Anda di halaman 1dari 28

KELOMPOK 4

Farmakoterapi 4
Dosen Pengampu : apt. Ulfa Syafi Nosa, M.Farm.Klin

- Khofifah 1801094
- Wulan Sepliza 1801097
- Indah Fitri 1801092
- Rahmawati yutari 1801085
- Monica putri pratiwi 1801086
- Tiwi ufi rahmanda 1801087
- Rahmi Zhavira Hasan
1801091
- Hunafa Addina Rais 1801095

2018 B
Hipersensitivitas

Definisi

 Hipersensitivitas merupakan peningkatan sensitivitas terhadap antigen


yang pernah terpapar sebelumnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2009).
 Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihanyang
terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu
sensitisasi dengan antigen atau alergen tertentu.
 Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari
sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal
mengalami cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan
melindungi tubuh dan mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa
melukai tubuh adalah sama. Karena itu reaksi alergi juga melibatkan
antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang merupakan komponen
dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang
normal pada sistem kekebalan. (Campbell & J.B. Reece.2005)
Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell & Coombs membagi reaksi
hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yaitu :

Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV

( Anafilaktik ) ( Reaksi ( reaksi kompleks ( reaksi


Sitotoksik ) antigen-antibodi) hipersensitifitas tipe
lambat)

Coombs R R A, Gell P G H. 1968


Hipersensitivitas berdasarkan waktu :

Reaksi lambat
Rekasi cepat Rekasi intermedient

Dalam hitungan detik Terjadi setelah beberapa jam Reaksi lambat terlihat
menghilang dalam dan menghilang dalam 24 setelah 48 jam setelah
waktu 2 jam. jam Manisfestasinya dapat pajanan dengan
Contoh : Anafilaksis berupa: antigen.
sistemik, Anafilaksis Reaksi tranfusi darah, Contoh :
lokal seperti pilek, Eritroblastosis fetalis, anemia Dermatitis kontak.
bersin, asma, urtikaria hemolitik autoimun Artritis
dan eksim reumatoid,vasculitis necrotis
Coombs R R A, Gell P G H. 1968
Tipe-tipe Hipersensitivitas

Hipersensitivitas tipe I

Kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi


hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan bahan yang
umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan
bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut
disebut alergen.

Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe I adalah :


- Konjungtivitis
- Asma
- Rinitis
- Anafilaktic shock

(Abbas AK.2000)
Hipersensitivitas tipe 2

Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan


pada sel tubuh oleh karena antibodi melawan/menyerang secara
langsung antigen yang berada pada permukaan sel. Antibodi yang
berperan biasanya

Contoh penyakit-penyakit :
- Goodpasture (perdarahan paru, anemia)
- Myasthenia gravis (MG)
- Immune hemolytic (anemia Hemolitik)
- Immune thrombocytopenia purpura
- Thyrotoxicosis (Graves' disease)

Terapi yang dapat diberikan pada alegi tipe II: immunosupresant


cortikosteroidsprednisolone)

(Abbas AK.2000)
Hipersensitivitas tipe 3
Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal
dari kompleks antigen antibody berada di jaringan

Kasus lain dari reaksi alergi tipe III yang perlu


diketahui menyebutkan bahwa
Penyakit : imunisasi/vaksinasi yang menyebabkan alergi
- The protozoans that cause malaria sering disebabkan serum (imunisasi) terhadap
- The worms that cause schistosomiasis and filariasis Dipteri atau tetanus. Gejalanya Disebut dg.
- The virus that causes hepatitis B, demam berdarah. Syndroma sickness, yaitu :
- Systemic lupus erythematosus (SLE) - Fever
- "Farmer's Lung“ (batuk, sesak nafas) - Hives/urticaria
- Arthritis
(Abbas AK.2000) - protein in the urine.
Hipersensitivitas tipe 4

Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (“self”).
Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T.
Ekstrinsik : nikel, bhn kimia Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM
or Type I diabetes), Multiple sclerosis (MS), Rheumatoid arthritis, TBC.

(Abbas AK.2000)
Etiologi
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata berair mata
terasa gatal dan kadang bersin.Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi gangguan
pernafasan,kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah, yang menyebabkan
syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada orang-orang yang sangat sensitif,
misalnya segera setelah makan makanan atau obatobatan tertentu atau setelah disengat
lebah,dengan segera menimbulkan gejala.

