Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU BEDAH SARAF


MENINGIOMA

PEMBIMBING
dr. M. Arif Fauzi, Sp.BS

Disusun Oleh :

Feliciani Palmitasari Harapan (20190420018)


I Made Krisnadwipayana (20190420098)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG
TUAH SURABAYA
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
anugerahNya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas referat tentang Meningioma
dengan baik.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. M. Arif Fauzi, Sp.BS yang telah meluangkan waktu dan
memberikan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan tugas referat ini tepat pada
waktunya.
Dalam penulisan referat ini saya menyadari adanya keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga referat ini jauh dari sempurna.
Untuk itu, kritik dan saran saya perlukan agar dapat menyempurnakan karya tulis ini
di masa yang akan datang.
Semoga referat ini dapat berguna bagi pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya.

Surabaya, 17 Juli 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................1

BAB I......................................................................................................................................................3

PENDAHULUAN.....................................................................................................................................3

BAB II.....................................................................................................................................................4

TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................................4

2.1 Definisi...................................................................................................................................4

2.2 Anatomi.................................................................................................................................4

2.3 Epidemiologi..........................................................................................................................5

2.4 Etiologi...................................................................................................................................5

2.5 Patofisiologi...........................................................................................................................6

2.6 Manifestasi Klinis...................................................................................................................7

2.7 Pemeriksaan Fisik.................................................................................................................10

2.8 Pemeriksaan Spesifik...........................................................................................................10

2.9 Kriteria Diagnosa..................................................................................................................10

2.10 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................10

2.11 Diagnosa Banding................................................................................................................11

2.12 Konsultasi.............................................................................................................................12

2.13 Terapi...................................................................................................................................12

2.14 Edukasi.................................................................................................................................14

2.15 Prognosis.............................................................................................................................14

2.16 Komplikasi............................................................................................................................14

BAB III..................................................................................................................................................16

KESIMPULAN.......................................................................................................................................16
Referensi.............................................................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN

Meningioma adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput


pelindung yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul
pada tempat manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi, umumnya
lebih sering terjadi di intracranial dibandingkan intraspinal. (Rowland and Lewis,
2005) Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign), sedangkan meningioma
malignan jarang terjadi. (Black et al., 2007)
Meningioma merupakan neoplasma intrakranial nomor 2 dalam urutan
frekuensi yakni mencapai angka 30% dari keseluruhan tumor intrakranial, dengan
angka kejadian 4-5 dari 100,000 penduduk. Meningioma lebih sering dijumpai pada
wanita daripada pria terutama pada golongan umur antara 60-70 tahun dan
memperlihatkan kecenderungan untuk ditemukan pada beberapa anggota di satu
keluarga. Tumor ini paling sering menyerang wanita, dengan ratio wanita banding
pria adalah 2:1. (Riemenschneider, 2006) Korelasinya dengan trauma kapitis masih
dalam penelitian karena belum cukup bukti untuk memastikannya. Pada umumnya
meningioma dianggap sebagai neoplasma yang berasal dari glioblas di sekitar vili
arachnoid. Sel di medulla spinalis yang sebanding dengan sel tersebut ialah sel
yang terletak pada tempat pertemuan antara arachnoideamater dengan duramater
yang menutupi radiks. (Mardjono and Sidharta, 2008)
Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak
yang terganggu dan seringkali berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial. (Rowland and Lewis, 2005) Sekitar 40% meningioma berlokasi di lobus
frontalis dan 20% menimbulkan gejala sindroma lobus frontalis. Sindroma lobus
frontalis sendiri merupakan gejala ketidakmampuan mengatur perilaku seperti
impulsif, apati, disorganisasi, defisit memori dan atensi, disfungsi eksekutif, dan
ketidakmampuan mengatur mood. Gejala yang paling sering timbul meliputi sakit
kepala hebat terutama pada pagi hari, kejang, perubahan kepribadian dan gangguan
ingatan, mual dan muntah, serta penglihatan kabur. (Black et al., 2007)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Selaput Otak


