FARMAKOLOGI MOLEKULER
“RHEUMATOID ARTHRITIS”
DISUSUN OLEH:
FAKULTAS FARMASI
MAGISTER ILMU KEFARMASIAN
DEPOK
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Rheumatoid Arthritis (RA). Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas akhir mata kuliah Farmakologi Molekuler dan untuk menambah
pengetahuan mahasiswa/i mengenai inflamasi terkait dengan penyakit Rheumatoid
Arthritis.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah
Farmakologi Molekuler ini, yaitu Bapak Dr. Anton Bahtiar, M.Biomed., Apt yang
senantiasa membantu kami dalam menyusun makalah ini, mulai dari pemilihan
topik hingga makalah ini selesai. Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang sudah membantu terselesaikannya makalah ini yang
tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan wawasan
yang lebih luas kepada pembaca. Menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan dan memiliki masih banyak kekurangan, penyusun juga
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi peningkatan
kualitas makalah.
Depok, 2020
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
2.3.6 Patofisiologi Rheumatoid Arthritis..............................................26
2.3.7 Diagnosis Rheumatoid Arthritis .................................................32
2.4 Treatment Rheumatoid Arthritis..............................................................33
2.4.1 Golongan DMARD konvensional ............................................... 36
2.4.2 Golongan glukokortikoid ............................................................ 42
2.4.3 Golongan DMARD biologis (bDMARD) .................................. 44
2.4.4 Golongan DMARD sintetik tertarget .......................................... 49
Bab III Penutup.............................................................................................. 51
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 51
3.2 Saran........................................................................................................ 52
Daftar Pustaka ............................................................................................... 53
iv
DAFTAR GAMBAR
v
Gambar 25 Mekanisme aksi bDMARD ........................................................... 44
Gambar 26 Struktur TNF-α antagonis pada RA .............................................. 45
Gambar 27 Mekanisme aksi DMARD sintetik tertarget .................................. 49
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
ISI
2.1 Inflamasi
Inflamasi merupakan respon jaringan vaskuler terhadap infeksi dan kerusakan
jaringan yang kemudian akan membawa sel-sel dan molekul-molekul perlindungan
setempat dari sirkulasi darah ke tempat dimana mereka dibutuhkan untuk
mengeliminasi agen penyebab inflamasi tersebut. Inflamasi merupakan respon
protektif yang penting bagi tubuh untuk pertahanan. Inflamasi berfungsi untuk
menyingkirkan penyebab utama inflamasi (seperti mikroba dan toksin) dan akibat
dari kerusakan yang terjadi (seperti sel-sel dan jaringan nekrotik). Mediator inflamasi
yang berfungsi sebagai perlindungan yaitu meliputi leukosit fagosit, antibodi, dan
protein komplemen (Gambar 1). Molekul-molekul ini normalnya bersirkulasi di
dalam darah dan tidak mengganggu jaringan normal, tetapi dapat dengan cepat
menuju ke beberapa daerah tertentu di dalam tubuh saat dibutuhkan.
5
2.2 Respon Imun
2.2.1 Sistem Pertahanan Tubuh Manusia
Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk menahan atau menghilangkan zat
asing atau sel abnormal yang berpotensi merugikan. Sistem imun merupakan suatu
sistem pertahanan internal yang berperan untuk mengenal dan menghancurkan atau
menetralkan zat-zat asing di dalam tubuh. Ada tiga fungsi utama sistem imun yaitu
melindungi tubuh dari patogen (bakteri, virus, jamur, protozoa, parasit, dan antigen),
menghilangkan sel-sel rusak dan mati, serta mengenal dan menghilangkan sel-sel
abnormal yang terbentuk ketika sel-sel normal tubuh kita salah tumbuh dan
berkembang (Silverthorn, 2010).
Sistem pertahanan tubuh kita terkadang gagal memberikan fungsi
normalnya. Patologi sistem imun secara umum terbagi menjadi tiga kategori:
a. Respon yang salah (incorrect responses), yaitu terjadi ketika sistem imun
menyerang sel-sel normal tubuh sehingga menghasilkan penyakit autoimun.
b. Respon yang berlebihan (overactive responses), yaitu terjadi ketika sistem imun
membentuk respon berlebih terhadap antigen sehingga menghasilkan reaksi
alergi.
c. Respon yang kurang (lack of responses), yaitu terjadi ketika beberapa komponen
sistem imun gagal bekerja dengan baik sehingga menyebabkan penyakit
imunodefisiensi (Silverthorn, 2010).
Imunitas tubuh manusia dihasilkan dari kerjasama antara dua komponen
sistem imun yang terpisah namun saling bergantung, yaitu imunitas bawaan (innate
immunity) dan imunitas didapat (acquired immunity). Respon kedua sistem ini
berbeda dalam waktu dan selektivitas mekanisme pertahanannya (Silverthorn,
2010).
Gambar 2. Komponen dan kinetik respon imun bawaan dan didapat (Robbins, 2017).
6
2.2.2 Imunitas Bawaan: Respon Non-Spesifik
Imunitas bawaan memberikan pertahanan tubuh pertama dalam menghalang
patogen masuk ke dalam tubuh melalui barier fisik dan kimiawi. Respon imun
bawaan terdiri dari leukosit berpatroli dan stasioner yang akan menyerang dan
menghancurkan zat-zat asing. Leukosit ini terprogram untuk merespon material
dalam rentang yang luas yang mereka kenal sebagai zat asing. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa imunitas bawaan disebut non-spesifik. Imunitas bawaan
membersihkan infeksi hingga respon imunitas didapat teraktivasi. Imunitas bawaan
terdiri dari:
a. Barier Utama
Garis pertama perlindungan tubuh meliputi kulit, mukus di saluran
gastrointestinal dan genitourinari, dan epitel silia pada saluran respirasi.
b. Sel Fagosit Pencerna Material Asing
Patogen yang lolos melalui barier fisik kemudian berhadapan dengan respon
imun bawaan pertama. Elemen utama respon imun bawaan yaitu kemampuan
leukosit untuk mengenali molekul unik terhadap mikroorganisme (pathogen-
associated molecular pattern, PAMPs) dan menginisiasi respon tertentu. PAMPs
mengikat leukosit pattern recognition receptors (PRRs) yang kemudian
mengaktivasi respon imun non-spesifik sebagai respon pertama sel imun terhadap zat
asing denga membunuh atau memakannya.
Neutrofil dan makrofag jaringan merupakan sel fagosit primer sebagai
pertahanan. Membran fagosit mengandung reseptor yang dapat mengenali zat asing
yang berbeda-beda baik organik maupun anorganik. Pada makrofag, terdapat toll-like
receptors (TLR) yang akan mengaktivasi sel untuk mensekresi sitokin inflamasi.
c. Natural Killer Cell (Sel NK)
Sel NK merupakan salah satu kelas limfosit yang berpartisipasi terhadap infeksi
virus. Sel ini beraksi lebih cepat daripada limfosit lainnya terhadap infeksi virus. Sel NK
mengenali sel terinfeksi virus dan menginduksinya untuk apopstosis sebelum virus
tersebut bereplikasi.
