Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN INTERNA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU REFARAT

RHEUMATOID ARTHRITIS

Disusun Oleh:
Dwi Pasca Cahyawati
(N 111 18 089)

Pembimbing :
dr. Arfan Sanusi.,Sp.PD

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN INTERNA RSU UNDATA PALU
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Nama : Dwi Pasca Cahyawati
Stambuk : N 111 18 089
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Refarat : Rheuatoid Arthritis
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

BAGIAN INTERNA RSU UNDATA PALU


PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO

Pembimbing Klinik

dr. Arfan Sanusi.,Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit kronik, sistemik yang


menyebabkan inflamasi sinovial sehingga menyebabkan kerusakan progresif dari
kartilago artikular dan deformitas. Artritis reumatoid terjadi pada 1% populasi
penduduk di seluruh dunia yang meliputi segala umur dan lebih dominan pada
wanita dengan perbandingan 3:1.(1)
Angka kejadian artritis reumatoid di dunia berkisar 40/100.000, rasio
perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 3:1. Faktor risiko penyakit
artritis reumatoid pada dewasa adalah 3,6% untuk perempuan dan 1,7% untuk
laki-laki. Angka kejadian artritis reumatoid di Amerika Serikat berkisar 42-
45/100.000. Prevalensi artritis reumatoid di dunia berkisar 0,5-1 %. Prevalensi
yang tinggi didapatkan di Pima Indian (5,3 %) dan Chippewa Indian (6,8 %).
Sedangkan prevalensi di China, Indonesia, dan Philipina kurang dari 0,4 %.(2)

Laporan World Health Organization (WHO), (2016) menyebutkan angka


kejadian rematik mencapai 335 juta penduduk dunia, dimana 5-10% berusia 5-20
tahun dan 20% berusia 55 tahun sedangkan tahun 2012 meningkat menjadi 25%
penderita rematik yang akan mengalami kecacatan akibat kerusakan pada tulang
dan gangguan pada persendian. Prevalensi penyakit ini relatif konstan yaitu
berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia. Hasil perkiraan yang lebih baru
menyebutkan sekitar 35 juta kasus penyakit terdapat di amerika serikat. Di Jerman
sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi kronik mulai dari usia 20 tahun dan
juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu dari penyebab utama nyeri yang timbul,
dengan konsekuensi yang serius, merupakan Rematik Ketidak sanggupan untuk
bekerja akibat penyakit ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap sistem
ekonomi dan sosial. Keadaan sosial serta ekonomi ini semakin dipengaruhi oleh
proses proses penyakit yang kronis.(3)

Faktor genetik dan faktor lingkungan berperan dalam terjadinya artritis


reumatoid. Faktor genetik berhubungan dengan beberapa gen yang membawa
informasi mengenai artritis reumatoid, seperti Human Leukocyte Antigen –
antigen D related (HLA-DR), sitokin, sel Timus (sel T), sel B dan lainnya. Faktor
lingkungan yang berperan pada artritis reumatoid seperti merokok, dapat
mengaktifkan enzim peptidylarginine deiminase (PAD).(2)

Kerusakan sendi pada penderita artritis reumatoid bermula dari aktivasi


dan proliferasi makrofag oleh autoantigen yang berasal dari salah satu protein
pada sendi. Faktor pencetus yang berperan adalah infeksi yang dapat terjadi
dimana saja, paling sering terjadi di saluran pernapasan. Limfosit akan
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, serta
neovaskularisasi. Pembuluh darah akan mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan
kecil atau sel-sel inflamasi, kemudian terjadi pertumbuhan yang ireguler pada
jaringan sinovial sehingga membentuk jaringan pannus. Jaringan pannus akan
merangsang pelepasan berbagai macam sitokin, proteinase dan faktor
pertumbuhan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan manfestasi sistemik.(2)

Aktivitas enzim PAD yang berfungsi mengubah arginin menjadi sitrulin


meningkat pada artritis reumatoid. Sitrulin berperan sebagai autoantigen sehingga
merangsang pembentukan autoantibodi. Peningkatan aktivitas enzim PAD akan
memicu pembentukan autoantibodi lebih banyak. Semakin banyak autoantibodi
yang dihasilkan semakin meningkat aktivitas penyakit artritis reumatoid.
Autoantibodi tersebut dikenal dengan istilah anti citrullinated peptide antibody
(ACPA). Anti citrullinated peptide antibody berguna sebagai marker untuk
progesifitas dan prognosis penyakit. (2)

Pada awal penyakit diagnosis artritis reumatoid sering dikacaukan dengan


lupus eritematosus sistemik. Persendian terutama pada tangan dapat terserang
pada kedua penyakit, sehingga pasien lupus eritematosus sering salah diagnosis
sebagai artritis reumatoid. Oleh karena hasil akhir dari kedua penyakit ini sangat
berbeda, maka dibutuhkan suatu marker serologik untuk membedakan keduanya
pada saat awitan penyakit. Anti citrullinated peptide antibody (ACPA) telah
dilaporkan sangat spesifik pada artritis reumatoid. Anti citrullinated peptide
antibody dapat terdeteksi pada stadium awal artritis reumatoid sehingga berperan
penting dalam menegakkan diagnosis. Sensitivitas dari ACPA adalah 70%-75%
dan spesifisitasnya 95%.(2)

Menurut American College of Rheumatology/European League Against


Rheumatism 2010, penilaian aktivitas penyakit artritis reumatoid dapat
menggunakan instrumen disease activity score in 28-joint count
(DAS28).Instrumen ini mengkategorikan aktivitas penyakit menjadi remisi,
rendah, sedang, dan tinggi. Parameter yang diukur dalam pemeriksaan DAS28 ini
antara lain, penilaian nyeri tekan dan pembengkakan pada 28 sendi yaitu sendi
bahu, siku, pergelangan tangan, metakarpopalangeal, proksimal interfalang, dan
sendi lutut, peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP)
serta derajat nyeri tekan. Penilaian derajat nyeri tekan pada artritis reumatoid
diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS), skala 0 – 10 cm.(2)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI RHEUMATOID ARTHRITIS