Meningens membentang di bawah lapisan dalam dari tengkorak dan
merupakan membran pelindung dari otak. Terdiri dari duramater, arachmoideamater
dan piamater yang letaknya berurutan dari superfisial ke profunda. Perikranium yang
masih merupakan bagian dari lapisan dalam tengkorak dan duramater bersama-
sama disebut juga pachymeningens. Sementara piamater dan arachnoideamater
disebut juga leptomeningens. (Rohkamm, 2004)

Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari
lamina meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina endostealis
melekat erat pada dinding kanalis vertebralis, menjadi endosteum (periosteum),
sehingga di antara lamina meningialis dan lamina endostealis terdapat ruangan
extraduralis (spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat longgar, lemak dan pleksus
venosus. Pada lapisan perikranium banyak terdapat arteri meningeal, yang
mensuplai duramater dan sumsum tulang pada kubah tengkorak. Pada enchepalon
lamina endostealis melekat erat pada permukaan interior kranium, terutama pada
sutura, basis krania dan tepi foramen occipitale magnum. Lamina meningialis
mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan
membentuk empat buah septa, yaitu falx cerebri, tentorium cerebeli, falx cerebeli,
dan diafragma sellae.
Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi oleh sinus
sagital inferior dan superior. Pada bagian depan falx cerebri terhubung dengan krista
galli, dan bercabang di belakang membentuk tentorium cerebeli. Tentorium cerebeli
membagi rongga kranium menjadi ruang supratentorial dan infratentorial. Falx
cerebeli yang berukuran lebih kecil memisahkan kedua belahan otak kecil. Falx
cerebeli menutupi sinus oksipital dan pada bagian belakang terhubung dengan
tulang oksipital. (Rohkamm, 2004)
Duramater dipersarafi oleh nervus trigeminus dan nervus vagus. Nervus
trigeminus mempersarafi daerah atap kranial, fosa kranium anterior dan tengah.
Sementara nervus vagus mempersarafi fosa posterior. Nyeri dapat dirasakan jika
ada rangsangan langsung terhadap duramater, sementara jaringan otak sendiri tidak
sensitif terhadap rangsang nyeri. Beberapa nervus kranial dan pembuluh darah yang
mensuplai otak berjalan melintasi duramater dan berada di atasnya sehingga
disebut juga segmen extradural intrakranial. Sehingga beberapa nervus dan
pembuluh darah tersebut dapat dijangkau saat operasi tanpa harus membuka
duramater. (Rohkamm, 2004)
Di bawah lapisan duramater, terdapat arachnoideamater. Ruangan yang
terbentuk di antara keduanya, disebut juga spatium subdural, berisi pembuluh darah
kapiler, vena penghubung dan cairan limfe. Jika terjadi cedera dapat terjadi
perdarahan subdural. (Rohkamm, 2004) Arachnoideamater yang membungkus basis
serebri berbentuk tebal sedangkan yang membungkus facies superior cerebri tipis
dan transparant. Arachnoideamater membentuk tonjolan-tonjolan kecil yang disebut
granulation arachnoidea, masuk kedalam sinus venosus, terutama sinus sagitallis
superior. Lapisan disebelah profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri dan diantara
folia cerebri. Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh serabut-serabut
reticularis dan elastic, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah cerebral.
Di bawah lapisan arachnoideamater terdapat piamater. Ruangan yang
terbentuk di antara keduanya, disebut juga spatium subarachnoid, berisi cairan
serebrospinal dan bentangan serat trabekular (trabekula arachnoideae). Piamater
menempel erat pada permukaan otak dan mengikuti bentuk setiap sulkus dan girus
otak. Pembuluh darah otak memasuki otak dengan menembus lapisan piamater.
Kecuali pembuluh kapiler, semua pembuluh darah yang memasuki otak dilapisi oleh
selubung pial dan selanjutnya membran glial yang memisahkan mereka dari
neuropil. Ruangan perivaskuler yang dilapisi oleh membran ini (ruang Virchow-
Robin) berisi cairan serebrospinal. Plexus koroid dari ventrikel cerebri yang
mensekresi cairan serebrospinal, dibentuk oleh lipatan pembuluh darah pial (tela
choroidea) yang diselubungi oleh selapis epitel ventrikel (ependyma). (Rohkamm,
2004)

