Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UPAYA BPPOM DALAM PENGAWASAN PRODUKSI DAN
PEREDARAN PRODUK KOSMETIK DI MASYARAKAT

Pembimbing :
dr. Ronald Pratama Adiwinoto, .M.Ked.Trop

Disusun oleh :
I Gusti Ngurah Gede Wira Adyana 20190420021
Mahendi 20190420119
Maratus Sholekhah 20190420120
Maretta Wulandari 20190420121
Maria Anastasia Sidabutar 20190420122
Maryam Assegaf 20190420123
Meidy Adlina Firliyani 20190420124

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UPAYA BPPOM DALAM PENGAWASAN PRODUKSI DAN
PEREDARAN PRODUK KOSMETIK DI MASYARAKAT

Judul referat “Upaya BPPOM dalam Pengawasan Produksi dan


Peredaran Produk Kosmetik di Masyarakat” ini telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, Agustus 2020

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ronald Pratama Adiwinoto, .M.Ked.Trop

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dihaturkan kepada Allah SWT karena dengan


Rahmat dan IzinNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Upaya BPPOM dalam Pengawasan Produksi dan Peredaran
Produk Kosmetik di Masyarakat” ini. Referat ini merupakan salah satu
pemenuhan syarat kepaniteraan klinik di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.
Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada selaku
pembimbing referat dr. Wienta Diarsvitri, M.Sc, PhD, yang telah
memberikan kesempatan, saran, bimbingan, dan dukungan dalam
penyusunan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan dokter muda dan pihak yang banyak membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa responsi ini jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
sebagai masukan untuk perbaikan agar responsi ini jauh lebih baik.

Surabaya, Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
2.1 BPOM.......................................................................................................4
2.1.1 Pengertian...........................................................................................4
2.1.2 Visi dan Misi.......................................................................................4
2.1.3 Tugas..................................................................................................5
2.1.4 Fungsi.................................................................................................5
2.1.5 Kewenangan.....................................................................................6
2.1.6 Struktur Organisasi...............................................................................6
2.2 Pengawasan.............................................................................................8
2.2.1 Definisi dan Konsep Pengawasan...................................................8
2.2.2 Indikator Pengawasan....................................................................10
2.2.3 Tujuan dan Fungsi Pengawasan..................................................10
2.2.4 Jenis-Jenis Pengawasan...............................................................12
2.2.5 Sifat dan Waktu Pengawasan.......................................................13
2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Pengawasan.................................15
2.3 Peredaran Kosmetik.............................................................................16
2.3.1 Definisi Peredaran.........................................................................16
2.3.2 Definisi Kosmetik...........................................................................16
2.3.3 Definisi Kosmetik Berbahan Terlarang dan Ilegal....................17
2.4 Upaya BPPOM dalam Penanggulangan Pengedaran Kosmetik....18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kebutuhan manusia semakin lama semakin banyak dan berkembang dari


waktu ke waktu. Salah satu kebutuhan yang semakin lama semakin berkembang
adalah kebutuhan akan hidup sehat, salah satunya perkembangan dalam
peningkatan kosmetik yang sehat dan bebas dari bahan terlarang. Kosmetik
merupakan kebutuhan yang sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Kosmetik juga
menjadi penunjang bagi penampilan seseorang. Kosmetik sudah menjadi kebutuhan
sekunder yang dibutuhkan oleh masyarakat. Bukan hanya sekedar perlengkapan
make up ataupun perlengkapan yang berkaitan dengan perawatan perawatan saja,
namun kosmetik juga berkaitan dengan kebutuhan manusia baik itu dari ujung
rambut sampai ujung kaki, berlaku baik untuk anak-anak, dewasa, bahkan
digunakan oleh pria (Ulya, 2019). Hal ini menyebabkan banyak berdirinya industri-
industri terutama industry produk kosmetik yang baru. Dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang serba canggih pada zaman sekarang tentu industri-
industri kosmetik mampu memproduksi produknya dalam jumlah yang sangat besar
dan dengan didukung oleh kemajuan alat transportasi maka produk-produk tersebut
dapat menyebar ke seluruh penjuru negeri dalam waktu yang sangat cepat dan
aman bahkan antar negara (Jesseyca, 2017).
Meningkatnya permintaan akan kosmetik membuat produsen berlomba-lomba
untuk membuat dan menjual kosmetik tanpa memperhatikan kandungan yang
terdapat didalamnya. Konsumen seakan tidak mendapatkan pengetahuan penting
mengenai bahaya dan akibat yang ditimbulkan jika menggunakan kosmetik secara
asal tanpa melihat bahan, dan kandungan yang terdapat pada kosmetik tersebut
(Jesseyca, 2017).
Karakteristik kosmetik yang legal menurut Balai Pengawas Obat dan
Makanan adalah: (1) Kemasan kosmetik harus mencantumkan label/penandaan
yang berisi informasi yang benar dan lengkap, meliputi nama kosmetik, kegunaan,
cara penggunaan, komposisi, nama dan Negara produsen, dan nama alamat
pemohon notifikasi, ukuran isi atau berat bersih, tanggal kadaluarsa,
peringatan/perhatian, dan nomor notifikasi, (2) Izin Edar (notifikasi kosmetik), (3)
Kadaluarsa. Karakteristik yang sudah ditetapkan oleh BPOM RI tersebut harus
dipenuhi baik oleh produsen kosmetik dan distributor kosmetik, sehingga konsumen