Sel NK dan limfosit lainnya mensekresi sitokin antivirus, termasuk interferon
(IFN). IFNα dan IFNβ mentarget host cell dan mempromosi sintesis molekul protein
antivirus untuk mencegah replikasi. IFNγ berfungsi mengaktivasi makrofag dan sel-
sel imun lainnya.
7
d. Sitokin Respon Inflamasi
Inflamasi adalah reaksi penting pada imunitas bawaan. Inflamasi memiliki tiga
langkah penting dalam melawan infeksi yaitu (1) menarik sel-sel imun dan mediator
kimia pada daerah terinfeksi, (2) menghasilkan barier fisik untuk memperlambat
penyebaran infeksi, dan (3) mempromosi perbaikan jaringan jika infeksi tidak
terkontrol (fungsi non-imunologi). Respon inflamasi terjadi ketika makrofag jaringan
teraktivasi dan melepaskan sitokin.
Tubuh akan merespon dengan meningkatkan konsentrasi protein plasma segera
setelah adanya luka atau invasi patogen (fase akut). Beberapa protein ini, sebagian
besar diproduksi di hati dan diberi nama umum yaitu protein fase akut. Protein ini
terdiri dari opsonin, antiprotease yang membantu mencegah kerusakan jaringan, dan
C-reactive protein (CRP). Normalnya, jumlah protein fase akut akan menurun
dengan sendirinya, namun pada inflamasi kronis, seperti Rheumatoid Arthritis (RA),
peningkatan protein ini akan terus terjadi.
Sitokin-sitokin lain yang dilepaskan yaitu histamin (disekresi oleh sel mast dan
basofil), interleukin (IL) (disekresi oleh leukosit, IL-1 memediasi respon inflamasi
dan demam), bradikinin (efek vasodilator seperti histamin), dan protein komplemen.
8
Inflamasi ditandai dengan daerah merah yang hangat dan bengkak yang terasa
nyeri atau nyeri. Selain respon inflamasi spesifik, limfosit yang tertarik pada area
tersebut menghasilkan antibodi yang dikunci untuk tipe bakteri tertentu. Masuknya
bakteri memicu beberapa reaksi yang saling terkait
1. Aktivitas sistem pelengkap. Komponen dinding sel bakteri mengaktifkan sistem
komplemen. Beberapa protein komplemen adalah sinyal kimia (chemotaxins)
yang menarik leukosit dari sirkulasi untuk membantu melawan infeksi. Yang
lain bertindak sebagai opsonin untuk meningkatkan fagositosis.
Komplemen juga menyebabkan degranulasi sel mast dan basofil. Sitokin yang
disekresikan oleh sel mast bertindak sebagai kemotoksin tambahan, menarik
lebih banyak sel imun. Bahan kimia vasoaktif seperti histamin melebarkan
pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Peningkatan suplai
darah ke situs ini menciptakan kemerahan dan kehangatan saat ammasi. Protein
plasma yang lolos ke ruang interstitial menarik air, menyebabkan edema jaringan
(pembengkakan).
Kaskade komplemen berakhir dengan pembentukan molekul-molekul kompleks
yang menyerang membran yang memasukkan diri ke dalam dinding bakteri dari
bakteri yang tidak dienkapsulasi. Masuknya ion dan air selanjutnya akan
melisiskan bakteri, dibantu oleh enzim lisozim. Ini adalah proses kimia murni
yang tidak melibatkan sel imun.
2. Aktivitas fagosit. Jika bakteri tidak dienkapsulasi, makrofag dapat mulai
menelan bakteri dengan segera. Tetapi jika bakteri dienkapsulasi, antibodi harus
melapisi kapsul sebelum bakteri dapat tertelan oleh fagosit. Opsonin
meningkatkan proses bakteri yang tidak dienkapsulasi. Molekul yang bertindak
sebagai opsonin termasuk komplemen, protein fase akut, dan antibodi.
3. Peran respon imun yang didapat. Beberapa elemen dari respon imun yang
didapat berperan dalam infeksi bakteri. Jika antibodi terhadap bakteri sudah ada,
mereka meningkatkan respon bawaan dengan bertindak sebagai opsonin dan
menetralkan racun bakteri. Sel penyaji antigen yang mencerna bakteri kemudian
dapat bergerak ke jaringan limfoid sekunder, di mana mereka menghadirkan
antigen ke sel memori untuk memulai lebih banyak produksi antibodi. Jika
infeksinya baru, beberapa bakteri mengaktifkan sel B naif, dan sel penyaji
antigen menghadirkan fragmen bakteri untuk membantu sel T untuk
9
mengaktifkannya. Ini memicu sekresi sitokin dari sel-sel TH, ekspansi klonal sel
B, produksi antibodi oleh sel-sel plasma, dan pembentukan memori B dan sel-sel
TH.
4. Inisiasi perbaikan. Jika luka awal merusak pembuluh darah di bawah kulit,
trombosit dan protein kaskade koagulasi juga direkrut untuk meminimalkan
kerusakan. Setelah bakteri dihilangkan oleh respon imun, situs yang terluka
diperbaiki di bawah kendali faktor pertumbuhan dan sitokin lainnya (Silverthorn,
2010).
2.2.3 Imunitas Didapat: Respon Spesifik-Antigen
Sistem ini spesifik terhadap antigen yaitu tubuh mengenali zat asing tertentu dan
berekasi selektif terhadapnya. Mediator primer sistem ini yaitu limfosit. Proses
respon imun didapat bersamaan dengan proses respon imun bawaan. Sitokin yang
dilepaskan akan menarik limfosit kemudian limfosit akan melepaskan sitokin
tambahan yang meningkatkan respon inflamasi (Silverthorn, 2010).
Ada tiga jenis limfosit yang berperan yaitu limfosit B, limsofit T, dan sel
NK. Limfosit B teraktivasi menuju sel plasma kemudian mensekresi antibodi.
Limfosit T teraktivasi menuju sel yang diserang virus atau ke sel yang meregulasi
sel imun lain. Sel NK akan menghancurkan sel terinfeksi virus dan sel tumor.
15
a. Genetik
Spesifik human leukocyte antigen kelas II (HLA) atau dikenal sebagai
major histocompatibility complex (MHC) berkaitan kuat dengan terjadinya RA.
Polimorfisme yang terjadi pada HLA yaitu HLA-DRB*01 dan HLA- DRB*04
berperan signifikan pada risiko perkembangan RA. Beberapa protein yang
terkode pada gen ini berpotensi menjadi agen terapi tertarget.
