DISUSUN OLEH
KELOMPOK 1:
Farmasi Sosial
Kelas : B
Dosen :
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
BAB I.....................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................4
1.3 Tujuan...........................................................................................................................4
BAB II....................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................5
2.1 Pengertian Farmasis......................................................................................................5
2.2 Pengertian Citra............................................................................................................7
2.3 Citra Farmasi................................................................................................................8
2.4 Pengembangan Citra Farmasi.....................................................................................11
2.5 Strategi Meningkatan Citra.........................................................................................14
2.6 Contoh Permasalahan.................................................................................................16
2.7 Solusi Untuk Perbaikan Citra Farmasi.......................................................................16
BAB III................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan.................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................18
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dari segi kata Farmasi didefiniskan sebagai ilmu penyediaan bahan obat,
dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada
pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai
identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan,
analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat (medicine.
Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat yang
sesuai dan aman, baik melalui reseo (prescription) dokter berizin,dokter gigi, dan
dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai. Paradigma yang berkembang
dimasyarakat, Apoteker atau Farmasis sebagai seseorang yang ahli dibidang
farmasi lebih dikenal sebagai pembuat obat di pabrik, atau penjual obat di apotek.
Di Indonesia, profesi farmasis mulai menggeliat, walau masih perlu meniti jalan
panjang.
Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu
Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang
mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang
menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik
formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian
tersendiri. Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya
industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat
dan di bidang “penyedia/peracik” obat (apotek).
Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri
farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi
pembuatan obat. Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola
perkembangan teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi
persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi
disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para
anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya. Bahaya swamedikasi telah
4
bayak dilaporkan para peneliti. Sebagai contoh, di Australia dan Inggris ada
kencenderungan untuk mengurangi biaya pengobatan dengan mengganti status obat
etikal menjadi obat bebas. Sayangnya, kecenderungan ini bukan hanya mengurangi
biaya, melainkan juga meningkatkan risiko salah pakai obat (medication misuse).
Sementara itu, peranan etiologi atas kesalahan pemakaian obat bebas telah di
identifikasi untuk banyak kondisi. Salah satu contoh adalah gagal ginjal dan
penyakit 1 ginjal, yang bisa muncul karena pemakaian analgesik secara berlebihan.
Pemakaian laksatif yang berlebihan sebagai obat pencahar juga dapat menimbulkan
gangguan cairan elektrolit tubuh. Tidak jarang pula orang keracunan difenhidramin
yang terdapat dalam antihistamin. Pemakaian vitamin secara berlebihan adalah
salah satu contoh penyalahgunaan pemakaian obat bebas. Kecenderungan untuk
hidup sehat dan keinginan untuk mencegah penyakit membuat banyak orang tergiur
meminum vitamin dan pelengkap makanan lainnya secara berlebihan.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Farmasis.
2. Untuk mengetahui pengertian dari citra.
3. Untuk mengetahui pengembangan citra farmasi.
4. Untuk mengetahui strategi meningkatkan citra.
5. Untuk mengetahun contoh permasalahan dan solusinya dalam citra farmasi yang
lebih baik.
5
BAB II
PEMBAHASAN
7
Pada tahun 1970-an, satu dari peneliti besar tentang citra farmasi tercantum
dalam laporan yang disusun oleh Dichter. Objek dari penelitian ini, diberi judul
“Pembahasan Nilai-Nilai Keseluruhan Pelayanan Farmasetika Kepada Konsumen”,
menentukan bagaimana nilai keseluruhan farmasetika sangat efektif jika
disosialisasikan kepada publik untuk mendorong permintaan akan pelayanan ini. Dua
pertanyaan besar yang dialamatkan untuk penelitian ini yaitu : (1) Apakah konsumen
tahu bahwa pelayanan itu benar-benar ada? Dan (2) Apakah konsumen tahu tentang
nilai-nilai yang ada dari pelayanan ini?
Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa banyak orang yang diwawancarai
oleh psikologis Institut Dichter untuk Penelitian Motivasi tidak menganggap bahwa
rata-rata farmasis adalah seorang profesional yang membayangkan bagaimana diri
mereka seharusnya. Publik cenderung berpikir bahwa farmasis hanya dekat dengan
perusahaan manufaktur. Karena alasan ini farmasis dipandang hanya memiliki
konsumen, bukannya pasien. Ringkasnya, ada keinginan yang kuat untuk
mengembalikan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien.
Image atau Citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran
yang ada di dalam benak seseorang. Citra dapat berubah menjadi buruk atau negatif,
apabila kemudian ternyata tidak didukung oleh kemampuan atau keadaan yang
sebenarnya. Bentuk citra berhubungan dengan cara dimana farmasi didefinisikan
8
dalam pikiran masyarakat terdiri dari sisi fungsi dan sisi aura sifat psikologis.
Farmasis harus berusaha keras untuk membangun citra yang akan menarik para
pelanggan. Analisa yang cermat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pembangunan citra akan membantu seorang farmasis berstrategi pada pasar pelayanan
kesehatan yang berdaya sains tinggi ini.
1. Mirror Image (Citra Bayangan): Sebuah penggambaran citra yang diyakini dan
dianggap benar oleh perusahaan atau pimpinan dalam suatu perusahaan memiliki
anggapan pihak luar perusahaan sudah memandang bahwa perusahaannya memiliki
tanggapan baik, padahal tidak selamamnya padandangan diluar perusahaan selalu
baik. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan keinginan yang berbeda dengen
realita yang terjadi pada publik luas mengenai instansi tersebut.
2. Current Image (Citra Kini): Citra yang erat kaitannya dengan word of mouth atau
informasi yang di peroleh dari orang lain. Citra kini berkaitan dengan sepengalanam
seseorang mengenai suatu organisasi/instansi/perusahaan yang kemudian
pengalaman yang dia dapatkan diceritakan kepada orang lain. Hal tersebut tidak
9
akan menjadi sebuah permasalahan ketika yang diceritakan adalah hal positif
mengenai instansi, tapi akan menjadi suatu permasalahan yang serius ketika
pengalaman yang di ceritakan adalah sesuatu yang negatif mengenai instansi, yang
sifatnya permusuhan, kecurigaan, prasangka buruk sehingga mengakibatkan
munculnya kesalahapaman (misunderstanding) yang mengakibatkan ketidak
percayaan terhadap suatu instansi.
3. Wish Image (Citra Keinginan): Citra yang harapan dari instansi dan di terima dan
dimaknai dengan baik oleh publiknya. Citra keinginan merupakan citra yang
berbanding lurus antara harapan dan hasil, intansi memiliki harapan positif dan
publiknya memerima kesan tersebut secara positif.
5. Multiple Image (Citra Serbaneka): Citra pelengkap dari citra perusahaan. Hal ini
bisa meliputi logo, atribut identitas, brand name, uniform, para pekerja
profesionalnya yang diidentikkan kedalam citra serbaneka yang diintegarasikan
dengan citra perusahaan.
6. Performance Image (Citra Penampilan): Citra ini lebih ditujukan kepada subyek
dari perusahaan yang berkaitan dengan kinerja atau penampilan diri dari setiap
anggota organisasi sehingga dapat membawa citra organisasi. Hal ini juga bisa
dirtikan dengan etika perusahaan mulai dari menyapa, bersikap, serta berinteraksi
dengan pelanngannya.
Perusahaan Pasar
(Corporate) (Market)
Citra
Profesional
10
Citra dapat ditentukan dari beberapa jenis sudut pandang, yaitu:
1. Citra Perusahaan: Citra perusahaan farmasi ditentukan oleh pengalaman,
media massa atau berita dan sumber lainnya. Pandangan pasien mengenai
kebijakan perusahaan terhadap lingkungan sosial, karyawan, pasien dan
individu lainnya. Kepercayaan, ketahanan dan tanggung jawab adalah faktor
penting dalam pendistribusian produk farmasi maupun dalam pelayanan.
Tanpa memperhatikan jenis produk yang disalurkan, pasien ingin tahu
produk atau pelayanan yang mereka dapatkan di saat yang tepat. Jika
dibutuhkan, mereka dapat bertanya lebih lanjut kepada para ahli. Selain itu,
jika ada masalah mereka ingin tahu bahwa masalah itu akan terselesaikan
dengan cepat.