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi.
Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang
sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi. Engram (1998) mengatakan bahwa, rheumatoid arthritis
adalah penyakit jaringan penyambung sistemik dan kronis dikarakteristikkan oleh
inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial.(4)

2.2 EPIDEMIOLOGI

Pada kebanyakan populasi di dunia prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisaran


antara 0,5%-1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa
Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Prevalensi AR di india dan di
negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75%. Sedangkan di China,
Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah dengan
kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non HLA juga
berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang
mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan
dalam proses resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik berperan penting dalam
terapi AR karna aktivitas enzim methyltranferase untuk metabolisme
methotranferase ke azathioprine ditentukan faktor genetik. (5)
2.3 KLASIFIKASI RHEUMATOID ARTHRITIS

Klasifikasi Rheumatoid Arthritis Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid


arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:

1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan
gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam
waktu 6 minggu.

2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.

3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.

4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.(4)
2.4 FAKTOR RESIKO
Faktor resiko Rheumatoid Arthritis :
1. Umur
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya AR, faktor usia adalah yang
terkuat. Prevalensi dan beratnya AR semakin meningkat dengan
bertambahnya umur. AR hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada
umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.

2. Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena AR lutut dan sendi, dan lelaki lebih sering
terkena AR paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan di
bawah 45 tahun frekuensi AR kurang lebih sama pada laki dan wanita
tetapi diatas 50 tahun frekuensi AR lebih banyak pada wanita dari pada
pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis AR.

3. Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya AR. Sebagai contoh, pada
ibu dari seorang wanita dengan AR pada sendi-sendi inter falang distal
terdapat dua kali lebih sering AR pada sendi-sendi tersebut, dan anak-
anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada
ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa AR.

4. Suku
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada AR nampaknya terdapat
perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya AR paha lebih
jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. AR
lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli dari pada orang
kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup
maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5. Obesitas (Kegemukan)
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko
untuk timbulnya AR baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan
ternyata tak hanya berkaitan dengan AR pada sendi yang menanggung
beban, tapi juga dengan AR sendi lain (tangan atau sternoklavikula).

6. Aktifitas/mobilitas yang berlebihan


Aktifitas penderita dengan usia yang sangat lanjut sangatlah membutuhkan
perhatian yang lebih, karena ketika penderita dengan kondisi tubuh yang
tidak memungkinkan lagi untuk banyak bergerak, akan memberatkan
kondisi penderita yang menurun terlebih lagi sistem imun yang sangat
buruk. Sehingga penderita dengan sistem imunitas tubuh yang menurun,
sangatlah dibutuhkan perhatian lebih untuk mengurangi /memperhatikan
tipe aktifitas/mobilitas yang berlebih. Hal ini dikarenakan kekuatan sistem
muskuloskeletal penderita yang tidak lagi seperti usianya beberapa tahun
yang lalu, masih dapat beraktifitas maksimal

7. Lingkungan
Mereka yang terdiagnosis atritis reumatoid sangatlah diperlukan adanya
perhatian lebih mengenai keadaan lingkungan yang sangat mendukung.
Ketika lingkungan sekitarnya yang tidak mendukung, maka kemungkinan
besar klien akan merasakan gejala penyakit ini. Banyak diantaranya ketika
keadaan suhu lingkungan sekitar penderita yang cukup dingin, maka
penderita akan merasa ngilu, kekakuan sendi pada area-area yang biasa
terpapar, sulit untuk mobilisasi, dan bahkan kelumpuhan.(6)
2.4 ETIOLOGI
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun
faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor
metabolik, dan infeksi virus(4)

2.5 PATOFISIOLOGI
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya) terutama
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim
dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus
akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot
akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot. Lamanya
rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa
serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari
serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil
individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus
menerus dan terjadi vaskulitis yang difus.(4)

2.6 MANIFESTASI KLINIK


Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan kerusakan rawan
sendi dan tulang di sekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer
tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas,
diagnosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan
penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi jelas, sehingga kadang-kadang
timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Walaupun demikian, seorang
dokter tidak perlu terlalu cepat menegakkan diagnosis pasti lebih baik menunda
diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis jenis artritis
lain yang seringkali memberikan gejala serupa. (8)
Adanya beberapa manifestasi klinis yang lazim ditemukan pada penderita Artritis
reumatoid. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang
bersamaan karena penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala - gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun
dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat,mati rasa, dan
kesemutan.

2. Poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan


tulang sekitarnya. Kerusakan ini terutama pada sendi perifer, termasuk sendi -
sendi di tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris,namun biasanya tidak
melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat
terserang.

3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata
tetapi terutama menyerang sendi - sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan
sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit
dan selalu berulang dari satu jam.

4. Artritis erosive, merupakan ciri khas Artritis reumatoid pada gambaran


radiologik. Peradangan sendi yang kronik melibatkan erosi di tepi tulang dan
dapat dilihat pada radiogram.

5. Deformitas
Kerusakan dari struktur - struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit.
Dapat terjadi pergeseran urnal atau deviasi jari, subluksasi sendi meta karpo
falangenal, deformitas boutonniere, dan leher angsa merupakan beberapa
deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada kaki terdapat
protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
matatersal. Sendi - sendi yang sangat besar juga dapat terserang dan akan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam melakukan
gerakan ekstensi.
6. Nodul - nodul reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa penderita Artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering
dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau disepanjang
permukaan ekstensor dari lengan, walaupun demikian nodul - nodul ini dapat juga
timbul pada tempat - tempat lainnya. Adanya nodul - nodul ini biasanya
merupakan suatu petunjuk penyakit yang aktif dan lebih barat.

