Anda di halaman 1dari 30

FARMAKOLOGI KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH:

NABILLA SHAFIRA (1814401102)

Tk. I Reg.3

DOSEN PEMBIMBING

EL RAHMAYATI, S.KP.,M.Kes.

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

JURUSAN DIII KEPERAWATAN TJK

TA. 2018/2019
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga saya dapat mengerjakan makalah mata kuliah farmakologi keperawatan tepat pada
waktunya.

Saya menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari harapan, oleh karena itu saran dan kritik
yang konstruktif dari berbagai pihak sangat saya harapkan untuk menghasilkan makalah yang lebih baik
untuk masa mendatang.

Saya berharap tugas ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun
khususnya. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
yang membangun sangat saya harapkan guna penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata saya
ucapkan terima kasih.

Bandar Lampung, 27 Januari 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Tujuan ........................................................................................................................... 1
C. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
A. Farmakokinetik ............................................................................................................. 3
 Absorbsi berikut dengan contoh .......................................................................... 3
 Distribusi berikut dengan contoh ......................................................................... 4
 Metabolisme/Biotransformasi berikut dengan contoh ........................................ 6
 Eksresi/Eliminasi berikut dengan contoh ............................................................. 6
B. Farmakodinamik ........................................................................................................... 7
 Efek terapeutik ..................................................................................................... 7
 Efek samping ........................................................................................................ 7
 Efek toksik ............................................................................................................ 8
 Reaksi Idiosentrik ................................................................................................. 8
 Reaksi Alergi ......................................................................................................... 8
C. Penggolongan Obat ...................................................................................................... 9
 Berdasarkan jenis obat ......................................................................................... 10
 Berdasarkan mekanisme kerja obat ..................................................................... 14
 Berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian ........................................................ 15
 Berdasarkan cara pemakaian ............................................................................... 15
 Berdasarkan efek yang ditimbulkan ..................................................................... 15
 Berdasarkan daya kerja ........................................................................................ 16
 Berdasarkan asal obat .......................................................................................... 16
D. Bentuk Kemasan Obat .................................................................................................. 16
BAB III PENUTUP ....................................................................................................................... 26
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 26
B. Saran ............................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 27

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

3
Farmakologi berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan). Farmakologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologis.

Perawat berperan penting dalam memberikan obat-obatan sebagai hasil kolaborasi dengan dokter
kepada pasien. Mereka bertanggung jawab dalam pemberian obat – obatan yang aman. Untuk itu,
perawat harus mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan mempertanyakan
perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak jelas atau dosis yang diberikan di luar batas yang
direkomendasikan. Secara hukum perawat bertanggung jawab jika mereka memberikan obat yang
diresepkan dan dosisnya tidak benar atau obat tersebut merupakan kontraindikasi bagi status kesehatan
klien. Sekali obat telah diberikan, perawat bertanggung jawab pada efek obat yang diduga bakal terjadi.

Agar dapat menyusun perencanaan keperawatan atau intervensi yang tepat berkaitan dengan
pemberian obat, perawat hendaknya mempelajari tentang obat-obatan, meliputi konsep dasar
farmasetika, farmakodinamik, farmakokinetik, penggolongan obat berdasarkan sistem tubuh, meliputi
dosis, indikasi-kontra indikasi obat, efek samping dan pertimbangan pemberian obat pada pasien.
Selanjutnya, peran kolaboratif perawat dalam pelaksanaan prinsip farmakologi serta penghitungan dosis,
termasuk bagaimana implikasinya dalam keperawatan juga merupakan hal penting yang harus dikuasai
oleh perawat.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep dasar farmakologi
dan peran perawat dalam pemberian obat.

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan tentang konsep dasar farmakokinetik.

b. Menjelaskan tentang konsep dasar farmakodinamik.

c. Menjelaskan tentang penggolongan obat.

d. Menjelaskan tentang bentuk kemasan obat.

C. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian farmakokinetik?

2. Apa pengertian absorbsi?


4
3. Apa pengertian distribusi?

4. Apa pengertian metabolisme/biotransformasi?

5. Apa pengertian eksresi/eliminasi?

6. Apa pengertian farmakodinamik?

7. Bagaimana efek terapeutik,efek samping, efek toksik, reaksi idiosentrik, dan reaksi alergi ?

8. Apa saja jenis penggolongan obat yang berdasarkan jenis obat, mekanisme kerja obat, tempat.
atau lokasi pemakaian, cara pemakaian, efek yang ditimbulkan, daya kerja, dan asal obat?

9. Bagaimana bentuk kemasan obat?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Farmakokinetik

5
Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai tempat kerjanya,
dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan perawat menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya
ketika memberikan obat, memilih rute pemberian obat, menilai resiko perubahan kerja obat, dan
mengobservasi respons klien.

1. Absorpsi

Absorpsi adalah cara molekul obat masuk ke dalam darah. Kebanyakan obat, kecuali obat yang
digunakan secara topikal untuk memperoleh efek lokal, harus masuk ke dalam sirkulasi sistemik untuk
menghasilkan efek yang terapeutik. Faktor- faktor yang memengaruhi absorpsi obat antara lain rute
pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.

Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat, bergantung
pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat.
Membran mukosa dan saluran napas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa
dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus melewati sistem pencernaan
untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan
absorpsi yang paling cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Daya larut obat yang diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada bentuk atau
preparat obat tersebut. Larutan dan suspensi, yang tersedia dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi
daripada tablet atau kapsul. Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memanjakan zat
kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat.
Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.

Kondisi di tempat absorpsi memengaruhi kemudahan obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Apabila kulit tergores, obat topikal lebih mudah diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogramkan
untuk memperoleh efek lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit.
Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu
yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah. Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung
pada suplai darah dalam jaringan. Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus
mengkaji adanya faktor lokal, misalnya edema, memar, atau jaringan parut bekas luka, yang dapat
menurunkan absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan
subcutan (SC), obat yang diberikan per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat
disuntikkan per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih karena
menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus

6
syok sirkulasi, rute pemberian obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena
menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.

Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan di antara waktu makan. Saat lambung terisi
makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum, sehingga absorpsi obat melambat.
Beberapa makanan dan antasida membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat
melewati lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat
hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan. Selubung
enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam
saluran cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.

Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan. Perawat dapat meminta
obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh bila klien
tidak dapat menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup.
Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu perawat
melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran cerna dapat memengaruhi Ph,
motilitas, dan pengangkutan obat ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat
dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang
diberikan. Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitonin natrium (Dilantin) mengiritasi saluran
cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan. Bagaimanapun, makanan dapat
memengaruhi absorpsi obat, misalnya klokasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan
tersebut harus diberikan seatu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan.
Seblum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau
berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.