1
sebagai pengguna kosmetik mendapatkan hak untuk menerima kosmetik yang aman
dan tidak membahayakan kesehatan (Jesseyca, 2017).
Dengan banyaknya produk kosmetik yang beredar dimasyarakat tentu
kecerdasan dan pemahaman masyarakat dalam memilih produk kecantikan sangat
diperlukan karena banyak produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya,
tentu akan merugikan masyarakat tetapi banyak diantara masyarakat yang memilih
kosmetik yang harganya terjangkau dan tidak memikirkan kualitas, efek samping
serta bahan baku dari kosmetik tersebut yang masyarakat pikir hanya bagaimana
caranya kosmetik yang mereka percaya kualitasnya bisa memenuhi kebutuhan
kecantikannya. Tentunya ini akan berdampak negatif bagi masyarakat terlebih
bahwasanya kosmetik yang beredar tidak memenuhi syarat dari ketentuan dari
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Jesseyca, 2017).
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005
Tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Badan Pengawas Obat dan Makanan
ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) yang
bertanggungjawab kepada Presiden. BPOM ini bertugas di bidang pengawasan obat
dan makanan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dibentuknya Badan POM bertujuan untuk mendeteksi, mencegah dan mengawasi
produk-produk termasuk untuk melindungi keamanan dan keselamatan serta
kesehatan konsumen. Dengan adanya suatu badan yang bertugas mengawasi obat
dan makanan diharapkan dapat berperan dengan aktif dalam hal menangani
masalah obat dan makanan serta kesehatan (Jesseyca, 2017).
Dalam sebuah berita online di www.politikindonesia.com Lucky S. Slamet
selaku kepala BPOM menyatakan bahwa peredaran produk-produk tak berizin
(illegal) masih marak di Indonesia. Ia menyatakan bahwa maraknya peredaran
produksi illegal ini memanfaatkan tingginya permintaan masyarakat terhadap produk
tersebut. Menurutnya, akibat peredaran produk illegal ini sangat merugikan bagi
pendapatan negara karena tidak membayar pajak kepada negara. Produk kosmetik
yang beredar ini kebanyakan dari negara Malaysia, Thailand, China, dan Uni Eropa.
Dari gagasan tersebut dapat dilihat bahwa peredaran kosmetik yang illegal tersebut
bukan hanya merugikan masyarakat selaku konsumen, akan tetapi juga pemerintah
dari sisi pendapatan negara yakni dari pajaknya. Pelaku usaha yang jujur dan

2
melakukan usahanya secara sportif pun dalam hal ini dirugikan karena masyarakat
akan cenderung memilih produk yang lebih murah harganya dan cepat hasilnya.
Disinilah diperlukan peran pemerintah dalam upaya dalam pengawasan produksi
dan peredaran produk kosmetik di masyarakat (Jesseyca, 2017).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BPOM
2.1.1 Pengertian
Badan Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat Badan POM adalah
sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan
makanan di Indonesia. Fungsi dan tugas badan ini menyerupai fungsi dan
tugas Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat dan European
Medicines Agency di Uni Eropa.
BPOM merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan,
bertanggung Jawab Kepada Presiden dan dikoordinasikan oleh pemerintahan di
bidang kesehatan (Perpres No. 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan)
2.1.2 Visi dan Misi
a. Visi :
Obat dan makanan aman, bermutu, dan berdaya saing untuk mewujudan
Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian belrandaskan gotong
royong
b. Misi :
1. Membangun SDM unggul terkait Obat dan Makanan dengan mengembangkan
kemitraan bersama seluruh komponen bangsa dalam rangka peningkatan
kualitas manusia Indonesia
2. Memfasilitasi percepatan pengembangan dunia usaha obat dan Makanan
dengan keberpihakkan terhadap UMKM dalam rangka membangun struktur
ekonomi yang produktif dan brdaya saing untuk kemandirian bangsa
3. Meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan serta penindakan
kejahata Obat dan Maknana melalui sinergi pemerintah pusat dan daerah dalam
kernagka Negara Kesatuan guna perlindungan bagi setiap bangda dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga
4. Pengelolaan pemerintah yang bersih , efektif, dan terpecaaya untuk memberikan
pelayanan public yang prima di bidang Obat dan Makanan.

