Anda di halaman 1dari 15

FARMAKOKINETIK

Oleh Kelompok :
EKA SAFRIA
ARDI WIRANATA
KALSUM YARHAM B
INDRIANI ANGRAINI
NADHILA AGHIS PRATIWI
ANNISA MARWIYAH
ANNISA MUTMAINNA
ELSA AYU NUNIMA
LISDAYANTI PORENDE
RIAN STANTO ANGGRIAWAN
ADELFIRA FEBRIYANTI
JAMALIA NOSARI
SITTI HAJRA RAMA

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MANDALA WALUYA
KENDARI
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Farmasi fisik ini tepat pada waktunya.
Makalah Farmasi fisik ini disusun untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan Farmasi fisik.
Makalah ini membahas mengenai farmakokinetika.
Penulis berharap makalah ini dapat memberi manfaat kepada pembaca dan utamanya
kepada penulis sendiri. Penulis menyadari, bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan pada
makalah ini. Hal ini Karena keterbatasan kemampuan dari penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
guna penyempurnaan makalah ini.

Kendari, 31 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB 1 ............................................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.3 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
2.3 Tujuan............................................................................................................................... 1
BAB 2 ............................................................................................................................................. 2
2.1 Farmakokinetik................................................................................................................. 2
2.1.1 Sejarah farmakokinetik ............................................................................................. 2
2.1.2 Pengertian farmakokinetik ........................................................................................ 2
2.1.3 Fase-fase farmakokinetik .......................................................................................... 3
2.2 Farmakodinamik............................................................................................................... 9
2.2.1 Pengertian Farmakodinamik ..................................................................................... 9
2.3 Hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik ................................................. 10
BAB 3 ........................................................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 11
3.2 Saran ............................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 12

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel hidup,
lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih
menekankan pengetahuan yang mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat.
Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu mengenai cara
membuat, memformulasi, menyimpan, dan menyediakan obat. Farmakologi terutama terfokus
pada dua sub, yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.
Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang farmasis dapat menjadi suatu masalah
untuk bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan penggunaan
yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang tidak mengganggu.
Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5% pasien masuk rumah sakit akibat obat.
Rasio fatalitas kasus akibat obat di rumah sakit bervariasi antara 2-12%. Efek samping obat
meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya
pengetahuan farmakologi bagi seorang farmasis.
Dalam makalah ini akan dibahas secara umum mengenai farmakologi (farmakokinetik dan
farmakodinamik) serta hal-hal lain yang berkaitan dengan materi ini.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan farmakokinetik
2. Apakah pengertian farmakokinetik ?
3. Bagaimanakah fase-fase farmakokinetik ?
4. Apakah pengertian farmakodinamik ?
5. Bagaimanakah hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik
2.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan farmakokinetik
2. Untuk mengetahui pengertian farmakokinetik
3. Untuk mengetahui fase-fase farmakokinetik
4. Untuk mengetahui pengertian farmakodinamik
5. Untuk mengetahui hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik

1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Farmakokinetik
2.1.1 Sejarah farmakokinetik
Sekitar 70 tahun yang lalu, sebenarnya merupkan awal dari era farmakokinetik, ketika
Torsten Teorell mempublikasi dua hasil penelitiannya pada tahun 1937. Namun rupanya
publikasi tersebut belum menari perhatian banyak orang, terbukti publikasi berikutnya terbit
setelah 20 tahun berselang. Baru pada tahun 60-an gayung pun bersambut, dan sejak itu mulai
banyak bermunculan berbagai hasil penelitian farmakokinetik. Menurut penuturan Gibaldi &
Pperier ( 2007 ) Tahun 1972 diselenggarakan konferensi internasional tentang farmakologi dan
farmakokinetik di Maryland, Amerika, dan pada saat itu secara resmi dnyatakan bahwa
farmakokinetik merupakan disiplin ilmu tersendiri, terlepas dari induknya yaitu farmakologi.
Di Indonesia, farmakokinetik mulai dikenal sejak pertengahan tahun 70-an. Sejak itu
pengajaran dan penelitian dibidang farmakokinetik mulai bersemi, ditandai dengan mulai
masuknya ilmu tersebut ke dalam kurikulum pendidikan farmasi, dan munculnya makalah-
makalah diberbagai seminar atau kongres yang diselenggarakan oleh ikatan Apoteker Indonesia (
waktu itu bernama ikatan Sarjana Farmasi Indonesia ) dan ikatan ahli farmakologi Indonesia (
IKAFI ) Pada awal tahun 80-an. Peran aktif dunia pendidikan farmasi yang mengajarkan,
melakukan penelitian dan menyebarluaskan farmakokinetik sebagai satu disiplin ilmu, ternyata
memberikan kontribusi yang besar dalam menunjang pengembangan berbagai sektor terkait.
Dewasa ini ilmu dan penelitisn farmakokinetik sudah berkembang sedimikian pesat dan telah
lama dimanfaatkan berbagai bidang ilmu lain, misalnya biofarmasetik untuk pengembangan
formula baru, oleh dunia klinik untuk menentuka regimen, dosis, untuk pasien, oleh dubia
industri umumnya untuk pengembangan produk yang memenuhi persyaratan bioavailability serta
dalam pengembangan senyawa obat baru, baik kimia sintetik ataupun dari bahan alam, dalam uji
praklinik.
2.1.2 Pengertian farmakokinetik
Farmakokinetik berasal dari bahasa Yunani : “Farmako” yang artinya obat dan “Kinesis”
yang artinya perjalanan. Farmakokinetik menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan suatu zat
di dalam organisme, misalnya bagaimana perjalanan obat dalam tubuh