Peran HLA-DR dalam perkembangan RA yaitu dapat berikatan dengan
peptida arthritogenik untuk mempresentasikan sel T, meningkatkan
reaktivitas sel T berikatan dengan molekul MHC, dan dapat mengakibatkan
terjadinya kehilangan toleransi pada sel.
Perbedaan genetik antara individu positif-ACPAs dan negatif-ACPAs
pada pasien RA juga terjadi. AFF3, CD28, dan TNFAIP3 hanya dapat
ditemukan pada RA seropositif sedangkan PRL dan NFIA hanya terdapat pada
RA seronegatif. Gen-gen tertentu dapat menjadi biomarker pada keparahan
penyakit RA seperti HLA-DRB1, IL2RA, DKK1, GRZB, MMP9, dan
SPAG16. Namun, hingga saat ini, belum ada biomarker genetik yang kuat dan
konsisten untuk digunakan (Smolen et al., 2018).
b. Epigenetik
Epigenetika menjelaskan perubahan fenotipe yang diwariskan yang tidak
ditentukan oleh perubahan dalam urutan DNA. Epigenetik, termasuk metilasi
DNA dan asetilasi histon, berperan dalam perkembangan RA (Smolen et al.,
2018) .
Variasi genetik terkait RA yaitu ditandai dengan hypermetilasi DNA
khususnya daerah spesifik dalam promotor CTLA-4 (−658 CpG)
menyebabkan perubahan fungsi dari sel T regulatoris (Treg) pada pasien RA.
Hypermethylation DNA mencegah pengikatan nuclear factor of activated T
cell (NF-AT) dengan sitoplasmikon, yang disebut NF-ATc2, yang mengarah
pada penurunan ekspresi CTLA-4 (Cytotoxic T-Lymphocyte-associated
protein 4) yang merupakan reseptor protein yang berfungsi dalam respon
imun ((Nemtsova et al., 2019).
Metilasi DNA berkaitan dengan mekanisme dimana faktor lingkungan
dapat menginduksi perubahan aktivitas seluler. Contohnya pada perokok,
tingkat metilasi lebih tinggi pada RA positif-ACPAs yang membawa risiko
16
alel HLA-DRB1 daripada yang tidak membawa alel tersebut (Smolen et al.,
2018).
c. Jenis Kelamin
Secara umun, wanita dua hingga tiga kali lipat berisiko mengalami RA
daripada pria. Tingkat frekuensi RA pada wanita berkaitan dengan, salah
satunya, efek stimulasi estrogen pada sistem imun. Reseptor estrogen
diekspresikan pada FLS (Fibrolast-like synoviocytes) dan meningkatkan
metalloproteinase (enzim yang dapat mendegradasi matrix extraseluler)
(Firestein, 2017). RA pada wanita umumnya terjadi pada usia pertengahan
atau saat menopause.
d. Merokok
Merokok dapat meningkatkan risiko RA dibandingkan dengan bukan
perokok. Hubungan merokok dengan RA paling kuat terjadi pada individu
positif-ACPAs. Risiko meningkat pada perokok dapat terjadi karena rokok
dapat menginduksi peningkatan enzim PADI (peptidyl arginine deiminase)
yang memodifikasi peptida normal (arginine) menjadi sitrulin. Pada orang
yang memiliki gen HLA/MHC II, peptida yang dimodifikasi ini akan
berikatan kuat dengan MHC II dan mempresentasikan anttigen ke sel T.
Karena sel T tidak dipresentasikan dengan peptida yang diubah ini selama
masa perkembangan maka sel T tidak dihapus dari thymus dan dapat
memberi respon imun adaptif melawan antigen epitop baru ini (Firestein,
2017).
e. Inhalasi Debu
Sebuah studi tentang petugas pemadam kebakaran dan responden darurat
lainnya yang terpapar debu di lokasi runtuhnya World Trade Center 2001 di
New York, Amerika Serikat, menemukan peningkatan risiko penyakit
autoimun sistemik RA. Debu mengandung bubuk semen, silika, asbes, serat
gelas dan bahan lainnya. Paparan terhadap debu tekstil juga ditemukan
berhubungan secara signifikan dengan peningkatan risiko pengembangan RA
pada populasi wanita Malaysia. Asosiasi diamati baik untuk pasien ACPA-
positif RA dan ACPA-negatif RA (Smolen et al., 2018).
f. Perubahan Mikrobiota
Penyakit periodontal juga bekaitan dengan peningkatan risiko terjadinya
17
perkembangan RA. Meskipun kedua penyakit ini terlihat sangat berbeda,
namun patogenesis keduanya serupa yaitu inflamasi kronis dan adanya erosi
pada tulang. Mikrobiota oral yang memediasi adalah Porphyromonas
gingivalis. Bakteri ini dapa menghasilkan PADI sendiri, yang dapat
menyebabkan sitrulinasi protein lokal seperti fibronectin dan dapat
menstimulasi Toll-like receptor (TLR) 2, yang meningkatkan produksi IL-1
dan mengarah pada produksi sel Th17 yang patogen (Firestein, 2017).
Gambar 9. Mekanisme inisiasi dan progresi RA. (a) Modifikasi post-translasi, seperti
19
sitrulinasi pada mukosa dapat membuat neo-epitopes yang akan dikenali oleh sistem
imun adaptif. (b) Peptida yang dimodifikasi ini akan dipresentasikan oleh antigen-
presenting cell (APC) yang kemudian mengaktivasi respon imun adaptif di jaringan
limfoid. (c) Sel stromal (seperti fibroblast-like synoviocytes (FLS)), APC, dan
makrofag teraktivasi secara lokal dan memproduksi faktor inflamasi. (d) Respon
autoimun memicu inflamasi sinovial tapi membutuhkan pukulan kedua, seperti
pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen sehingga respon imun
persisten dan menyebabkan kerusakan kartilago, sendi, dan tulang (Smolen et al.,
2018).
24
yang terlibat, penilaian laboratorium dan radiografi, sangat penting dalam
membedakan RA dari penyakit inflamasi lainnya yaitu osteoathritis (OA) (Tabel
2) (Erickson, Cannella, & Mikuls, n.d.).
25
2.3.6 Patofisiologi Rheumatoid Arthritis
2.3.6.1 Sinovium
Sinovium memiliki dua mekanisme pada homeostasis yaitu
memproduksi lubrikan sehingga mengurangi risiko gesekan pada jaringan
Sitokin dan kerusakan sendi permukaan kartilago saat bekerja dan
menyediakan nutrisi pada kartilago karena sedikitnya suplai darah.
Sinovium yang sehat memiliki struktur lembut dengan layer utama (lining
layer) terdiri dari macrofag-like synoviocytes (MLS) dan fibroblast-like
synoviocytes (FLS) serta sublayer (sublining layer) terdiri dari fibroblas,
adiposit, pembuluh darah, dan sel-sel imun. Layer utama bukanlah sebagai
barier karena hanya ada sedikit membran dasar dan tight junction. Layer ini
mudah lubang dan diterobos oleh sel-sel dan protein untuk masuk ke dalam
cairan sinovial (Buckley, 2019).