4
2.1.3 Tugas

Berdasarkan pasal 2 pada Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang


Badan Pengawas Obat dan Makanan:

1. BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang


pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas obat,
bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional,
suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

Tugas Balai Besar / Balai POM (Unit Pelaksana Teknis)

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018, Unit


Pelaksana Teknis BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis
operasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan

2.1.4 Fungsi
1. Penyusunan kebijakan nasional di bidang Pengawasan Obat dan Makanan;
2. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang Pengawasan Obat dan Makanan;
3. Penyusunan dan penenetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang
Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;
4. Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;
5. Koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan instansi
pemerintah pusat dan daerah;
6. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang Pengawasan Obat dan
Makanan;
7. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang
undangan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan
8. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM;
9. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
BPOM;
10. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan

5
11. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi
di lingkungan BPOM.

2.1.5 Kewenangan
1. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan
makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan Makanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
3. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
undangan.

Dilihat dari fungsi BPOM secara garis besar, terdapat 4 (empat) inti kegiatan
atau pilar lembaga BPOM, yakni:
1. Penapisan produk dalam rangka pengawasan Obat dan Makanan sebelum
beredar (pre-market) mencakup: perkuatan regulasi, peningkatan
registrasi/penilaian, peningkatan inspeksi sarana produksi dalam rangka
sertifikasi;
2. Pengawasan Obat dan Makanan pasca beredar di masyarakat (post-market)
mencakup: pengambilan sampel dan pengujian, pemeriksaan sarana produksi
dan distribusi Obat dan Makanan di seluruh Indonesia;
3. Pemberdayaan masyarakat dan pelaku usaha melalui komunikasi informasi dan
edukasi termasuk pembinaan pelaku usaha dalam rangka meningkatkan daya
saing produk. Selain itu melalui peningkatan peran pemerintah daerah dan lintas
sektor untuk penguatan kerjasama kemitraan dengan pemangku kepentingan
dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan;
4. Penegakan hukum melalui fungsi pengamanan, intelijen, dan penyidikan dalam
rangka memberantas kejahatan di bidang Obat dan Makanan.

6
2.1.6 Struktur Organisasi
Struktur Organisasi dan Tata Kerja BPOM disusun berdasarkan Peraturan
BPOM Nomor 26 Tahun 2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Khusus Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar/Balai POM
disusun berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Sesuai dengan struktur organisasi yang ada pada Gambar 1.1 di bawah ini,
secara garis besar unit-unit kerja BPOM dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Sekretariat Utama, Inspektorat Utama, Deputi Bidang Pengawasan Teknis (I, II dan
III), Deputi Bidang Penindakan, unit penunjang teknis (pusat-pusat), serta UPT di
daerah.

7
Gambar 1. Struktur Organisasi BPOM 2.2
Pengawasan
2.2.1 Definisi dan Konsep Pengawasan
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan
organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenaan dengan cara-cara membuat
kegiatan-kegiatan sesuai yang di rencanakan dengan instruksi yang telah diberikan
dan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan. Pengawasan menurut Robert J. M
Ockler menjelaskan unsur-unsur esensial proses pengawasan yaitu suatu usaha
sistematika untuk menetapkan standar pelaksanaan dan tujuan-tujuan perencanaan
merancang sistem informasi, umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan
standar yang telah ditetapkan sebelumnya. (Cleary, 2019)

