Anda di halaman 1dari 21

FARMAKOTERAPI IV

Rheumatoid arthritis
Nama Anggota kelompok 4:
• Khofifah 1801094
• Wulan Sepliza 1801097
• Indah Fitri 1801092
• Rahmawati Yutari 1801085
• Monica Putri Pratiwi 1801086
• Tiwi Ufi Rahmanda 1801087
• Rahmi Zhavira Hasan 1801091
• Hunafa Addina Rais 1801095

Dosen Pengampu : apt.Ulfa Syafi Nosa,M.farm.Klin


Definisi
Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana


persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada
bagian dalam sendi (Febriana,2015).
Klasifikasi
Rheumatoid arthritis diklasifikasikan menjadi 4 tipe,yaitu:

1. Rheumatoid arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dangejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus paling sedikit dalam waktu 3 bulan.

Buffer,2010
Prevalensi
Prevalensi RA yang dilaporkan pada sebagian besar populasi adalah 1 – 3 %,
dengan insiden puncak pada dekade keempat atau kelima. Wanita 3 – 4 kali lebih
sering terkena dibandingkan pria. Prevalensi dan gejala klinis yang tampak dapat
bervariasi pada populasi yang berbeda; penyakit ini lebih sering (dan secara umum
lebih berat) pada ras kaukasia yang tinggal di daerah urban Eropa dan Amerika Utara
dibandingkan dengan yang tinggal di pedalaman Afrika. Suatu studi oleh St. Clair dkk
menyatakan bahwa 75% penderita Rheumatoid Arthritis adalah wanita. Sendi-sendi
perifer merupakan lokasi pertama atau awal dari RA, dan distribusi antara kedua sisi
cenderung simetris.

St.Clair E W, Pisetsky D S,2004


Lanjutan
Darmawan dkk. pernah meneliti prevalensi Rheumatoid arthritis (RA) di
Indonesia. Dari total populasi di Jawa Tengah (4683 di pedesaan dan 1071 di kota),
prevalensi RA sebesar 0,2% pada pedesaan dan 0,3% di kota. Studi ini dibandingkan
dengan studi dari RS. John Hopkins, Amerika Serikat bahwa prevalensi RA di dunia
mencapai 1% hingga 2%. Dan jumlah wanita dengan RA lebih banyak dibandingkan
pada pria. Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia, hampir 5% pada wanita
dengan usia diatas 55 tahun.

Darmawan dkk,1993
Patofisiologi
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit autoimun
yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan
psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca
yang lembab dan daerah dingin diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.Patogenesis terjadinya
proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas
antigen apa sebagai pencetus awal,mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid,
suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).
Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih
berkembang terus.
Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi,
autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator
keradangan.
Putra dkk,2013
Lanjutan
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan laboratorium
dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc
dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar,
kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai
seropositive. Anti-CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana diagnostik
penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra dkk,2013).

Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal ini terjadi karena hasil
diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis.
Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan
sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan
sendi diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. (Choy,
2012)
Etiologi
Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal mengenai
patogenesisnya telah terungkap. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama
diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita
rheumatoid arthritis dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan
dugaan terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap penyakit ini. Walaupun demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal tidak
pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil
dipastikan bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini.

Aspiani, 2014
Diagnosis
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat ukur diagnosis RA dengan ARA (American
Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang
digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik. Sebagai contoh, IGM Rheumatoid
Factor memiliki spesifisitas 90% dan sensitivitas hanya 54%. Berikut adalah kriteria ARA (American
Rheumatism Association) yang direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:
1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan
maksimal.
2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah sendi atau lebih secara
bersamaan.
3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu pembengkakan persendian tangan yaitu
PIP (proximal interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.

Bresnihan, 2002
Diagnosis
4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi misalnya PIP (proximal
interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).
5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor
atau daerah juksta artikuler.
6. Rheumatoid Factor serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan atau pergelangan tangan
yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat

Bresnihan, 2002
Faktor Resiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi dua yaitu faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
• Tidak Dapat Dimodifikasi:
1) Faktor genetik , Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA. Gen yang
berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1.
Perbedaan substansial pada faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLA-
DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di
populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia.
2) Usia , RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga dapat
terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko
untuk timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA semakin
meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia
dibawah 40 tahun dan sering pada usia diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin , RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 3:1. Meskipun
mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan
memiliki pengaruh.

• Dapat Dimodifikasi:
1) Gaya hidup
- Status sosial ekonomi. Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat kaitan antara
faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan
antara tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko RA.
- Merokok. Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok tembakau berhubungan
dengan peningkatan risiko RA. Merokok berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang
akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun.
- Diet. Dalam penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan
jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah
dapat meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan memproteksi kejadian RA. Selain
itu penelitian lain menyebutkan konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas
bagaimana hubungannya.
- Infeksi. Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr virus (EBV) karena virus
tersebut sering ditemukan dalam jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya
parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella, dan Chlamydia juga memingkatkan
risiko RA.
- Pekerjaan. Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani, pertambangan, dan yang
terpapar dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang
bekerja dengan paparan silica.
2) Faktor hormonal. Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada perempuan
dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.
3) Bentuk tubuh. Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT)
lebih dari 30.
Penanganan Non Farmakologi
Dalam pilar pengelolaan AR terdapat 2 hal yang termasuk dalam terapi non- farmakologis yaitu edukasi
dan latihan/program rehabilitasi. Edukasi yang dimaksud mencakup 2 poin penting yaitu penjelasan
mengenai penyakit yang diderita dan juga penjelasan mengenai diet dan terapi komplementer.