2. Distribusi

Setelah diabsorpsi, obat didistribusikan di dalam tubuh ke jaringan dan organ tubuh dan akhirnya
ke tempat kerja obat tersebut. Laju dan luas distribusi bergantung pada sifat fisik dan kimia obat dan
struktur fisiologis individu yang menggunakannya.

 Berat dan Komposisi Badan

Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh tempat
obat didistribusikan. Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa.
Perubahan komposisi tubuh dewasa. Perubaahan komposisi tubuh dapat memengaruhi distribusi obat
7
secara bermakna. Contoh tentang hal ini dapat ditemukan pada klien lansia. Karena penuaan, jumlah
cairan tubuh berkurang, sehingga obat yang dapat larut dalam air tidak didistribusikan dengan baik dan
konsentrasinya meningkat di dalam darah klien lansia. Peningkatan presentase lemak tubuh secara umum
ditemukan pada klien lansia, membuat kerja obat menjadi lebih lama karena distribusi obat di dalam
tubuh lebih lambat. Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam jaringan
tubuhnya, dan efek obat yang dihasilkan makin kuat. Lansia mengalami penurunan masa jaringan tubuh
dan tinggi badan dan seringkali memerlukan dosis obat yang lebih rendah daripada klien yang lebih muda.

 Dinamika Sirkulasi

Obat lebih mudah keluar dari ruang interstisial ke dalam ruang intravaskullar daripada di antar
kompartemen tubuh. Pembuluh darah dapat ditembus oleh kebanyakan zat yang dapat larut, kecuali oleh
partikel obat yang besar atau berikatan dengan protein serum. Konsentrasi sebuah obat pada sebuah
tempat tertentu bergantung pada jumlah pembuluh darah dalam jaringan, tingkat vasolidasi atau
vaskontriksi lokal, dan kecepatan aliran darah ke sebuah jaringan. Latihan fisik, udara yang hangat pada
tempat suntikan intramuskular, akan terjadi vasolidasi yang meningkatkan distribusi obat.

Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier darah-otak hanya
dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke dalam otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem
saraf pusat perlu ditangani dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula
spinalis. Klien lansia dapat menderita efek samping (misal konfusi) akibat perubahan permeabilitas barier
darah-otak karena masuknya obat larut-lemak ke dalam otak lebih mudah. Membran plasenta merupakan
barier yang tidak selektif terhadap obat. Agen yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat
menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk), depresi pernapasan,
dan pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat. Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan
obat selama masa hamil.

 Ikatan Protein

Derajat kekuatan ikatan obat dengan protein serum, misalnya albumin, memengaruhi distribusi obat.
Kebanyakan obat terikat pada protein dalam tingkatan tertentu. Ketika molekul obat terikat pada albumin,
obat tidak dapat menghasilkan aktivitas farmakologis. Obat yang tidak berikatan atau “bebas” adalah
bentuk aktif obat. Lansia mengalami penurunan kadar albumin dalam aliran darah, kemungkinan
disebabkan oleh perubahan fungsi hati. Hal yang sama terjadi pada klien ya ng menderita penyakit hati
atau malnutrisi. Akibatnya, lansia dapat beresiko mengalami peningkatan aktivitas obat, toksisitas obat,
atau keduanya.

8
3. Metabolisme atau Biotransformasi

Setelah mencapai tempat kerjanya, obat dimetabolisasi menjadi bentuk tidak aktif, sehingga lebih
mudah diekskresi. Sebagian besar biotransformasi berlangsung di bawah pengaruh enzim yang
mendetoksifikasi, mengurai (memecah), dan melepas zat kimia aktif secara biologis. Kebanyakan
biotransformasi berlangsung di dalam hati, walaupun paru-paru, ginjal, darah, dan usus juga metabolisme
obat.

Hati sangat penting karena strukturnya yang khusus mengoksidasi dan mengubah banyak zat
toksik. Hati mengurai banyak zat kimia berbahaya sebelum didistribusi ke jaringan. Penurunan fungsi hati
yang terjadi seiring penuaan atau disertai penyakit hati memngaruhi kecepatan eliminasi obat dari tubuh.
Perlambatan metabolisme yang dihasilkan membuat obat terakumulasi di dalam tubuh. Akibatnya, klien
lebih beresiko mengalami toksitas obat. Apabila organ yang berpartisipasi dalam metabolisme obat
mengalami perubahan, klien beresiko mengalami toksisitas obat.

4. Ekskresi

Setelah dimetabolisme, obat keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, usus, paru, dan kelenjar
eksokrin. Struktur kimia sebuah obat menentukan organ yang mengekskresinya. Senyawa gas dan senyawa
volatile (zat yang mudah menguap), misalnya eter, dinitrogen monoksida, dan alkohol keluar melalui paru.
Napas dalam dan batuk membantu klien pascaoperasi mengeliminasi gas aestesi dengan lebih cepat.

Kelenjar eksokrin mengekskresi obat larut lemak. Ketika obat keluar melalui kelenjar keringat, kulit
dapat mengalami iritasi. Perawat membantu klien melakukan prakti hygiene yang baik untuk
meningkatkan kebersihan dan integritas kulit. Apabila obat keluar melalui kelenjar mammae, bayi yang
disusui dapat mengabsorsi zat kimia obat tersebut. Ibu yang menyusui harus meneliti keamanan setiap
obat. Risiko pada bayi yang menerima obat dan risiko pada ibu yang tidak mendapatkan obat harus
dipertimbangkan dengan cermat.

Saluran cerna adalah jalur lain ekskresi obat. Banyak obat masuk ke dalam sirkulasi hati untuk
dipecah oleh hati dan diekskresi oleh empedu. Setelah zat kimia masuk ke dalam usus melalui saluran
empedu, zat tersebut diabsorsi kembali oleh usus. Faktor-faktor yang meningkatkan peristaltik, misalnya
laksatif dan enema, mempercepat obat melalui feses, sedangkan faktor-faktor yang memperlambat
peristaltik, misalnya tidak melakukan aktivitas atau diet yang tidak tepat, memperpanjang efek obat.

9
Ginjal adalah organ utama ekskresi obat. Beberapa obat tidak mengalami metabolisme yang luas
dan masuk ke dalam urine dalam bentuk yang relatif sama. Obat lain menjalani biotransformasi di hati
sebelum diekskresi oleh ginjal. Apabila fungsi ginjal menurun, yang merupakan perubahan yang umum
terjadi dalam penuaan, risiko toksisitas obayt meningkat. Apabila ginjal tidak dapat mengeluarkan obat
secara adekuat, dosis obat akan dieliminasi dengan tepat. Karena struktur kimia dan kerja fisiologinya,
sebuah obat yang dapat menghasilkan lebih dari satu efek.