7. Manifestasi ekstraartikuler, artritis reumatoid juga dapat menyerang juga dapat


menyerang organ - organ lain di luar sendi seperti :
 Kulit
Nodul reumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan terbentuk di bawah
kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan seperti
olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon Achilles. Vaskulitis
seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulir dan
nekrosis kuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah yang
cukup luas, kelainan ini dapat menyebabkan terbentuknya gangren atau
ulkus terutama pada ekstremitas bawah.
 Mata
Kelainan yang sering dijumpai adalah kerato-konjungtivitis sicca yang
merupakan manifestasi sindrom Sjogren. Pada AR umumnya dapat
dijumpai beberapa episkleritis yang umumnya sangat ringan dan akan
sembuh secara spontan. Walaupun demikian, pada AR dapat pula dijumpai
gejala skleritis yang secara histopatologis menyerupai nodul reumatoid
dan dapat menyebabkan terjadinya erosi sklera sampai pada lapisan koroid
serta menimbulkan gejala skleromalasia perforaans yang dapat
menyebabkan kebutaan.
 Sistem Respiratorik
Peradangan pada sendi krikoaritenoid tidak jarang dijumpai pada AR.
Gejalanya berupa nyeri pada tenggorokan, nyeri menelan atau disfonia
yang umumnya semakin berat pada pagi hari. Paru merupakan organ yang
sering terlibat AR, umumnya hanya ringan dan dapat diketahui dari hasil
autospi berupa pneumonitis interstisial. Akan tetapi jika terus berlanjut
maka dapat pula dijumpai efusi pleura dan fibrosis paru yang luas.
 Sistem Kardiovaskular
Pada beberapa pasien dapat dijumpai gejala perikarditis konstriktif yang
berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul reumatoid dpaat dijumpai
pada miokardium dan katup jantung. Lesi ini dapat menyebabkan
disfungsi katup, fenomen ombolisasi, gangguan konduksi, aortitis, dan
kardiomiopati.
 Sistem Gastrointestinal
Seringkali dijumpai komplikasi berupa gastritis dan ulkus peptik yang
merupakan komplikasi utama penggunaan NSAID atau DMARD yang
merupakan faktor penyebab mordibitas dan mortalitas utama pada AR.
 Ginjal
Pada AR jarang sekali ditemukan kelainan glomerular. Jika pada pasien
AR dijumpai proteinuria, umumnya hal tersebut lebih sering karena efek
samping pengobatan saperti garam emas dan d-penisilamin atau terjadi
sekunder akibat amikoidosis. Walaupun kelainan ginjal interstisial dapat
dijumpai pada sindrom Sjogren, umumnya kelainan tersebut lebih banyak
berhubungan dengan penggunaan NSAID. Sementara penggunaan NSAID
yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan nekrosis papilar ginjal.1
 Sistem Saraf
Patogenesis komplikasi neurologis pada AR umumnya berhubungan
dengan miopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau
neuropati iskemik akibat vaskulitis.
 Sistem hematologis
Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit
normositiknormokromik (atau hipokromik ringan) yang disertai dengan
kadar besi serum yang rendah serta kapasitas pengikatan besi yang normal
atau rendah merupakan gambaran umum yang sering dijumpai pada AR.
Anemia akibat penyakit kronik ini harus dapat dibedakan dari anemia
defisiensi besi yang juga dapat dijumpai pada AR akibat penggunaan
NSAID yang menyebabkan erosi mukosa lambung. Pada pasien AR yang
berat dengan HLA-DR4 positif sering dijumpai sindrom Felty yang
merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali, leukopenia dan ulkus
pada tungkai. Sindrom felty pada umumnya juga sering disertai dengan
limfadenopati dan trombositopenia. Selain sindrom felty, trombositopenia
juga dapat timbul sebagai komplikasi akibat penekanan sumsum tulang
pada penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan dengan proses
autoimun pada penggunaan garam emas, dpenisilamin atau sulfasalazin.(6)

