropikal untuk kondisi peradangan atau
alergi Kondisi yang biasa diobati dengan steroid
 Prednisolon, pemberian oral diberikan diantaranya adalah sebagai berikut (Kitchen
dalam banyak kondisi inflamasi atau alergi G, Griffin J, 2007):
 Beclometason digunakan sebagai aerosol
pada asma atau secara topikal untuk eksim Penyakit peradangan usus
Kondisi alergi misalnya asma
Kondisi kulit peradangan parah
Kondisi rheumatologis peradangan yang
parah
3. Intervensi imunologis

Intervensi imunologis mencoba untuk memodifikasi respon


imun terhadap alergen sehingga produksi atau efek IgE
dinegasikan.
pemberian sejumlah kecil alergen kepada pasien untuk
mendorong produksi IgG terhadap Alergen. Pendekatan
lain adalah memberikan antibodi anti IgE, untuk memblokir
IgE dari pengikatan FceR pada sel mast dan
mengaktifkannya.

Anda mungkin juga menyukai