B. Farmakodinamik

Farmakodinamik merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek fisiologik dan
biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta mekanisme kerjanya.

1. Efek Terapeutik

Efek terapeutik merupakan respons fisiologis obat yang diharapkan atau yang diperkirakan timbul.
Setiap obat yang diprogramkan memiliki efek terapeutik yang diinginkan. Contoh, perawat memberi
kodein fosfat untuk menciptakan efek analgesik dan memberi teofilin untuk mendilatasi bronkiolus
pernapasan yang menyempit. Pengobatan tunggal dapat menghasilkan banyak efek yang terapeutik.
Contoh, aspirin berfungsi sebagai analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi, dan menurunkan agregasi
(gumpalan) trombosit.

2. Efek Samping

Sebuah obat yang diperlukan efek sekunder yang tidak diinginkan. Efek samping ini mungkin tidak
berbahaya, atau bahkan menimbulkan cedera. Contoh, penggunaan kodein fosfat dapat membuat seorang
klien mengalami konstipasi dan penggunaan teofilin dapat membuat klien sakit kepala dan pusing. Efek
samping ini dapat dianggap tidak berbahaya. Namun, digoksin dapat mengakibatkan disaritma jantung,
yang dapat menyeabkan kematian. Apabila efe samping cukup serius hingga menghilangkan efek
terapeutik obat, dokter dapat menghentikan pemberian obat. Akibat efek samping tersebut, klien
seringkali berhenti meminum obatnya tanpa mengkonsultasikannya ke tenaga kesehatan.

3. Efek Toksik

Umumnya, efek toksik terjadi setelah klien meminum obat berdosis tinggi dalam jangka waktu
lama, setelah lama menggunakan obat yang ditujukan untuk aplikasi eksternal, atau setelah suatu obat
10
berakumulasi di dalam darah akibat kerusakan metabolisme atau ekskresi. Satu dosis obat dapat
menimbulkan efek toksik pada beberapa klien. Jumlah obat yang berlebihan di dalam tubuh dapat
menimbulkan efek yang mematikan, bergantung pada kerja obat. Contoh, morfin, sebuah analgesik
narkotik, meredakan nyeri dengan menekan susunan saraf pusat. Bagaimanapun, kadar toksik morfin
menyebabkan depresi, pernapasan yang berat, dan kematian.

4. Reaksi Idiosinkratik

Obat dapat menyebabkan timbul efek yang tidak diperkirakan, misalnya Reaksi Idiosinkratik, yang
meliputi klien bereaksi berlebihan, tidak bereaksi, atau bereaksi tidak normal terhadap obat. Contoh,
seorang anak yang menerima antihistamin ( contohnya, Benadryl) menjadi sangat gelisah atau sangat
gembira, bukan mengantuk. Adalah tidak mungkin memperkirakan klien mana yang akan mengalami
respons Idionsikratik.

5. Reaksi Alergi

Reaksi Alergi adalah respons lain yang tidak dapat diperkirakan terhadap obat. Dari seluruh reaksi
obat, 5% sampai 10% merupakan reaksi alergi. Kekebalan tubuh seseorang dapat tersensitisasi terhadap
dosis awal obat. Apabila obat diberikan secara berulang kepada klien, ia akan mengalami respons alergi
terhadapat, zat pengawet obat, atau metabolidnya. Dalam hal ini obat atau zat kimia bekerja sebagai anti
gen, memicu pelepasan anti bodi.

Alergi obat dapat bersifat ringan atau berat. Gejala alergi bervariasi, bergantung pada individu dan
obat. Contoh, antibiotik dapat menimbulkan aksi alergi. Gejala alergi yang umum timbul dirangkum pada
Tabel 35-4. Reaksi yang berat atau reaksi anafilaksis ditandai oleh konstriksi (pengecilan otot bronkioulus,
edema faring dan laring, mengi berat, dan sesak napas).

Tabel 35-4 Reaksi Alergi Ringan


Gejala Deskripsi
Urtikaria Erupsi kulit yang bentuknya tidak beraturan, meninggi, ukuran, dan bentuk
bervariasi ; erupsi memiliki batas berwarna merah dan bagian tengahnya
berwarna pucat.
Ruam Vesikel kecil dan meninggi yang biasanya berwarna merah ; seringkali tersebar di
11
seluruh tubuh.
Pruritus Gatal-gatal pada kulit, kebanyakan timbul bersama ruam.

Rintis Inflamasi lapisan membran mukosa hidung ; menimbulkan bengkak dan


pengeluaran rabas encer dan berair.

Klien juga dapat mengalami hipotensi berat, sehingga membutuhkan resusitasi darurat. Klien yang
mengalami riwayat alergi terhadap obat tertentu harus menghindari, penggunaan berulang obat tersebut,
dan setelah sadar, klien harus mengenakan gelang atau kalung identifikasi, sehingga perawat dan dokter
dapat mengetahui klien tersebut alergi terhadap obat tertentu.

C. Penggolongan Obat

Ilmu Farmasi menggolongan obat secara luas dibedakan berdasarkan beberapa hal yaitu :

1. Penggolongan Obat Berdasarkan Jenis

 Obat Bebas

Logo Obat Bebas

12
Obat bebas atau dapat disebut juga obat OTC (Over The Counter) merupakan obat yang dapat
dijual secara bebas baik di toko-toko obat atau apotek dan dapat beli tanpa harus menggunakan resep
dokter.

Zat aktif yang terkandung didalamnya cenderung relative aman dan memiliki efek samping yang
rendah. Selama dikonsumsi sesuai dengan petunjuk dan dosis yang tertera pada kemasan, Anda tidak
memerlukan pengawasan dokter untuk mengonsumsinya.

Obat yang termasuk golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan tepi hitam
terdapat pada kemasan. Umumnya, obat bebas digunakan untuk mengobati penyakit yang termasuk
kategori ringan, seperti pusing, flu, maupun batuk atau dapat berupa suplemen nutrisi dan multivitamin.
Contoh : Obat Bebas seperti Parasetamol dan Livron B Plex.

 Obat Bebas Terbatas

Logo Obat Bebas Terbatas

Sama halnya dengan obat bebas, obat bebas terbatas dapat pula disebut obat OTC (Over The
Counter), yakni merupakan obat yang sebenarnya termasuk obat keras namun dalam jumlah tertentu
masih dapat dijual di apotek dan dapat dibeli tanpa resep dari dokter.