2.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


Untuk diagnosis Rheumatoid Arthritis Terdapat beberapa kesulitan dalam
mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini disebabkan oleh onset yang tidak bisa
diketahui secara pasti dan hasil pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda
tergantung pada pemeriksa. (6)
Tujuan utama dari program pengobatan pada reumatoid artritis adalah untuk
menghilangkan nyeri dan peradangan, mempertahankan fungsi sendi dan
kemampuan maksimal dari penderita, serta mencegah dan atau memperbaiki
deformitas yang terjadi pada sendi. Selain itu, dengan adanya program pengobatan
ini dapat mengusahakan agar pasien dapat tetap bekerja dan hidup secara biasa
baik di rumah maupun di tempat kerja,terutama mengatasi kerperluan-keperluan
dirinya sehari-hari. Penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai
tujuan itu meliputi pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi, serta
obat – obatan. Pengobatan harus diberikan secara paripurna, karena penyakit sulit
sembuh. Oleh karena itu, pengobatan dapat dimulai secara lebih dini. Penderita
harus dijelaskan mengenai penyakitnya dan diberikan dukungan psikologis. Nyeri
dikurangi atau bahkan dihilangkan, reaksi inflamasi harus ditekan, fungsi sendi
dipertahankan, dan deformitas dicegah dengan obat antiinflamasi nonsteroid, alat
penopang ortopedis, dan latihan terbimbing. Pada keadaan akut kadang
dibutuhkan pemberian steroid atau imunosupresan. Sedangkan, pada keadaan
kronik sinovektomi mungkin berguna bila tidak ada destruksi sendi yang luas.
Bila terdapat destruksi sendi atau deformitas dapat dianjurkan dan dilakukan
tindakan artrodesis atau artroplastik. Sebaiknya pada revalidasi disediakan
bermacam alat bantu untuk menunjang kehidupan sehari - hari dirumah maupun
ditempat karja.
a. pengobatan non medika mentosa
 Langkah pertama dari program penatalaksanaan artritis reumatoid adalah
memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit kepada
klien, keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan klien.
Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pengertian tentang
patofisiologi penyakit, penyebab dan prognosis penyakit, semua
komponen program penatalaksanaan termasuk obat yang kompleks,
sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit, dan metode- metode
yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan.
 Istirahat adalah penting karena Artritis reumatoid biasanya disertai rasa
lelah yang hebat. Walaupun rasa lelah tersebut dapat timbul setiap hari,
tetapi ada masa – masa di mana pasien marasa keadaannya lebih baik atau
lebih berat. Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat apabila
beristirahat. Hal ini memungkinkan pasien dapat mudah terbangun dari
tidurnya pada malam hari karena nyeri.
 Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat
kemampuan pasien AR dengan cara:
 Mengurangi rasa nyeri
 Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
 Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
 Mencegah terjadinya deformitas
 Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
 Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung kepada orang
lain.
 Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan
modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan
ambang rasa nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam
pengobatan AR telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan AR.
 Fisioterapi / latihan
Disamping itu latihan - latihan spesifik dapat bermanfaat dalam
mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan
pasif pada semua sendi yang sakit, dan sebaiknya dilakukan sedikitnya dua
kali sehari. Obat-obatan penghilang nyeri mungkin perlu diberikan
sebelum latihan. Latihan ini dilakukan sebagai pencegahan terhadap cacat
yang lebih lanjut dan bila sudah terjadi cacat, dicobadilakukan rehabilitasi
bila masih memungkinkan.
Di samping bentuk latihan, sering pula diperlukan alat bantu. Oleh sebab
itu, pada pengobatan fisioterapi tercakup pengertian tentang rehabilitasi
termasuk : pemakaian alat bidai, tongkat, tongkat penyangga, walking
machine, kursi roda, sepatu dan alat ortotik lainnya
 mekanoterapi yaitu alat mekanik untuk latihan
 pemanasan baik hidroterapi maupun elektroterapi
 occupational therapy
 Untuk menilai kemajuan hasil pengobatan dapat dipakai parameter :
tentang lamanya morning stiffness berapa banyaknya sendi yang nyeri bila
berjalan atau digerakkan
 kekuatan menggenggam yang dinilai dengan sphygnomanometer/tensi
meter waktu yang diperlukan untuk berjalan 10-15 meter
b. Pengobatan medika mentosa
Beberapa contoh obat yang dapat diberikan antara lain:
1. Analgesik (penghilang rasa sakit). Ini tidak mengurangi peradangan namun
dapat membantu dengan kontrol nyeri.
Contohnya:
· Acetaminophen dengan kodein (seperti Tylenol dengan kodein).
· Acetaminophen dengan xanax (seperti Vicodin).
· Tramadol.
· Propoxyphene (seperti Darvon).
2. NSAIDs
Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri dan
mengurangi proses peradangan. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim
siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin dengan cara
menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,
enzim lisosomal dan enzim lainnya). Akan tetapi, obat ini tidak memperlambat
kemajuan RA. Maka dari itu, penderita RA sedang sampai parah sering
membutuhkan obat tambahan untuk mencegah kerusakan sendi lebih lanjut. Yang
termasuk dalam golongan ini adalah ibuprofen dan natrium naproxen. Golongan
ini mempunyai risiko efek samping yang tinggi bila di konsumsi dalam jangka
waktu yang lama. Semua NSAID secara potensial umumnya bersifat toksik.
Toksisitas NSAID yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus
gastrointestinalis terutama jika NSAID digunakan bersama obat obatan lain,
alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan
suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat
NSAID. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat NSAID yang
berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Efek
samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan NSAID antara lain adalah
reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan sistem
hematopoetik.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai antiinflamasi dan imunosupresi. Golongan ini bekerja
dengan antigen limfosit sel T, menghambat prostaglandin dan sintesa leukotrien.
Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metil prednisolon dapat
mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka
pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di
konsumsi dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek
samping yang serius. Oleh karena itu, kortikosteroid hanya dipakai untuk
pengobatan RA dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa karena obat ini
mempunyai efek samping yang sangat berat.
Obat ini bermanfaat sebagai bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum
DMARD bekerja, kemudian dihentikan secara bertahap terutama pada pasien
dengan simptom berat. Penggunaan kortikosteroid ini dapat diberikan secara
suntikan intraartikular dengan infeksi disingkarkan terlebih dahulu.

4. Obat remitif (DMARD)


Selain obat-obatan penghilang nyeri dan radang, pasien juga harus sesegera
mungkin mendapat pengobatan awal yang progresif dengan obat perubah
perjalanan penyakit konvensional (disease modifying antirheumatic drugs
(DMARD)). DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari
proses destruksi akibat arthrotis reumatoid.
Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh karena itu diberikan
pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan melindungi
sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin, dan garam emas. Obat ini
harus diberikan pada semua pasien RA, kecuali yang mempunyai kontra indikasi.
First line pengobatan ini dapat menggunakan metotrexat, hidroxy klorokuin,
sulfasalazine, dan leflunomid. Obat lain yang digunakan antara lain azatioprin,
penisilamin, garam emas, siklosporin. Apabila terapi tunggal tidak efektif
mengobatinya, maka dapat menggunakan kombinasi dua atau lebih DMARD
seperti kombinasi metotrexate dengan siklosporin atau metotrexate
dikombinasikan dengan sulfasalazin dan hidroxy klorokuin.