8
Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”,
sehingga pengawasan merupakan kegiatan mengawasi saja. Sarwoto memberikan
definisi tentang pengawasan sebagai berikut : “Pengawasan adalah kegiatan
manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan
rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki”. (Cleary, 2019)
Manullang memberikan suatu definisi pengawasan yakni suatu proses untuk
menetapkan pekerjaan sesuai dengan rencana semula. Kemudian Henry Fayol
mengatakan bahwa pengawasan adalah “Definisi pengawasan yakni pengawasan
terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana
yang telah ditentukan dengan intruksi yang telah digariskan, ia bertujuan untuk
menunjukan (menentukan) kelemahan-kelemahan dan kesalahan- kesalahan
dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah terulangnya kembali.
(Cleary, 2019)
Pengawasan terhadap pemerintahan daerah terdiri atas pengawasan hirarki
dan pengawasan fungsional. Pengawasan hirarki berarti pengawasan terhadap
pemerintah daerah yang dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pengawasan
fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan secara
fungsional baik oleh departemen sektoral maupun oleh pemerintahan yang
menyelenggarakan pemerintahan umum (departemen dalam negeri). Menurut Bagir
Manan sebagaiman dikutip oleh Hanif Nurcholis, menjelaskan bahwa hubungan
antara pemeritah pusat dengan pemerintah daerah sesuai dengan UUD 1945 adalah
hubungan yang desentralistik. Artinya bahwa hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah adalah hubungan antara dua badan hukum yang diatur
dalam undang-undang terdesentralisasi, tidak semata-mata hubungan antara atasan
dan bawahan. Dengan demikian pengawasan terhadap pemerintahan daerah dalam
sistem pemerintahan Indonesia lebih ditujukan untuk memperkuat otonomi daerah,
bukan untuk ”mengekang” dan ”membatasi”. Selanjutnya, Selanjutnya, pengawasan
yang dikemukakan oleh Victor M. Situmorang, pengawasan adalah setiap usaha dan
tindakan dalam rangka mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang
dilaksanakan menurut ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai. (Cleary, 2019)
Pengawasan adalah suatu bentuk pola pikir dan pola tindakan untuk
memberikan pemahaman dan kesadaran kepada seseorang atau beberapa orang
yang diberikan tugas untuk dilaksanakan dengan menggunakan berbagai sumber

9
daya yang tersedia secara baik dan benar, sehingga tidak terjadi kesalahan dan
penyimpangan yang sesungguhnya dapat menciptakan kerugian oleh lembaga atau
organisasi yang bersangkutan. (Cleary, 2019)
2.2.2 Indikator Pengawasan
Menurut Robbins and Coulter dalam Satriadi (2016, p.290) terdiri dari empat
indikator yaitu :
1. Menetapkan standar (Standards) yakni penetapan patokan (target) atau hasil
yang diinginkan, untuk dapat dilakukan sebagai perbandingan hasil ketika
berlangsungnya kegiatan organisasi. Standar juga merupakan batasan tentang
apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai
tujuan dan target organisasi.
2. Pengukuran (Measurement) yakni proses yang berulang-ulang dilakukan dan
terus menerus dan benar, baik intensitasnya dalam bentuk pengukuran harian,
mingguan, atau bulanan sehingga tampak yang diukur antara mutu dan jumlah
hasil.
3. Membandingkan (Compare) adalah membandingkan hasil yang dicapai dengan
target atau standar yang telah ditetapkan, mungkin kinerja lebih tinggi atau lebih
rendah atau sama dengan standar.
4. Melakukan tindakan (Action) adalah keputusan mengambil tindakan koreksi-
koreksi atau perbaikan. Bilamana telah terjadi penyimpangan (deviasi) antara
standar dengan realisasi perlu melakukan tindakan follow-up berupa mengoreksi
penyimpangan yang terjadi.
(Anggraini & Oliver, 2019)
2.2.3 Tujuan dan Fungsi Pengawasan
a. Tujuan
Maksud dan tujuan pengawasan menurut Handayaningrat adalah :
a. Untuk mencegah atau memperbaiki kesalahan, penyimpangan,
ketidaksesuaian penyelenggaraan yang lain-lain yang tidak sesuai dengan
tugas dan wewenang yang telah ditentukan.
b. Agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna dan berhasil
guna sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.
(Cleary, 2019)

10
Tujuan utama dari pengawasan adalah untuk memahami apa yang salah
dari perbaikan dimasa yang akan datang dan mengarahkan seluruh kegiatan
dalam rangka pelaksanaan dari pada rencana sehingga dapat diharapkan suatu
hasil yang maksimal.
Menurut Manullang (2001:172) Tujuan dari pengawasan adalah mengamati
apa yang sebenarnya terjadi dan membandingkan dengan apa yang seharusnya
terjadi dengan maksud untuk secepatnya melaporkan penyimpangan atau
hambatan pada pimpinan agar dapat diambil tindakan korektif yang perlu, dan
juga pengawasan itu mempunyai beberapa proses, yaitu:
1. Menetapkan alat ukur (standar);
2. Standar harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum bawahan melaksanakan
pekerjaannya dan bawahan harus mengetahui benar alat penilai (standar) yang
digunakan untuk menilai pekerjaanya. Secara garis besar standar dapat
digolongkan sebagai berikut :
a. Standar dalam bentuk fisik, adalah standar yang digunakan untuk menilai
dan mengukur hasil pekerjaan bawahan dan bersifat nyata tidak dalam
bentuk uang, seperti kualitatif dan kuantitatif serta waktu;
b. Standar dalam bentuk uang, adalah standar yang digunakan untuk menilai
hasil pekerjaan bawahan dalam bentuk jumlah uang seperti biaya yang
dikeluarkan;
c. Standar intangible , adalah standar yang diukur dalam bentuk fisik dan
mata uang;
3. Mengadakan penilaian yaitu membandingkan pekerjaan yang telah dikerjakan
dengan standar yang telah ditetapkan;
4. Mengadakakan perbaikan yaitu tindakan yang telah diambil untuk
menyelesaikan hasil pekerjaan nyata yang menyimpang agar sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya; Sedangkan menurut Kadarman
dan Udaya (2001;161) proses pengawasan adalah sebagai berikut :
a. Menetapkan standar;
b. Mengukur kinerja;
c. Memperbaiki penyimpangan;
Sementara itu menurut Maman Ukas (2004:337) mengatakan tujuan
pengawaasan yaitu :