Sebelumnya, golongan obat ini disebut dengan daftar W. “W” dalam bahasa Belanda adalah
singkatan dari kata “Waarschuwing” yang artinya peringatan. Jika Anda melihat kemasan obat dengan
tanda lingkaran berwarna biru dan bertepi hitam, ini menandakan bahwa obat tersebut tergolong obat
bebas terbatas. Selain itu, disertai pula tanda peringatan pada kemasannya, seperti berikut

13
Golongan obat bebas terbatas dapat digunakan untuk mengobati penyakit yang kategorinya ringan
hingga cukup serius. Namun, ada baiknya jika Anda tidak lekas sembuh setelah mengkonsumsi obat ini,
berhentilah dan segera periksa ke dokter. Contoh obat bebas terbatas yaitu, Antimo, Noza, dan CTM.

 Obat Keras

Logo Obat Keras

Obat keras dahulu disebut golongan obat G. “G” adalah singkatan dari “Gevarlijk” yang artinya
berbahaya. Berbahaya disini dimaksudkan jika pemakaiannya tidak berdasarkan resep dokter karena
dikhawatirkan dapat memperparah penyakit, meracuni tubuh, bahkan menyebabkan kematian.

Obat keras tidak dapat Anda beli dengan bebas di apotek melainkan harus menggunakan resep dokter.
Contoh obat keras misalnya, seperti asam mefenamat. Kemasan pada golongan obat keras ditandai
dengan lingkaran berwarna merah dan bertepi hitam yang terdapat huruf K didalamnnya. Umumnya yang
termasuk golongan obat ini, yakni: obat generik, obat wajib apotek (OWA), antibiotik, seperti

14
penisilin, tetrasiklin, sefalosporin, ampisilin, dan sebagainya. Obat – obatan yang mengandung hormon,
seperti obat penenang, obat diabetes, dan lainnya.

 Obat Psikotropika

Logo Obat Psikotropika

Psikotropika merupakan zat atau obat yang secara alamiah maupun sintentesis bukanlah golongan
narkotika. Efek yang dimiliki psikotropika dapat mempengaruhi susunan sistem saraf pusat (SPP) sehingga
dapat menimbulkan perubahan yang khas terhadap mental dan perilaku bagi orang yang
mengonsumsinya. Bukan hanya itu, psikotopika juga dapat menyebabkan halusinasi, gangguan pada cara
berpikir, mengurangi rasa nyeri dan sakit, serta dapat menimbulkan ketergantungan bagi pemakainya.
Contoh obat atau zat yang tergolong psikotropika antara lain seperti, phenobital, diazepam, sabu – sabu,
serta ekstasi.

Obat-obatan atau zat-zat yang termasuk psikotropika hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.
Mengingat efek yang ditimbulkan cukup berbahaya, janganlah mengonsumsinya tanpa pengawasan dari
dokter karena jika penggunaannya tidak sesuai dapat berpotensi merusak organ-organ pada tubuh kita.

Dikarenakan psikotropika merupakan golongan obat keras maka penandaan pada kemasannya pun
sama dengan Obat Keras yaitu ditambah lingkaran berwarna merah dan bertepi hitam huruf K
didalamnnya.

 Golongan Macam-Macam Jenis Psikotropika

Berdasarkan UU RI No. 5 Tahun 1997, psikotropika dibagi kedalam empat macam golangan, antara
lain :

I. Psikotropika Golongan I

Psikotropika yang termasuk golongan I terdiri dari 26 macam, mulai dari psilobina, etisiklidina,
tenosiklidina, brolamfetamin, dll. Psikotropika golongan I merupakan psikotropika yang hanya dapat
dipakai untuk keperluan ilmu pengetahuan namun tidak dapat digunakan dalam terapi. Karena

15
Psikotropika yang ada pada golongan ini memiliki potensi yang sangat kuat untuk mengakibatkan sindrom
ketergantungan.

II. Psikotropika Golongan II

Golongan II terdiri dari psikotropika yang berkhasiat dalam pengobatan, dapat digunakan untuk
terapi maupun ilmu pengetahuan. Namun, tetap saja berpotensi cukup kuat untuk menimbulkan sindrom
ketergantungan. Contoh Psikotropika golongan II ini terdiri dari 14 macam, mulai dari deksanfetamin,
amfetamin, metamfetamin, levamfetamin, dll.

III. Psikotropika Golongan III

Psikotropika golongan ini banyak digunakan untuk terapi dan keperluan ilmu pengetahuan serta
berkhasiat dalam pengobatan. Potensi yang dimiliki untuk mengakibatkan sindrom ketergantungan adalah
sedang. Psikotropika yang termasuk golongan III terdiri dari 9 macam, mulai dari siklobarbital, amobarbital,
pentobarbital, butalbital, dan sebagainya.

IV. Psikotropika Golongan IV

Golongan IV terdiri dari psikotropika yang sangat banyak digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan terapi. Selain itu juga berkhasiat dalam pengobatan. Potensi yang dimiliki untuk menimbulkan sindrom
ketergantungannya pun ringan. Psikotropika pada golongan ini terdiri dari 60 macam, mulai dari diazepam,
bromazepam, allobarbital, nitrazepam, dan sebagainya.

 Obat Narkotika

Logo Obat Narkotika

Narkotika adalah obat-obatan yang dapat berasal dari tanaman maupun tidak, baik berupa sintesis
ataupun semi sintetis. Narkotika dapat menyebabkan beberapa pengaruh bagi orang yang
mengonsumsinya, seperti mampu mengurangi rasa sakit dan nyeri, menurunkan atau merubah tingkat
kesadaran, hilangnya rasa, serta menimbulkan efek ketergantungan. Sementara itu, untuk jenis obat –
obatan narkotika ditandai dengan lambang “Palang Mendali Merah”. Penggolongan narkotika menurut UU
RI No. 35 Tahun 2009, Golongan narkotika dibagi menjadi tiga , yaitu:

I. Narkotika Golongan I
16
Golongan I terdiri atas narkotika yang hanya digunakan dalam kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan, tidak dapat dipakai dalam terapi, dan memiliki potensi yang sangat tinggi guna
menimbulkan ketergantungan. Contoh Narkotika Golongan I misalnya, opium mentah, tanaman ganja,
tanaman Papaver Somniferum L, maupun heroina.

II. Narkotika Golongan II

Narkotika yang termasuk golongan II ialah narkotika yang dapat dipakai dalam terapi dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Ditambah dapat digunakan sebagai pilihan terakhir dalam pengobatan
namun memiliki berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan. Contohnya yakni opium, tebakon,
morfina, tebaina, ataupun peptidina.

III. Narkotika Golongan III

Narkotika yang termasuk dari golongan III, antara lain nikokodina, kodeina, maupun nikodikodina.
Narkotika Golongan III ini terdiri dari narkotika yang dapat berguna dalam tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan, dipakai untuk terapi, serta berkhasiat dalam pengobatan dan memiliki potensi yang ringan
untuk menimbulkan efek ketergantungan.