Roitt J. Brostoff J., Male D.1998


Diagnosis
Pemeriksaan bisa membantu menentukan apakah gejalanya berhubungan dengan
alergen apa penyebabnya serta menentukan obat yang harus diberikan.
- Pemeriksaan darah bisa menunjukkan banyak eosinofil (yang biasanya
meningkat).
Tes RAS (radioallergosorbent) dilakukan untuk mengukur kadar antibodi IgE dalam darah
yang spesifik untuk alergen individual. Hal ini bisa membantu mendiagnosis reaksi alergi
kulit, rinitis alergika musiman atau asma alergika. Tes kulit sangat bermanfaat untuk
menentukan alergen penyebab terjadinya reaksi alergi.
- Anamnesis
Gambaran atau gejala klinik suatu alergi berbeda-beda gradasinya sesuai dengan tingkat
sensivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik,
gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan sirkulasi dan gangguan
respirasi. Gejala pada alergi dapat dimulai dengan bersin, hidung tersumbat atau batuk
saja yang kemudian dapat diikuti dengan sesak nafas. Gejala pada kulit
merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada alergi, salah satunya
bisa menimbulkan edema. (Baratawidjaya K. 1993)
- Pemeriksaan fisik
Pasien tampak sesak, frekuensi nafas meningkat. Adanya takikardia, edema
periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit
berupa urtikasia dan eritema.
- Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium hitung eosinophil darah tepi dapat normal ataupun
meingkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit (skin prick test/SPT) untuk
mencari faktor pencetus yang disebabkan allergen hirup dan makanan
dapat dilakukan setelah pasiennya sehat

(Baratawidjaya K. 1993)
Faktor resiko
• Riwayat keluarga,Terdapat potensi menderita makanan, jika banyak keluarga yang
mengalami gangguan ini.
• Alergi makanan masa lalu,Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat mengatasi
gangguan makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini kembali di kemudian hari.
• Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin berisiko alergi terhadap
makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi alergi yang lain, seperti demam
atau eksim, berisiko mengalami alergi makanan lebih besar.
• usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama balita dan bayi.
Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap komponen makanan atau makanan
yang memicu alergi. Tidak beruntung, anak-anak biasanya dapat mengatasi alergi terhadap
susu, gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacang-kacangan dan
kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
• Asma,Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama.Ketika terjadi,baik alergi
makanan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah .

Baratawidjaja, K. 1993
Prevalensi
Secara epidemiologi dikatakan prevalensi reaksi hipersensitivitas 1-2% dari populasi
penduduk dunia.2 Di Denmark dikatakan terdapat 3,2 kasus reaksi hipersensitivitas derajat
berat per 100.000 orang/tahun, di Jerman dikatakan terdapat 9,8 kasus reaksi hipersensivitas per
100.000 orang/tahun. Di Eropa berkisar dari 1-3 kasus per 10.000 penduduk.
Angka kejadian alergi di Indonesia mengalami peningkatan mencapai 30% pertahunnya
sebagaimana yang disebutkan oleh Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (2012). menunjukkan prevalensi berbagai penyakit alergi, diantaranya rinitis alergi
63,6%, asma bronkial 25,0%, dermatitis atopik 40,9%, dan konjungtivitis alergi 2,3%. Kasus
alergi lebih banyak terjadi pada perempuan (54,5%) dibandingkan laki-laki (45,5%)

(Bresser H.1992)
Patofisiologi
Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau mendapatkan pada atau di bawah kulit.
Setelah seseorang terkena alergi, serangkaian kegiatan menciptakan reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh
mempengaruh timbulnya alergi terhadap makanan. Reaksi ini melibatkan imunoglobulin, yaitu protein yang
membantu dalam respon kekebalan tubuh, tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh.
Respon imun yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap sensitisasi alergen dan tahap
elisitasi.

- Tahap Sensitisasi
Tahap sensitisasi muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang spesifik.Tahap sensitisasi
ini juga disebut dengan tahap induksi, merupakan kontak pertama dengan alergen (yaitu ketika
mengkonsumsi makanan penyebab alergi)
- Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan denganmakanan (penyebab
alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel mediator (sel basofil dan sel mast). Tahap
elisitasi ini menyebabkan tubuh mengeluarkan molekul yang menyebabkan inflamasi (seperti
leukotrien dan histamin).