Hal yang penting dalam pengobatan AR adalah perlunya penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya,
apa itu AR, bagaimana perjalanan penyakitnya, kondisi pasien saat ini dan bila perlu penjelasan tentang
prognosis penyakitnya. Pasien harus diberitahu tentang program pengobatan, risiko dan keuntungan
pemberian obat dan modalitas pengobatan yang lain.Sampai saat ini belum ditemukan diet spesifik yang
mencetuskan ataupun memperberat AR. Namun beberapa ahli gizi menyarankan diet untuk banyak
makan sayuran, buah dan ikan serta mengurangi konsumsi lemak/daging merah. Pasien AR juga
dianjurkan untuk mempertahankan berat badan ideal, karena obesitas akan memberi stress tambahan
pada sendi dan berperan pada risiko terjadinya osteoarthritis. Terapi komplementer juga belum ada
bukti yang adekuat untuk mendukung pemakaiannya dalam pengeloalaan AR.
PRI, 2014
Penanganan Farmakologi

1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug),Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat
inflamasi. NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak,
dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi.
2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug),Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan
kartilago) dari proses destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:
hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat
diberikan tunggal maupun kombinasi.
3. Kortikosteroid ,Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge”
terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-
16 minggu.
Kapita Selekta,2014
Lanjutan
4. Rehabilitasi, Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan
sebagainya. Setelahnyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan, Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat
dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip
replacement, dan sebagainya.

Kapita Selekta,2014
Interaksi Obat
• Metotreksat : MTX menghambat produksi sitokin dan biosintesis purin, yang mungkinbertanggung
jawab atas sifat antiinflamasinya. Onsetnya relatif cepat (sedini 2 hingga 3 minggu), dan 45% hingga
67% pasien tetap menggunakannya dalam waktu yang lamastudi mulai dari 5 hingga 7 tahun.
• Leflunomide: Leflunomide (Arava) menghambat sintesis pirimidin, yang mengurangi proliferasi limfosit
limfosit dan modulasi peradangan. Khasiatnya untuk RAmirip dengan MTX.
• Hydroxychloroquine : Hydroxychloroquine tidak memiliki toksisitas myelosupresif, hati, dan ginjal yang
terlihat pada beberapa DMARD lainnya, yang menyederhanakan pemantauan. Nyaonset mungkin
tertunda hingga 6 minggu, tetapi obat tidak bolehdianggap sebagai kegagalan terapeutik sampai setelah
6 bulan terapi tanpatanggapan.
• Sulfasalazine : Penggunaan sulfasalazine sering dibatasi oleh efek samping. Efek antirematikharus dilihat
dalam 2 bulan

DiPiro J.T.dkk,2015
Algoritma
Terminologi Medik
• Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit kronis yang menyebabkan terjadinya peradangan
dan kelainan bentuk sendi, disebabkan oleh adanya suatu antibodi yang menyerang sel sendi
itu sendiri
• Disease modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs) adalah kategori obat yang sering
digunakan untuk mengobati kondisi autoimun, seperti artritis reumatoid dan lupus
eritematosus sistemik (lupus).
• Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengurangi peradangan, sehingga meredakan
nyeri dan menurunkan demam. NSAIDs sering dikonsumsi untuk mengatasi sakit kepala, nyeri
menstruasi, keseleo, atau nyeri sendi.
Daftar Pustaka
Aspiani, R. Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik (1st ed.; T. A. M, Ed.). Jakarta Timur: CV. TRANS INFO MEDIA.
Trans Info Media.
Buffer (2010). Rheumatoid Arthritis. Tersedia http://www.rheumatoid_arthritis.net/dowload.doc Diakses pada tanggal 15
september 2014
Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford
University Press on behalf of the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
Darmawan J; Muirden K D; Valkenburg H A; Wigley R D. The Epidemiology of Rheumatoid Arthritis in Indonesia.
Semarang, Indonesia. Oxford Journals – Rheumatology. Vol.32, Issue 7, p 537-40. 1993.
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill
EducationCompanies,Inggris.
Febriana. (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arhritis Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada
Purworejo. Naskah Publikasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media Aesculapius, pp 835-839
PRI (Perkumpulan Reumatologi Indonesia). 2014. Diagnosis dan pengelolaan artritis rheumatoid. Hal 6-13.
Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
St.Clair E W, Pisetsky D S. Rheumatoid Arthritis, 1st ed. Durham North Carolina : Lippincott-Williams-Wilkins,2004
Terimakasi

Anda mungkin juga menyukai