2. Penggolongan Obat Berdasarkan Mekanisme Kerja Obat

Dibagi menjadi 5 jenis penggolongan antara lain:

a. Obat yang bekerja pada penyebab penyakit, misalnya penyakit akibat bakteri atau
mikroba, contoh antibiotic.

b. Obat yang bekerja untuk mencegah kondisi patologis dari penyakit contoh vaksin, dan
serum.

c. Obat yang menghilangkan simtomatik/gejala, meredakan nyeri contoh analgesic.

d. Obat yang bekerja menambah atau mengganti fungsi fungsi zat yang kurang, contoh
vitamin dan hormon.

e. Pemberian placebo adalah pemberian obat yang tidak mengandung zat aktif, khususnya
pada pasien normal yang menganggap dirinya dalam keadaan sakit. contoh aqua pro injeksi
dan tablet placebo.Selain itu dapat dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, seperti
obat antihipertensi, kardiak, diuretik, hipnotik, sedatif, dan lain lain.

3. Penggolongan Obat Berdasarkan Tempat atau Lokasi Pemakaian


17
Penggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian dibagi menjadi 2 golongan:

a. Obat dalam yaitu obat obatan yang dikonsumsi peroral, contoh tablet antibiotik,
parasetamol tablet.

b. Obat luar yaitu obat obatan yang dipakai secara topikal/tubuh bagian luar, contoh sulfur,
dll.

4. Penggolongan Obat Berdasarkan Cara Pemakaian

Dibagi menjadi beberapa bagian, seperti:

a. Oral: obat yang dikonsumsi melalui mulut kedalam saluran cerna, contoh tablet, kapsul,
serbuk, dll.

b. Perektal: obat yang dipakai melalui rektum, biasanya digunakan pada pasien yang tidak
bisa menelan, pingsan, atau menghendaki efek cepat dan terhindar dari pengaruh pH
lambung, FFE di hati, maupun enzim-enzim di dalam tubuh.

c. Sublingual: pemakaian obat dengan meletakkannya dibawah lidah., masuk ke pembuluh


darah, efeknya lebih cepat, contoh obat hipertensi : tablet hisap, hormon-hormon.

d. Parenteral: obat yang disuntikkan melalui kulit ke aliran darah. baik secara intravena,
subkutan, intramuskular, intrakardial.

e. Langsung ke organ, contoh intrakardial.

f. Melalui selaput perut, contoh intra peritoneal.

5. Penggolongan Obat Berdasarkan Efek yang Ditimbulkan

Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan dibagi menjadi 2:

a. Sistemik: obat/zat aktif yang masuk kedalam peredaran darah.

b. Lokal : obat/zat aktif yang hanya berefek/menyebar/mempengaruhi bagian tertentu


tempat obat tersebut berada, seperti pada hidung, mata, kulit, dll.

6. Penggolongan Obat Berdasarkan Daya Kerja

18
Penggolongan obat berdasarkan daya kerja atau terapi dibagi menjadi 2 golongan:

a. Farmakodinamik: obat obat yang bekerja mempengaruhi fisilogis tubuh, contoh hormon
dan vitamin.

b. Kemoterapi: obat obatan yang bekerja secara kimia untuk membasmi parasit/bibit
penyakit, mempunyai daya kerja kombinasi.

7. Penggolongan Obat Berdasarkan Asal Obat

Penggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara pembuatannya dibagi menjadi 2:

a. Alamiah: obat obat yang berasal dari alam (tumbuhan, hewan dan mineral)

tumbuhan: jamur (antibiotik), kina (kinin), digitalis (glikosida jantung) dll

hewan: plasenta, otak menghasilkan serum rabies, kolagen.

mineral: vaselin, parafin, talkum/silikat, dll

b. Sintetik : merupakan cara pembuatan obat dengan melakukan reaksi-reaksi kimia,

contohnya minyak gandapura dihasilkan dengan mereaksikan metanol dan asam salisilat.

D. Bentuk Kemasan Obat

Kemasan adalah wadah, tutup dan selubung sebelah luar. Kemasan dapat mempengaruhi
stabilitas dan mutu produk akhir. Untuk menjamin stabilitas dari produk ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh bahan kemas primer karena kontak langsung dengan produk baik cair, padat, semi padat.
Bahan kemas primer adalah bahan kemas yang kontak langsung dengan bahan yang dikemas-produk
antara lain: strip/ blister, botol, ampul, vial, plastik dan lain-lain. Bahan kemas sekunder adalah
pembungkus selanjutnya, biasanya dikenal dengan inner box. Bahan kemasan primer adalah pembungkus
setelah sekunder biasanya berupa outer box. Untuk menjamin stabilitas produk, harus ditetapkan syarat
yang sangat tegas terhadap bahan kemas primer, yang seringkali menyatu dengan seluruh bahan yang
diisikan baik berupa cairan dan semi padatan. Bahan kemas sekunder pada umumnya tidak berpengaruh
terhadap stabilitas.

Material yang digunakan memiliki sifat yang berbeda. Contohnya gelas, porselen, logam, produk
selulosa (kertas, lem, gelas sel). Jenis gom, gabus, bahan sintetis dan lain-lain. Sebagai jenis pengemas

19
khusus adalah kemasan pengaman bagi anak-anak. Jenis ini berfungsi untuk menghalangi atau
menyulitkan pengambilan obat oleh anak kecil, sehingga bahaya keracunan obat dapat dihindari. Syarat ini
direalisasikan misalnya pada larutan tetes melalui mekanisme penutup ganda. Kemasan sekali pakai
diistilahkan dengan kemasan satu dosis. Bahan pengemas yang biasa digunakan sebagai sediaan steril
yaitu gelas, plastik, elastik/karet, dan metal/logam.

Bahan pengemas yang biasa digunakan sebagai sediaan steril yaitu

1. Gelas

Gelas merupakan salah satu bahan pengemas yang pada dasarnya bersifat inert secara kimiawi,
tidak permeable, kuat, keras, dan disetujui FDA. Gelas tidak menurun mutunya pada penyimpanan dan
dengan sistem penutupan yang sekucupnya dapat menjadi suatu penghalang yang sangat baik terhadap
hampir semua unsur kecuali cahaya. Gelas diperoleh melalui leburan bersama dari soda, batu kapur dan
kuarsa, merupakan suatu leburan dingin serta terdiri dari kisi SiO4- tetraeter, yang terdeposit didalam
ruang-ruang antar ion Na+ dan Cl- . gelas kapur natrium normal terdiri 75% SiO2. 15% Na2O dan 10% CaO.
Kualitas gelas yang berbeda ditandai oleh kelas hidrolitik atau kompleks resistensi. Melalui proses
manipulasi permukaan, resistensi hidrolitik gelas dapat sangat diperbaiki (dikompenansi). Pelepasan alkali
sangat dikurangi air (diuapi) pada suhu tinggi. Gelas berwarna yang digunakan untuk menyimpan bahan
obat peka cahaya, diperoleh melalui penambahan logam oksida. Kekurangan utama gelas sebagai bahan
pengemas adalah mudah pecah dan berat.