11
1. Mensuplay pegawai dengan informasi-informasi yang tepat, teliti, dan lengkap
tentang apa yang dilaksanakan;
2. Memberikan kesempatan untuk meramalkan rintangan-rintangan yang akan
mengganggu produktivitas kerja secara teliti dan mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk mengurangi gangguan tersebut;
Jadi dapat disimpulkan pengawasan yang baik itu dapat diartikan sebagai
berikut:
1. Pengawasan harus mendukung sifat dan kebutuhan kegiatan;
2. Pengawasan harus melaporkan setiap penyimpangan yang terjadi dengan
segera;
3. Pengawasan harus mempunyai pandangan kedepan;
4. Pengawasan harus objektif, teliti dan sesuai dengan standar yang digunakan;
5. Pengawasan harus luwes dan fleksibel;
6. Pengawasan harus serasi dengan pola organisasi;
7. Pengawasan harus ekonomis dan mudah dimengerti;
8. Pengawasan harus diikuti dengan perbaikan/koreksi kearah yang lebih baik
lagi;

(Anggraini & Oliver, 2019)


b. Fungsi
a. Sebagai penilai apakah setiap unit-unit telah melaksanakan kebijaksanaan dan
prosedur yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing
b. Sebagai penilai apakah surat-surat atau laporan yang didapat sudah
menggambarkan kegiatan-kegiatan yang sebenarnya secara tepat dan cermat.
c. Sebagai penilai apakah pengendalian manajemen sudah cukup memadai dan
dilakukan secara efektif.
d. Sebagai peneliti apakah kegiatan telah dilaksanakan secara efektif yakni
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
e. Sebagai peneliti apakah kegiatan telah dilaksanakan secara efisien.

Jadi bisa disimpulkan bahwa fungsi pengawasan ialah untuk memberikan nilai,
analisis, merekomendasikan dan menyampaikan hasil laporan atau surat yang
berhubungan dengan bidan pekerjaan sebuah lembaga atau organisasi yang telah
diteliti (Cleary, 2019).

12
2.2.4 Jenis-Jenis Pengawasan
Menurut maringan (2004:62), pengawasan terbagi menjadi 4 yaitu:
1. Pengawasan dalam perusahaan. Pengawasan yang dilakukan oleh atasan untuk
mengumpulkan data atau informasi yang diperlukan oleh perusahaan untuk
menilai kemajuan dan kemunduran perusahaan.
2. Pengawasan dari luar perusahaan. Pengawasan yang dilakukan oleh unit diluar
perusahaan untuk kepentingan tertentu.
3. Pengawasan preventif yakni pengawasan yang dilakukan sebelum rencana itu
dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan atau
kekeliruan dalam pelaksanaan kerja.
4. Pengawasan Represif yakni pengawasan yang dilakukan setelah adanya
pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan yang direncanakan.
Dari jenis-jenis pengawasan yang dikemukakan Maringan tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengawasan dilakukan didalam dan diluar organisasi dan
dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan titik pembagian kegiatan pengamatan
tersebut dilakukan untuk meminimalisir kesalahan atau penyimpangan dalam
kegiatan pengawasan. Dengan demikian tujuan serta rencana rencana yang telah
ditentukan dapat dicapai sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan
sebelumnya.
2.2.5 Sifat dan Waktu Pengawasan
Menurut Hasibuan (2001:247) sifat dan waktu pengawasan terdiri dari:
 Preventive control
Preventive control adalah pengendalian yang dilakukan sebelum kegiatan
dilakukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan penyimpangan dalam
pelaksanaannya. Perspektif kontrol ini dilakukan dengan cara:
1. Menentukan proses pelaksanaan pekerjaan.
2. Membuat peraturan dan pedoman pelaksanaan pekerjaan.
3. Menjelaskan dan atau mendemonstrasikan cara pelaksanaan pekerjaan itu.
4. Mengorganisasi segala macam kegiatan.
5. Menentukan jabatan, job description, authority, dan responsibility bagi setiap
individu karyawan.
6. Menetapkan sistem koordinasi pelaporan dan pemeriksaan.
7. Menetapkan sanksi-sanksi bagi karyawan yang membuat kesalahan.