Jenis-jenis yang digunakan adalah:


a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran
klorokuin fosfat 250 mg/hari hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping
bergantung pada dosis harian, berupa penurunan ketajaman penglihatan,
dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia hemolitik.

b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x


500 mg/hari, ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500
mg.Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai
dalam jangka panjang sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan
tidak terlihat khasiatnya, obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau
dikombinasi. Efek sampingnya nausea, muntah, dan dyspepsia.

c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam


dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar
250-300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping
antara lain ruam kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan
glomerulonefritis.

d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan
lagi meski sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan
intramuskular, dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu
kemudian disusul dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis
penuh 50 mg/minggu selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis
tambahan sebesar 50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat
diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai. Efek
samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria, trombositopenia, dan aplasia
sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang diberikan secara oral dalam
dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, namun efektivitas kurang dan
pada awal sering ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.

e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.


Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek
dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila
dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis
jarang melebihi 20 mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Penggunaan
siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam penelitian.

5. Biological agent.
Ada berbagai jenis agen biologik:
 modulator sel darah putih termasuk: abatacept (Orencia) dan rituximab
(Rituxan)
 Tumor necrosis factor (TNF) inhibitor meliputi: adalimumab (Humira),
etanercept (Enbrel), infliximab (Remicade), golimumab (Simponi), dan
certolizumab (Cimzia)
 Interleukin-6 (IL-6) inhibitor: tocilizumab (Actemra) Agen biologis bisa
sangat membantu dalam mengobati rheumatoid arthritis. Namun,orang
yang memakai obat ini harus diawasi sangat erat karena faktor risiko yang
serius: infeksi dari bakteri, virus, dan jamur, leukemia.(6)
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Terdapar beberapa penyakit yang memiliki beberapa kemiripan gejala. Untuk itu,
penyakit tersebut harus dibedakan untuk kepentingan penatalaksanaan dan
pengobatan agar dapat diatasi dengan tepat dan efektif. Beberapa di antaranya
yaitu:
 Osteoarthritis
Penyakit degeneratif ini merupakan penyakit sendi yang paling sering
dijumpai dan melibatkan biasanya 85% lebih dari 70 tahun. Pada penderita
OA terlihat gambaran patologis yang menunjukkan suatu degenerasi
tulang rawan sendi dan suatu proses peradangan. Pada penyakit ini
ditandai oleh pengeroposan kartilago sendi. Tanpa adanya kartilago
sebagai penyangga, tulang di bawahnya mengalami iritasi yang
menyebabkan degenerasi sendi. Penyakit ini dibagi atas dua kategori yaitu
primer yang terkait dengan umur, dan sekunder yang terjadi pada orang
muda di mana diawali dengan kerusakan tulang rawan sendi akibat
trauma, infeksi atau kelainan kongenital. Penyakit ini umumnya
menyerang tulang belakang dan sendi-sendi besar seperti sendisendi yang
menanggung beban tubuh dan dapat terjadi hanya pada satu sendi saja
(monoartritis). Tidak seperti pada kebanyakan artritis, pada kelainan ini
perubahan anatomis yang utama adalah degenerasi tulang rawan sendi,
sedangkan artritis pada umumnya ditandai dengan proses peradangan pada
membran sinovial. Pada penyakit dengan derajat menengah / moderate,
terdapat proliferasi kondrosit yang tampaknya merupakan proses
perbaikan. Pada akhirnya semua kondrosit mengalami degenerasi.
Membran sinovial akan menunjukkan sedikit tanda peradangan, namun
berbeda dengan RA, proses peradangan di sini tidak hebat dan tidak terjadi
pannus. Dengan rusaknya tulang rawan, maka akan tampak jaringan tulang
yang mendasarinya. Daerah pada tulang itu akan menjadi tebal karena
kompresi atau proses pembentukan tulang baru yang reaktif. Yang khas di
sini adalah terbentuknya spurs formation yang menonjol dari tulang yang
reaktif pada tepi rongga sendi. Walaupun sudah jelas bahwa degenerasi
matriks tulang rawan merupakan patogenesis utama dari OA, akan tetapi
penyebab dari proses ini masih belum jelas. Selain perubahan degeneratif
yang berhubungan dengan proses menua, perlu ditambahkan bahwa
kerusakan jaringan karena proses imunologis dan penyakit yang berkaitan
dengan faktor genetik juga berperan dalam terjadinya degenerasi tulang
rawan. Dalam perjalanannya, terdapat perubahan kualitas kondroitin sulfat
dan glikosaminoglikan. Sebagai akibat dari perubahan ini, kondrosit yang
biasanya tenang, dipacu untuk berproliferasi, berupaya untuk mengisi
kekurangan matriks dengan meningkatkan sintesis. Karena kondrosit yang
terangsang juga mensekresi enzim penghancur maka terjadi kehilangan
proteoglikan yang berkesinambungan.
Gejala biasanya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku,
kemudian timbul rasa nyeri yang terutama terasa saat bergerak dan akan
berkurang dengan isitirahat. Maka dari itu fungsi sendi berkurang
menyebabkan atrofi otot. Pada umumnya, penyakit ini timbul secara
tersembunyi sehingga kekakuan sendi timbul secara progresif lambat.
Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri dan krepitasi pada
waktu ada pergerakan sendi juga kadang disertai pembengkakkan sendi.
Keadaan ini menyebabkan fungsi sendi berkurang dan atrofi otot. Akan
tetapi tidak ada tanda-tanda konstitusional dari suatu penyakit inflamasi.
Berbeda dengan RA, penderita OA sering tidak merah dan tidak panas,
juga tidak timbul ankilosis. Apabila mengenai tulang belakang, akan
mengakibatkan penekanan pada saraf dan menimbulkan nyeri radikular.
Apabila tonjolan tulang terjadi pada sendi interfalang distal dari jari, maka
secara klinis akan tampak pembengkakan yang bersifat nodular, keras
pada perabaan dan dikenal sebagai nodul Heberden. Kelainan ini lebih
sering dijumpai pada pria daripada wanita dan merupakan pengecualian
karena umumnya penyakit ini terjadi pada sendi besar yang berfungsi
sebagai penyangga tubuh.
 Arthritis Gout
Gout yang juga disebut pirai ini merupakan kelainan metabolisme purin