2.2 Etiologi
Hingga saat ini diyakini radioterapi merupakan factor resiko utama terjadinya
meningioma. Radiasi dosis rendah seperti pada pengobatan tinea kapitis maupun
dosis tinggi seperti pada penanganan tumor otak lain (misalnya meduloblastoma)
meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Radioterapi dosis tinggi berhubungan
dengan terjadinya meningioma dalam waktu yang relative singkat, antara 5-10
tahun. Sementara radiasi dosis rendah membutuhkan waktu beberapa decade
sampai timbulnya meningioma. Tumor yang timbul akibat radiasi cenderung bersifat
multiple dan secara histology ganas, serta memiliki kecenderungan yang lebih tinggi
untuk timbul kembali. Trauma kepala diduga dapat menyebabkan tumor meningens,
namun sampai saat ini belum ada penelitian lebih lanjut yang dapat membuktikan
hal tersebut. Foto dental standar bukan merupakan faktor resiko. (Rowland and
Lewis, 2005) Namun beberapa penelitian epidemiologi menyebutkan terjadi
peningkatan insidens meningioma pada pasien dengan riwayat foto dental. (Black et
al., 2007)

2.3 Patofisiologi
Patofisiologi Bell’s Palsy masih merupakan perdebatan. Nervus facialis
melalui suatu bagian dalam os. temporalis yang disebut canalis facialis. Salah satu
teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang
menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari
2
saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis
yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai
foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls
motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear (lesi berada proksimal dari
ganglion geniculatum) kelumpuhan motoric disertai dengan kelainan otonom dan
gustatory 2
Nervus fasialis terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-
pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti
nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan
melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul
bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab
utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes
zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus
ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. 2

2.4 Manifestasi Klinis


Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat
bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah
merasakan adanya kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya
7
memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin
Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak
dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke ataS (Bell phenomen). Penderita tidak dapat
bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut
yang lumpuh7
Tanda dan gejala klinis pada Bell’s Palsy adalah:
a) Lesi diluar foramen stilomastoideus :
Muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut tertarik ke sisi mulut yang
sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada
wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi
tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus.
7

b) Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani :


Tanda dan gejala sama seperti penjelasan pada poin diatas, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah ⅔ bagian anterior dan
salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di
daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan
nervus facialis di canalis facialis. 7
c) Lesi yang tinggi dalam canalis facialis dan mengenai muskulus
stapedius :
Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin diatas, ditambah
7
dengan adanya hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam).
d) Lesi yang mengenai ganglion genikuli :
Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga poin diatas, disertai
7
dengan nyeri dibelakang dan didalam liang telinga dan dibelakang telinga.
e) Lesi di meatus akustikus internus :
Tanda dan Gejala sama seperti kerusakan pada ganglion genikuli, hanya
saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulocochlearis. 7
f) Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons :
Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai tanda dan gejala terlibatnya
nervus trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulococlearis, nervus
accessorius dan nervus hypoglossus. 7
2.5 Pemeriksaan Fisik
4
Pemeriksaan neurologis ditemukan parese N. VII perifer
Gerakan volunter yang diperiksa (motorik) :
a. Mengerutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Tersenyum
d. Bersiul
e. Mengencangkan kedua bibir
Uji fungsi pengecapan : 2/3 depan lidah (sensorik).

2.6 Pemeriksaan Spesifik


Uji Schirmer :
Menggunakan kertas filter diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah
kanan dan kiri. Amati rembesan air mata pada kertas filter, berkurangnya air
4
mata menunjukkan lesi N.facialis setinggi ganglion Geniculatum.