13
 Repressiv control
Repressiv control adalah yang dilakukan setelah terjadi kesalahan dalam
pelaksanaannya, dengan maksud agar tidak terjadi pengulangan kesalahan
sehingga hasilnya sesuai dengan yang diinginkan.
Repressiv control ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Membandingkan hasil dengan rencana
2. Menganalisis kesalahan dan tindakan perbaikannya
3. Memberikan penilaian terhadap pelaksanaannya, jika perlu dikenakan sanksi
hukuman kepadanya.
4. Menilai kembali prosedur-prosedur pelaksanaan yang ada
5. Mengecek kebenaran laporan yang dibuat oleh petugas pelaksana.
6. Jika perlu meningkatkan keterampilan atau kemampuan pelaksanaan melalui
training dan education.
7. Pengawasan saat proses dilaksanakan yaitu jika terjadi kesalahan langsung
diperbaiki.
 Pengawasan Berkala
Pengawasan berkala adalah pengendalian yang dilakukan secara berkala,
misalnya per bulan, persemester, dan lain-lain.
 Pengawasan mendadak
Pengawasan yang mendadak adalah pengawasan yang dilakukan secara
mendadak untuk mengetahui apakah pelaksanaan atau peraturan-peraturan yang
ada telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakan dengan baik. Pengawasan pada ini
sekali-kali perlu dilakukan supaya kedisiplinan karyawan tetap terjaga dengan baik.
 Pengawasan melekat (waskat)
Pengawasan yang melekat adalah pengawasan yang dilakukan secara integratif
mulai dari sebelum, pada saat, dan sesudah kegiatan operasional dilakukan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengawasan dilakukan harus
melalui tahapan-tahapan tertentu agar pengawasan dapat berjalan secara
terorganisir, serta pengawasan juga harus dilakukan berdasarkan dengan waktu-
waktu tertentu agar kegiatan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya.

14
2.2.6 Faktor yang Mempengaruhi Pengawasan
Kata "pengawasan" sering mempunyai konotasi yang tidak menyenangkan,
karena dianggap akan mengancam kebebasan dan otonomi pribadi. Padahal
organisasi sangat memerlukan pengawasan untuk mengetahui bagaimana jalannya
suatu kegiatan dan untuk menjamin tercapainya suatu tujuan.
Menurut Mulyadi 2007: 770) faktor yang dapat memperngaruhi pengawasan
diantaranya:
1. Perubahan yang terjadi baik dari luar maupun dari dalam organisasi.
2. Kompleksitas organisasi memerlukan pengawasan formal karena adanya
desentralisasi kekuasaan.
3. Kesalahan/penyimpangan yang dilakukan anggota organisasi.

Sedangkan pendapat lain dikemukakan oleh Ibid dalam Handoko yang


menyatakan faktor-faktor pengawasan itu antara lain sebagai berikut:
1. Perubahan lingkungan organisasi yang terjadi secara terus-menerus dan tidak
dapat dihindari seperti munculnya inovasi produk dan pesaing baru,
diketemukannya bahan baku baru, adanya peraturan pemerintah baru, dan
sebagainya.
2. Peningkatan kompleksitas organisasi. Semakin besar organisasi makan
semakin memerlukan pengawasan yang lebih formal dan hati-hati.
3. Kesalahan-kesalahan. Bila para bawahan tidak pernah membuat kesalahan,
manajer dapat secara sederhana melakukan fungsi pengawasan.
4. Kebutuhan manajer untuk mendelegasikan wewenang. Bila manajer
mendelegasikan wewenang kepada bawahannya tanggung jawab atasan itu
sendiri tidak berkurang. Satu-satunya cara manajer dapat menentukan apakah
bawahan telah melakukan tugas-tugas telah dilimpahkan kepadanya adalah
dengan yang mengimplementasikan system pengawasan. Tanpa sistem
tersebut manajer tidak dapat memeriksa pelaksanaan tugas bawahan.

Dari beberapa pendapat diatas dapat kita ketahui bahwa dengan adanya
pengawasan, kita dapat menilai sejauh mana kinerja para pegawai dalam
melaksanakan tugasnya, serta dapat mengetahui faktor apa saja yang terkadang
menghambat jalannya suatu pengawasan agar pengawasan yang terjadi akan
mengarahkan pada pencapaian tujuan seperti yang sudah ditentukan.