Gelas yang digunakan untuk mengemas sediaan farmasi digolongkan menjadi 4 katagori,
tergantung pada bahan kimia gelas tersebut dan kemampuan untuk mencegah penguraian, antara lain :

Gela Komposisi Sifat-sifat Aplikasi

20
s

Tipe Borosilikat Resistensi terhadap Sediaan parenteral asidik


1 hidrolisis dan netral, bisa juga untuk
tinggi,eksporasi termal sediaan alkali yang sama
rendah

Tipe Kaca soda Resistensi hidrolitik Sediaan parenteral asidik


II kapur relatif tinggi dan netral, bisa juga untuk
(diperlukan sediaan alkalin yang sesuai
dealkalisasi)

Tipe Kaca soda Sama dengan tipe II, Cairan anhidrat dan
III kapur (tidak tapi dengan pelepasan produk kurang, sediaan
mengalami oksida parenteral jika sesuai
perlakuan

Tipe Kaca soda Resistensi hidrolitik Hanya digunakan


NP kapur sangat rendah untuksediaaan non
(penggunaan parenteral (oral, tipikal,
umum) dsb)

Kemasan gelas/kaca mempunyai sifat sebagai berikut : tembus pandang, kuat, mudah dibentuk,
lembam, tahan pemanasan, pelindung terbaik terhadap kontaminasi dan flavor, tidak tembus gas, cairan
dan padatan, dapat diberi warna, dapat dipakai kembali (returnable), relatif murah (Stefanus, 2006).

Macam-macam bentuk kemasan gelas/ kaca yaitu :

 Botol (leher tinggi, mulut sempit)

 Jar (leher pendek, mulut lebar)

 Tumbler (tanpa leher dan finish)

 Jugs (leher pendek, ada pegangan)

 Vial dan ampul (ukuran kecil, untuk obat/bumbu/zat kimia, dll.)

21
Pelepasan alkali dari gelas dapat ditentukan melalui cara yang berlainan. Untuk maksud tersebut
dapat digunakan dua metode : metode serbuk gelas (metode lumatan) dan metode permukaan. Pada
metode serbuk gelas, gelas diserbukan, disuspensikan dalam aseton. Setelah ditambahkan air harus
dilakukan pemanasan dalam autoklaf dan ditetesi larutan indicator (merah metil) kemudian dititrasi
dengan asam hidroklorida. Pada metode permukaan, wadah gelas yang diisikan dengan air bebas CO2 dan
mengandung sejumlah asam hidroklorida atau asam sulfat tertentu dan merah metal sebagai indicator.
Setelah disterilkan wadah tertutup dalam autoklaf tidak boleh menghasilkan perubahan warna (Voight,
1995).

2. Plastik

Plastik merupakan padatan, terdiri dari molekul tinggi yang dominan, zat organic, bahan yang
dapat berubah bentuk secara praktis pada kondisi tertentu atau juga barang yang dibuat dari padanya.
Plastik dapat dibedakan atas termoplastik (misalnya harsa, fenol, poliester) dan duroplastik. Termoplastik
menjadi plastis jika dipanaskan dan dalam keadaan seperti ini dapat dibentuk menjadi kerangka dasar yang
dikehendaki. Pada saat pendinginan, material membeku dan bentuknya stabil. Duroplastik produk awal
yang belum terajut, dikempa dalam cetakan yang dipanaskan, dimana terjadi perajutan dan pengerasan
akibat reaksi kimia kemudian memperoleh bentuk akhirnya (Voight, 1995).

Penggunaan plastik sebagai pengemas pangan dan obat terutama karena keunggulannya dalam
hal bentuknya yang fleksibel sehingga mudah mengikuti bentuk pangan yang dikemas, berbobot ringan,
tidak mudah pecah, bersifat transparan/tembus pandang, mudah diberi label dan dibuat dalam aneka
warna, dapat diproduksi secara massal, harga relative murah dan terdapat berbagai jenis pilihan bahan
dasar plastik. Walaupun plastik memiliki banyak keunggulan, terdapat pula kelemahan plastik bila
digunakan sebagai kemasan pangan, yaitu jenis tertentu (misalnya PE, PP, PVC) tidak tahan panas,

22
berpotensi melepaskan migran berbahaya yang berasal dari sisa monomer dari polimer dan plastik
merupakan bahan yang sulit terbiodegradasi sehingga dapat mencemari lingkungan (Anonim, 2010).

Menurut pembentukannya dapat dibedakan bahan pada sintesis produk polimerisasi, poliadisi dan
polikondensasi. Pada polimerisasi, monomer, senyawa asal tak jenuh. Produk polimerisasi misalnya
polietilen, polipropilen, polivinil klorida. Melalui poliadisi dapat terbentuk antara lain poliuretan dan harsa
epoksida. Pada proses polikondensasi perajutan dua molekul monomer berlangsung secara kontinyu
dengan diikuti pembentukan produk reaksi molecular rendah (misalnya HCI, NaCI, NH3, H2O). Secara
umum senyawa polikondensat dan poliadisi lebih cocok digunakan untuk kepentingan medisin dan
farmasetik daripada polimerisat, oleh karena itu hanya sedikit atau bahkan tidak memerlukan bahan
tambahan, sehingga toksisitas hanya bersumber dari bahan asalnya (Anonim, 2006).

Plastik yang digunakan sebagai wadah produk sediaan farmasi umumnya terbuat dari, polimer-
polimer. Contohnya polietilen, polietilen tereftalat (PET) dan polietilen tereftalat, polipropilen (PP), polivinil
khlorida (PVC).

a. Polietilen

Digunakan untuk bentuk sediaan oral kering yang tidak akan direkonstitusi menjadi bentuk larutan.

b. Polietilen tereftalat (PET) dan polietilen tereftalat

PET adalah polimer kondensasi berbentuk kristalin yang dibuat dari reaksi asam tereftalat dengan
etilenglikol, digunakan terutama sebagai kemasan minuman berkarbonatasi dan untuk pengemasan
sediaan oral.

c. Polipropilen (PP)

PP adalah polimer yang termasuk poliolefin, dibuat melalui cara polimerisasi propilen. Digunakan untuk
pengemasan padat kering atau sediaan cair oral.

d. Polivinil khlorida (PVC)

PVC adalah salah satu kemasan obat yang umum digunakan di Amerika Serikat setelah HDPE. Digunakan
terutama untuk bentuk kemasan kaku dan produksi film (sebagian besar sebagai kantong untuk cairan
intravena).