bawaan yang ditandai dengan peningkatan kadar asam urat serum dengan
akibat penimbunan kristal asam urat di sendi yang menimbulkan artritis
urika akut. Berbeda dengan RA, penyakit ini lebih sering ditemukan pada
pria dengan ratio 20:1. Biasanya menunjukkan gejala pada usia dewasa
muda dengan puncaknya setelah berusia 40 tahun. Penyakit ini sering
menyerang sendi perifer kaki dan tangan, dan tersering mengenai
persendian meta tarso falangeal ibu jari kaki. Pada anamnesis, biasanya
ditemukan keluhan sendi kemerahan disertai nyeri akut seringkali pada ibu
jari kaki. Rasa sakit pada sendi dengan permulaan eksplosif dan khas
menyerang sendi-sendi kecil terutama jari-jari kaki. Rasa sakit biasanya
selalu berulangulang dengan sendi yang terkena bengkak, panas,
kemerahan dan sakit, sering dijumpai thopi. Pada penderita seringkali
terdapat batu ginjal. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan kadar
asam urat meningkat, ditemukannya Kristal-kristal asam urat dalam cairan
synovial sendi yang terserang.
Stadium awal berupa serangan monoartikuler yang ditandai dengan nyeri
sendi hebat karena artritis akut. Biasanya terdapat kemerahan,
pembengkakan, nyeri tekan lokal dan sendi tidak dapat digerakkan.
Artritis akut ini disertai demam dan leukositosis serta gambaran gejala
selulitis dan artritis septik akut. Umumnya serangan berakhir dalam
beberapa hari, akan tetapi serangan yang berat dapat menetap untuk
beberapa minggu. Setelah beberapa tahun, 50% akan berkembang menjadi
pirai bertophus. Tophus adalah nodul kecil yang terdiri dari kristal asam
urat. Artritis pirai kronik, ditandai dengan adanya pembengkakan dan
kekakuan sendi. Pada stadium lanjut yang kronik ini serangan akut dapat
terjadi. Pada foto rontgen, timbunan kristal asam urat murni memberi
gambaran radiolusen sedangkan timbunan kalsium tampak radioopak.
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan hiperurisemia dan pada 50%
penderita ditemukan kristal urat pada cairan sinovial atau tophus. Pada
penderita penyakit ini, dapat dipakai obat urikosurik yaitu probenesid dan
sulfinpirazon yang bekerja menghambat reabsorpsi asam urat di tubuli
ginjal. Kadar asam urat dalam duktus kolektivus meninggi sehingga
kemungkinan timbul batu ginjal menjadi lebih tinggi. Hal ini dapat diatasi
dengan minum banyak. Kemudian bisa diberikan allupurinol yang
menghambat enzim xantin oksidase sehingga mengurangi pembentukan
asam urat. Kadar asam urat ini perlu diturunkan sampai di bawah 7 mg%.
Dengan menurunnya kadar urat, maka tophi lambat laut akan menghilang.
 Arthritis Infeksius
Arthritis infeksius adalah nyeri sendi, kekakuan dan pembengkakan yang
disebabkan oleh infeksi oleh bakteri, virus atau jamur. Infeksi ini dapat
memasukkan berbagai cara bersama:
setelah menyebar melalui aliran darah dari bagian lain dari tubuh, seperti
paruparu selama pneumonia, melalui luka di dekatnya, atau setelah
operasi, suntikan atau trauma, seperti gigitan serangga. Artritis ini
umumnya sebagai akibat penyebaran kuman secara hematogen dari infeksi
primer di tempat lain. Sumber infeksi kadang mudah diketahui seperti
endokarditis bakterialis, gonore; atau tidak jelas asalnya. Organisme yang
paling sering sebagai penyebabnya adalah gonokokus, stafilokokus,
streptokokus, pneumokokus, dan batang gram negatif. Artritis gonokokal
mungkin paling sering ditemukan pada dewasa muda yang secara seksual
aktif. Secara umum, paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Tanda khas pada kelainan ini adalah mengenai satu sendi (monoartikular)
yang biasanya mengenai persendian yang besar seperti sendi lutut,
panggul, pergelangan kaki, siku, pergelangan tangan, atau bahu. Membran
sinovial menjadi edematus dan kongestif, dan rongga sendi terisi bahan
purulen. Pada kasus berat, sinovitis dapat mengalami ulserasi dan meluas
sampai ke tulang rawan menimbulkan kerusakan pada permukaan sendi
dengan pembentukan jaringan parut dan kadang disertai perkapuran.
Gejala klinis sesuai dengan infeksi akut yaitu kemerahan pembengkakan,
perlunakan dan nyeri, sering disertai gejala konstitusional. Artritis
tuberkulosis paling sering timbul pada tulang belakang dan memberikan
gambaran osteomielitis tuberkulosis (penyakit Pott), dengan penyebaran
ke dalam diskus intervertebralis. Seperti osteomielitis tuberkulosis, artritis
tuberkulosis juga bersifat destruktif, yang berjalan lambat dan
menyebabkan pengikisan pada permukaan sendi serta merusak tulang.
Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah kerusakan yang permanen.
 Sistemik Lupus Erimatosus (SLE)
Sama seperti RA, SLE adalah gangguan autoimun sistemik. Penyakit ini
ditandai oleh adanya antibodi antinuklear. Manifestasinya bisa ditemukan
pada berbagai organ sehingga gejala dan tandanya sangat banyak.
Presentasi kliniknya termasuk ruam malar, atralgia, alopesia, perikarditis,
gagal ginjal, defisit neurologis, atau bahkan gangguan psikiatrik, serta
fotosensitif lupus eritematosus sistemik (SLE) ruam biasanya terjadi pada
wajah atau ekstremitas, yang daerah terkena sinar matahari. Pada SLE,
terdapat gejala non spesifik termasuk nyeri sendi, penurunan berat badan
dan limfadenopati. Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui,
beberapa faktor yang berhubungan dengan perkembangan penyakit,
termasuk, ras, hormonal, dan lingkungan faktor genetik. gangguan
kekebalan tubuh, baik bawaan dan diperoleh, terjadi pada SLE.
SLE biasanya dapat dibedakan jika ada lesi kulit terpajan pada area terang,
rambut rontok, lesi mukosa hidung dan mulut, adanya erosi sendi pada
arthritis jangka panjang, cairan sendi yang seringkali sampai < 2000
leukosit / μL terutama mononuklear sel, antibodi terhadap DNA double-
stranded, penyakit ginjal, dan serum komplemen yang rendah. Berbeda
dengan RA, deformitas dalam SLE biasanya direduksi karena kurangnya
erosi dan kerusakan pada tulang atau tulang rawan. Pada penderita SLE,
pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat ada tidaknya: ruam malar
yang ditandai oleh ruam erimatosa dan jembatan hidung (disebut ruam
kupu-kupu), demam, anemia, limfadenopati, ulkus mulut, bengkak sendi
(efusi dan nyeri tekan), takipnea (pertimbangan adanya hipertensi
pulmonal, emboli paru, gagal ginjal disertai kelebihan cairan, efusi pleura,
dan fibrosis paru), TD:periksa adanya hipertensi, gesekan perikard/pleural,
edema pergelangan kaki, neuropati. Selain itu ditemukan pula defisit
neurologis, termasuk defisit fokal dan gangguan kognitif; gangguan
psikiatrik, khususnya psikosis dan urin: proteinuria dipstik, hematuria, dan
silinder.(6)
BAB III
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn.AS
Umur : 41 tahun
Alamat : Jalan Maleo
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : buruh bangunan
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 31/ 03/ 3019
Ruangan : Seroja