26
TNF dan lainnya. Meskipun FLS mengekspresikan IL-6, tetapi produksi
utamanya adalah MMP dan molekul-molekul kecil mediator seperti
prostaglandin dan leukotrien. FLS juga mengekspresikan mikroRNA
spesifik yang berkontribusi untuk aktivasi fenotip. Fenotip ini
menyebabkan kerusakan kartilago dan dapat bermigrasi dari sendi ke
sendi lain untuk mempropagasi penyakit.
b. Perubahan kedua yaitu infiltrasi sel-sel imun adaptif ke dalam sublayer
sinovial. Hampir separuh sel-sel sublayer adalah sel T memori CD4+
yang dapat berdifusi menginfiltrasi jaringan atau pada 15-20% pasien
dapat membentuk pusat ektopik germinal tempat sel B matang
berproliferasi, berdiferensiasi, dan memproduksi antibodi. Sel B,
plasmablas, dan sel-sel plasma juga hadir untuk memproduksi RF atau
ACPAs. Sel dendritik, makrofag, dan sel mast juga berkontribusi pada
sublayer sonovial tersebut.
2.3.6.2 Jaringan sendi dan kerusakan sendi
Pembengkakan pada sendi merupakan cerminan dari inflamasi
membran sinovial oleh adanya aktivasi imun dan dikarakterisasi adanya
infiltrasi leukosit pada kompartemen sendi. Komposisi seluler sinovitis
pada RA yaitu terdiri dari sel-sel imun bawaan (monosit, sel dendritik,
sel mast, dan sel limfoid) dan sel-sel imun adaptif (sel Th1, Th17, sel B,
plasmablas, dan sel plasma). Sinovial fibroblas merupakan agen
inflamasi agresif, regulator matriks, dan fenotip invasif bersamaan
dengan kondrosit yang terkatabolisme dan osteoklastogenesis akan
mempromosi destruksi artikuler (Smolen et al., 2016).
27
Gambar 13. Patogenesis RA (Smolen et al., 2016)
Fluks inflamasi pada kompartemen sinovial diregulasi oleh jaringan
kompleks sitokin dan kemokin (Gambar 13). Sitokin dan kemokin
menginduksi respon inflamasi dengan mengaktivasi sel endotel dan
menarik sel-sel imun terakumulasi pada kompartemen. ACPAs yang
telah menginfiltrasi akan dikenali oleh antigene presenting cell (APC)
dan terjadi inisiasi respon imun. APC berikatan dengan sel T menjadi
aktif. Sel T juga membantu ko-stimulasi sel B. Makrofag menghasilkan
sitokin-sitokin (TNF, IL-6, IL-1) dan bereaksi dengan IL-17, IL-12, IL-
23 yang disekresi oleh sel T CD4+ untuk mempromosi inflamasi.
Makrofag juga berkontribusi pada pelapasan MMP melalui fibroblas
sinovial. Fibroblas sinovial yang teraktivasi oleh TNF, IL-6, IL-1
bersamaan dengan sel T dan sel B aktif, monosit, dan makrofag memicu
generasi osteoklas melalui receptor activator of nuclear factor kB ligand
(RANKL). RANKL tersebut terekspresi pada sel T, sel B, dan fibroblas
dengan reseptor RANKL pada makrofag, sel dendritik, dan pre-
28
osteoklas. Sitokin-sitokin yang ada pada kompartemen meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan molekul adhesi sehingga memicu timbulnya
angiogenesis. Adanya angiogenesis akan membantu sel-sel imun
bermigrasi dari satu sendi ke sendi lainnya (Smolen et al., 2016).
Kerusakan kartilago diinduksi oleh efek katabolik kondrosit setelah
terstimulasi oleh sitokin. Matriks kartilago didegradasi oleh MMP dan
enzim lainnya. Sitokin-sitokin mengikat reseptornya untuk memicu
berbagai sinyal transduksi intraseluler yang akan memperantarai
aktivasi gen inflamasi dan terjadinya kerusakan pada sendi (Smolen et
al., 2016).
2.3.6.3 Proses sinyaling
29
sitokin pro-inflamasi, stres pada sel dendritik, neutrofil, makrofag, sel
T, dan sel B. Saat ada rangsangan seperti IL-10 (khusunya merespon
p38), makrofag, sel T, sel B, dan agen inflamasi lainnya maka enzim-
enzim ini akan teraktivasi dan memberikan respon inflamasi dan
kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. P38 merupakan protein
kunci yang meregulasi respon pro-inflamasi dan dapat menjadi salah
satu target terapi (Hernández-Flórez & Valor, 2016).
2.3.6.3.2 Jalur Syk-Btk
Kelompok Syk terdiri dari 2 anggota utama yaitu zeta-chain-
associated protein kinase 70 (ZAP70) dan spleen tyrosine kinase (Syk).
Ekspresi ZAP70 terbatas pada sel T dan sel NK sedangkan ekspresi Syk
yaitu pada sel mast dan sinoviosit. Pada RA, Syk teraktivasi pada
sinoviosit melalui sitokin pro-inflamasi seperi TNF dan IL-1 yang juga
menginduksi aktivasi JNK, IL-6, dan peningkatan ekspresi MMP.
Aktivasi Syk juga menginduksi sintesis IL-12 dan IL-13 (Hernández-
Flórez & Valor, 2016).
Kelompok Btk terdiri dari 4 anggota yaitu Btk/PI3K, IL-2 inducible
T-cell kinase/epithelial-to-mesenchymal transition/tyrosine-protein
kinase (Itk/Emt/Tsk), bone marrow tyrosine kinase gene in chromosome
X/epithelial tyrosine kinase (Bmx/Etk), dan Tyrosine protein kinase
cytosolic enzyme (Tec). Ekspresi Btk yaitu pada sel-sel limfosit. Sitokin
IL-6 dapat menginduksi fosforilasi Syk kemudian diikuti Btk yang akan
menginduksi sinyal angiogenesis, APC, dan produksi sitokin
(Hernández-Flórez & Valor, 2016).
2.3.6.3.3 Jalur PI3K
PI3K diaktivasi oleh Syk-Btk. PI3K menggenerasi second
messenger yang akan berikatan dengan Btk dan menginduksi fosforilasi
Syk. Aktivasi jalur ini berperan dalam migrasi leukosit, degranulasi sel
mas, dan pemasukan Ca2+ ke dalam sel (Hernández-Flórez & Valor,
2016).