15
2.3 Peredaran Kosmetik
2.3.1 Definisi Peredaran
Dalam pasal 1 ayat 5 Peraturan Kepala Badan pengawas Obat danMakanan
RI Nomor HK.03.1.23.12.11.10052 Tahun 2011 tentang pengawas produksi dan
peredaran kosmetik, yang dimaksud dengan peredaran adalah pengadaan,
pengangkutan, pemberian, penyerahan, penjualan dan penyediaan ditempat serta
penyimpanan, baik untuk perdagangan dan bukan perdagangan.
2.3.2 Definisi Kosmetik
Kosmetik berasal dari kata kosmein (Yunani) yang berarti “berhias”. Bahan
yang dipakai dalam usaha ntuk mempercantik diri ini dahulu diramu dari bahan-
bahan alami dan alat-alat pembuatan yang terdapat disekitarnya. Pada saat ini
kosmetika dibuat manusia tidak hanya dari bahan alami tetapi juga bahan buatan
untuk meningkatkan kecantikan. Kosmetik dikenal manusia sejak berabad-abad
yang lalu. Pada abad ke-19, pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian, yaitu
selain untuk kecantikan juga untuk kesehatan. Perkembangan ilmu kosmetik serta
industrinya baru dimulai secara besar-besaran pada abad ke-20.
Sejak semula kosmetik merupakan salah satu segi ilmu pengobatan atau
ilmu kesehatan, sehingga para pakar kosmetik dahulu adalah juga seorang pakar
kesehatan, seperti para dukun, tabib, bahkan penasehat keluarga istana. Dalam
perkembangannya kemudian, terjadi pemisahan antara kosmetik dan obat. Baik
dalam hal jenis, efek samping dan lain sebagainya.
Menurut Tranggono (2007), kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan
yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan seperti epidermis, rambut,
kuku, bibir, gigi, dan rongga mulut antara lain untuk membersihkan, menambah
daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan
baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobat atau
menyembuhkan suatu penyakit.
Definisi kosmetik tersebut serupa pada Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.220/MenKes/Per/X/1976 Tanggal 6 september 1976 menyatakan bahwa
kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan,
dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada, dimasukkan ke dalam,
dipergunakan pada bahan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk

16
memberishkan, memelihara, menambah daa Tarik atau mengubah rupa, dan tidak
termasuk golongan obat.
Keputusan Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.05.4.1745 dalam pasal 1 ayat (1) menyatakan definisi kosmetik
yang berbunyi, “Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk
digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan
organ genital nagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk
membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan atau memperbaiki bau
badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik”.
Dari berbagai definisi kosmetik diatas, dapat disimpulkan bahwa kosmetik
adalah bahan yang digunakan untuk mempercantik diri, membersihkan,
menambah daya Tarik, mengubah penampilan, serta melindungi bagian tubuh luat
agar dapat tetap dalam keadaan baik, sehat, serta bisa dipakai untuk mengobati
dan menyembuhkan suatu penyakit yang dialami manusia.
2.3.3 Definisi Kosmetik Berbahan Terlarang dan Ilegal
Menurut Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang Kosmetik berbahan
terlarang adalah kosmetik yang mengandung bahan-bahan kimia yang dapat
mengakibatkan kerusakan, kecacatan, atau memperburuk kondisi bagian tubuh
setelah pemakaian. Berdasarkan Balai Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia, bahan-bahan terlarang yang tidak diizinkan ada dalam suatu kosmetik
adalah Merkuri, Hidrokinon, Pewarna Merah K3, Asam Retinoat, Merah K10,
Teofilin, dan Klindamisin (BPOM RI Public Warning, 2017: 14-17). Bahan-bahan
tersebut jika terdapat dalam suatu kometik akan menyebabkan kerusakan pada
kulit, cacat pada janin, gangguna fungsi hati, dan kanker.
Suatu Kosmetik dapat dikatakan Ilegal adalah jika kosmetik tersebut tidak
memiliki izin edar dari BPOM RI, baik dari persyaratan mutu, keamanan,
kemanfaatan dan dapat merugikan masyarakat. Menurut Badan Pengawas Obat
dan Makakan Republik Indonesia kosmetik dikatakan legal jika memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Kemasan
Kemasan kosmetik harus mencantumkan label/penandaan yang berisi
informasi yang benar dan lengkap, meliputi nama kosmetik, kegunaan, cara
penggunaan, komposisi, nama Negara produsen, nama dan alamat pemohon