1.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama :
Bengkak dan nyeri pada kedua kaki dan tangan

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak dan nyeri pada persendian
tangan dan kaki sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengalami sesak dan seluruh
tubuh mengalami ruam merah dan disertai nyeri ulu hati (+) BAB (+) lancar dan
BAK (+) lancar.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien menkonsumsi obat dexametason selama 10 tahun terakhir jika ada nyeri
persendian. HT (-) DM (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


Di keluarga pasien tidak memiliki riwayat seperti pasien
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Baik/ Sakit sedang

2. Kesadaran : Komposmentis

3. Tanda-Tanda Vital
 TD :100/70 mmHg
 S : 36,6 0 C
 R : 24 x/menit
 N : 83 x/menit

4. Kepala
 Wajah : Simetris
 Deformitas : Tidak Ada
 Bentuk : Normocephal

5. Mata
 konjungtiva : Anemis (+/+)
 Sklera : Ikterik (-/-)
 Pupil : isokor
 Mulut : Sianosis (-)

6. Leher
 Kelenjar GB : Hipertrofi (-)
 Tiroid : Hipertrofi (-)
 JVP : Tidak ada
 Massa Lain : Tidak ada
7. Paru-paru
 Inspeksi : Simetris Bilateral
 Palpasi : Vokal fremitus Ka=Ki
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

8. Jantung
 Inspeksi : Tidak Tampak IC
 Palpasi : Tidak Teraba IC
 Perkusi :
Batas Atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas Kanan : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri : SIC VI Linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : Bunyi Jantung I/II, Regular, Mur-mur (-)

9. Abdomen
 Inspeksi : Kesan Datar, tampak ruam merah
diseluruh kulit
 Auskultasi : Peristaltik Normal
 Perkusi : Tympani
 Palpasi : Nyeri tekan (+) Epigastrium

10. Ekstremitas
 Atas : Edema kedua tangan dan terdapat ruam
merah di seluruh kulit
 Bawah : Edema kedua kaki dan terdapat ruam
merah di seluruh kulit
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
1) Darah rutin :
WBC = 8,2 x 103/ul
HBG = 12,2 g/dl
PLT = 148 x 103/ul
2) Fungsi ginjal :
Creatinin = 2,58 mg/dl
Urea = 109,2 mg/dl
3) Rheuma Factor : Positif
4) Asam Urat : 9,0 mg/dL
b. Radiologi
USG : subchronic renal disease bilateral, hydronefrosis sinistra grade 1

1.5 RESUME
Laki-laki umur 41 tahun dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kedua sendi
tangan dan kaki yang di alami sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengalami
ruam merah diseluruh kulit, pasien juga mengeluhkan lemas seluruh badan (+),
susah berjalan (+), penurunan nafsu makan dan berat badan (+) Nyeri ulu hati (+)
BAB (+) dan BAK (+) lancar.