30
2.3.6.3.4 Jalur NF-kB
Aktivasi faktor transkripsi NF-kB diinduksi oleh fosforilasi Syk-
Btk. NF-kB merupakan protein kompleks penting yang menginduksi
faktor transkripsi dan meregulasi aktivasi, diferensiasi, dan maturasi
limfosit B. Sinyaling NF-kB berkaitan dengan ekspresi sitokin IL-1 dan
TNF yang berperan dalam respon inflamasi. Aktivasi NF-kB
menyebabkan ketidakseimbangan molekul pro-inflamasi dan anti-
inflamasi pada sendi dengan arthritis (Hernández-Flórez & Valor,
2016).
2.3.6.3.5 Jalur JAK-STAT
Gambar 15. Jalur MAPK, Syk-Btk, JAK-STAT (Hernández-Flórez & Valor, 2016)
JAK terdiri dari 4 tipe yaitu JAK-1, JAK-2, JAK-3, dan TYK-2.
Semua JAK terekspresi pada sel kecuali JAK-3 yaitu pada sel
hematopoietik. JAK-1 diaktivasi oleh sitokin yang mengikat reseptor
dengan rantai γ dan glikoprotein 130 (gp130) transmembran. JAK-2
oleh gp130, IL-3, dan INF-γ. JAK-3 oleh reseptor dengan rantai γ.
TYK-2 distimulasi oleh IL-12. Fosforilasi JAK akan menginduksi
faktor transkripsi dan mengaktifkan signal transducer and activators of
31
transcription (STAT). Sinyaling JAK-2/TYK-2 oleh IL-12 dan IL-23
mempromosi autoimunitas pada RA (Hernández-Flórez & Valor, 2016).
Target population (Who should be tested?): Patients who 1) have at least 1 joint with definite clinical
synovitis (swelling)* 2) with the synovitis not better explained by another disease†
Classification criteria for RA (score-based algorithm: add score of categories A–D;
a score of 6/10 is needed for classification of a patient as having definite RA
1 large joint¶ 0
D. Duration of symptoms§§
<6 weeks 0
≥6 weeks 1
Keterangan:
* Kriteria ini ditujukan untuk klasifikasi pasien yang baru datang. Selain itu, pasien dengan
penyakit erosif khas artritis reumatoid (RA) dengan riwayat yang kompatibel dengan
pemenuhan kriteria 2010 sebelumnya harus diklasifikasikan memiliki RA. † Diagnosis
banding bervariasi di antara pasien dengan presentasi yang berbeda, tetapi dapat mencakup
kondisi seperti lupus erythematosus sistemik, radang sendi psoriatik, dan gout. ‡ Meskipun
pasien dengan skor <6/10 tidak dapat diklasifikasikan memiliki RA, status mereka dapat
32
dinilai kembali dan kriteria mungkin dipenuhi secara kumulatif dari waktu ke waktu. §
Keterlibatan sendi mengacu pada sendi yang bengkak atau rapuh pada pemeriksaan, yang
dapat dikonfirmasi dengan bukti pencitraan sinovitis. Sendi interphalangeal distal, sendi
carpometacarpal pertama, dan sendi metatarsophalangeal pertama dikeluarkan dari
penilaian. Kategori distribusi sendi diklasifikasikan menurut lokasi dan jumlah sendi yang
terlibat. ¶ “Large joints” : bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. # “Small
joints”: sendi metacarpophalangeal, sendi proximal interphalangeal, sendi
metatarsophalangeal 2-5, sendi interphalangeal ibu jari, dan pergelangan tangan. ** Pada
kategoi ini, minimal 1 sendi yang terlibat harus berupa sendi kecil; sendi lain dapat
mencakup kombinasi dari sendi besar dan sendi kecil lainnya yang tidak spesifik
disebutkan disini (contoh: temporomandibular, acromioclavicular, sternoclavicular, dan
lain-lain). ‡‡ Normal / abnormal ditentukan oleh standar laboratorium setempat. CRP C-
reactive protein; ESR erythrocyte sedimentation rate. §§ Durasi gejala mengacu pada
laporan diri pasien tentang durasi tanda atau gejala sinovitis (mis., nyeri, pembengkakan,
nyeri tekan) sendi yang secara klinis terlibat pada saat penilaian, terlepas dari status
perawatan (Aletaha et al., 2010).
33
Gambar 16. Manajemen terapi rheumatoid arthritis
(European League Against Rheumatism, EULAR, Smolen et al, 2019)
34
methotrexate. Jika ada kontraindikasi dengan methotrexat maka pilihannya adalah
leflunomide atau sulfasalazine. Ketiga obat ini bisa dikombinasi dengan
glukokortikoid jangka pendek. Jika terapi ini memberikan efek perbaikan minimal
50% dalam 3 bulan atau sudah mencapai target pengobatan setelah 6 bulan maka
dapat dilanjutkan dan bisa diturunkan dosisnya. Namun jika tidak ada perubahan
maka terapi harus diubah ke fase II. Pada pasien yang tidak ada faktor penyulit bisa
dengan mengubah atau menambah conventional synthetic DMARD dan
glukokortikoid. Tetapi jika ada faktor penyulit (kerusakan sendi, kadar RF/ACPA
yang tinggi) maka digunakan biological DMARDs atau JAK-inhibitor. Terapi ini
dievaluasi kembali setelah 3 bulan dan 6 bulan. Jika ada perubahan maka dapat
terapi dapat dilanjukan dan dapat melakukan modifikasi penurunan dosis atau
peningkatan interval pemberian obat.jika tidak ada perubahan maka terapi diubah
ke fase III. Pada fase ini akan dilakukan perubahan bDMARDs atau JAK-inhibitor
yang sama atau beda kelasnya. Efek terapinya dievaluasi kembali setelah 3 dan 6
bulan. Jika berhasil dapat dilanjutkan dan dapat diturunkan dosisnya. Jika tidak
berhasil maka dilakukan perubahan agen terapi bDMARDs atau JAK-inhibitor lagi.
Tabel 4. Kelompok Obat untuk terapi rheumatoid arthritis (Smolen et al, 2018)
Kelompok Mekanisme Contoh
Conventional Target tidak diketahui Methotrexate
synthetic Sulfasalazine
DMARDs Target diketahui Leflunomide
Biological TNF Adalimumab
DMARDs Certolizumab
Etanercept
Golimumab
Infliximab
IL-6 receptor Tocilizumab
Serilumab
IL-6a Clazakizumab
Olokizumab
Sirukumab
CD80 dan CD 86 (terlibat dalam co- Abatacept
stimulasi sel T)
CD20 (diekspresikan oleh sel B) Rituksimab
Targeted Janus kinase 1 (JAK1) dan JAK2 Baricitinib
synthetic JAK1, JAK2, dan JAK3 Tofacitinib
DMARDs
Glukokortikoid Prednisone
methylprednisolon
35
2.4.1 Golongan DMARD konvensional
a. Methotrexate (MTX)
Methotrexate memiliki rumus kimia C20H22N8O5 dengan struktur seperti
pada gambar.