2. Citra Pasar: Perhatian utama produk dan pelayanan, ketika pasien bertukar
informasi mengenai pengalamannya dengan pihak lain, maka akan terbentuk
citra pasien yang konsisten berdasarkan penilaian pasien terhadap produk dan
perbandingan di antara beberapa pesaing. Citra pasar adalah bagaimana
pasien dan penyedia pelayanan kesehatan menilai harga produk dan
pelayanan dibandingkan dengan para pesaing. Jika pasien percaya bahwa
mereka mendapatkan harga yang pantas dari produk atau pelayanan, maka
mereka akan terus membeli produk atau pelayanan itu.Pasien berharap harga
yang masuk akal, konsisten dan adil. Banyak perusahaan menggunakan
sistem komputer yang canggih, mesin penyalur otomatis dan proses klaim
elektronik untuk mengontrol harga dan untuk menjamin kebijakan harga
yang konsisten.
11
3. Citra Profesional: Ditunjukkan melalui perilaku, sikap dan kepercayaan
kepada organisasi untuk memenuhi harapan pasien terhadap pelayanan. Citra
profesional terfokus pada komitmen terhadap kualitas pelayanan kesehatan
dan kebutuhan pendidikan publik terkait penggunaan obat. Sebuah model
konsep citra profesional dikemukakan oleh “ Hall “ menyatakan bahwa ada
penyesuaian antara sisi struktural dan sisi sikap dalam profesionalisme.
Aspek struktural akan menghubungkan pelatihan profesional, pengetahuan,
kode etik, komitmen pelayanan dan ekonomi pekerjaan. Sedangkan sisi sikap
profesionalisme terpusat pada bagaimana tenaga kesehatan memandang
pekerjaannya dan bagaimana hal ini tergabung ke dalam kerangka kognitif
profesioanlisme. Secara umum, seperti yang disebutkan padapenelitian
sebelumnya, ada hubungan terbalik antara profesionalisme dengan birokrasi.
c. Mempunyai klasifikasi teknis dan moral yang tinggi dengan ketaatan dan
pengamalan sumpah profesi, kode etik dan standar profesi.
h. Dapat bekomunikasi antar profesi dalam pemakaian obat dan sebagai bagian
dari pembuat keputusan klinis bersama spesialis yang lain. Apoteker harus
selalu dikenal dan dapat dihubungi sebagai sumber nasehat yang benar
tentang obat-obatan dan masaalah pengobatan.
14
pilihan untuk berbelanja melalui hypermarket, megastore, surat pesanan, rantai
diskon, toko besar atau kecil, apotek independen, atau apotek biasa.
Dengan menggunakan rangka ini, farmasis independen yang terdiri dari
empat atau beberapa toko obat, dan jenis toko obat yang ada dibedakan dari
ukuran toko, harga, lokasi, pelayanan, dan bermacam-macam hadiah yang
diberikan. Pelayanan dari profesional yang biasanya adalah penting untuk men-
gontrol farmasi. Kemampuan farmasi untuk menyediakan pelayanan yang pro-
fesional, juga menjadi penting untuk kesuksesan retail. Kemampuan atau kese-
diaan farmasis untuk menyediakan berbagai macam pelayanan berhubungan
dengan citra profesional farmasi.Tidak seperti beberapa industri lainnya, ada
banyak pokok persoalan dalam industri farmasi. Distribusi dari resep produk
obat dikontrol oleh badan federal atau aturan local tertentu. Misalnya profesi
tenaga kesehatan, farmasi memiliki beberapa jenis pelatihan, kode etik, asosiasi
profesional farmasi, kesamaan derajat dan aturan yang dibuat secara pribadi. Di
sisi lain, farmasis tidak dapat menyelesaikan seluruh hal yang harus dikontrol-
nya karena butuh pengetahuan dan pemahaman yang melebihi tenaga medis
professional lain. Kontrol yang kurang ini dalam distirbusi obat dikombi-
nasikan dengan baik dengan tekanan yang berasal dari farmasis sendiri dimana
tugas yang hars diembannya terlalu berat sehingga berpotensi merusak citra far-
masi itu sendiri.