2
Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan
eliminasi ( yakni ekskresi dan metabolisme ) obat pada manusia atau hewan dan menggunakan
informasi ini untuk meramalkan efek perubahan-perubahan dalam takaran,rejimen takaran, rute
pemberian, dan keadaan fisiologi pada penimbunan dan disposisi obat.
Farmakokinetik dapat didefinisikan sebagai setiap proses yang dilakukan tubuh terhadap
obat, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Dalam arti sempit, farmakokinetik
khususnya mempelajari perubahan-perubahan konsentrasi dari obat dan metabolitnya da dalam
darah dan jarigan sebagai fungsi dari waktu.
2.1.3 Fase-fase farmakokinetik
Dalam fase farmakokinetik termasuk bagian proses invasi dan proses eliminasi (evasi).
Yang dimaksud dengan invasi ialah proses-proses yang berlangsung pada pengambilan suatu
bahan obat ke dalam organisme (absorpsi, distribusi), sedangkan eliminasi merupakan proses-
proses yang menyebabkan penurunan konsentrasi obat dalam organisme (metabolisme, ekskresi).
Farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh
yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME). Obat yang masuk ke dalam
tubuh melalui berbagai cara pemberian umunya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan
untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa
biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses
farmakokinetika dan berjalan serentak
1. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantunng pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran cerna (mulut
sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian
obat peroral, dengan cara ini tempat absopsi utama adalah usus halus karena memiliki
permukaan absorpsi yanng sangat luas, yakni 200 m2 (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai
dengan villi dan mikrovilli).
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu
absorpsi mudah terjadi bila obatdalam bentuk non-ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi
secara transpor aktif terjadi teutama di dalam usus halus untuk zat-zat makanan : glokusa dan
gula lain, asam amino, basa purin, dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga

3
terjadi untuk obat-obat yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan tersebut. Misalnya
levodopa, metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-flourourasil.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi:
 Derajat ionisasi
 Dosis dan waktu pemberian obat
 PH dan pK
 Pelarut obat dan bentuk obat
 Luas permukaan absorpsi
 Aliran darah
 Kondisi usus dan kecepatan pengosongan lambung
 Interaksi dengan obat lain
Pemakaian topikal. Contoh pemakaian topikal, selain pengobatan lokal pada penyakit kulit,
dapat disebutkan juga pemberian oral adsorbansia atau adstringensia, pemakaian bronkholitika
dalam bentuk aerosol, penyuntikan anestetika lokal ke dalam jaringan dan pemakaian lokal
sitostatika ke dalam kandung kemih.
Keuntungannya pemakaian obat pada kulit ialah umumnya dosis lebih rendah sedangkan
keburukannya ialah bahaya alergi yang umumnya lebih besar.
Pemakaian parenteral. Penyuntikan intravasal (kebanyakan intravena) termasuk juga
infuse ditandai oleh:
a. Dapat diatur dosis yang tepat dan ketersediaan hayati umumnya sebesar 100%. Hanya dalam
hal-hal khusus terjadi adsorpsi sebagian bahan obat pada peralatan infuse dank arena itu
mengakibatkan penurunan ketersediaan hayati.
b. Akibat pengenceran yang cepat dalam darah dan akibat kapasitas daparnya yang besar maka
persyaratan larutan yang menyangkut isotoni dan isohidri lebih rendah dibandingkan dengan
penyuntikan subkutan.
c. Bahan obat mencapai tempat kerja dengan sangat cepat.
Oleh karena itu bentuk pemakaian ini terutama dipakai jika faktor waktu yang sangat
penting, misalnya dalam keadaan darurat serta pada pembiusan intravena. Keburukannya, jika
dibandingkan dengan cara pemberian lain, selain biaya tinggi dan beban pasien (ketakutan akan
penyuntikan) juga risiko yang tinggi.