36
MTX dikontraindikasikan untuk wanita hamil dan menyusui serta
gangguan fungsi ginjal. Efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan
MTX antara lain stomatitis, alopesia, reaksi hematologi (leukopenia,
trombositopenia, anemia) dan gastrointestinal (mual, muntah, dan
pendarahan gastrointestinal). Efek samping yang biasa ditemui pada
pemakaian MTX dosis tinggi adalah malignansi (Katzung, 2018)
Interaksi obat yang umum terjadi antara lain dengan asam folat.
MTX akan menurunkan kadar asam folat karena mekanismenya sebagai
analog asam folat yang bersaing untuk menduduki reseptor folat. Suplemen
folat penting diberikan saat terapi methotrexate. Dosis asam folat yang
disarankan 10mg/minggu atau 1mg/hari (Brown, 2018).
37
merupakan inhibitor 5-aminoimidazole-4-carboxamide ribonucleotide
transformylase (ATIC). Penghambatan ATIC menyebabkan akumulasi 5-
aminoimidazole-4-carboxilamid ribonucleotide (AICAR). Akumulasi
AICAR akan menghambat kerja enzim AMP deaminase (AMPDA) dan
adenosin deaminase (ADA) yang berakibat eningkatnya kadar AMP dan
adenosin intraselular. Akumulasi AICAR juga berefek meningkatnya kerja
enzim ecto-5-nukleotidase yang mengubah AMP menjadi adenosin
ekstraselular. Akumulasi adenosin kemudian merangsang reseptor adenosin
yang bekerja pada aksi antiinflamasi. (Katzung, 2018; Brown, 2016).
Adenosin bertindak sebagai paracrine signalling agent melalui 4
reseptor purinergic G-protein-coupled : adenosin reseptor A1 (ADORA1),
ADORA2A, ADORA2B, ADORA 3. Keempat subtype reseptor adenosin
ini diekspresikan oleh sel synovial dalam RA. Pada RA, reseptor adenosin
diekspresikan berlebih pada sel imun, mungkin karena tingginya kadar
TNF. ADORA3 adalah reseptor adenosin yang paling banyak dieskpresikan
pada RA.. Pemberian sinyal melalui ADORA3 menurunkan produksi TNF
dan nuclear factor k-light-chain-enhancer (NF-κB) yang diaktivasi oleh sel
B. Penurunan produksi TNF menandakan bekerjanya proses antiinflamasi.
(Brown, 2016).
b. Leflunomide
Leflunomide termasuk senyawa pyrimidine sintesis inhibitor dengan
rumus kimia C12H9F3N2O2 dan struktur kimia sebagai berikut
Gambar 19. Struktur kimia leflunomide dan metabolit aktifnya (A77 1726)(Kale, 2004)
Leflunomide diindikasikan untuk mengatasi RA jika ada
kontraindikasi pada penggunaan MTX di awal terapi. Leflunomide
diabsorpsi dengan baik oleh tubuh (80%) dan Cmax tercapai setelah 6-12
38
jam setelah pemberian. Volume distribusi obat ini 0,13L/kg dan ikatan
protein sebesar >99,3%. Waktu paruh obat ini selama 19 hari. Leflunomide
dimetabolisme di hati dan diubah menjadi bentuk aktifnya yaitu A77-1726.
Metabolit aktifnya dieliminasi oleh metabolisme lebih lanjut dan diekskresi
oleh ginjal. Ekskresi leflunomide melalui tinja (48%) dan urin (43%)
(Katzung, 2018).
Dosis leflunomide untuk terapi RA adalah 20mg/hari. Efek samping
yang ditimbulkan obat ini adalah diare (25%), ISPA, ruam, mual,
peningkatan enzim hati, sakit kepala, hipertensi, dan penurunan berat
badan. Leflunomide dikontraindikasikan untuk wanita hamil, penderita
gangguan fungsi hati, dan adanya infeksi serius serta hipersensitifitas.
Penggunaan leflunomide bersama dengan imunomodulator lain harus
dihindari karena berpotensi menambah efek imunosupresi. Pemberian
vaksin hidup juga sebaiknya dihindari karena berpotensi infeksi parah
karena sifat imunosupresi dari pengobatan. (Katzung, 2018).
39
Gambar 21. Cell cycle modulation (Breedveld & Dayer, 2000).
c. Sulfasalazine
40
Sulfasalazine digunakan sebagai terapi lini kedua RA. Sulfasalazine
adalah kombinasi sulfonamid (sulfapiridin) dan mesalazin (5-ASA).
Aktivitas antiradang ini umumnya dianggap terletak pada produk
pemecahan metaboliknya yaitu asam-5-aminosalisilat (5-ASA) yang
dilepaskan di usus besar. Obat dengan rumus kimia C18H14N4O5S ini
memiliki struktur seperti pada gambar
41
Gambar 23. Mekanisme aksi sulfasalazine (Thornton, 2018)
Sulfasalazin dipecah oleh enzim bakteri usus menjadi metabolitnya,
yaituu 5-ASA dan sulfapiridin. Efek antiinflamasi obat ini kemungkinan
pada metabolit aktifnya. Sulfapiridin menurunkan produksi IL-8 sinovial. 5-
ASA menurunkan produksi IL-2 dan TNF-α. Penghambatan IL-2 tersebut
menyebabkan penghambatan proliferasi sel-T. TNF-α dan sel-T merupakan
agen proinflamasi. Jika keduanya dihambat maka tidak terjadi inflamasi
pada RA. (Rains, 1995; Thornton, 2018; Katzung, 2018)
42
pelepasan prednisone dosis kecil pada pukul 2-4 pagi, menurunkan sinkardian
sitokin inflamasi (Katzung, 2018).
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang mengarah pada resiko serius dan
berefek toksik. Efek yang umum terjadi adalah cushing’s syndrome, peptic
ulcers. Pasien yang menerima glukokortikoid harus dimonitor perkembangan
hiperglikemia, glikosuria, edema, hipertensi, atau hipokalemia. Glukokortikoid
dikontraindikasikan untuk pasien dengan riwayat peptic ulcer, penyakit jantung
atau hipertensi dengan gagal jantung, serta penyakit infeksi. (Katzung, 2018).
Gambar 24. mekanisme kerja glukokortikoid pada rheumatoid arthritis (Hardy, 2018)
Glukokortikoid oral seperti prednisone dan metilprednisolon dapat
dikombinasi dengan cDMARD untuk mengontrol gejala penyakit RA.
Glukokortikoid dapat beraksi pada sel stomal maupun hematopoetik.
Glukokortikoid memberi sinyal antiinflamasi melalui penghambatan pada
fibroblast synovial, kondrosit, osteoblast, makrofag, sel T, dan neutrofil.