Pembuatan polimer tinggi sering membutuhkan katalisator dan pengendali polimerisasi. Oleh
karena itu secara umum diperlukan tambahan bahan pembantu untuk menghasilkan material plastic yang
sesuai dengan tujuan penggunaanya. Pembuatan lunak bahan ini digunakan untuk menghasilkan
plastisitas, elastisitas dan fleksibilitas yang diperlukan. Yang tergolong dalam bahan ini antara lain gliserrol,
23
glikol, alcohol tinggi, ester dari asam dikarboksilat (asam ftalat, asam adipat, asam sebasinat). Beberapa
faktor yang menyebabkan industri farmasi semakin banyak menggunakan wadah plastic antara lain :

 Jika dibandingan dengan wadah gelas, wadah plastic beratnya lebih ringan dan lebih tahan
terhadap benturan sehingan biaya pengangkutan lebih murah dan resiko wadah pecah lebih kecil.

 Desain wadahnya beragam dan penerimaan pasien terhadap wadah plastic cukup baik.

 Penggunaan wadah plastic relative efektif. Dalam bentuk botol plastic yang dapat dipencet dapat
menyebabkan wadah berfungsi ganda baik sebagai pengemas maupun sebagai aplikator sediaan-
sediaan seperti obat mata, obat hidung, dan lotio (Dhadhang, WK., Teuku, NSS. 2012).

Penggunaan plastik pada bidang farmasetik dan medisin mensyaratkan pemahaman akan sifat
material serta juga pengamatan kemungkinan terjadinya antaraksi dengan bahan yang diisikan, oleh
karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu sifat mekanik (misalnya pada wadah yang kaku
atau fleksibel), sifat optik (pada zat pekat cahaya), kemantapan terhadap suhu dan tekanan, yang berkaitan
dengan permeabilitas gas uap air dan bahan penguap. Disamping itu, banyaknya kemugkinan antraksi
antara meterial pengemas dan bahan yang diisikan tergantung dari sifat fisika dan bahan kimia yang
diisikan, sifat kimia dan fisika materi pengemas, ukuran dan luas permukaan yang kontak dari bahan yang
diisikan dan bahan pengemas, lama kontak dan suhu (Goeswin, 2009).

Syarat bahan sintetis yang digunakan secara farmasetik,yaitu :

 Material plastik harus sedemikian tebal, sehingga lintasan untuk mikroorganisme tidak
dimungkinkan, dan sebaiknya tidak permeabel untuk uap dan gas.

 Harus dapat disterilkan; jika mungkin dalam keadaan kosong maupun terisi.

 Tidak boleh membebaskan bahan asing kedalam kandungannya (absorbsi, absorbsi). Komponen
toksis atau komponen lain dari bahan sintetis yang dapat bermigrasi kedalam kandungan harus
serendah mungkin, sehingga tidak bersifat merusak.

 Sebaiknya menunjukan kemantapan absolut terhadap bahan obat,bahan pembantu galenik dan
bahan pelarut semua jenis.

 Tidak boleh menimbulkan perubahan konsentrasi. Yang mempengaruhi efek terapetik dari
preparat.

 Bahan sintetis untuk wadah larutan injeksi, mengingat kontrol pengamatan yang dilakukan.harus
memiliki transparansi yang baik.

24
 Bahan sintetis, tergantung tujuan penggunaannya harus mempunyai elastisitas yang memuaskan.
Kekompakan tekan atau mantap terhadap koyakan dan penuaan.

 Bahan sintetis harus dapat dilas dengan baik, dan dapat dibuat dengan murah .

3. Elastik

Elastik adalah bahan yang berbentuk dari zat-zat organik, padat, didominasi oleh polimer tinggi,
yang menunjukan sifat seperti karet elastis contohnya tutup botol infus (Goeswin,2009). Elastik ini terbuat
dari produk karet alam, karet sintesis dan bahan sejenis karet. Elastisitas karet memiliki gaya tarik yang
relatif rendah sehingga akan terjadi peregangan yang kuat. Elastik dalam keadaan tidak meregang adalah
amorf, pada saat meregang muncul sifat kristalinitasnya (Lukas,2006).

Bahan karet seperti produk karet sintesis dapat divulkanisasi hal ini untuk memperoleh
elastisitasnya, contohnya vulkanisasi karet mentah dengan penambahan belerang dan pemanasan. Pada
proses pembuatan terdapat bahan-bahan pembantu diantaranya :

1. Katalisator : Senyawa ini mempercepat proses polimerisasi ( misalnya peroksida sebagai suplier
oksigen).

2. Pempercepat vulkanisasi : senyawa yang digunakan yaitu senyawa nitrogen organik atau belerang
seperti amin sekunder, santogenat, ditiokarbamat, tiazol atau bahan anorganik, seperti magnesium
oksida, kalsium hidroksida, antimon trisulfida, atau antimon pentasulfida.

3. Inhibitor : senyawa yang berfungsi sebagai penghambat proses vulkanisasi yang dapat
dikendalikan setelah mencapai kekerasan karet yang dikehendaki (misalnya garam timbal,nikel dan
besi).

4. Stabilisator atau bahan pelindung proses penuaan contoh senyawa fenol.

5. Modifikator : senyawa yang berfungsi untuk memperbaik bentuk dan kualitas dari produk,
contohnya bahan pengeras, parafin cair, pengedap pori dsb.

6. Bahan pengisi : senyawa ini digunakan untuk memperbaiki sifat mekanis contoh pasir, asbes dsb.

7. Bahan pewarna, bahan pelindung cahaya, bahan penutup bau dan bahan anti terbakar

Jenis-jenis elastik antara lain :

a. Karet alam

25
Karet mentah terdiri dari hidrokarbon 93,3-93,6 %. Seluruh jenis karet alam merupakan polisopren dengan
rumus kimia(C5H8)n dengan konfigurasi cis- 1,4 yang jumlahnya nyaris 100% dan memiliki berat molekul
antara 300.000 dan 700.000 Karet mentah diperoleh dari lateks ( getah) Hevea brasiliensis dan
Euphorbiaceae lainnya. Tumbuhan penghasil penghasil karet juga termasuk famili Apocyaceae, Moraceae
dan Compositae.

b. Produk perubahan dari karet alam

 Karet klor diperoleh melalui pengklorinasian karet mentah dalam karbon tetraklorida pasa suhu
80-110 oC. Kandungan klor berjumlah sampai 65 % pada suhu di atas 80 oC terjadi
penguraian(pemisahan HCl). Keuntungannya terletak pada kekerasannya, tidak mudah terbakar dan
memiliki kualitas yang lebih baik dalam alkali dan asam.