4
Pemakaian oral. Obat-obat paling sering diberikan secara oral karena bentuk obat yang
cocok dapat relatif mudah diproduksi dan di samping itu, kebanyakan pasien lebih menyukai
pemakaian ini. Akan tetapi pemakaian obat secara oral dihindari untuk bahan obat yang sukar
diabsorpsi melalui saluran cerna (strofantin dan tubokurarin) atau iritasi mukosa lambung. Untuk
kasus terakhir dibutuhkan pembuatan bentuk obat dengan penyalut yang tahan terhadap cairan
lambung.
Pemakaian rektal. Pemakaian rektal tetap terbatas pada kasus-kasus yang tidak mutlak
diperlukan kadar dalam darah tertentu dan juga tidak terdapat keadaan darurat. Hal ini
disebabkan oleh kuosien absorpsi sangat berbeda dan kebanyakan juga sangat rendah.
Karena itu, suppositoria yang mengandung antibiotika ditolak, sebaliknya pemakaian rektal
analgetika dan antipiretika pada bayi dan anak-anak kecil bermanfaat. Di samping itu, pada
pasien yang cenderung muntah atau lambungnya terganggu, lebih disukai pemakaian rektal
sejauh tidak dibutuhkan pemberian parenteral.
2. Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel,
sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada
protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat
ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan
kadar proteinnya sendiri.
Untuk mencapai sel target, suatu obat harus dapat menembus sawar biologic, dapat
berupa membrane yang terdiri atas satu atau beberapa sel. Pada sawar darah otak, obat-obatan
yang larut dalam air sulit melewatinya dan pada sawar plasenta hanya obat-obatan dengan BM
besar (seperti heparin, plasma sekunder) sukar masuk fetus.
Oleh karena molekul protein plasma cukup besar, maka hanya fraksi obat bebas saja
yang mempunyai arti klinis, karena bagian tersebut yang dapat mencapai reseptor pada organ
sasaran (termasuk bakteri). Protein plasma yang berikatan dengan molekul obat terutama adalah
albumin(A), disamping itu protein lain juga berperan, misalnya alfa amino globulin (AAG) dan
lipoprotein (LP) pada keadaan tertentu.

5
Sering kali distribusi obat tidak merata akibat beberapa gangguan, yaitu adanya rintangan,
misalnya rintangan darah-otak (cerebro-spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah atau
jaringan dan lemak.
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah (ikatan
hidrofobik, van der Waals, hidrogen, dan ionic). Ada beberapa macam protein plasma:
a. Albumin: mengikat obat-obat asam dan obat-obat netral (misalnya steroid) serta bilirubin
dan asam-asam lemak.
b. α-glikoprotein: mengikat obat-obat biasa.
c. CBG (corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid.
d. SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormon kelamin.
Obat yang terikat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh tubuh. Kompleks
obat-protein terdisosiasi dengan sangat cepat (t½ ~ a20 milidetik). Obat bebas akan keluar ke
jaringan (dengan cara yang sama seperti cara masuknya) ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat
depotnya, ke hati (di mana obat mengalami metabolisme menjadi metabolit yang dikeluarkan
melalui empedu atau masuk kembali ke darah) dan ke ginjal (di mana obat/metabolitnya
diekskresi ke dalam urin).
Di jaringan, obat yang larut air akan tetap berada di luar sel (di cairan usus) sedangkan obat
yang larut lemak akan berdifusi melintasi membran sel dan masuk ke dalam sel tetapi karena
perbedaan pH di dalam sel (pH = 7) dan di luar sel (pH = 7,4), maka obat-obat asam lebih
banyak di luar sel dan obat-obat basa lebih banyak da dalam sel.
Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran cerna. Senyawa yang
diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari, sebagian atau seluruhnya dapat direabsorpsi
dalam bagian usus yang lebih dalam (sirkulasi enterohepatik). Telah dibuktikan penetrasi
senyawa basa dari darah ka dalam lambung. Juga bahan ini sebagian direabsorpsi dalam usus
halus (sirkulasi enterogaster).
Satu segi khusus dari cara mempengaruhi distribusi ialah yang disebut pengarahan obat
(drug targetting), artinya membawa bahan obat terarah kepada tempat kerja yang diinginkan.
Efek samping sering terjadi justru karena bahan obat selain bereaksi dengan struktur tubuh yang
diinginkan, ia bereaksi juga dengan struktur yang lain. Pengarahan obat merangsang suatu sistem
pembawa yang sesuai yang memungkinkan satu transport yang selektif ke dalam jaringan yang
dituju dan dengan demikian memungkinkan kekhasan kerja yang diinginkan.