1.6 DIAGNOSIS
- Rheumatoid Artritis
- CKD stage IV

1.7 DIAGNOSIS BANDING


- Osteoartritis
- Gout Artritis
1.8 PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Pengaturan pola diet
b. Medikamentosa
 INFD Na Cl 0,9% : 20 tpm
 Ranitidin injeksi : 1 amp/ 12 jam
 Allupurinol : 300 mg 0-1-0
 Recofor : 0,5 mg 3x1
 Metilprednisolon injeksi : 1 amp/ 12 jam

1.9 PROGNOSIS
Dubia ad Bonam jika penanganan dan terapi dilakukan dengan baik
BAB IV
PEMBAHASAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan


inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat
melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai
gangguan pergerakan. RA merupakan penyakit autoimun dimana etiologinya
masih belum jelas namun terdapat beberapa faktor risiko yang dapat memicu
terjadinya RA. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah adanya faktor
genetik, jenis kelamin perempuan, dan usia diatas 40 tahun. Pada faktor risiko
yang dapat dimodifikasi, terdapat faktor gaya hidup yang meliputi sosial ekonomi
yang rendah, merokok terutama yang lebih dari 10 tahun, diet tinggi daging merah
dibanding sayur-sayuran dan buah-buahan, adanya infeksi virus maupun bakteri,
dan pekerjaan yang terpapar zat kimia utamanya silica ataupun pestisida seperti
pada petani dan pekerja tambang, dan bentuk tubuh obesitas memperburuk faktor
risiko.
Pada pasien ini merupakan laki-laki berusia 41 tahun dengan faktor
predisposisi genetik yang tidak diketahui karena pasien menyangkal adanya
riwayat keluarga yang menderita keluhan yang sama dan tidak dilakukan
pemeriksaan genetika. Pasien berpendidikan akhir sebagai lulusan SMA dan
bekerja sebagai buruh bangunan yang memiliki penghasilan pas-pasan dalam
menghidupi kebutuhan sehari-hari. Pasien menyangkal memiliki kebiasaan
merokok. Pasien juga memiliki kebiasaan konsumsi makanan yang biasa saja dan
menyangkal sering makan daging merah karena keterbatasan ekonomi. Pasien
mengakui jika jarang mengonsumsi buah-buahan. Pasien memiliki status gizi
cukup.

Pasien ini mengeluhkan nyeri sendi lutut kanan dan kiri hingga tidak bisa
berjalan. Pasien juga mengeluhkan kaku dan nyeri sendi di jari-jari tangan serta
pergelangan tangan kanan dan kiri. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan SMRS dan
semakin lama semakin memburuk. Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas
sejak 1 hari SMRS. Demam, sesak, Nyeri ulu hati penurunan nafsu makan dan
berat badan disangkal pasien.
Pemeriksaan penunjang pada pasien RA ditemukan adanya Rheumatoid
Factor (RF) positif namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Dari hasil
pemeriksaan radiologis berupa USG abdomen dapat terlihat adanya subchronic
renal disease bilateral dan hydronefrosis sinistra grade I.
Hasil laboratorium pasien ini pada saat masuk RS (31/03/2019)
menunjukkan WBC 8,2 x 103/mm3, RBC 4,63 x 106/mm3 , HGB 12,2 g/dl
(menurun), HCT 36,5 % (menurun), PLT 148 x 103/mm3 , creatinin 2,58 mg/dl
(meningkat), urea 109,2 mg/dl (meningkat), Rheumatoid Factor : Psitif, Asam urat
9,0 mg/dL (meningkat) Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun
1987 pada pasien ini terpenuhi karena trdapat minimal 4 kriteria dari 7 kriteria.
Penanganan pada penderita RA meliputi mencakup terapi farmakologi,
rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan
keluarga. Terapi farmakologi awal dapat diberikan NSAID untuk mengurangi
nyeri dan inflamasinya. Selain itu juga diberikan DMARDs segera setelah
diagnosis RA ditegakkan untuk mengurangi atau mencegah kerusakan sendi,
mempertahankan integritas dan fungsi sendi. Dapat pula diberikan kortikosteroid
dosis rendah sambil menunggu efek DMARDs setelah 4-16 minggu.
BAB V
KESIMPULAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan


inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat
melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai
gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Terdapat banyak faktor
risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat tidak dapat dimodifikasi
(genetik, ras, jenis kelamin, dan usia) dan yang dapat dimodifikasi (gaya hidup,
infeksi, dan bentuk tubuh).
Manifestasi klinis RA dapat berupa keluhan umum, kelainan sendi, dan
kelainan diluar sendi. Dengan penegakkan diagnosis berdasarkan kriteria ARA
tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010 dimana meliputi dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien perempuan 49 tahun
ini didapatkan tanda tanda yang serupa dengan manifestasi klinis artritis yang
mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang mendukung. Berdasarkan prosedur penatalaksanaan RA, saat ini
pasien menjalani perawatan di rumah sakit dan mendapatkan terapi suportif dan
medikamentosa untuk menghilangkan inflamasi dan mencegah destruksi jaringan
lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
1. E Mudjaddid. Hubungan Derajat Aktivitas Penyakit dengan Depresi pada
Pasien Artritis Reumatoid. Vol 4 No 4. From
(http://www.jurnalilmupenyaitdalam.ac.id) 2017
2. Nurul Ayu. Faktor resiko Rheumatoid Arthritis. Vol 1 No 1. From
(http://www.jurnalkedokteranunand.ac.id) 2016
3. Suryanda, Asmawi. Pengetahuan dan sikap keluarga dalam pencegahan
kekambuhan Rematik. Vol. 5 No 1. From (http://www.urnalpoltekes.ac.id)
2019
4. Karinina putro. Rheumatoid Arthritis. Vol 1, No 2 From
(http://www.jurnalusurepository.pdf) 2019
5. Setiati siti. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid I. Interna Publishing
6. Cheryl Suseno. Rheumatoid Arthritis. Vol 1 No 1. From
(http://www.jurnalkesehatan.ac.id) 2016
7. Cici Chynthia. Hubungan nyeri rheumatoid arthritis dengan aktivitas sehari-
hari. Vol 1 No 1. From (http://www.urnalkesehatan.ac.id) 2017
8. Rizasyah Daud. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis. Vol 3
No 1. From (http://www.CDKkalbe.pdf) 2018

Anda mungkin juga menyukai