Glukokortikoid lisis dan menginduksi redistribusi limfosit. Hal ini
menyebabkan penurunan jumlah limfosit secara cepat dan bersifat sementara di
pembuluh darah perifer. Glukokortikoid mengurangi aktivasi NF-κB, yang
berefek meningkatkan apoptosis dari sel teraktivasi. Aktivasi NF-κB yang
terhambat akhirnya berpengaruh pada downregulasi sitokin penting pro-
inflamasi seperti Il-1β, IL-6, TNF-α. (Hardy, 2018).
43
2.4.3 Golongan DMARD biologis (bDMARD)
Agen bDMARD diberikan pada fase ke 2 pengobatan RA saat cDMARD
dan glukokortikoid tidak cukup memberikan efek terapi. Ada beberapa
mekanisme aksi dari kelompok ini berdasarkan target aksinya :
a. Inhibitor TNF
Pada pasien RA terjadi peningkatan kadar TNF-α di persendiaannya.
TNF-α dominan diproduksi oleh makrofag dan CD4 limfosit T1. TNF-α
adalah kunci respon inflamasi yang biasa muncul pada RA. TNF yang
dihasilkan oleh makrofag akan dihambat aktivitasnya sehingga proses
sinyaling inflamasi terganggu Ada 5 senyawa inhibitor TNF yang
44
digunakan yaitu infliximab (secara i.v), adalimumab, certolizumab,
etanercept dan golimumab (keempatnya secara subkutan).
45
5mg/kg setiap 8 minggu. Waktu paruhnya 9-12 hari tanpa akumulasi setelah
dosis ulangan. (Katzung, 2018; Thornton, 2018)
Etanercept bukan antobodi monoclonal tetapi mekanismenya
berhubungan dengan infliximab karena juga menarget TNF- α. Etanercept
terdiri dari reseptor TNF- α manusia dan bagian FC dari IgG manusia.
Etanercept mengikat molekul TNF - α mencegahnya berinteraksi dengan
reseptornya dan menghambat limftoksin α. Etanercept diberikan 25mg dua
kali seminggu (50mg seminggu). Obat ini lambat diabsorpsi dengan
konsentrasi puncak 72 jam setelah pemberian. Waktu paruh eliminasinya
4,5 hari. (Katzung, 2018; Thornton, 2018)
Golimumab adalah human monoclonal antibody dengan afinitas
tinggi untuk TNF- α terlarut dan terikat membrane. Golimumab efektif
menetralisir efek inflamasi yang diproduksi TNF- α. Waktu paruh
golimumab sekitar 14 hari. Dosis yang direkomendasikan untuk golimumab
adalah 50mg setiap 4 minggu. (Katzung, 2018; Thornton, 2018)
Certolizumab adalah rekombinan antibody manusia fragmen Fab
terkonjugasi pada PEG dengan spesifisitas untuk TNF- α. Certolizumab
menetralkan TNF- α yang terlarut dan terikat membrane secara dose-
dependent. Obat ini memiliki waktu paruh 14 hari. Dosis inisiasi untuk RA
adalah 400 mg, minggu ke 2 dan ke 4, diikuti 200mg setiap minggu lainnya,
atau 400mg setiap 4 minggu. (Katzung, 2018; Thornton, 2018)
Secara umum inhibitor TNF- α memiliki beberapa efek samping,
seperti peningkatan resiko infeksi bakteri dan infeksi yang tergantung
makrofag (tuberculosis, jamur). (Katzung, 2018)
b. Inhibitor CD20
Rituximab adalah antibodi monoclonal IgG1 yang langsung
mentarget CD20 sel B. Rituximab mendeplesi sel B di perifer, synovium,
jaringan limfoid, dan sumsum tulang. Rituximab diberikan dalam dua infus
intravena 1000mg yang dibagi dalam dua minggu. Terapi ini dapat diulang
setiap 6-9 bulan sesuai kebutuhan. Pemberian pretreatment dengan
parasetamol, antihistamin, dan glukokortikoid inftravena (100 mg
46
metilprednisolon) 30 menit sebelum pemberian rituksimab menurunkan
kejadian dan keparahan reaksi infus rituksimab. Efek samping yang
ditimbulkan adalah rash sekitar 30% pada pemberian infus rituksimab
pertama dan 10% pada infus kedua. (Katzung, 2018)
Rituximab menginduksi apoptosis pada sel limfoma sel B yang
menyebabkan menurunkan presentasi antigen ke limfosit T. Tidak adanya
limfosit B juga yang berakibat sel plasma tidak terbentuk. Ketidakhadiran
dua komponen tersebut akan menghambat proses autoimun dan sekresi
sitokin proinflamasi. (Katzung, 2018; Thornton, 2018)
47
menyebabkan penghambatan proliferasi sel T dan produksi sitokin
inflamasi. (Katzung, 2018; Thornton, 2018)
48
2.4.4 Golongan DMARD sintetik tertarget
Contoh dari golongan ini adalah tofacitinib yang merupakan molekul
sintetik kecil tertarget yang selektif menghambat seluruh keluarga Janus kinase.
Dosis yang direkomendasikan untuk terapi RA adalah 5mg dua kali sehari.
Tofacitinib memiliki waktu paruh 3 jam. Metabolisme obat ini sebagian besar
(70%) dihati, oleh karena itu dikontra indikasikan untuk pasien dengan
gangguan hati berat. Efek samping paling umum adalah ISPA dan infeksi
kandung kemih. Efek samping lainnya adalah meningkatkan resiko infeksi. Hal
ini yang menyebabkan tofacitinib tidak digunakan bersama dengan
imunosupresan kuat (missal azathioprine, siklosporin) atau bDMARD karena
dapat berinteraksi meningkatkan efek imunosupresannya. (Katzung, 2018)
49
pada dosis lebih rendah menghambat JAK1, karenanya mengganggu jarul
pensinyalan JAK-STAT. Jalur ini berperan penting dalam pathogenesis
penyakit autoimun termasuk RA. Kompleks JAK3/JAK1 bertanggung jawab
untuk transduksi sinyal dari rantai reseptor γ umum (IL-2RG) untuk IL-2, IL-4,
IL-7, -9, 15, dan -21 yang selanjutnya mempengaruhi transkripsi beberapa gen
penting untuk diferensiasi, proliferasi, dan fungsi sel NK, sel T, dan sel limfosit
B. JAK1 (dan beberapa JAK lain) mengontrol sinyal transduksi dari IL-6 dan
interferon reseptor. Tofacitinib merupakan inhibitor kompetitif yang mengikat
adenosin trifosfat (ATD) pada catalytic cleft di domain protein JAK. Struktur
tofacitinib meniru ATP tanpa gugus trifosfat. Hasilnya, tofacitinib menghambat
fosforilasi dan aktivasi JAK yang selanjutnya juga menghambat fosforilasi
STAT. Oleh karena itu, translokasi STAT menuju ke nukleus untuk
mengaktivase gen transkripsi dapat dihambat sehingga tidak produksi sitokin
pro-inflamasi terganggu (Katzung, 2018; Hodge, 2016).