6
Sebagai pembawa yang mungkin ialah makromolekul tubuh sendiri maupun makromolekul
sintetik atau sel-sel tubuh misalnya eritrosit. Contoh yang sangat menarik ialah pengikatan
kovalen sitostatika kepada antibodi antitumor. Walaupun keberhasilan praktis dengan sistem
demikian sampai sekarang malah mengecewakan, tetapi harapan berkembang bahwa melalui
penambahan antibodi monoklon yang makin banyak tersedia, maka keefektifan dapat diperbaiki.
3. Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses perubahan struktur perubahan kimia
yang tejadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada poses ini molekul obat diubah menjadi
lebih polar (lebih mudah larut dalam air) dan kurang larut dalam lemak sehingga mudah
dieksresi melalui ginjal.
Kebanyakan obat diubah di hati dalam hati, kadang-kadang dalam ginjal dan lain-lain. Kalau
fungsi hati tidak baik maka obat yang biasanya diubah dalam hati tidak mengalami peubahan
atau hanya sebagian yang diubah. Hal tesebut menyebabkan efek obat berlangsung lebih lama
dan obat menjadi lebih toxic.
Metabolisme obat di hepar terganggu oleh adanya zat hepatotoksik atau pada sirosis hepatis
kaena pada keadaan-keadaan tesebut terjadi kerusakan sel parenim hati serta enzim-enzim
metabolismenya. Dalam hal ini dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolism di
hati harus disesuaikan atau dikurangi. Demikian juga penurunan alir darah hepar, baik oleh obat
maupun gangguan kardiovaskular, akan mengurangi metabolisme obat di hati.
Biotransformasi terjadi terutama di dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat rendah
terjadi dalam organ lain (misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limpa, otot, kulit, atau dalam
darah.
Obat yang telah diserap usus ke dalam sirkulasi, lalu diangkut melalui sistem pembuluh
darah (vena portae), yang merupakan suplai darah utama dari daerah lambung-usus ke hati.
Dengan pemberian sublingual, intrapulmonal, transkutan, parenteral, atau rektal (sebagian),
sistem porta ini dan hati akan dapat dihindari. Dalam hati dan sebelumnya juga di saluran
lambung-usus seluruh atau sebagian obat mengalami perubahan kimiawi secara enzimatis dan
apda umumnya hasil perubahannya (metabolit) menjadi tidak atau kurang aktif lagi. Maka proses
ini disebut proses detoksifikasi atau bio-inaktivasi. Ada pula obat yang khasiat farmakologinya
justru diperkuat (bio-aktivasi), oleh karenanya reaksi-reaksi metabolisme dalam hati dan
beberapa organ lain lebih tepat disebut bio-transformasi.