(Djuanda,dkk.2010)
Interaksi
Obat
- Penisilin
Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi. Untuk pasien dengan alergi
penisilin, pengobatan yang terbaik terbatas pada agen non-penisilin.
- Sulfonamid
Sulfonamid merupakan salah satu antibiotik lainnya yang dapat menyebabkan reaksi alergi dan sering
berhubungan dengan erupsi makulopapular kutaneus yang tertunda, SJS dan TEN. Pasien yang
terinfeksi HIV mengalami peningkatan risiko untuk berkembangnya reaksi kutaneus terhadap
sulfonamid, dimana berkaitan dengan faktor imunologis dan frekuensi paparan terhadap antibiotik.
- Anastesi lokal
Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat jarang terjadi. Reaksi biasanya
karena ada bahan-bahan lain dalam obat, seperti pengawet atau epinefrin.

(Warrington.2011) (Borges MS.2008).


- Anastesi umum
Meskipun jarang, anafilaksis dapat terjadi pada pasien dibwah pengaruh anastesi
umum. Reaksi selama anastesi umum sering dikarenakan agen yang memblok
neuromuscular, tetapi dapat juga dikaitkan dengan anastesi intravena (propofol,
thiopentone, etomidate), antibiotik, NSAIDs, dan alergi lateks.
- Reaksi asam asetilsalisilat/NSAIDs
Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat menyebabkan reaksi alergi yang sebenarnya
dan reaksi pseudoalergi, termasuk eksaserbasi dari penyakit respirasi yang
mendasari, urtikaria, angioedema dan anafilaksis.

(Warrington.2011) (Borges MS.2008).


Terapi Farmakologi

1. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol,
bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin,
pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat
terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama
34 jam.
2. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai
jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif
dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.

(Djuanda,dkk.2010)
3. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog
kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos.

4. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal
langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas
vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

(Djuanda,dkk.2010)
Terapi Non-farmakologi
• Pencegahan dermatitis dapat dilakukan antara lain dengan menghindari mandi berlebihan
• Dengan air hangat dengan sabun yang bersifat alkaline dan mengandung alkohol.Untuk mengurangi
kekeringan pada kulit dan menjaga fungsi pertahanan kulit.
• Dapat dilakukan dengan pemakaian pelembab (disarankan pelembab dengan pH rendah, sesuai
kondisi alami kulit)
setelah mandi dan emolien yang mengandung urea 5% atau 10%
• Selain itu, untuk mengatasi gatal, yang harus diperhatikan adalah tidak menggaruk daerah yang
terkena, karena garukan dapat menyebabkan luka, iritasi dan menyebabkan pelepasan mediator
yang memperburuk rasa gatal.
• Pakaian yang dipakai tidak boleh terlalu ketat dan tidak mengiritasi kulit. Suhu yang nyaman dengan
kelembapan optimal (<40%) juga harus dijaga untuk mencegah penguapan dan keluar keringat
yang terlalu banyak.
• Sediaan yang mengandung menthol 1% juga dapat diberikan untuk memberikan sensasi dingin dan
mengurangi rasa gatal.

Pollard & W.C.Earnshaw,2002


Algoritma

(Markum H.M.S.2005)
Terminologi Medik

Antigen : Benda asing yang masuk dan merangsang antibodi


Imunogen : Zat asing yang masuk yang merangsang sistem imun
Antibodi : Protein globulin yang terbentuk akibat ada antigen yang masuk
Imunogenitas : Derajat keimunogenan suatu zat
Epitop : Bagian dari antibodi yang bereaksi dgn antigen
Valence : Jumlah epitop dalam 1 molekul antigen
Adjuvans :Zat bukan antigen tapi jika diberikan bersama antigen dapat
meningkatkan respon imun

Baratawidjaja K, Rengganis I. 2009


Steven Johnson syndrom
Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan
gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai
macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh.
Sindrom Stevens-Johnson mempunyai tiga gelaja yang khas yaitu kelainan pada mata
berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis, serta
kelainan oral berupa stomatitis. Diagnosis sindrom Stevens-Johnson terutama
berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang
perawatan pada penderita sindrom Stevens-Johnson lebih ditekankan pada perawatan
simtomatik dan suportif karena etiologinya belum diketahui secara pasti.