17
notifikasi, nomor bets, ukuran isi atau berat bersih, tanggal kadaluarsa,
peringatan/perhatian, dan nomor notifikasi.
2. Izin Edar (Notifikasi Kosmetik).
3. Tanggal Kadaluarsa.
Pada Pasal 2 keputusan kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.1745
tentang kosmetik menyebutkan bahwa kosmetik diedarkan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Menggunakan bahan yang memenuhi standard dan persyaratan mutu serta
persyaratan lain yang ditetapkan.
2. Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik.
3. Terdaftar pada dan mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia.
Berdasarkan berbagai persyaratan yang dikemukakan oleh BPOM RI
peredaran kosmetik harus berjalan sesuai dengan peraturan yang sudah
ditentukan. Selama ini Balai POM di Serang terus melakukan pengawasan
dengan berbagai cara untuk meminimalisir peredaran kosmetik berbahan
terlarang. Balai POM di Serang mengawasi dengan cara melakukan sosialisasi,
penyuluhan, bazar pada event-event tertentu, talk show, serta mengeluarkan
public warning tentang jenis-jenis kosmetik yang tidak layak pakai atau konsumsi.
Selain pencegahan yang dilakukan BPOM di Serang, masyarakat pun harus ikut
serta dalam melakukan pengawasan terkait peredaran kosmetik berbahan
terlarang tersebut, harus adanya kerjasama yang berkesinambungan antara
pemerintah terait dan masyarakat agar dapat meminimalisir peredaran kosmetik
berbahan terlarang.

2.4 Upaya BPPOM dalam Penanggulangan Pengedaran Kosmetik

a. Upaya Pre-emtif

Upaya pre-emtif disini adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak Balai
Besar Pengawas Kosmetik dan Makanan di Bandar Lampung untuk mencegah
terjadinya tindak pidana.Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulan
kejahatan secara pre-emtif menanamkan nilai- nilai/norma-norma yang baik
sehingga norma-norma tersebut terinternalisai dalam diri seseorang. Meskipun

18
ada kesempatan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan tapi tidak ada niatnya
untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Dalam usaha
pre-emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan. Cara
pencegahan ini berasal dari teori NKK, yaitu: Niat + Kesempatan terjadinya
kejahatan.Dalam upaya pre-emtif faktor “NIAT” tidak terjadi. Upaya pre-emtif
yang dilakukan BBPOM meliputi kegiatan sosialisasi tentang pengamanan
kosmetik serta penanaman kesadaran masyarakat sekitar Bandar Lampung
akan makna bahayanya menggunakan kosmetik tanpa ijin edar bagi
keselamatan orang banyak.

b. Upaya preventif

Pada tahap upaya preventif atau tahap pencegahan Balai Besar Pengawas Obat
dan Makanan di Bandar Lampung sejak berdiri sering melakukan operasi rutin,
operasi ini dilakukan 5 sampai 6 kali sebulan untuk seluruh daerah Lampung,
untuk di Kota Bandar Lampung dilakukan 1-2 kali sebulan, sasarannya adalah
sarana distribusi kosmetik dan makanan, pasar- pasar (pasar tradisional dan
pasar modern), toko kosmetik, mini market, super market, swalayan-swalayan.

c. Pemberian sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling
banyak Rp1,5 Milliar dengan alasan efek jera, tentunya dengan tujuan menekan
angka peredaran kosmetik tanpa ijin edar yang di jual di pasar atau apotik yang
didasari oleh Pasal 197 Jo Pasal 106 Ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling
banyak Rp1,5 Milliar

(Sanvebilisa, 2018)

19
DAFTAR PUSTAKA

https://www.pom.go.id/new/view/direct/kksispom.
 PROFIL BADAN POM – BALAI BESAR POM DI SURABAYA
 BPOM, 2018. Rencana Strategis Badan POM Republik Indonesia 2015 –
2019, BPOM, Jakarta.
 Anggraini, A. R., & Oliver, J. (2019). Teori Pengawasan dan Teori Kinerja.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
 Cleary, M. (2019). Teori Pengawasan dan Teori Kinerja. Journal of Chemical
Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hasibuan. Malayu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengertian Dasar, Pengertian,
Masalah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.

Maringan, Masry S. 2004. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia


HK.00.05.4.1.1745 tentang kosmetik

Tranggono. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengantar Kosmetik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama

Ulya. F. 2019. Efektivitas Pengawasan Balai Pengawasan Balai Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) di Serang dalam Peredaran Kosmetik Berbahan Terlarang di Provinsi
Banten. Serang : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Bethesda. J. M. 2017. Pengawasan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Terhadap
Peredaran Produk Kosmetik Ilegal di Kota Serang. Serang : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Sanvebilisa, 2018. Upaya Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam
Penanggulangan Kejahatan Pengedaran Kosmetik Tanpa Ijin Edar di Bandar Lampung.
Lampung : Fakultas Hukum, Universitas Lampung

20

Anda mungkin juga menyukai