2.7 Kriteria Diagnosa


a. terjadi secara tiba – tiba
b. terjadi kelemahan pad otot wajah (kelemahan otot yang terjadi bisa ringan
sampai berat, tetapi selalu pada satu sisi wajah).
c. merasakan nyeri di belakang telinga
d. mati rasa, atau merasakan ada beban di wajah, meskipun
sebetulnya sensasi di wajah adalah normal.
e. Jika bersifat perifer, maka penderita mengalami kesulitan dalam menutup
mata pasa sisi yang terkena, mempengaruhi pembentukan ludah, air mata
atau rasa di lidah. 4

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah
diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan
patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan n.fasialis ireversibel.
2) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur
kecepatan hantaran listrik pada nervus fasialis kiri dan kanan.
3) Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot
wajah.
4) Uji Schirmer 4

2.9 Diagnosa Banding


Diagnosis banding untuk kelumpuhan wajah banyak. Penyebab kelumpuhan
wajah dapat dibagi dalam etiologi bawaan (konginetal) dan didapat. Penyebab
bawaan termasuk sindrom genetik, trauma terkait kelahiran dan gangguan
perkembangan (misalnya, hipoplasia perkembangan wajah otot). Penyebab yang
didapat termasuk infeksi (VZV, penyakit Lyme, mycobacterium tuberculosis, HIV),
traumatis (iatrogenik atau kepala trauma), inflamasi (vaskulitis, sarkoidosis,
autoimun penyakit), neoplastik (jinak atau ganas) dan serebrovaskular.6
Pendekatan klinis terstruktur yang mempertimbangkan pola facial palsy
(gambar 1) bersama dengan karakteristik pasien dan pemeriksaan fisik menyeluruh
umumnya akan memberikan bukti untuk diagnosis alternatif, dan segera lakukan
penyelidikan yang sesuai. 6
Pola kelumpuhan wajah tertentu yang perlu dipikirkan pertimbangan meliputi:
(1) kelumpuhan wajah yang fluktuatif, progresif lambat (lebih dari 72 jam),; (2)
kelumpuhan bilateral (GBS, karsinomatosis, limfoma); (3) kelumpuhan wajah
berulang (saraf wajah neuroma); (4) kelumpuhan total berkepanjangan (> 4 bulan)
6
dan (5) kelumpuhan wajah lengkap yang tiba-tiba (perdarahan menjadi tumor).
Demikian juga dengan kehadiran massa di parotid, riwayat keganasan kulit
atau kelemahan saraf wajah segmental harus meningkatkan kecurigaan terhadap
tumor. Sejarah trauma, gejala telinga seperti ketulian ipsilateral, tinitus, atau gejala
sistemik seperti demam, juga harus diwaspadai adanya infeksi teliga dan harus
konsultasi spesialis otologis. 6
Pertimbangan penyakit serebrovaskular sebagai penyebab facial palsy itu
penting dan harus konsultasi dengan ahli neurologi. Gerakan wajah bagian atas
(frontalis kontraksi) adalah pembeda antara kortikal (sentral) dan kelemahan saraf
wajah perifer. 6

2.10 Konsultasi
Dokter spesialis Rehabilitasi
medis Dokter spesialis saraf
Dokter spesialis bedah
saraf Dokter spesialis THT4

2.11 Terapi
a. Terapi medikamentosa (diberikan pada fase akut) 4:
- kortikosteroid (metilprednisolon)
Evaluasi : - Kemajuan + : Tappering off dalam 5 hari
-Tetap paralise total ; teruskan 10 hari, kemudian tappering off 5
hari berikutnya.
Jika KI dengan steroid : nonflamin
- neurotropik (vit B1, B6, B12) : mecobalamin
- antiviral ,C: aciclovir

b. Rehabilitasi Medik 5 :
1. Terapi Panas :
Pemanasan superficial dengan infrared, pemanasan dalam dengan
Shortwave Diathermy atau Ultrasound Diathermy.
Dimulai pada hari 3 atau 4.