7
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar
(larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini, obat aktif
umumnya diubah menjadi inaktif tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya
prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.
Reaski metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I terdiri dari
oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah oabt menjadi lebih polar dengan akibat menjadi
inaktif, lebih aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konyugasi
dengan substrat endogen: asam glukuronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan
hasilnya menjadi sangat polar. Dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat
mengalami reaksi fase I saja atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I dan diikuti dengan reaksi
fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti gugus hidroksil, gugus amino,
karboksil, sulfhidril, dan sebagainya untuk dapat bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi
fase II. Karena itu, obat yang sudah mempunyai gugus-gugus tersebut dapat langsung bereaksi
dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil reaksi fase I dapat juga sudah cukup polar untuk
langsung diekskresi lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II lebih dulu.
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP)
yang disebut juga enzim mono-oksigenase atau MFO (mixed-function oxidase) dalam
endoplasmic reticulum (mikrosom) hati.
4. Ekskresi
Seperti halnya metabolisme, ekskresi suatu obat dan metabolitnya menyebabkan penurunan
konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat terjadi bergantung kepada sifat
fisikokimia (bobot molekul, hatga pKa, kelarutan, tekanan uap) senyawa yang diekskresi.
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil
biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit yang polar diekskresi lebih cepat
daripada obat yang larut baik dalam lemak, kecuali pada eksresi melaui paru-paru. Ginjal
merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultante dari 3 preoses,
yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli
proksimal dan distal.
Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu
diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan
dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.

8
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam
jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat
digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat
digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
Pengeluaran obat atau metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal melalui air
seni disebut ekskresi. Selain itu ada pula beberapa cara lain, yaitu:
a. Kulit, bersama keringat, misalnya paraldehida dan bromida (sebagian).
b. Paru-paru, melalui pernapasan, biasanya hanya zat-zat terbang, seperti alkohol,
paraldehida, dan anastetika (kloroform, halotan, siklopropan).
c. Empedu, ada obat yang dikeluarkan secara aktif oleh hati dengan empedu, misalnya
fenolftalein (pencahar).
2.2 Farmakodinamik
2.2.1 Pengertian Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah cabang ilmu yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat
serta mekanisme kerjanya. Sifat kerja obat tersebut menentukan kelompok tempat obat tersebut
digolongkan dan sering kali mempunyai peran penting untuk memutuskan apakah kelompok
tersebut adalah terapi yang tepat untuk gejala atau penyakit tertentu.
Farmakodinamik adalah sub farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi
obat serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme obat ialah untuk meneliti efek
utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta
spektrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan
dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang
merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen
makromolekul fungsional yang kencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat
mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi
baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Setiap komponen makromolekul
fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat tertentu, juga berperan sebagai reseptor untuk
ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa
endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsic tetapi

9
menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonit binding site )
disebut antagonis.
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen
makromolekul fungsional, hal ini mencakup dua konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah
kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya
memodulasi fungsi yang sudah ada.
2.3 Hubungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik
Farmakokinetik dan farmakodinamik sangat berkaitan. Interaksi dai suatu molekul obat
dengan suatu reseptor menyebabkan inisiasi dari suatu rangkaian kejadian molekuler yang
menghasilkan respons farmakodinamika atau farmakokinetik. Farmakodinamika merujuk pada
hubungan antara kosentrasi obatpada reseptor dan respons farmakokinetik. Farmakokinetik
merujuk pada respon farmakodinamika yang dihasilkan oleh obat bergantung pada struktur kimia
molekul obat.

10
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Famakokinetika atau kinetika obat adalah ilmu yang mempelajari nasib obat dalam
tubuh atau efek tubuh terhadap obat mencakup empat proses yaitu absoprsi, distribusi,
metabolism, dan ekskresi.
2. Melalui data absoprsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi tersebut farmakokinetika
mempunyai peran penting dalam aplikasi farmasi klinis, diantaranya adalah untuk
penentuan dosis pemakaian obat, penentuan frekuensi pemakaian obat, penentuan dosis
ganda, penentuan infus intra vena, dan penyesuaian dosis jika terjadi kerusakan renal
maupun hepar.
3.2 Saran
Tak ada gading yang tak retak dan tak ada manusia yang sempurna, jika ada kendala atau
makalah ini kurang mengesankan bagi sang pembaca saya selaku pembuat mohon bimbingan
serta bantuannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Shargel, Leon., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, edisi ke dua,


Surabaya, Airlangga University Press.

Setiawati, 2007, Pengantar Farmakologi dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Gunawan,
Sulistia Gan (editor)., Departemen Farmakologik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia, Jakarta.

Barbour, 2007, Introduction to Biopharmaceutics and its Role in Drug Development in


Biopharmaceutical Application in Drug Development, Informa Healthcare USA, New
York.

12

Anda mungkin juga menyukai