50
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan inflamasi kronis yang
menyebabkan kerusakan pada sendi ditandai dengan degradasi tulang
rawan sehingga sendi melunak, pembengkakan pada sendi, sinovitis,
dan erosi tulang. RA merupakan penyakit autoimun dimana target dari
sistem imun disini adalah jaringan yang melapisi sendi sehingga
mengakibatkan adanya pembengkakan, peradangan, dan kerusakan
b. Patofisiologi rheumatoid arthritis terkait sinovium dan jaringan sendi
Ada dua perubahan patogenesis pada sinovium terkait RA (Smolen,
Aletaha, & McInnes, 2016):
- Perubahan pertama yaitu adanya pembengkakan layer utama
karena terjadi peningkatan dan aktivasi sitokin-sitokin dan
protease. MLS memproduksi berbagai jenis sitokin pro-
inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF dan lainnya.
- Perubahan kedua yaitu infiltrasi sel-sel imun adaptif ke dalam
sublayer sinovial. Hampir separuh sel-sel sublayer adalah sel T
memori CD4+ yang dapat berdifusi menginfiltrasi jaringan atau
pada 15-20% pasien dapat membentuk pusat ektopik germinal
tempat sel B matang berproliferasi, berdiferensiasi, dan
memproduksi antibodi. Jaringan sendi dan kerusakan sendi
Pembengkakan pada sendi merupakan cerminan dari inflamasi
membran sinovial oleh adanya aktivasi imun dan dikarakterisasi adanya
infiltrasi leukosit pada kompartemen sendi. (Smolen et al., 2016).
c. Terapi yang digunakan untuk rheumatoid arthtiris dengan
menggunakan algoritma terapi yaitu terdapat 3 fase terapi. Fokus utama
rekomendasi EULAR adalah terapi farmakologis dengan DMARDs.
Pada fase I saat seseorang baru terdiagnosa klinis menderita
rheumatoid arthritis (RA) terapi pertama adalah DMARDs dengan
51
pilihan pertama methotrexate. Namun jika tidak ada perubahan maka
terapi harus diubah ke fase II. Pada pasien yang tidak ada faktor
penyulit bisa dengan mengubah atau menambah conventional synthetic
DMARD dan glukokortikoid. Tetapi jika ada faktor penyulit
(kerusakan sendi, kadar RF/ACPA yang tinggi) maka digunakan
biological DMARDs atau JAK-inhibitor. Terapi ini dievaluasi kembali
setelah 3 bulan dan 6 bulan. Jika ada perubahan ada perubahan maka
terapi diubah ke fase III. Pada fase ini akan dilakukan perubahan
bDMARDs atau JAK-inhibitor yang sama atau beda kelasnya. Efek
terapinya dievaluasi kembali setelah 3 dan 6 bulan..
3.2 Saran
a. Perlu adanya perkembangan terapi yang lebih singkat dalam terapi
rheumatoid arthritis
b. Perlu adanya uji diagnosa penyakit rheumatoid arthritis sejak dini
untuk menghindari kerusakan yang progresif
52
DAFTAR PUSTAKA
Aletaha, D., Neogi, T., Silman, A. J., Funovits, J., Felson, D. T., Bingham, C. O.,
… Hawker, G. (2010). Arthritis & Rheumatism. 62(9), 2569–2581.
https://doi.org/10.1002/art.27584
Badan Pusat Statistika. (2014). Statistik penduduk lanjut usia. Statistik Penduduk
Lanjut Usia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Brown, Philip & Pratt, Arthur & Isaacs, John. (2016). Mechanism of action of
methotrexate in rheumatoid arthritis, and the search for biomarkers. Nature
Reviews Rheumatology. 12. 10.1038/nrrheum.2016.175.
Brunner, & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. (M. Ester,
Ed.). Jakarta: EGC.
53
Ganong, W.F., 2019. Review of Medical Physiology. 26th ed. USA: McGraw-Hill
Education.
Hodge, Jennifer & Kawabata, Thomas & Krishnaswami, Sriram & Clark, James &
Telliez, Jean-Baptiste & Dowty, Martin & Menon, Sujatha & Lamba, Manisha
& Zwillich, Samuel. (2016). The mechanism of action of tofacitinib - an oral
Janus kinase inhibitor for the treatment of rheumatoid arthritis. Clinical and
experimental rheumatology. 34.
Holers, V. M., Demoruelle, M. K., Kuhn, K. A., Buckner, J. H., Robinson, W. H.,
Okamoto, Y., et al. (2018). Rheumatoid arthritis and the mucosal origins
hypothesis: protection turns to destruction. Nature Reviews Rheumatology,
14(9), 542-557. https://doi.org/10.1038/s41584-018-0070-0.
Katzung, Betram G. (2018). Basic & clinical pharmacology 14th edition. San
Francisco: McGraw-Hil Education.
Ningsih, N., & Lukman. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Pellattiero, Anna & Scorrano, Luca. (2018). Flaming Mitochondria: The Anti-
inflammatory Drug Leflunomide Boosts Mitofusins. Cell Chemical Biology.
25. 231-233. 10.1016/j.chembiol.2018.02.014.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses, dan Praktik. (M. Ester, D. Yulianti, & I. Parulian, Eds.) (4th ed.).
Jakarta: EGC.
Rains, C.P., Noble, S. & Faulds, D. (1995). Sulfasalazine. Drugs 50, 137–156.
54
Rubenstein, D. (2003). Lectures Notes : Dokter Klinis (6th ed.). Jakarta: Erlangga.
Smolen, J.S., Aletaha, D., McInnes, I.B. (2016). Rheumatoid arthritis. The Lancet,
388(10055), 2023 – 2038. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)30173-8.
Smolen, J. S., Aletaha, D., Barton, A., Burmester, G. R., Emery, P., Firestein, G.
S., … Yamamoto, K. (2018). Rheumatoid arthritis. Nature Publishing Group,
4, 1–23. https://doi.org/10.1038/nrdp.2018.
Smolen JS, Landewé RBM, Bijlsma JWJ, et alEULAR recommendations for the
management of rheumatoid arthritis with synthetic and biological disease-
modifying antirheumatic drugs: 2019 updateAnnals of the Rheumatic
Diseases Published Online First: 22 January 2020. doi: 10.1136/annrheumdis-
2019-216655
Thornton, Clare & Mason, Justin C. (2018). Drugs for Inflammation and joint
disease. Clinical Pharmacology, 11r. diakses online dari
https://doctorlib.info/pharmacology/clinical-pharmacology/16.html pada 4
April 2020 pukul 18.03.
Zeng, Q., Chen, R., Darmawan, J., Xiao, Z., Chen, S., Wigley, R., … Zhang, N.
(2008). Rheumatic Diseases in China. Arthritis Research & Therapy, 10(1),
R17. https://doi.org/10.1186/ar2368
55