2. Stimulasi Listrik
Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk mencegah
atau memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan
memperkuat otot yang masih lemah. Diberikan 2 minggu setelah onset.
Diprogram berdasarkan pertimbangan khusus:
Berdasarkan perkiraan prognosa (penilaian klinis dan elektrodiagnosa) jika
baik, tidak dilakukan stimulasi listrik; jika kurang baik atau jelek, diberikan
setelah penderita diberi informasi.

3. Latihan otot-otot wajah


Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan
berupa mengangkat alis, mengerutkan dahi, menutup mata dan
mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul atau meniup, semuanya
ditahan selama 5 detik dilakukan di depan kaca dengan konsentrasi penuh.
Dilakukan 2x sehari.
Gerakan - gerakan otot muka yang harus dihindari :
- membuka mulut lebar
- menggerakkan bibir bawah ke kanan – kiri
- menggerakkan bola mata ke atas-ke bawah, ke lateral-ke medial
- tertawa lebar
- menggembungkan pipi dengan mulut tertutup
- menekan bibir atas pada gigi atas
- menutup mata dengan keras

4. Massage wajah
Dengan menggunakan tangan, arahkan bagian wajah yang sakit ( dagu,
mulut, hidung , dahi ) ke arah atas selama 5 – 10 menit.

5. Latihan Okupasi
Latihan berkumur, minum menggunakan sedotan, meniup lilin.

6. Program Psikologik
Penderita Bell’s Palsy sering malu dan tidak percaya diri. Psikolog
membantu dengan cara menghubungi tempat kerja agar sementara waktu
bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum.

7. Program orthotik – prosthetik


Pemasangan Y-plester agar sudut mulut tidak jatuh (jika kelumpuhan berat,
plester diganti tiap 8 jam)
Hati-hati dengan reaksi iritasi atau hipersensitivitas.

2.12 Edukasi
Program rumah5:
- Kompres hangat pada daerah atau sisi wajah yang sakit selama 20 menit
- Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi
wajah yang sehat
- Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah di sisi yang sakit,
minum dengan menggunakan sedotan, mengunyah permen karet
- Perawatan mata :
o Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari
o Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
o Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.

2.13 Prognosis
Umumnya baik jika tanpa penyulit atau komplikasi, sebanyak 80 - 85% dapat
sembuh dengan sempurna. Sisanya, 15 – 20% irreversible dan/atau memiliki gejala
sisa4

2.14 Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada pasien Bell’s Palsy merupakan kumpulan gejala
sisa paska terjadinya kelemahan otot-otot wajah. Beberapa di antara penderita
Bell’s Palsy, kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa yang berupa
kontraktur, sinkenesis dan spasme spontan.1
Kontraktur terlihat jelas saat otot wajah berkontraksi yang ditandai dengan
lebih dalamnya lipatan nasolabial dan alis mata lebih rendah dibandingkan sisi yang
sehat. Sinkenesis (assosiated movement) dapat terjadi karena kesalahan proses
regenerasi sehingga menimbulkan gerakan otot wajah yang berasosiasi dengan
gerakan otot lain. Misalnya saat mata ditutup, sudut mulut ikut terangkat. Sedangkan
spasme spontan pada otot wajah terjadi bila pasien Bell’s Palsy mengalami
penyembuhan yang inkomplit. Otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak
terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis.1
Gejala sisa yang ditimbulkan paska serangan Bell’s Palsy yaitu sindroma air
mata buaya (crocodile tears syndrome) yang merupakan kesalahan regenerasi saraf
salivarius menuju ke glandula lakrimalis. Manifestasinya berupa keluarnya air mata
pada sisi lesi saat pasien makan . 4
BAB III