16
2.6 Contoh Permasalahan
Masyarakat telah digemparkan mengenai penggunaan alat rapid test bekas yang
dilakukan oleh anggota PT Kimia Farma yang ada di Bandara kualanamu Sumut.
Hal ini bukanlah isu semata sebab Direktorat reserse kriminal khusus ( Ditreskrimsus)
polda Sumatra utara yang berhasil mengungkap dugaan penggunaan alat rapid test
bekas yang dilakukan oleh karyawan PT Kimia Farma di bandara kualanamu yang
pada saat itu masyarakat dibuat tidak percaya dengan kejadian tersebut. Hal ini
bermula pada laporan salah satu masyarakat mengenai alat rapid tes bekas lalu pihak
berwajib segera melakukan penyelidikan di bandara kualanamu yang diduga
menggunakan alat rapid bekas dengan cara mengutus salah satu anggotanya untuk
berpura-pura menjadi penumpang yang di bandara kualanamu dan ingin
melakukan rapid test antigen dan saat itu juga pihak berwajib segera
melakaukan penggrebekan dan hasilnya mereka benar yaitu mereka melakukan
penggunaan alat rapid test antigen bekas atau didaur ulang olehnya. Setelah
dilakukan introgasi para pelaku karyawan PT Kimia Farma yang melakukan tindak
kejahatan mengenai Kesehatan ini hasilnya membikin kaget semua orang, bahwa
mereka menggunakan alat rapid test bekas dengan cara mengumpulkan stik untuk
swab antigen dikumpulkan oleh para pelaku setelah itu mereka akan mencucinya
dan dibersihkan dengan cara mereka sendiri, lalu dikemas ulang untuk dapat
digunakan Kembali pada saat melakukan test swab antigen di bandara kualanamu.
(Saputra, 2021) Kapolda sumut yang melakuakn penyelidikan dan penggrebekan
karyawan PT Kimia Farma yang melakukan tindak kejahatan mengenai
Kesehatan mengatakan ada kurang lebih 200-300an orang yang menjalani test swab
antigen untuk perjalanan udara ditempat itu. Mentri bandan usaha milik negara
(BUMN) yaitu Erick Thohir juga menanggapi kasus penggunaan alat rapid test bekas
yang dilakukan oleh karyawan PT Kimia Farma di bandara kualanamu, ia mengutuk
keras kepada oknum atau pelaku yang melakukan kejahatan yang dapat
membahayakan keselamatan orang lain. Mentri BUMN ini juga mengungkapkan
kepada Direktur Utama PT Kimia Farma untuk memecat karyawannya yuang
melakukan Tindakan kejahatan yang dapat menyebabkan kerugian pada orang lain
dan memberikan hukum secara tegas. Kejadian ini ikut mencoreng nama
kementrian BUMN karena PT Kimia Farma merupakan bagian dari kimia farma yang
berada dibawah pengawasan kementrian BUMN. Kasus diatas adalah salah satu
Krisis yang dialami perusahaan PT Kimia Farma. Krisis adalah masa atau suatu
17
keadaan yang gawat atau genting yang dapat menyebabkan kondisi suatu
perusahaan tersebut berada pada titik yang baik atau sebaliknya. Suatu krisis
terjadi karena beberapa peristiwa karena kejadiannya masing-masing. Suatu krisis
dapat diakibatkan karena suatu kecelakaan industry, masalah pada lingkungan,
masalah pada perburuhan, masalah produk, masalah dengan investor, isu-isu yang
beredar.(Fitri et al., 2021)
Face finding (mendefinisikan masalah) kondisi adalah dimana semua pihak harus
mampu menilai suatu permasalahan yang sedang terjadi secara obyektif serta
mmapu dalam mengidentifikasi masalah tersebut hal ini guna untuk mendapatkan
data yang nantinya akan melatar belakangi masalah yang sedang terjadi dan
menemukan bebrapa fakta yang berhubungan dengan PT Kimia Farma Tbk dengan
kepentingan jangka Panjang. Untuk melakukan hal tersebut harus dilakukan dengan
intensif dan mendalam pada perusahaan. Menurut mentri BUMN erick thohir
