Anda di halaman 1dari 7

I.

Identitas Pasien
Nama

: Tn. I

Usia

: 34 tahun

Jenis Kelamin

: Laki - laki

Alamat

: Kebondalem

No. RM

: 181xxx

Tgl. MRS
II.

: 29 Desember 2014

Anamnesis (29 12 2014)


a. Keluhan utama : Lemas
b. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke poli penyakit
dalam dengan keluhan lemas. Lemas dirasakan sejak 1 minggu
SMRS.
c. Riwayat penyakit dahulu : Pasien sering mengeluh lemas.
Lemas dirasakan kambuh kambuhan. Pasien memiliki riwayat
terdiagnosis AIHA sejak tahun 2009. Awalnya, pasien berobat di
RSUD

Genteng

dilakukan

dengan

transfusi

keluhan

darah.

lemas.

Namun

Pasien

keluhan

dirawat

dirasa

dan

membaik

sebentar kemudian kambuh lagi. Setiap 3 4 bulan pasien berobat


karena lemas. Setiap kali berobat pasien disarankan MRS dan
transfusi darah.
Pasien kemudian mencari pengobatan di RS Darmo Surabaya.
Pasien berobat di spesialis penyakit dalam konsultan hematologi.
Disana pasien disarankan untuk tes

darah. Dari hasil tes darah

diketahui pasien menderita AIHA. Pasien disarankan menjalani


minum obat secara rutin ( pasien lupa nama obat).
d. Riwayat sosial : Karena kesulitan biaya, pasien tidak rutin kontrol
di Surabaya. Pasien memilih berobat di Genteng. Pasien tidak rutin
kontrol ke poli penyakit dalam karena pasien bekerja di pulau Bali.
Biasanya pasien kontrol saat ia merasa lemas dan ingin tambah
darah. Pasien menolak untuk minum obat secara rutin dengan
alasan merasa bosan untuk minum obat dalam waktu lama.
III.

Pemeriksaan fisik
Tanda vital : TD : 120/70 mmhg
K/L :

An +/+

Ict -/-

N : 80x/m RR : 15x/m
Ed -/-

Cy -/-

Tho : C/ s1s2 single murmur (-) gallop (-). Ictus cordis teraba ICS V
MCL (S)
P/ rhonki -/- wheezing -/- suara nafas vesikular
Abd : BU (+) N, Hepar tidak teraba, , troube space dullnes, Lien
teraba schuffner II, nyeri tekan (-)
Ext :
IV.

Akral HKM edema -/- anemis +/+

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah lengkap
Hb

: 7.0 gr %

Hct

: 24 %

Trombosit

: 140.000 mm3

Leukosit

: 5.600 / mm3

Hitung jenis

: Eos / Bas / Stab / Seg / Mon / Limf


0 / 0 /

1 / 71 / 21 /

Pemeriksaan khusus
Coombs test
Ham test

: (+)
: (+)

Water Sucrose test : (+)


V.

VI.

Diagnosis kerja
Anemia Hemolitik Autoimun
Penatalaksanaan
Rencana diagnosis
Cek lab pre dan 12 jam post transfusi
Rencana terapi
MRS
Pro transfusi PRC 2 kolf
IVFD NS 20 tpm
Inj. Cefotaxime 2 x 1 gr
Inj. Dexamethasone 3 x 1 ampul
P.O Antasida tab 4 x 1
Terapi setelah KRS

Prednisone 3 x 5 mg

Fe Sulfat 3 x 1 mg

Kontrol per poli 2 minggu setelah KRS


VII.

Daftar Pustaka
2006. Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE. Haemolytic Anemias. dalam :
Hoffbrand AV, Moss PAH, Pettit JE : Essential Hematology 6th ed.
Blackwell Publishing Ltd; Victoria. Hal : 66 68
2009. Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. . dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. InternaPublishing; Jakarta. Hal :
622 625
2009. Parjono E, Widayati K. Anemia Hemolitik Autoimun. dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. InternaPublishing; Jakarta. Hal :
650 651

VIII.

Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis banding pada kasus anemia
2. Memahami tanda dan gejala pada anemia hemolitik autoimun
3. Merencanakan pemeriksaan penunjang pada kasus anemia
hemolitik autoimun
4. Terapi farmakologis dan non farmakologis pada kasus anemia
hemolitik autoimun
5. Evaluasi kepatuhan pasien terhadap terapi

IX.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subyektif
Keluhan awal yang ditemukan pada pasien ini adalah lemas.
Lemas dikeluhkan terjadi secara mendadak dan diikuti oleh keluhan
pucat pada wajah dan telapak tangan. Hal ini menimbulkan kecurigaan
bahwa lemas yang dikeluhkan pasien adalah akibat proses anemia.
Beberapa gejala yang dikaitkan dengan anemia adalah lemas, lesu,
kurang bersemangat, dan mudah lelah. Pasien juga mengeluh bahwa
lemas yang dideritanya terjadi secara mendadak. Anemia yang
menimbulkan keluhan lemas secara mendadak adalah anemia akibat
kehilangan darah akut, dan anemia akibat hemolisis. Pada anamnesis

lanjutan tidak ditemukan adanya riwayat kehilangan darah akut,


sehingga kecurigaan mengarah kepada anemia hemolitik.

2. Obyektif
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan
beberapa tanda seperti konjungtiva anemis dan pembesaran lien
schuffner II. Pembesaran lien pada proses anemia dikaitkan dengan
proses hemolisis. Secara anatomis lien merupakan organ yang sangat
mendukung untuk terjadinya proses hemolisis. Proses hemolisis yang
terjadi pada lien tersebut lama kelamaan akan membuat lien semakin
membesar dan dapat teraba pada palpasi abdomen.
Anemia hemolitik secara umum akan memberikan gambaran
klinis pucat, ikterus, dan pembesaran lien. Jika pada pasien didapatkan
ketiga tanda ini, sangat mungkin pasien menderita AIHA.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien ini adalah
cek

darah

lengkap.

Dari

hasil

laboratorium

didapatkan

kadar

hemoglobin pasien 7 gr%, jumlah leukosit 5.600 /mm 3, hematokrit


24%, dan jumlah trombosit 140.000 /mm 3. Kadar hemoglobin dan
hematokrit pasien menunjukkan bahwa pasien menderita anemia.
Pasien telah memiliki hasil pemeriksaan tes Coombs, tes Acid
Ham, dan tes Water Sucrose. Ketiga tes tersebut dilakukan saat pasien
dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Hasil dari ketiga tes tersebut
adalah positif. Tes Coombs merupakan gold standard diagnosis anemia
hemolitik autoimun, sehingga diagnosis definitif pasien ini adalah
anemia hemolitik autoimun.
Tes Coombs adalah tes yang digunakan untuk memeriksa
apakah pasien memiliki antibodi terhadap sel eritrosit. Ada dua macam
tes coombs yang dapat digunakan, yaitu tes direk dan tes indirek. Pada
tes Coombs direk, eritrosit pasien dicuci bersih dari protein yang
menempel, kemudian direaksikan dengan antiserum atau antibodi
monoklonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen,
terutama IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu
atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi. Pada tes Coombs
indirek

serum

pasien

direaksikan

dengan

sel

sel

reagen.

Immunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel sel
reagen dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya
aglutinasi.
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah kadar
bilirubin total, indirek, dan pemeriksaan urine lengkap. Pemeriksaan
kadar bilirubin pada kasus ini dapat diharapkan terjadi peningkatan,
dan pada pemeriksaan urine lengkap dapat ditemukan adanya
hemoglobinuria.
3. Assessment (Penalaran Klinis)
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan
jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan

oxygen

carrying

capacity).