(Adithan C,2006)
Skin test
Uji kulit merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat membantu klinisi
menetapkan penyebab alergi. Ada dua jenis uji kulit yaitu tes tusuk (skin prick test)
dan tes tempel (skin patch test). Tes tusuk digunakan untuk mendiagnosis reaksi
hipersensitivitas tipe cepat,sedangkan tes tempel digunakan untuk mendiagnosis
reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

(Heinzerling L, Mari A, Bergmann C, Bresciani M,


Burbach G, Darsow U, et al. 2013)
1.Uji tusuk atau skin prick test (SPT) merupakan metode diagnosis untuk penyakit
alergi yang dimediasi immunoglobulin E (Ig E) seperti pada pasien dengan
rinokonjungtivitis, asma, urtikaria, anafilaksis, dermatitis atopik, kecurigaan alergi
makanan, dan alergi obat-Metode Uji Tusuk

Ada 2 metode uji tusuk yang umum digunakan.

•Prick puncture test yang menggunakan lancet dengan ujung sepanjang 1 mm dan
terdapat bahu yang berperanan untuk mencegah penetrasi yang berlebihan.

• Metode kedua modified prick test yaitu melakukan tusukan pada tetesan ekstrak
alergen, kemudian ujung jarum dinaikkan secara hati-hati untuk mengangkat lapisan
epidermal tanpa menyebabkan perdarahan.

(Heinzerling L, Mari A, Bergmann C, Bresciani M,


Burbach G, Darsow U, et al. 2013)
2.Uji tempel (skin patch test) ditujukan untuk menimbulkan miniatur
reaksi eksematosa dengan cara menempelkan alergen dengan tehnik
oklusi pada kulit pasien yang intak dan dicurigai memiliki alergi
terhadap bahan tertentu. Pemeriksaan ini merupakan suatu
visualisasi in vivo terhadap fase elisitasi dari reaksi hipersensitivitas
tipe lambat (reaksi tipe IV).

(Heinzerling L, Mari A, Bergmann C, Bresciani M,


Burbach G, Darsow U, et al. 2013)
Daftar Pustaka
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS.Celluler and Moleculer Immunology. 4thEd., Philadelphia: W.B.
Saunders Company. 2000.
Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. JIPMER. 2006;2(1). India.
Baratawidjaja K, Rengganis I. 2009 . Imunologi Dasar, Edisi Kedelapan. Jakarta:Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia
Baratawidjaja, K. 1993. Penyakit alergi. Yayasan Penerbit IDI. Jakarta.
Coombs R R A, Gell P G H. 1968. Classification of allcrgic reactions responsiblefor clinical
hypersensitivity. Clinical Aspects of Immunology, 2 nd ed,edits. G ELL P G H, and
COOMBS. R R A Blackwell ScientificPublications. p.575
Borges MS. Management of nonsteroidal anti-inflammatory drug hypersensitivity. WAO Journal.
2008;1:29-33.
Bresser H, Sandner CH, Rakoski J.Anaphylactic emergencies in Munich in1992 (abstract). J
Allergy Clin Immunol. 95:368.200
Campbell & J.B. Reece. Biology. Sevent Ed. San Fransisco: Person Education, Inc. 2005.
Djuanda,adji,Prof,Dr,spkk,dkk.2010. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi.Jakarta.CMP MEDIK
Heinzerling L, Mari A, Bergmann C, Bresciani M, Burbach G, Darsow U, et al. The skin prick test-
European Standard. Clinical and Translational Allergy 2013; 3: 1-10.
Markum H.M.S, editor. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2005.
Janeway CA, Travers P, Walport M,Capra JD. Immunobiology-The ImmuneSystem in Health and
Disease. FourthEdition. New York: Elsevier ScienceLtd/ Garl and Publishing. 1999.
Pollard & W. C. Earnshaw. Cell Biology.USA: Elsevier Science. 2002.
Roitt J. Brostoff J., Male D. Immunology. 5Ed. London: Mosby International Ltd.1998
Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Asthma & Clinical Immunology. 2011;7(1):1-8
Thanks !

Anda mungkin juga menyukai