mengatakan bahwa para pelaku tidak akan mendapatkan toleransi dari sisi hukum,
dan diserahkan kepada apparat yang berwenang. Namun Tindakan yang akan diambil
adalah tetap harus melakukan pemeriksaan secara prosedur maupun organisasi
harus tetap akan dilakukannya. Bahkan dirinya menngatakan akan turun tangan
untuk melakukan evaluasi langsung, dan jika memang terbukti bersalam maka
dirinya akan mengambil Langkah tegas yaitu Langkah pemberhentian karena
18
baginya ulah para oknum ini adalah suatu Tindakan yang menghianati profesi
pelayan public dibidang Kesehatan. Kejadian seperti sangatlah berdampak tidak
baik dan mengilangkan kepercayaan masyarakat. Maka dapat disimpulkan dalam
kejadian ini, jika dilihat dari tahap medefinisikan masalah yaitu dilakukan oleh
mentri BUMN yang telah geram dan sangat kecewa dengan Tindakan para oknum
yang menghianati profesi pelayan public dalam bidang kesehtan dan mengatakan
bahwa kejadian ini adalah sebagai masalah yang serius, mengingat bahwa
masyarakat sangat dirugikan terutama dari segi kesehatannya dari kejadian atau
ynag dilakukan oleh para oknum ini serta sangat berdampak luas bagi kepercayaan
masyarakat mengingat bahwa perusahaan ini adalah perusahaan yang menangani
atau memberi pelayanan pada masyarakat di Kesehatan.
Action and communicating (aksi dan komunikasi) ada bebrapa Tindakan yang
dilakukan oleh PT Kimia Farma Diagnostika (KFD) ( Ismoyo & Sanusi, 2021) yaitu:
19
Indonesia sudah dinyatakan telah memenuhi serta menjalankan SOP. Agus Chandra
selaku Direktur Utama Kimia Farma Diagnostika mengungkapkan bahwa Tindakan
penyegaran manajemen dan internal perusahaan adalah suatu Tindakan yang
akan mampu memperbaiki peningkatan kinerja secara seluruh
b. KFD menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang
dilakukan berdasarkan keputusan dari pemegang saham. Dalam rapat tersebut
telah memutuskan suatu keputusan bahwa keputusan tersebut adalah
memperhentikan Direktur Uama Adil Fadilah Bulqini dan Direktur I Wayan Budhi
Artawan dan juga menyepakati untuk mengangkat Agus Chandra sebagai Plt.
Direktur Utama KFD dan Abdul Azis sebagai Plt. Direktur KFD
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Farmasis adalah suatu profesi dibidang kesehatan yang meliputi kegiatan-kegiatan
di bidang penemuan, pengembangan, produksi, pengolahan, peracikan dan
distribusi obat.
2. Image atau Citra didefinisikan sebagai a picture of mind, yaitu suatu gambaran
yang ada di dalam pikiran seseorang. Citra dapat berubah menjadi buruk atau
negatif, apabila kemudian ternyata tidak didukung oleh kemampuan atau keadaan
yang sebenarnya.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 1998, The Role of the Pharmacist, Int. Pharm. J., vol. 12, No. 3, 82 - 83, 94.
2. Wertheimer, A.I., Smith, M.C., (ED), 1989, Pharmacy Practice: Social and Behavioral
Aspects, 3rd cd.,Williams-Wilkins, Batlimore, 23 – 125, 417 - 441.
3. ISFI, 2004, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Jakarta: Badan Pimpinan Pusat
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
4. Harding, G., Nettleton, S., Taylor, K. (ED),1994, Social Pharmacy, The Pharmaceutical
Press, London, 1- 8.
5. Jefkins, Frank. 2003. Public Relations, Penerbit Erlangga, Jakarta
6. Ruslan, Rosady. 2006. Manajemen Public Relations & Media Komunikasi, Jakarta:
Rajawali Pers.
7. Widyarini. 2014. Variabel Yang Mempengaruhi Keputusan Pemilihan. EKBISI, hal 83-
94.
23