Secara

praktis

anemia

ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung


entrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar
hemoglobin, kemudian hematokrit. Anemia dibagi dalam tiga kelompok
berdasarkan penyebab terjadinya, yaitu anemia akibat penurunan
produksi eritrosit, anemia akibat pemecahan eritrosit, dan anemia
akibat kehilangan darah akut. Anemia akibat pemecahan eritrosit
dikenal sebagai anemia hemolitik (Parjono et al, 2009).
Secara lebih jauh, anemia hemolitik dibedakan lagi menjadi
anemia hemolitik non imun dan anemia hemolitik imun. Pada anemia
hemolitik non-imun, pemecahan eritrosit disebabkan oleh faktor selain
imunitas tubuh, antara lain penggunaan katup jantung prostetik,
anemia pada penyakit malaria, anemia pada ITP, anemia akibat
defisiensi G6PD, dan lain lain. Pada anemia hemolitik imun,
pemecahan eritrosit disebabkan oleh proses imun. Beberapa contoh
anemia hemolitik imun adalah anemia hemolitik autoimun, paroxysmal
cold hemoglobinuria, anemia hemolitik diinduksi obat, dan anemia
hemolitik pada bayi baru lahir.
Anemia hemolitik autoimun (AIHA) adalah anemia yang terjadi
akibat proses pemecahan eritrosit karena proses autoimun. Pasien
memiliki autoantibodi pada serumnya yang berikatan pada antigen
permukaan eritrosit sehingga menyebabkan aktivasi komplemen dan

makrofag. Antibodi yang berperan pada proses hemolisis pada AIHA


adalah IgG dan IgM. IgG berlekatan dengan antigen permukaan
eritrosit pada suhu tubuh, sehingga disebut antibodi tipe hangat. IgM
berlekatan dengan antigen eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh,
sehingga disebut sebagai antibodi tipe dingin. Keduanya memberikan
gambaran klinis yang berbeda pada AIHA.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, proses pemecahan eritrosit
pada AIHA diperantarai oleh aktivasi komplemen dan makrofag oleh
autoantibodi. Pengaktivasian komplemen oleh antibodi dilakukan oleh
antibodi kelas IgG1, IgG2, IgG3, dan IgM. Komplemen teraktivasi
melalui

jalur

klasik

maupun

jalur

alternatif.

Komplemen

yang

teraktivasi akan menempel pada permukaan eritrosit dan membentuk


membrane attack complex yang menyebabkan lisis sel. Pemecahan
eritrosit oleh komplemen ini terjadi di dalam pembuluh darah sehingga
disebut intravascular hemolysis.
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan
dengan komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen
namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah
merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial.
Makrofag yang banyak terdapat di dalam lien akan teraktivasi oleh
antibodi yang menempel pada permukaan membran eritrosit sehingga
terjadi proses fagosistosis. Proses pemecahan eritrosit ini berlangsung
di lien sehingga disebut sebagai extravascular hemolysis.
4. Planning
Berikut adalah beberapa terapi yang diberikan pada kasus anemia
hemolitik autoimun
a. Kortikosteroid : 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian
besar akan menunjukkan respon klinis baik (Hmt meningkat,
retikulosit meningkat, tes coombs direk positip lemah, tes
coombs indirek negatip). Nilai normal dan stabil akan dicapai
pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respon
terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu 10-20 mg/hari.
Terapi steroid dosis <30mg/hari diberikan secara selang sehari.
Beberapa pasien akan memerlukan terapi rumatan dengan

steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi

15

mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu segera


dipertimbangkan terapi dengan modalitas 1ain.
b. Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa
dilakukan dosis selama 3 buian, maka perlu dipertimbangkan
splenektomi. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama
penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan
jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih
besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi
komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak
bersifat permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering
digunakan setelah splenektomi.
c. Imunosupresi,
Azatioprin
50-200

mg/hari

(80

mg/m 2),

siklofosfamid 50-150 mg/hari (60 mg m2)


d. Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai
bersama-sama steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan
atau dihentikan dan dosis danazol diturunkan menjadi 200-400
mg.hari.
e. Terapi imunoglobulin (400 mg/kgBB per hari selama 5 hari)
menunjukkan

perbaikan

pada

beberapa

pasien,

namun

dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada beberapa pasien lain.
Jadi terapi ini diberikan bersama terapi lain dan responsnya
f.

bersifat sementara.Terapi plasmafaresis masih kontroversial.


Terapi transfusi: terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi
mutlak. Pada kondisi yang mengancam jiwa (misal Hb : 3 g/dL)
transfusi

dapat

diberikan,

imunoglobulin untuk berefek.

sambil

menunggu

steroid

dan

Anda mungkin juga menyukai