KESIMPULA

 Bell’s palsy adalah neuropathy nervus fasialis perifer akut dan paling banyak
menyebabkan kelumpuhan lower motor neuron nervus fasialis.
 Secara anatomi, Nervus fasialis (VII) membawa serabut-serabut GSA
(general somatic afferent), SA (special afferent), GVE (general visceral
efferent), dan BE (general visceral efferent). GSA berfungsi sebagai persepsi
raba, nyeri, dan suhu. SA befungsi sebagai pengecapan.
 Bells palsy terjadi pada laki-laki dan perempuan. Insiden sedikit meningkat
pada usia pertengahan dan usi lanjut, tapi bisa terjadi pada semua umur.
 Kontribusi potensial dalam perkembangan bell’s palsy adalah kekebalan
tubuh (sistem imun), infeksi, dan mekanisme iskemik. Tetapi diperkirakan
karena terpapar oleh cuaca dingin (angin dingin, terpapar AC terus-menerus,
menyetir mobil dengan jendela terbuka) yang menjadi pencetus Bell’s Palsy
 Patofisiologinya pada salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter
nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal sehingga terjadi kelumpuhan pada otot-otot wajah.
 Manifestasi klinisnya penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat
bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.
Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumur atau minum
maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh
 Pada pemeriksaan neurologis, gerakan volunter yang diperiksa (motorik) yaitu
mengerutkan dahi, memejamkan mata, tersenyum, bersiul, mengencangkan
kedua bibir. Uji fungsi pengecapan : 2/3 depan lidah (sensorik).
 Kriteria Diagnosa meliputi terjadi secara tiba – tiba, terjadi kelemahan pad
otot wajah, nyeri di belakang telinga, mati rasa, atau merasakan ada beban di
wajah, penderita mengalami kesulitan dalam menutup mata pasa sisi yang
terkena, mempengaruhi pembentukan ludah, air mata atau rasa di lidah.
 Pada Pemeriksaan Penunjang meliputi Uji kepekaan saraf (nerve excitability
test), Uji konduksi saraf (nerve conduction test), Elektromiografi, Uji Schirmer
 Diagnosa Banding penyebab kelumpuhan wajah dapat dibagi dalam etiologi
bawaan (konginetal) dan didapat
 Terapi medikamentosa kortikosteroid (metilprednisolon) dan mecobalamin
 Terapi Rehabilitasi Medik Terapi Panas, Stimulasi Listrik,Latihan otot-otot
wajah, Massage wajah, Latihan Okupasi, Program Psikologik, Program
orthotik – prosthetik
 Edukasi untuk di rumah yaitu Kompres hangat pada daerah atau sisi wajah
yang sakit selama 20 menit, Massage wajah yang sakit ke arah atas ,Latihan
tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah di sisi yang sakit, Perawatan
mata
 Prognosis umumnya baik
 Komplikasi gejala sisa paska terjadinya kelemahan otot-otot wajah
Referensi
1. Davis Larry E, Molly K. King,Jessica L. Schultz, 2005, Bells palsy in
Fundamentals of Neurologic Disease , Demos Medical Publishing New York;
63-64.
2. Mardjono M, Sidharta P, 2003, Patofisiologi nervus fasialis, Neurologi klinis
dasar; Jakarta: PT. Dian Rakyat: 161-162
3. Richard L.Drake, et all. 2012. Gray Dasar-dasar Anatomi. Elsevier.
Singapore. Page 451-452
4. Sukardi, Nara P, 2004, Bell’s Palsy, cermin duniakedokteran edisi IV: 72-76
5. Suprayanti Y, 2008, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Bell’s Palsy Sinistra di
Rsud Dr. Moewardi Surakarta, Jurnal Ilmu Kesehatan Universitas
Muhamadiyah Surakarta
6. Timothy J Eviston, et all. 2015. Bell’s palsy: aetiology, clinical features and
multidisciplinary care. J Neurol Neurosurg Psychiatry;86:1356–1361.
doi:10.1136/jnnp-2014-309563
7. Djamil Y, A Basjiruddin, 2003, Paralisis Bell. Kapitaselekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. p 297-300
ii

Anda mungkin juga menyukai