 Karet siklo merupakan produk siklinisasi yang terbentuk melalui pemanasan karet mentah dengan
asam sulfonilat atau sulfoklorida. Karet siklo stabil terhadap lemak, asam encer, dan alkali, akan tetapi
rusak oleh hodrokarbon alifatik dan aromatik. Digunakan untuk membuat salutan pada material
wadah.

 Karet sintetis memiliki kemiripan dengan karet alam dalam bangun kimianya atau sifat fisika
kimianya. Karet jenis ini juga digunakan dalam campuran dengan karet alam.

Produk ini mempunyai daya tahan mekanis yang baik, permeabilitas uap air dan gas yang cukup, serta
stabilitas yang baik terhadap minyak lemak dan parafin.

a. Poliklorbutadiena (karet kloropren)

Pembuatannya berlangsung melelui polimerisasi dari kloropren (2-klor-1,3-butadiena). Produk ini memiliki
kekerasan yang besar, stabil terhadap pengaruh oksidatif, minyak mineral, minyak lemak, asam dan basa
encer. Permeabilitas air dan gasnya, rendah. Mereka melunak sejak suhu kira-kira 600C.

b. Polisopren(karet isopren, karet metil)

Sifat dan penggunaannya identik dengan karet alam. Polisorpen terbentuk melalui polimerisasi dari
isoprene.

c. Polisobutilen (karet butil)

Karet butil diperoleh melalui polimerisasi campuran dari isobutan (97 %) dengan sedikit isopren atau
butadiena dalam metilen klorida pada suhu sekitar -100°C.

26
d. Karet polisulfida

Tieolastik merupakan polikondensat dari alkalipolisulfpida dan dihalogenida alifatik. Mereka memiliki
stabilitas pembengkakan terhadap bahan pelarut, stabil terhadap penuaan dan oksidasi, dan kekompakan
mekanisnya relatif rendah.

e. Karet silicon

Karet silikon stabil terhadap minyak dan lemak serta tidak peka suhu. Permeabilitas gasnya, sangat tinggi.
Digunakan antara lain untuk material selang medicine, farmasi dan material tutup serta bagian sintetis
untuk implantasi.

f. Poliuretan

Poliuretan ini mirip karet diperoleh melalui penggantian diisosianat dengan poliester rantai panjang,
mengandung gugus hidroksil dan diakhiri dengan perajutan. Sifatnya tidak stabil terhadap asam, basa dan
air mendidih, tetapi kompak terhadap minyak dan gesekan yang tinggi (Anonim,1995).

4. Metal

Penggunaan metal pada produk sediaan farmasi ini relatif terbatas. Metal ini digunakan sebagai
material kemasan yang memiliki bentuk dan sifat yang sukar diganti dengan kemasan lain walupun metal
ini mudah teroksidasi dan membentuk koosi . Metal yang biasa digunakan yaitu timah, aluminium dan
baja. Kegunaan dari masing-masing metal :

1. Timah sering digunakan untuk produksi kaleng erosol dengan cara electroplating menjadi bentuk
lembaran baja untuk meningkatkan resistensi terhadap korosi dan untuk memfasilitasi penyolderan.

2. Aluminium digunakan dalam bentuk murni sebagai foil. Sering aluminium foil digunakan sebagai
lapisan impermeable dalam laminat multilapis yang dapat menyertakn pula kertas dan plastic. Foil
aluminium dapat dibentuk menjadi kontener kaku, kontener semi kaku, konstruksi olister atau laminat.

3. Baja ini sering digunakan untuk kemasaan atau wadah penampung yang besar.

Metal dibentuk menjadi sistem penghantaran obat yang lebih kompleks,seperti inhaler sustained
release, inhaler serbuk kering, alat untuk pemberian aerosol, bahkan jarum yang siap untuk digunakan.

27
Kelebihan dan kekurangan metal :

1. Kelebihannya dapat digunakan untuk membuat tromol atau drum, ruahan material dimana
diperlukan kekuatan yang besar. Metal dapat pula dibentuk menjadi silinder bertekanan tinggi untuk
menyimpan produk gas.

2. Kekurangan utama dari metal terikat dengan biaya dan control kualitas. Metal lebih mahal
harganya, dan lebih sulit untuk dibentuk menjadi kemasan yang dapat dimanfaatkan. Untuk bentuk foil
(lembaran tipis), banyak dihasilkan kemasan cacat dikarenakan adanya lubang halus yang terbentuk
selama proses manufacturing sehingga sifatnya sangat tidak menguntungkan sebagai penghalang
(terutama pada foil yang sangat tipis).

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dapat dismpulkan bahwa:

1. Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai tempat kerjanya,
dimetabolisme, dan keluar dari tubuh.

2. Farmakodinamik merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek fisiologik dan biokimiawi
obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta mekanisme kerjanya.

3. Obat: Obat adalah setiap zat kimia (alami maupun sintetik) yang selain makanan yang mempunyai
pengaruh atau menimbulkan efek terhadap organisme hidup, baik efek psikologis, fisiologis maupun
biokimiawi

4. Ilmu Farmasi: Penggolongan obat secara luas dibedakan berdasarkan beberapa hal, diantaranya :

a. Penggolongan obat berdasarkan jenisnya.

b. Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat.

c. Penggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian.

d. Penggolongan obat berdasarkan cara pemakaian.

e. Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan.

f. Penggolongan obat berdasarkan daya kerja atau terapi.

g. Penggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara pembuatannya.

5. Bentuk kemasan obat adalah wadah, tutup dan selubung sebelah luar. Kemasan dapat mempengaruhi
stabilitas dan mutu produk akhir. Untuk menjamin stabilitas dari produk ada syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh bahan kemas primer karena kontak langsung dengan produk baik cair, padat, semi padat.

B. Saran

29
Dalam pembuatan makalah ini saya menyadari masih banyak kesalahan yang dilakukan saya. Oleh
karena itu, saya meinta kritik dan saran serta memohon bimbingannya agar kedepannya makalah yang
saya buat akan lebih baik dibandingkan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Fundamental of Nursing

Farmasetika Dasar

Murini, Tri. 2013.Bentuk Sediaan Obat (BSO) Dalam Preskripsi. UGM-Pres. Yogyakarta

http://bidhuan.id/obat/43398/5-penggolongan-obat-obat-bebas-bebas-terbatas-keras-psikotropika-
narkotika-dan-contoh/

http://mikasilmin.blogspot.com/2015/11/obat-dan-penggolongan-obat.html

https://tsffarmasiunsoed2012.wordpress.com/2012/05/22/material-kemasan-produk-sediaan-farmasi/

30

Anda mungkin juga menyukai